Saturday, May 28, 2011

Peringati Hari Air Sedunia ke 19, SMPN 8 Kampanye Hemat Air Kepada Warga Sekitar Sekolah Dan Orang Tua murid thema :Mari Tanamkan Budaya Hemat Air

Peringati Hari Air Sedunia ke 19, SMPN 8 Kampanye Hemat Air Kepada Warga Sekitar Sekolah Dan Orang Tua murid thema :Mari Tanamkan Budaya Hemat Air




Peringati Hari Air Sedunia ke 19, SMPN 8 Kampanye Hemat Air Kepada Warga Sekitar Sekolah Dan Orang Tua murid thema :Mari Tanamkan Budaya Hemat Air




Muara Bulia- Dengan berbekal selembar kertas berukuran A1, siswa SMPN 8 desa Penerokan kecamatan bajubang kabupaten batang hari menyosialisasikan pengetahuan yang baru saja dia dapatkan kepada warga sekitar sekolahnya, Sabtu (19/5). Kertas yang digunakan untuk sosialisasi itu bukanlah sembarang kertas, tetapi di dalam kertas itu terdapat gambar poster himbauan yang dibuat siswa mengenai pentingnya menghemat air dan cara menghemat air dalam kehidupan sehari-hari. Kampanye ini merupakan bagian dari pembinaan Kepala Sekolah SMPN 8 desa peneerokan Aidil Azhari dalam rangka Hari Air Sedunia ke 19 tahun 2011 mencoba menyampaikan cara menghemat air seperti yang sudah digambarkan kelompoknya pada selembar kertas A1. menurut Aidil Azhari kepada wartawan Mengatakan , cara menghemat air cukup sederhana. “kami membuat penyaringan air melalui drum dari plastic dan kolam bekas galiaan lubang yang mana tanahnya dulu dimaafaatkan untuk menibun bangunan sekolah ,karena sudah belubang maka kami mamfaatkan untuk kolam ,pungsi kolam adalah air yang sudah dipakai disaring kembali dan biasa digunakan lagi.,tercapainya hal tersebut tak terlepas dari arahan dan binaan dinas PDK kabupaten batang hari,aidil azhari juga menambahkan di desa penerokan ini kalau musim kemarau air sumur bias mongering maka kami mencoba cara ini agar di musim kemarau kelangkaan air tidak terjadi ucapnya



Disisi lain Roy andre aktivis air mengatakan yang dilakukan Kepala SMPN 8 desa penerokan telah berhasil menanamkan Budaya Hemat Air kepada anak didiknya terbukti dengan karya nyata yang harus di sikapi oleh Gubenur jambi dan Buapti kita meminta pemerintah propinsi dan kab/kota agar mengalakan disemua sekolah yang ada di propinsi jambi tegas roy
Roy juga menambahkan air sebagai sumber kehidupan. Air memiliki nilai penting bagi manusia, tumbuh-tumbuhan, serta hewan. Kalau air mulai menghilang dan sulit ditemukan, apa jadinya hidup kita, Krisis air bersih , terutama tersedianya air dengan kualitas yang layak minum, menjadi keprihatinan dunia saat ini dan menjadi tema utama hari Air Sedunia 2011, yaitu Tersedianya Air Bersih untuk Dunia yang Lebih Sehat. Menurut laporan Tujuan Pembangunan Milenium Global (Millenium Development Goals/MDGs) tahun 2008, hampir setengah dari populasi dunia mengalami kelangkaan air.

Diketahui, sekitar 2,8 triliun orang, mewakili hampir 40 persen populasi dunia, hidup di lembah sungai dengan sedikit kelangkaan air bersih. Sementara itu, 1,2 triliun orang hidup dengan kelangkaan air karena 75 persen aliran sungai terhenti dan 1,6 triliun hidup di daerah kelangkaan air ekonomis di mana manusia, institusi, dan keuangan, membatasi akses mendapatkan air.

Ancaman ketersediaan air, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, juga melanda Indonesia akibat ketidakpedulian mayoritas masyarakat Indonesia untuk turut serta menghemat dan menjaga kelestarian air. Oleh karena itu, semua pihak, baik pemerintah, perusahaan swasta, organisasi kemasyarakatan (ormas), maupun setiap individu dalam masyarakat harus bertanggung jawab atas hal ini.

Budaya hemat air harus ditumbuhkan segera di Tanah Air. Seluruh lapisan masyarakat tidak terbatas dari segi usia, profesi, maupun gender, wajib melaksanakannya. Tak terkecuali para perempuan dan ibu rumah tangga, sebagai pihak yang sering bersentuhan langsung dengan air saat melakukan kegiatan di dalam rumah.ucap roy

Monday, May 2, 2011

Hutan Desa Lubuk Beringin: Berpijak dari kearifan lokal

Seminggu yang lalu saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke lokasi hutan desa di Kabupaten Muaro Bungo, Jambi. Awalnya tujuan perjalanan saya ke Jambi adalah untuk mendokumentasikan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang ada di Jambi dan mendokumentasikan beberapa kelompok Suku Bathin IX dan Suku Anak Dalam (SAD) yang sering disebut orang rimba yang tergusur dari kawasan hutan mereka.

Karena jadwal untuk masuk ke kelompok orang rimba masih bentrok dengan kegiatan lembaga pendampingnya, akhirnya saya diajak oleh seorang teman di Jambi untuk melihat lokasi hutan desa. Berhubung saya belum tahu banyak seperti apa pengelolaan hutan desa dan bagaimana mekanisme hak kelolanya, saya memutuskan menerima tawaran tersebut.

Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Izin kelola kepada masyarakat merupakan amanat dari ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Permenhut P.49/2008 Tentang Hutan Desa.

Untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan desa, harus melalui beberapa tahapan sampai dengan terbitnya SK Penetapan Areal Hutan Desa. Tahapan pertama dimulai dari permohonan usulan dari masyarakat kepada Menteri Kehutanan melalui Bupati setempat. Kemudian Bupati mewakili pemerintah daerah mengeluarkan surat rekomendasi dan dilanjutkan dengan usulan penetapan areal kerja hutan desa ke Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan atas dasar surat Bupati akan menurunkan tim verifikasi. Setelah dilakukan verifikasi, maka Menhut akan menerbitkan SK Penetapan kawasan hutan sebagai Areal Kerja Hutan Desa berdasarkan luas yang diusulkan dengan jangka waktu hak kelola biasanya selama 35 tahun dan dapat di perpanjang.

Hutan desa yang saya kunjungi di Muaro Bungo adalah Hutan Desa Lubuk Beringin. Hutan desa ini kabarnya merupakan hutan desa pertama yang ada di Indonesia. Sebuah dusun kecil yang berada di kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur. Hulu Sungai Buat. Jumlah penduduk di dusun ini sekitar 331 jiwa atau sekitar 86 KK.

Dusun ini perlahan mulai terkenal sejak seorang menteri kehutanan pada tahun 2009 datang langsung ke dusun ini dan memberikan hak kelola kepada masyarakat melalui SK Menteri Kehutanan RI tentang Pencadangan areal Kerja Hutan Desa Dusun Lubuk Beringin dengan luas 2.356 ha.

Disaat berada di dusun ini saya benar-benar merasakan sebuah kedamaian dan keharmonisan masyarakat yang tinggal disebuah kampung dengan kekayaan sumberdaya alamnya. Sumber ekonomi yang cukup. Tidak pernah merasakan kekurangan bahan pangan karena produksi padi yang selalu ada setiap tahunnya. Sumber air yang melimpah dan jernih. Sebuah sungai besar yang jernih dan bersih mengalir disepanjang dusun ini membuat keharmonisan itu semakin nyata.

Setiap pagi masyarakat dusun lubuk beringin berangkat menyadap karet sebagai mata pencaharian mereka. Sebagian keluarga, setelah menyadap karet mereka langsung menuju sawahnya yang sudah mereka tanami padi. Membersihkan tanaman-tanaman padi dari rumput-rumput atau sekedar mengecek aliran air klo-klo ada yang tersumbat untuk menuju sawahnya. Anak-anak muda terkadang secara berkelompok berlari menuju sungai dengan membawa senjata terbuat dari kayu-kayu bekas dan karet ban dalam sepeda motor untuk menembak ikan didalam sungai. Mata tembak terbuat dari jari-jari sepeda atau besi-besi kecil dari payung bekas. Kacamata selamnya pun buatan sendiri.

Hutan desa bagi mereka adalah sumber mata pencaharian dan juga sekaligus penyelamat alam dan lingkungan. Dengan adanya hutan desa mereka bisa sedikit tenang karena kawasan tersebut sudah diberi hak kelolanya oleh pemerintah kepada masyarakat desa. Tidak lagi khawatir pemerintah dalam waktu dekat bisa saja memberikan izin-izin konsesi kepada perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit ataupun hutan tanaman industri (HTI).

Beberapa manfaat yang mereka dapatkan dari hutan ini adalah sumber mata air yang melimpah. Di sawah-sawah mereka selalu mengalir air-air jernih. Begitu juga tanaman-tanaman lainnya yang ada diladang-ladang mereka. Air yang mengalir di sungai juga mereka manfaatkan untuk sumber energi listik dengan menggunakan kincir air. Kepala Desa Lubuk Beringin yang sering disebut ‘Rio’ yaitu Hadirin menyampaikan bahwa energi listrik yang ada di desanya dibangun secara swadaya masyarakat dan gotong-royong.

Sebelum adanya hutan desa ini, memang kami sudah lama menjaga hutan yang ada di desa kami. Masyarakat sangat menyadari pentingnya hutan bagi mereka. Dari dulu kami juga sudah ada aturan adat dan juga sekarang juga dituangkan menjadi Peraturan Desa (Perdes). Klo menebang 1 pohon harus menanam 10 pohon. Kami juga akan memberikan sanksi sosial bagi yang melanggar. Misalnya klo dia mengadakan acara pernikahan ataupun syukuran (seperti khitanan) kami tidak akan menghadirinya” ungkap Hadirin. Masyarakat Dusun lubuk Beringin sudah mengetahui aturan-aturan adat dan aturan desa. Mereka tidak mau diasingkan oleh kelompok masyarakat yang lainnya.

Rio juga berharap kedepannya akan semakin banyak masyarakat yang datang berkunjung ke dusun mereka. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Karena sudah banyak yang berkunjung ke dusun Lubuk Beringin. Melihat keramahan masyarakat dan potensi-potensi sumberdaya alam yang mereka miliki. Saat ini mereka sudah melakukan survey dibeberapa tempat untuk lokasi ekowisata. Camping ground, areal tracking, dan pemandian di sungai yang jernih dan bersih sudah disiapkan.

Ketika selesai melakukan interiview dengan Rio, saya diajak mandi di sungai. Kebetulan sudah lama sekali saya tidak mandi di sungai besar yang bersih dan jernih yang berada di hulu daerah aliran sungai. Saya mandi di sungai seperti ini mungkin tahun lalu ketika saya pulang kampung. Sangkin hebohnya dan benar-benar menikmati mandi di air yang jernih, 3 jam berlalu tanpa terasa didalam sungai dengan berenang-renang kecil dan duduk-duduk disekitar sungai. Benar-benar menikmati indahnya sungai yang ada di depan mata. Beberapa hari setelahnya punggung saya kulitnya mengelupas semua karena terbakar oleh sinar matahari. Sampai sekarang masih berbekas.

Sebuah kenikmatan yang jarang saya rasakan dalam banyak perjalanan saya. Menikmati keindahan alam dan kekayaan alam Indonesia. Keharmonisan masyarakat lokal dan masyarakat adat yang tinggal disekitar kawasan hutan. Beberapa tahun ini perjalanan saya banyak mengunjungi daerah-daerah konflik antar masyarakat lokal/adat dengan perusahaan perkebunan dan perusahaan kehutanan, konflik dengan pemerintah lokal, dan kawasan hutan yang sudah hancur berantakan. Melihat puing-puing keharmonisan. Meratap, merekam dan menyaksikan jeritan-jeritan mereka.

Untuk melihat video singkat Hutan Desa Lubuk Beringin silahkan lihat disini

Bathin IX Mencari Kemerdekaan (1)

Murid sekolah dasar. Atupun mungkin murid sekolah dari taman kanak-kanak sudah tahu negara ini merdeka dari tahun 45. Semua rakyat Indonesia pun tahu itu. Tapi seperti apakah hakekat sebuah kemerdekaan? Benarkah bagi orang-orang yang ada di negeri ini merasakan merdeka? Mungkin belum semua lapisan masyarakat yang ada di negeri ini merasakan merdeka seutuhnya.

Apa saya tulis berikut ini adalah, penglihatan saya dan pendengaran saya mengenai masyarakat yang belum merdeka seutuhnya. Memang kita sudah merdeka dari jajahan negara asing yang frontal. Tapi merdeka dari penindasan, pembodohan dan pemiskinan? Saya berani mengatakan mereka belum merdeka!

Berbekal tulisan dari Irma Tambunan mengenai Suku Bathin IX di Jambi pada harian KOMPAS di kolom SOSOK sebulan yang lalu, saya nekad mencari informasi sebanyak-banyak mengenai suku ini dan juga mengenai sosok yang ditulis oleh Irma. Semua kontak yang ada di Jambi saya hubungi untuk melacak siapa orang yang ada dimaksud didalam harian KOMPAS. Benarkan Suku Bathin IX ini ada di Jambi dan kondisinya ‘tenggelam’.

Informasi awal yang ingin saya dapatkan akhirnya terkumpul. Melalui media komunikasi telpon saya berhasil mengumpulkan beberapa informasi awal tersebut.


14 Maret 2011 saya langsung terbang ke Jambi. Setelah empat hari mengunjungi beberapa teman di Jambi saya langsung memutuskan untuk tinggal dirumah Pak Abunyani di Desa Kilangan, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari. Sosok yang ada dituliskan di harian KOMPAS tersebut. Di rumahnya yang sederhana saya mendapatkan banyak informasi mengenai Suku Bathin IX. Saya juga menjadi mengerti kenapa beliau bersikukuh untuk mengangkat kasus-kasus yang terjadi di komunitasnya. Karena saya tidak puas hanya mendengar cerita dari beliau. Saya minta beliau mengantarkan saya ke lokasi-lokasi konflik tersebut. Lokasi dimana masih ada masyarakat adat suku Bathin IX yang tetap mempertahankan tanah ulayatnya walaupun harus menghadapi berbagai macam kecaman dan intimidasi.

Berdasarkan cerita sejarah, Suku Bathin IX adalah komunitas pertama penghuni Jambi dan memiliki sebagian hutan adat di Jambi. Komunitas adat ini awalnya menempati sepanjang sembilan anak sungai yaitu Sungai Semak (saat ini leih dikenal dengan Sungai Bulian), Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Semua sungai ini bermuara ke Sungai Batang Hari. Sejak lama pemerintah menggabungkan Komunitas Suku Bathin IX ini dengan Orang Rimba menjadi satu istilah yaitu Suku Anak Dalam (SAD). Pemerintan menganggap mereka sama, padahal mereka berbeda komunitas dan beda adat istiadat.

Esok paginya sekitar jam delapan pagi Pak Abunyani mengajak saya ke Sialang Pugug, Desa Singoan. Disana saya bertemu dengan beberapa masyarakat Bathin IX yang konflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Induk Kebun Unggul (PT IKU). Pada tahun 1995 tanah masyarakat dijadikan perkebunan kelapa sawit dimana sebelumnya dijanjikan akan bagi hasil jika nanti perkebunan tersebut menghasilkan. Pola kemitraan ini dulunya dipimpin oleh seorang cukong yaitu Tanoto Ayong-sebagai bapak angkat. Mereka bekerjasama dengan KUD Sinar tani. Kemitraan Masyarakat dan KUD ini dilakukan melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dengan cara pembagian 70% untuk petani dan 30% untuk perusahaan yaitu PT IKU. Direktur Utama PT IKU adalah Tanoto Ayong.

Sejak ditandatangani kesepakatan pola kemitraan dengan PT IKU, sekitar 2300 ha hutan adat milik masyarakat Suku Bathin IX dibabat habis oleh perusahaan. Kawasan hutan yang tergabung didalam 4 desa yaitu Desa Olak, Aro, Ma Singoan dan Desa Sungai Baung. Kayu-kayu yang sudah ditebang tersebut dikuasai oleh perusahaan PT IKU. Berdasarkan surat kesepakatan dan perjanjian dengan PT IKU, perusahaan akan membiayai kebutuhan hidup masyarakat yang tanahnya sudah dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit selama 48 bulan (sampai perkebunan kelapa sawit tersebut menghasilkan buah). Tentu saja dengan harapan besar pola kemitraan ini, mereka rela melepaskan tanah-tanah mereka untuk ditanami kelapa sawit, agar bisa meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka.

Tapi janji, harapan besar dan mimpi indah itu tiba-tiba menjadi hilang dan menjadi sebuah mimpi buruk bagi mereka. Menjadi sumber malapetaka dan bencana. Pemiskinan secara terang-terang yang direstui oleh pemerintah. Setelah hutan habis ditebang dan kayu-kayunya sudah diangkut oleh perusahaan, lahan yang ditanami kelapa sawit hanya 663 ha. Biaya hidup yang dijanjikan selama 48 bulan hanya terlaksana beberapa bulan saja. Bibit kelapa sawit yang ditanami oleh perusahaan PT IKU dilahan tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan kualitasnya. Belakangan diketahui bahwa Tanoto Ayong sengaja mentelantarkan perkebunan sawit yang sudah disepakati karena sudah mendapat keuntungan dari hasil penjualan kayu-kayu disaat melakukan land clearing.

Tanoto Ayong selaku Direktur Utama PT IKU dikabarkan menghilang dari Jambi. Diketahui juga Tanoto Ayong terlibat banyak kasus di Jambi. Sampai dengan sekarang tidak peduli dengan nasib masyarakat yang ada di Desa Singoan.

Saat ini posisi masyarakat menjadi terjepit dan tidak ada pilihan yang menguntungkan. Dilanggarkan semua perjanjian dan kesepakatan yang dibuat berarti sama saja membunuh sumber matapencaharian dan harapan. Karena himpitan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pada bulan Desember tahun 2007 masyarakat Suku Bathin IX didamping pengacaranya yaitu Mangara Siagian, SH dan kawan-kawan mencoba menghubungi beberapa aparat pemerintah diantaranya Kaporles Batanghari dan Kasat Brimobda Jambi untuk meminta izin untuk melakukan pemanenan kelapa sawit yang sudah ditanam. Hasil pertemuan itu disepakati boleh dilakukan pemanen secara bersama dan didampingi oleh aparat keamanan dari Brimob dan pihak tim pengacara.

Pada tanggal 20 Januari 2008 proses pemanenan bersama dilakukan. Proses pemanenan ini dilakukan oleh masyarakat didamping Brimob dan tim pengacara. Tapi apa yang terjadi? Ketika proses pemanenan dilakukan, sekelompok aparat dari Polres Batang Hari datang ke lokasi kebun. Proses panen dihentikan dan mereka yang lagi panen buah sawit langsung dibawa ke Polres Batang Hari dan ditahan. Mereka didakwa melakukan pencurian buah sawit milik perusahaan. Polres Batang Hari juga menangkap pengacara Mangara Siagian, SH dengan tuduhan sebagai otak pelaku pencurian buah sawit. Dari 60 orang yang melakukan panen bersama, sebanyak 16 orang masyarakat yang melakukan panen tersebut ditahan selama 7 bulan kurungan.

Mungkin inilah nasib rakyat yang belum merdeka seutuhnya. Nasib orang kecil, lemah dan tidak mempunyai sebuah kekuatan untuk meruntuhkan sebuah tembok yang ada didepannya ketika tembok tersebut menghalangi jalan mereka.

Tanah ulayat yang sudah terlanjur mereka sepakati untuk menjadi perkebunan kelapa sawit membawa derita. Ketika memanen tanaman yang ada ditanah sendiripun menjadi masalah. “Sebelum ada perusahaan masuk, kami ini aman. Buahan-buahan, tumbuh-tumbuhan banyak. Durian, cempedak, semua ada. Sekarang ini klo tidak beli buah-buahan diluar, kami tidak akan pernah bisa mencicipi rasa buah-buahan tersebut. Sejak perusahaan masuk, kami kesusahan sekali. Tanah kami digarap oleh perusahaan sawit, ternyata hasilnya tidak diberikan kepada kami. Jika kami olah tanah yang belum tertanam kelapa sawit, polisi datang dan dipenjara. Sedangkan kami merasa tanah ini adalah warisan dari nenek-nenek kami”. Keluh Pak Zainudin yang saat ini menjadi Ketua RT di Dusun Sialang Pugug.


Zainudin juga menjelaskan bahwa pada bulan September tahun 2010, ketika mereka mengolah tanah mereka. Semua orang yang mengolah tanah mereka dikirimin surat dari Polres Batang Hari. Mereka dianggap melakukan perkara tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak (Pasal 385 KHUP). Surat resmi yang dipojok kiri atas tertulis dengan huruf kapital “DEMI KEADILAN” terebut ditandatangani oleh Kasat Reskrim selaku penyidik, yaitu Prasetiyo Adhi Wibowo, SIK. “Katanya klo 3 kali dipanggil kami tidak hadir, kami dianggap menentang hukum. Hukum apa yang saya tentang?” lanjut Zainudin.

Bathin IX mencari kemerdekaan (2)

Setelah mengunjungi masyarakat adat Bathin IX yang berada di Desa Singoan, keesokan paginya saya diajak Pak Abunyani mengunjungi Dusun Tanah Menang, Desa Bungku, di Kecamatan Bajubang.

Sebuah dusun kecil yang terletak didalam kawasan pekebunan kelapa sawit milik PT Asiatic Persada (Wilmar Group). Di rumah kecil yang terbuat dari papan saya diterima oleh beberapa warga. Rumah yang berada dipinggir jalan perkebunan kelapa sawit yang berhadapan langsung dengan tanaman-tanaman kelapa sawit milik perusahaan. Jika dimusim hujan jalan-jalan ini berlumpur dan tidak bisa dilalui mobil-mobil kecil yang bukan four-wheel drive.


Kutar. Seorang laki-laki berperawakan tegap dan bersuara lantang, adalah pria yang saya temui di dusun ini. Kami berkunjung ketika dia sedang memperbaiki rumah kecilnya. Laki-laki yang sekarang ditunjuk menjadi ketua RT di lingkungannya ini banyak menjelaskan bagaimana konflik antara masyarakatnya dengan perusahaan perkebebunan kelapa sawit yang saat ini berada di wilayah mereka.

Berdasarkan beberapa sumber informasi dan penjelasan dari Kutar, tidak terlalu jauh dari wilayahnya terdapat 2 dusun lagi yang kawasannya diklaim oleh perusahaan sebagai wilayah perkebunan. Dua dusun tersebut adalah Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Luas lahan yang diklaim oleh perusahaan yang termasuk didalam HGU perusahaan di 3 dusun ini adalah 3.614 ha.

Di wilayah Dusun Padang Salak terdapat beberapa anak sungai yaitu Sungai Suban, Sungai Cermin, Sungai Padang Salak, Sungai laman Minang, Sungai Suban Ayomati, Sungai bayan Temen, Sungai Durian makan Mangku, Sungai Lubuk Burung, dan Sungai Ulu Suban Ayomati.

Di wilayah Dusun Pinang Tinggi terdapat beberapa sungai seperti Sungai Tunggul Udang, Sungai Durian Dibalai, Sungai Empang Rambai, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Pematang Tapus, Sungai Nyalim, Sungai Jalan Kudo, Sungai Durian Diguguk, Sungai Patah Bubung, Sungai Durian Diriring, Sungai Bayan Kralis, Sungai Durian pangulatan, Sungai Durian nenek Perda, Sungai Durian Tunggul Meranti, Sungai Mantilingan, Sungai lais, Sungai Sangkrubung, Sungai Durian Jerjak Ui, Sungai Tunggul Meranti, dan Sungai Tunggul Enaw.

Sementara Dusun Tanah Menang terdapat beberapa sungai yaitu Sungai Limus, Sungai Dahan Petaling, Sungai Langgar Tuan, Sungai Pagar, Sungai Klutum, Sungai Lesung Tigo, Sungai Lamban Bemban, Sungai Tertap, Sungai Nyalim, Sungai Temidai, Sungai Sialang Meranti, Sungai Dahan Setungau, Sungai Ulu Kelabau, Sungai Marung Tengah, SungaiBindu, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Semio, Sungai Klabau, dan Sungai Arang paro.

Keberadaan anak-anak sungai inilah yang menjadi batas-batas wilayah dan sumbermata pencaharian masyarakat. Beberapa anak sungai ini sekarang kondisinya sudah berubah karena ditanami kelapa sawit dan ada yang ditimbun oleh perusahaan untuk areal perkebunan. Sungai yang tersisa juga rusak oleh limbah-limbah pabrik penggilingan kelapa sawit. Masyarakat suku Bathin IX masih bisa mengingatnya dengan baik keberadaan sungai-sungai yang ada di wilayahnya.

Tahun 1987 adalah awal dari semua permasalahan. Sebuah HGU seluas 20.000 ha diterbitkan oleh BPN Kabupaten Batanghari untuk PT Bangun Desa Utama (PT BDU) untuk dibangun perkebunan kelapa sawit dan cokelat. Dua tahun setelah penerbitan HGU terjadi penggusuran masyarakat di 3 dusun, yaitu Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Penggusuran yang dilakukan perusahaan bersama aparat kepolisian dan tentara membuat masyarakat di 3 dusun berpencar. Beberapa masyarakat memilih meninggalkan rumahnya karena takut dengan intimidasi yang dilakukan pada saat proses penggusuran.

Pada tahun 2001-2002 setelah pergantian manajemen perusahaan, kembali terjadi penggusurun lahan warga. Tanaman cokelat yang sudah ditanam oleh perusahaan diganti menjadi kelapa sawit. Perusahaan mengklaim bahwa lahan yang ditempati masyarakat berada di kawasan HGU perusahaan. Tanaman-tanaman keras masyarakat seperti durian, digusur dan dibersihkan. Makam-makam masyarakat pun ikut tergusur.

Dampak dari penggusuran paksa yang menggunakan aparat militer dan kepolisian yang menggunakan kekerasan dan intimidasi pada saat itu bukan saja berdampak pada hilangnya tanah dan tanaman masyarakat, tetapi juga dampak psikologis terhadap beberapa orang dewasa dan anak-anak. Jay (24 tahun) yang dulu sewaktu penggusuran masih anak-anak, sampai dengan sekarang masih trauma melihat orang-orang yang berpakaian militer.

Kutar juga menceritakan pada saat itu dia juga pernah diusir dari rumahnya. Diseret ke mobil polisi dan dibawa ke kantor polisi karena dianggap melawan. Merasa tidak bersalah dan harus mempertahankan hak atas tanahnya, Kutar tidak gentar menghadapi para anggota kepolisian. “Pada tahun 86-87 tentara langsung masuk rumah. Menodong senjata dan mengusir kami. Andalan perusahaan itu adalah Kapolres Batang Hari dan Kapolsek Bajubang. Yang saya tanyakan sekarang, mereka ini polisi perusahaan atau masyarakat?” ucap Kutar.

Hanya Kutar dan beberapa rekannya yang masih bertahan di tanah mereka. Walaupun sering menerima intimidasi dan ancaman mereka tidak akan menyerahkan tanah yang sudah dimiliki dari nenek moyang mereka. Karena takut dengan ancaman-ancaman yang diberikan perusahaan, beberapa masyarakat di Dusun Padang Salak dan Dusun Pinang Tinggi sudah meninggalkan tanah mereka. Untuk menghilangkan bukti-bukti bahwa lahan tersebut adalah milik masyarakat Suku Bathin IX, perusahaan membunuh semua tanaman-tanaman keras milik masyarakat dengan cara diracun. Cara-cara inilah yang membuat Kutar dan masyarakat yang masih bertahan di Dusun Tanah Menang berang. “Negara ini kalau tidak salah berlaku undang-undang dan pancasila. Kalau tidak berlaku lagi undang-undang dan hukum ini, mungkin seperti inilah pak. Apakah bapak mau, klo istri bapak adalah istri kami? Harta bapak, harta kami?. Kami mengambil buah sawit satu biji ditangkap, karena dianggap pencuri. Perusahaan mengambil tanah kami tidak ditangkap” jawab Kutar ketika diintrogasi oleh polisi dan dituduh mengambil tanah perusahaan yang masuk kedalam wilayah HGU perusahaan.

Kutar menjelaskan, klo memang perusahaan itu merasa membeli tanah-tanah mereka, ia ingin mengetahui kepada siapa perusahaan itu membeli. Karena mereka merasa tidak pernah merasa menjual atau menyerahkan tanah yang sudah ditempati oleh mereka selama beberapa generasi kepada perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang dulu hidup harmonis dengan alam, berladang, berkebun karet dan berburu ini sekarang seperti orang tersesat. Berjalan tak tentu arah. “Sebelum tahun 1986 buah-buahan melimpah disini, sampai tidak habis kami memakannya. Kami berikan buah-buahan itu kepada masyarakat luar (orang-orang trasnmigrasi) karena saking banyaknya. Tanaman jerenang banyak di hutan. Sekarang susah. Perusahaan pernah bilang ke kami, katanya makin ramai makin aman. Tentram. Tapi kenyataannya makin susah hidup kami. Inilah resiko kami bermain dengan orang pintar” keluh Kutar.

Tak mampu beli durian

Tadi ada keluarga yang memberi uang sebesar Rp 50.000. Ketika saya pegang uang itu, cucu saya ingin sekali makan buah durian. Terpaksalah saya membeli durian yang harganya sekarang masih Rp 30.000/buah. Sekarang pak, kami tidak bisa lagi menikmati buah durian.” Ucap Harun C kepada saya ketika kami mengunjungi beberapa orang Bathin IX di Desa Nyogan. Harun C dulunya berasal dari Dusun Padang Salak, Desa Bungku. Dia dan sekeluarga terpaksa meninggalkan rumah dan tanahnya karena takut akan intimidasi para perusahaan dan militer. Tanah Harun C yang ditinggalkan di Dusun Padang Salak kurang lebih 200 X 900 depo. 1 depo sama dengan 1,5 meter.

Usup Bengking sekarang tinggal di Dusun Segandik, Desa Nyogan. Sama dengan Harun C, Usup juga meninggalkan rumah dan tanahnya yang berada di Dusun Pinang Tinggi. Dia dan beberapa rekan-rekannya sekarang tinggal di rumah yang sangat sederhana atas batuan Dinas Sosial sewaktu gencarnya konflik dan penggusuran tanah dan ladang mereka. Di Desa Nyogan sekitar 75% adalah masyarakat Suku Bathin IX. Sebanyak 60 orang mempunyai hak atas tanah di perkebunan PT Asiatic Persada. Mata pencaharian mereka saat ini sudah tidak menentu. Ada yang mencari ikan, berkebun dan buruh perkebunan.

Harapan kami, kami ingin tanah kami kembali. Tidak ada negosiasi lain. Saya ini sudah tua, umur kami sudah tidak lama lagi. Sudah puluhan tahun kami hidup mengungsi seperti ini. Anak cucu saya tidak punya tanah, tidak punya kebun. Mau bertani tidak bisa. Bagaimana mereka mau menjalani kehidupan ini?” ungkap Harun C.

Tidak mau sekolah gara-gara sandal jepit

Derita dan kesedihan bukan hanya dirasakan oleh satu generasi. Tapi mungkin akan berlanjut ke generasi berikutnya. Para orang tua mungkin merasakan sakit dan pedih karena tergusurnya tanah mereka. Sulitnya sumber mata pencaharian untuk penghidupan. Kemiskinan ini juga berdampak pada anak-anak mereka. Karena berasal dari keluarga yang tidak mampu, anak-anak Suku Bathin IX terpaksa sekolah dengan menggunakan baju sekolah seadanya dan menggunakan sandal jepit.

Supri salah satu anak Suku Bathin IX yang tinggal di Dusun Tanah Menang yang bersekolah di salah satu sekolah dasar yang ada di Pasar Kecamatan Bajubang. Pada tahun 2003 Supri duduk di bangku kelas 2. Masih ingat betul diingatan Supri pada saat itu dia dimarahin oleh seorang guru ketika ia dan seorang temannya yang juga berasal dari Suku Bathin IX berangkat sekolah menggunakan sadal jepit. Saat itu sang guru menanyakan kepada mereka kenapa mereka sekolah menggunakan sandal. Supri hanya bisa menjawab bahwa orang tuanya tidak mampu membeli sepatu. Supri juga sudah menejelaskan klo tanah mereka sudah habis diambil oleh perusahaan kelapa sawit. Orang tuanya tidak ada uang untuk membelikan sepatu untuk ke sekolah. Setelah menjawab pertanyaan sang guru, guru tersebut meminta Supri dan temannya untuk menggantungkan sandal mereka di leher dan berjemur di halaman sekolah. Setelah kejadian tersebut mereka tidak mau lagi ke sekolah karena malu dengan murid-murid lain yang mayoritas adalah orang-orang transmigrasi.

Kutar menyampaikan bahwa tanah yang dibangun untuk sekolah dahulunya adalah tanah wakaf dari orang tuanya. Sekolah yang dibangun oleh PT Asiatic Persada awalnya adalah untuk anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) bersekolah. Memperoleh pendidikan. Mengerti baca tulis.

Sampai dengan sekarang saya masih ingat nama dan wajah seorang guru yang menghukum saya disaat sekolah ketikasaya memakai sandal jepit” ungkap Supri. Tak urung Supri yang sekarang mulai tumbuh dewasa menyimpan dendam kepada sang guru.

Saat ini jumlah anak-anak usia sekolah di Dusun Tanah Menang sekitar 200 anak. Yang bisa mengenyam sekolah seekitar 20 orang.

Saya yang beberapa hari tinggal bersama orang-orang Suku Bathin IX menjadi tahu kenapa Pak Abunyani dan bersama dengan rekan-rekannya dari Suku Bathin IX berusaha membangun kekuatan untuk berjuang mencari sebuah kemerdekaan. Merdeka seutuhnya. Merdeka diatas tanah mereka sendiri. Selama 24 tahun mereka harus hidup berjuang mempertahankan tanah warisan dari para leluhur mereka. Seperti pepatah lama orang-orang Suku Bathin IX “Biarlah orang mendapat asal kito tidak kehilangan”.

TAMAT

Kelapa sawit Janji Diuapkan, Sawit Dipindahkan

BOCAH kelas enam SD itu meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Muarabulian, Jambi. Tubuhnya kurus, matanya cekung. Hendra, bocah itu, tiga bulan lagi akan menghadapi ujian akhir. Tapi ia kini patah arang. "Saya tidak mau ikut ujian," ujarnya. Pada awal bulan ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Batanghari menghukumnya tiga bulan penjara. Ketua majelis hakim, Junita Betrix, menyatakan bocah itu terbukti mencuri kelapa sawit. Sebelum mendekam di penjara Muarabulian, warga suku Kubu itu sempat mendekam sepekan di tahanan Polres Batanghari.
Pada akhir Desember lalu, sekitar 20 polisi mendatangi kampungnya, Desa Sialang Puguk, di Singoan, sekitar 15 kilometer dari Jambi. Jam hampir menunjuk pukul delapan malam, ketika para polisi mulai mendobrak beberapa pintu rumah dan menangkap sekitar seratus orang Kubu di sana. Hendra, yang kala itu sedang mandi, ikut ditangkap.
Polisi menuduh mereka mencuri kelapa sawit milik PT Indo Kebun Unggul (IKU) di Sialang Puguk. Dari seratusan yang diperiksa, 16 dinyatakan tersangka. "Mereka tertangkap basah melakukan pencurian," ujar Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Batanghari, Ajun Komisaris Polisi Slamet Widodo. Apalagi, katanya, polisi punya alat bukti berupa 100 tandan buah sawit segar dan dodos, alat pencungkil buah sawit.
Mangara Siahaan, salah satu anggota tim pembela suku Kubu, menuding polisi bertindak tidak jujur dalam kasus ini. Menurut Mangara, enam belas warga Kubu yang tidak bisa baca-tulis itu dipaksa menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tanpa mengerti isinya. "Mereka dibangunkan di tengah malam untuk menandatangani BAP," katanya.
Di pengadilan, belasan orang Kubu itu juga tertatih-tatih mengikuti sidang. Selain tak semuanya fasih berbahasa Indonesia, sejumlah pertanyaan hakim "tak nyambung" dengan budaya mereka. Saat hakim bertanya perihal jam berapa mereka memanen sawit itu, misalnya, mereka hanya melongo. "Kami tak tahu jam. Patokannya matahari, Bu," ujar seorang terdakwa.
Tindakan warga Kubu ini tak lepas dari kekecewaan mereka terhadap janji yang diberikan PT Indo Kebun. Pada 1996, ujar Mangara, suku Kubu yang tinggal di sekitar rimba Singoan, Batanghari, ditawari kerja sama membuka kebun kelapa sawit oleh PT Indo Kebun, milik pengusaha terkenal Jambi, Tanoto Jakobes. Syaratnya, lahan mereka diserahkan ke perusahaan untuk dirombak jadi kebun kelapa sawit. Sebelumnya, di atas lahan itu tumbuh pohon karet, duku, durian, dan mangga, yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Janji yang diberikan PT Indo Kebun menggiurkan suku Kubu, karena mereka akan mendapat 70 persen dari hasil panen sawit itu. Lalu pada 18 November 1996 dibuat perjanjian penyerahan 1.600 hektare kebun dan hutan milik 87 kepala keluarga suku Kubu kepada PT Indo Kebun. PT Indo juga mendirikan Koperasi Unit Desa (KUD) Sinar Tani untuk mewakili mereka dalam pengurusan bagi hasil itu.
Niat Indo Kebun didukung pemerin-tah daerah setempat. Tahun itu juga Bupati Batanghari mengeluarkan izin prinsip pembukaan kebun kelapa sawit tersebut. Luas yang disetujui sekitar 13 ribu hektare. Tapi, belakangan, penerbitan izin prinsip dikembalikan dari Bupati kepada Menteri Kehutanan, yang memutuskan Indo Kebun hanya mendapat sekitar 2.500 hektare.
Awalnya terlihat mulus. Sekitar 800 hektare lahan milik warga Kubu itu ditanami kelapa sawit, 600 hektare di antaranya tumbuh subur. Tapi belakang-an tanda-tanda ketidakberesan mulai muncul. Sisa lahan milik warga Kubu ternyata ditelantarkan begitu saja setelah pohonnya ditebangi. Pohon sawit yang sudah ditanam pun dibiarkan begitu saja, tanpa perawatan. "Mereka ternyata cuma mau mengambil kayu di lahan kami," ujar seorang suku Kubu.
Pekan lalu Tempo mendatangi kebun sawit itu. Jalan akses menuju kebun tertutup rumput tinggi, menandakan kebun ini jarang sekali dirawat. Ratusan pohon sawit juga sudah terbungkus ilalang.
Penasihat hukum PT Indo, Suratno Jumanto, membantah kliennya menelantarkan kebun dan buah sawit mereka. Menurut Jumanto, perusahaan tidak bisa menanam sawit karena selalu dihalangi warga desa. "Lahan-lahan itu ternyata juga berpindah tangan karena dijual warga," ujarnya.
Pada 2000, kebun sawit itu seharus-nya memulai panen pertamanya. Warga saat itu gembira dan mengharap hasil penjualan sawit itu diberikan kepada mereka sesuai dengan perjanjian. Uang itu penting bagi mereka. Sebab, setelah lahan mereka dibabat untuk kebun sawit, suku Kubu tak memiliki sumber penghasilan tetap. "Ratusan orang Kubu bekerja serabutan di luar desa," ujar beberapa orang Kubu yang ditemui Tempo di sekitar kebun.
Selain harus mencari makan untuk mengganjal perut, selama ini suku Kubu juga menanggung utang kepada Bank Mandiri. Ini lantaran pada 1996 PT Indo Kebun mengagunkan lahan milik suku Kubu itu ke Bank Bumi Daya (kini jadi Bank Mandiri) untuk mendapat kredit Rp 23,2 miliar.
Sekretaris KUD Sinar Tani, M. Sidik, dalam persidangan tak mengakui pihaknya pernah meminta kredit dengan mengagunkan tanah orang Kubu. "Itu surat fiktif," katanya soal surat permohonan kredit ke bank. Tapi, buktinya, kredit itu cair pada 1998 dengan agunan tanah 13 ribu hektare, termasuk 1.600 hektare milik orang Kubu.
Tapi inilah yang terjadi. Perusahaan tak mau memanen sehingga warga tak mendapatkan uangnya. Bersabar selama enam tahun rupanya lebih dari cukup bagi warga Kubu, sehingga mereka memutuskan menyatroni kebun sawit PT IKU. "Itu sawit kami, ditanam di atas tanah kami," kata Alex Saputra, salah satu warga Kubu yang menjadi terdakwa. Walau mengaku mengambil sawit, di persidangan para warga Kubu itu menolak disebut sebagai pencuri. "Ini bukan tanah PT IKU," kata mereka.
Menurut Suratno, para terdakwa yang bukan anggota koperasi itu tak berhak memanen, karena perusahaan mengikat perjanjian dengan anggota KUD. Tapi hal ini dibantah keras Mangara. Menurut dia, sejumlah warga Kubu yang kini mendekam di penjara adalah anggota Koperasi Sinar Tani.
Menurut Mangara, yang dilakukan warga Kubu sebenarnya tidak salah. Penelantaran lahan oleh PT Indo Kebun, ujarnya, melanggar peraturan daerah tentang pembinaan perkebunan kelapa sawit pola kemitraan. Menurut aturan itu, kata Mangara, petani berhak memanen tanaman jika dalam 48 bulan perusahaan tidak juga melakukan kegiatan seperti ditulis dalam perjanjian pola kemitraan. "Karena perusahaan ingkar, dan para peserta punya kewajiban membayar kredit, mereka berhak memanen buah sawit itu," ujarnya.

Terusir dari Tanah Air Warisan Leluhur



Tanggal: 11 Apr 2011


Prakarsa Rakyat,

Komunitas terasing Bathin IX adalah ahli waris sebagian hutan alam di Jambi. Namun, pembangunan daerah ini selama 30 tahun terakhir telah mengubah nasib mereka. Mereka menjadi kaum terusir dari ”rumah” yang berlimpah sumber daya.
Selama itu pulalah eksistensi komunitas Bathin IX nyaris tak terdengar. Baru pada tiga tahun terakhir ini, masyarakat di Provinsi Jambi mulai menyadari keberadaan mereka sebagai satu komunitas adat yang unik di dalam hutan.
Namun, mereka berbeda dengan suku Anak Dalam yang selalu diasosiasikan dengan Orang Rimba atau suku Kubu yang identik akan makna keterbelakangan. ”Kami adalah suku Bathin IX. Jangan sebut kami Kubu. Kami tidak terbelakang,” ujar Abunyani, pemimpin Himpunan suku Anak Dalam Bathin IX, Rabu (16/2).
Kesalahan persepsi ini muncul sebagai warisan Orde Baru. Pemerintah mengadakan program transmigrasi besar-besaran di Jambi pada 1975. Ratusan ribu hektar hutan adat milik suku Bathin IX beralih fungsi menjadi permukiman transmigran serta perkebunan sawit dan akasia.
Hanya segelintir warga Bathin IX dan Orang Rimba di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas memperoleh bantuan rumah melalui program permukiman kembali masyarakat terasing. Departemen Sosial menyatukan sebutan untuk keduanya: suku Anak Dalam. Pendekatan pembangunan ini telah mengaburkan identitas Bathin IX. Sejak itulah nama Bathin IX tenggelam.
Konservator masyarakat suku-suku terasing dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Rudi Syaf, yang meneliti suku Bathin IX sejak 1998, mengatakan, mereka kini bahkan malu mengaku dirinya sebagai keturunan Bathin IX. ”Generasi muda cenderung menghilangkan etnisitas Bathin IX, dan lebih suka disebut sebagai warga desa saja,” tutur Rudi Syaf.
Selain hampir kehilangan etnisitasnya, pada masa itu juga mereka terusir dari rumah di dalam hutan, dan mengalami perampasan hak-hak adat. Ribuan tanaman yang menjadi sumber penghidupan mereka digilas mesin, serta kebun baru penghasil minyak sawit dan bubur kertas. ”Kami tidak bisa lagi memanen jernang, karet, serta buah-buahan yang selama ini dapat menghidupi kami,” kenang Abunyani.
Terusir
Konflik pun terjadi dengan sejumlah perusahaan pengelola hutan. Catata Kompas menyebutkan, pengusiran terhadap suku Bathin IX dan konflik berkelanjutan dengan perusahaan mulai terjadi sejak 1986. PT Bangun Desa Utama (BDU) memperoleh konsesi lahan yang merupakan hutan adat Bathin IX di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Batanghari, mengusir mereka secara paksa melalui aparat bersenjata.
Mereka kini hidup dalam pondok-pondok darurat di bawah pohon sawit. ”Hingga kini, masih banyak warga trauma ketika melihat aparat,” tambah Abunyani.
Saat ini, PT BDU telah menjadi PT Asiatic Persada, tetapi konflik tak kunjung selesai. Pendudukan lahan kerap terjadi, bahkan konflik berujung pada tuntutan hukum.
Masyarakat Bathin IX juga mengalami penipuan, melalui kerja sama kemitraan dengan perusahaan. Pada konflik yang terjadi dengan PT IKU, lahan masyarakat diambil untuk pembukaan kebun, tetapi hingga kini mereka tidak kebagian hasil. Saling klaim kepemilikan lahan juga terjadi antara kelompok Bathin IX dan perusahaan tanaman industri PT Wira Karya Sakti.
Tidak hanya atas kepentingan ekonomi, hak-hak adat suku Bathin IX dikorbankan untuk kepentingan konservasi. Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hutan dan Lahan Aditya mengatakan, pada 2003 hutan adat mereka seluas 15.300 hektar dialihkan menjadi Taman Hutan Raya Senami. ”Di kawasan ini, masyarakat yang tinggal di enam kecamatan hanya bisa gigit jari karena tidak boleh lagi mengelola lahan,” ujarnya.
Lalu, bagaimana nasib mereka saat ini?
Tumenggung Sapii, Ketua Adat Suku Bathin IX di Desa Nebang Para, Sungai Bahar, Muaro Jambi, mengenang kehidupan mereka bagaikan cacing. ”Di mana tanah hidup, di situ kami juga bertahan hidup,” ungkapnya, mengingat perampasan tanah adat menjadi kebun sawit, 30 tahun lalu. Menurut Sapii, mereka menjadi satu kelompok suku tergusur yang hampir punah.
Abunyani menambahkan, sebagian warga yang masih memiliki lahan dapat bertahan lebih leluasa. Mereka membuka kebun karet, mengelola jernang, memanfaatkan rotan, dan membudidayakan tanaman pangan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, bagi yang terusir dari hutan dan tidak lagi memiliki lahan, kini menjadi buruh penyadap atau tenaga kasar di perkebunan sawit. Sebagian lagi menjadi pemulung dan penarik gerobak di Pasar Muara Bulian.
”Ada hampir 100 orang jadi pemulung dan buruh di pasar karena tidak punya sumber penghidupan lain,” jelasnya.
Penghuni awal
Suku Bathin IX yang kini terusir dari tanah adat diyakini sebagai salah satu penghuni awal negeri Jambi. Ada dua versi cerita mengenai asal keberadaan mereka.
Abunyani yang selama dua tahun getol menelusuri sejarah dan budaya Bathin IX menjelaskan, nenek moyang mereka adalah Pangeran Nagasari. Pada abad XIV ayahnya, Mahorum Sunsangrumo, dari Kerajaan Mataram, mengawini Bayan Lais, keturunan Pagaruyung dan Gunung Kembar. Semasa kecilnya, Nagasari tinggal di satu tempat yang disebut wilayah Aur Duri, kini diperkirakan wilayah Muaro Jambi. Nagasari mempunyai anak bernama Raden Ontar, dan mendapat sembilan cucu.
Kesembilan cucu inilah yang menjadi awal mula terbentuknya suku Bathin IX. Setiap anak diwariskan untuk tinggal dan mengembangkan penghidupannya pada sembilan bathin (anak sungai), yaitu Bathin Semak (Bulian), Bahar, Singoan, Jebak, Jangga, Kelisak, Sekamis, Semusir, dan Burung Hantu. Sungai-sungai tempat mereka berdiam diberi nama sesuai nama mereka.
Versi lain sejarah Bathin IX diceritakan Dulhadi, tokoh adat Bathin IX di kawasan hutan produksi eks HPH Asialog. Versi ini mengaitkan kisah hidup suku Bathin IX tak lepas dari masa lalu sebagai kaum terusir dari tanah tinggal mereka. Nenek moyang mereka adalah Puyang Semikat dari Palembang, diusir karena kekayaannya dianggap telah melampaui Sang Raja. Pada masa itu hasil tambang emas mendatangkan rezeki berlimpah.
Setelah diusir, Puyang Semikat menelusuri Sungai Lalan (Sumatera Selatan) sampai ke Sungai Bahar (Jambi). Di wilayah Sungai Bahar, Puyang Semikat bertemu dengan penguasa setempat, Depati Seneneng Ikan Tanah. Ia lalu mengawini dua putri Depati, Bayan Riu dan Bayan Lais, serta memiliki sejumlah anak.
Keturunannya membentuk komune-komune yang berkembang di kawasan hutan sekitar sembilan sungai tersier di Kabupaten Muaro Jambi sampai Sarolangun, Provinsi Jambi, yang bermuara ke Sungai Batang Tembesi dan Sungai Batanghari. Hutan di sepanjang aliran sungai itu melimpahi mereka dengan berbagai jenis makanan dan sumber daya.
Suku Bathin IX semula dapat membangun kehidupan mereka secara leluasa dalam hutan yang kaya, tetapi kini menjadi kaum terusir. Identitas mereka kian kabur, dan mungkin juga akan lenyap dalam 10 tahun atau 20 tahun ke depan. Kita tidak pernah tahu....

Sunday, May 1, 2011

SEJARAH KORAN/SURAT KABAR DUNIA





RADAR JAMBI BY : Toni samriant

15 SURAT KABAR SEBAGAI SAKSI SEJARAH

New York Times: “Titanic Karam setelah 4 jam menabrak gunung es” 16 April 1912
New york times
Ini adalah salah satu dari sedikit berita utama yang akurat setelah tenggelamnya kapal Titanic. Wartawan di beberapa surat kabar lain masih dalam penyangkalan bahwa Titanic tidak tenggelam: The Daily Mirror melaporkan, “Semua orang aman”, dan Daily Mail, “Tidak ada orang yang hilang”.
Daily Mail: “Keanjlokan Terbesar dalam Sejarah di Wall Street” 25 Oktober 1929
daily mail
Wall Street 1929, dipicu oleh ketidakpastian pertimbangan dari pemerintah mengakibatkan harga saham anjlok ,ini adalah yang terburuk dalam sejarah AS. Pada tanggal 24 Oktober, lebih dari 12,9 juta saham diperdagangkan oleh investor yang sedang panik.
The News Chronicle: “Hitler Tewas” 2 Mei 1945
The News Chronicle
Pada tanggal 2 Mei 1945, The News Chronicle, yang kemudian menjadi Daily Mail, menerbitkan judul yang berani . Pada waktu itu, tak seorang pun yakin kalau berita ini benar. . Artikel yang menyertainya mengklaim bahwa Hitler telah tewas dalam suatu penyerangan, meskipun kemudian yg terjadi adalah dia telah bunuh diri di sebuah bunker bawah tanah di Chancery Berlin.
Daily Mail: “Perang Dunia Ke II Telah Berakhir” 8 Mei 1945
Daily Mail
Headline ini muncul pada hari Perang Dunia II yang menyatakan bahwa Nazi / Jerman menyerah. Ini menandai berakhirnya Perang Dunia ke II dan Adolf Hitler Yang tewas
Chicago Tribune: “Pembunuh Tewaskan Kennedy”22 November 1963
Chicago Tribune
John F. Kennedy, Presiden ke-35 dari Amerika Serikat, dibunuh di Dallas, Texas. Lima tahun kemudian, saudaranya Robert Kennedy ditembak mati di Los Angeles Hotel.
Daily News: “Martin King Shot to Death: ditembak mati di Memphis” 5 April 1968
Daily News
Berita mengejutkan ini dicetak setelah Martin Luther King, Jr ditembak dan dibunuh di lantai dua lobi Lorraine Motel, Memphis, Tennessee. Dia berumur 39-tahun
Evening Standard: “The First Footstep” jejak kaki pertama 21 Juli 1969
Evening Standardl
Neil Armstrong menjadi orang pertama yang melangkahkan kakinya di bulan. Ketika ia menyentuh tanah, dia menyatakan: “Itu salah satu langkah kecil untuk manusia, satu lompatan raksasa bagi umat manusia.”
The New York Times: “Nixon Resigns” 9 Agustus 1974
The New York Times
Presiden Richard Nixon, takut terhadap tekanan setelah skandal Watergate, menjadi satu-satunya Presiden yang pernah mengundurkan diri dari jabatannya. Gerald Ford kemudian memaafkannya, tetapi ia tidak pernah benar-benar diampuni.
The Sun: “Raja Elvis tewas” 17 Agustus 1977
The Sun
Pada tanggal 16 Agustus 1977, “The King of Rock ‘n’ Roll” ditemukan tewas di lantai kamar mandi.
Los Angeles Times: “The Beatles John Lennon Dibunuh” 9 Desember 1980
Los Angeles Times
pada hari sebelum Headline ini terbit, John Lennon ditembak dari belakang empat kali oleh Mark David Chapman, seorang penggemar yang telah menguntit dia selama 3 bulan.
City Press: “Mandela Bebas Hari Ini” 11 Februari 1990
City Pressl
Nelson Mandela dibebaskan dari penjara, tempat dia mendekam selama 20 tahun. Pada tanggal 27 April 1994, Mandela dan ANC memenangkan pemilihan multi-rasial.
Daily News: “Diana Tewas” 31 Agustus 1997
Daily News
Putri Diana meninggal setelah Mercedes Benz S280 menabrak pilar di terowongan Pont de l’Alma , Paris. bersama Temannya Dodi Al-Fayed yang juga tewas dalam tabrakan.
Daily Telegraph: “Perang di America” 12 September 2001
Daily Telegraph
Pada tanggal 12 September 2001, , hanya satu cerita mendominasi berita utama. Pada hari sebelumnya, teroris telah membajak empat pesawat jet berpenumpang komersial, dua di antaranya menabrak ke Twin Towers dan ketiga ke Pentagon. “Perang Amerika” terpilih sebagai judul yang paling mengesankan pada 100 tahun terakhir.
Times Of India: “Kami melihat air laut datang, kami semua berlari. Tetapi Allah hanya menyelamatkan sedikit “28 Desember 2004
Times Of India
pada tanggal 26 Desember 2004, gempa di lepas pantai barat Sumatra, Indonesia, memicu gelombang tsunami, yang menewaskan lebih dari 225.000 orang di 11 negara.
New York Times: “Obama: Racial Barrier Falls di Kemenangan Kemenangan” [5 November 2008
Barack Obama, menjanjikan perubahan untuk Amerika Serikat, mengalahkan John McCain dalam pemilihan presiden 2008, menjadikannya presiden berkulit hitam yang pertama di amerika serikat. Ia kemudian diresmikan pada tanggal 20 Januari 2009.

source: http://anehbinunik.blogspot.com/2009/11/15-headlines-surat-kabar-yang-menjadi.html

Sejarah Koran Dunia (Kertas yang Berisi Berita Dunia)
Sejak kapan manusia mengenal koran? Dari catatan peneliti, oran pertama masih berupa lembaran berita yang ditulis tangan, dipasang di tempat umum. Acta Diurna dari masa Romawi kuno (59 SM), berisi berita sosial dan politik, di akui sebagai koran pertama di dunia. Sedangkan koran cetak pertama adalah Di Bao (Ti-pao) tahun 700an di CIna. Metode Pencetakannya menggunakan balok kayu, yang dipahat aksara cina.

Bentuk koran berikutnya masih amat sederhana: Newsletter dan buku berita, di tahun 1400an. Beritanya kebih banyak berkaitan dengan dunia bisnis para bankir dan pedangang eropa. Selanjutnya, newsletter dan bukui berita berkembang menjadi lembar berita/newsheet tahun 1500an. Notizie Scritte (pemberitahuan tertulis) yang terbit di Venesia, Italia. termasuk jeis lembar berita itu. “Koran” lembaran ini biasanya dipasang di banyak tempat umum, tetapi yang ingin membacanya harus membayar 1 gazzeta. Dari sanalah mucum istilah gazzeta yang menunjuk koran.

Terbitnya koran-koran di Eropa di awali dengan temuan mesin cetak Johann Gutenberg pada pertengahan abad XV yang memudahkan proses produksi. Awalnya lembar berita yang terbit tidak teratur dan memuat cuma satu peristiwa, kemudian berwvolusi dengan terbit teratur seperti yang dilakukan mingguan Avisa Relation oder Zeitung, sejak 1609 di Strasbourg, jerman. Rupanya awab XVII menjadi abad penting lahirnya banyak koran di Eropa. Tapi, mingguan Frankfurter Journal (1615) yang dikelola Egenolph Emmel di Frankfrut, Jerman, umum dipandang sebagai koran pertama di dunia. Sampai kemudian lahir Leipziger Zeitung (1660) uga di Jerman, yang mula-mula mingguan, kemudai menjadi harian, Inilah koran harian pertama di dunia.

Tak lama kemuduan Inggris menyusul,diawali oleh The London Gazette (1665) yang masih koran berkala.Inggris mengenal koran hariannya yang pertama dengan terbitnya The London Daily Courant (1702). The Times koran Inggris-yang terbit sejak abad XVII hingga kini-pertama kali memakai sistem cetak rotasi.Penemuan telegram dan jaringan kabel internasional di pertengahan 1800-an membuat wartawan bisa lebih cepat meliputi dari berbagai kawasan dunia.

Di Indonesia, koran sudah ada sejak tahun 1744,saat pemerintahan Gubjen. Van Imhoff,yaitu Bataviasche Nouvelles.Sayang umurnya cuma dua tahun. pada 1776, di jakarta terbit Vendu Nieus,yang memuat segala macam barang lelangan,mulai perabotan rumah tangga hingga budak.Mingguan ini berhenti terbit karena Gubjen. Daendeles mengambil alih percetakan.

Bagaimana dengan pemrakarsa swasta? Tahun 1849 datang wartawan Belanda, W. Bruining, yang dua tahun kemudian berhasil menerbitkan Batavia Advertentieblad. Selain Jakarta, di kota lain – Surabaya, Semarang, Pasuruan, Padang, Medan, Palembang dan Makassar – juga terbit koran.

Tapi sejak kapan pribumi Indonesia punya koran sendiri? Tahun 1854 di Weltevreden (Gambir), Jakarta, muncul majalah Bianglala dari pihak Zanding, Mingguan bahasa Jawa Bromartani terbit pertama tahun 29 Maret 1855. entah kenapa, Van der Muelen dalam de Courant Stijhoff (Leiden 1885), menyebut prakarsa itu baru munvul tahun 1856, ketika terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya. Sejak itu banyak terbit koran Melayu, yang masih dikelola oleh orang belanda asli atau peranakan.

Tahun 1904 pers Indonesia bangkit, saat raden Mas Djokomono dengan akte notaris Simon Mendirikan NV Javaansche Boekhandel & Drukkerij en handel in Schrijfbehoeften Medan Prijaji di Bandung, diikuti dengan terbitnya mingguan Medan Prijaji (1907), yang pada 1910 menjadi harian. Saat itu untuk kedua kalinya bangsa Indonesia punya koran sendiri. Karena,sebenarnya koran pertama di Indonesia adalah Warta Berita. Warta Berita diterbitkan perdana pada tahun 1901, inilah pertama kalinya Indonesia mulai bangkit dari siksaan para penjajah walaupun saat itu pers sangatlah dikekang dan dibatasi.

Sejarah Surat Kabar dan Perwajahannya


Sebelum ditemukannya mesin pencetak, orang-orang di jaman dahulu kala menyebarkan berita dari mulut ke mulut, surat tertulis, atau papan pengumuman. Kemudian orang-orang mulai memikirkan kebutuhan sebuah laporan berita tertulis. Bangsa Romawi kuno menemukan sistem yang cukup mengesankan dalam menyebarkan berita tertulis tersebut. Sistem itu disebut dengan nama acta diurna (kejadian-kejadian harian), sebuah lembaran berita ditulis tangan yang diterbitkan oleh pemerintah untuk umum dari tahun 59 sebelum masehi sampai setidaknya tahun 555 masehi yang memberitakan tentang politik, skandal, persidangan, kampanye militer, dan eksekusi.
Di China, pada pemerintahan awal mereka telah membuat lembaran berita yang disebut dengan nama tipao, yang diedarkan pada masa kekuasaan dinasti Han (202 sebelum masehi sampai dengan 220 masehi). Pada suatu waktu di masa kepemimpinan dinasti Tang (tahun 618 s.d. 907 masehi) bangsa China memakai blok kayu yang diukir untuk mencetak tipao, dan kemudian dicatat sebagai lembar berita pertama yang dicetak.
Mesin pencetak pertama kali dikembangkan oleh orang-orang Eropa di tahun 1450, dan menggunakannya untuk mempublikasikan berita. Dan surat kabar terus berkembang sebagai media penyebar informasi hingga saat ini.

  • SEJARAH SINGKAT SURAT KABAR
  1. Di jerman, Prototipe pertama surat kabar diterbitkan di Bremen Jerman pada tahun 1609.
  2. Di Inggris, surat kabar pertama yang masih sederhana terbit pada tahun 1921.
  3. Di Amerika, surat kabar yang pertama di Amerika Serikat adalah Pennyslvania Evening Post dan Daily Advertiser yang terbit pada tahun 1783.
Di Amerika
  • The Penny Press :
Perkembangan teknologi percetakan telah mengakibatkan proses percetakan semakin cepat, sehingga surat kabar semakin memasyarakat karena harganya murah
  • Newspaper Barons
Pada akhir abad 19, surat kabar di Amerika mengalami kejayaan karena surat kabar melakukan promosi yang sangat agresif.
  • Yellow Journalism
Surat kabar di Amerika pada akhir abad 19 menjadi bisnis besar, karena sirkulasinya yang semakin besar dan banyak persaingan antarpenerbit surat kabar.
  • Jazz Journalism
Tahun 1919 terbit surat kabar New York Daily News yang ukurannya lebih kecil, banyak menggunakan foto terutama pada halaman pertama, dan menampilkan satu atau dua headline, serta menekankan unsur sex dan sensasi.
Surat kabar pertama kali dibuat di Amerika Serikat, dengan nama “Public Occurrenses Both Foreign and Domestick” di tahun 1690. Surat kabar tersebut diusahakan oleh Benjamin Harris, seorang berkebangsaan Inggris. Akan tetapi baru saja terbit sekali, sudah dibredel. Bukan karena beritanya menentang pemerintah, tetapi hanya karena dia tidak mempunyai izin terbit. Pihak kerajaan Inggris membuat peraturan bahwa usaha penerbitan harus mempunyai izin terbit, di mana hal ini didukung oleh pemerintah kolonial dan para pejabat agama. Mereka takut mesin-mesin cetak tersebut akan menyebarkan berita-berita yang dapat menggeser kekuasaan mereka kecuali bila usaha itu dikontrol ketat.
Kemudian surat kabar mulai bermunculan setelah negara Amerika Serikat berdiri. Saat itu, surat kabar itupun tidak sama seperti surat kabar yang kita miliki sekarang. Saat itu surat kabar dikelola dalam abad kegelapan dalam jurnalisme. Sebab surat kabar telah jatuh ke tangan partai politik yang saling bertentangan. Tidak ada usaha sedikitpun untuk membuat berita secara objektif., kecuali untuk menjatuhkan terhadap satu sama lainnya. Washington dan Jefferson dituduh sebagai penjahat terbesar oleh koran-koran dari lawan partainya.
Presiden John Adams membreidel koran ”The New Republik”. Selama koran tetap dikuasai oleh para anggota partai politik saja, maka tidak banyak yang bisa diharapkan.
Kemudian kecerahan tampaknya mulai menjelang dunia persurat kabaran. James Gordon Bennet, seorang berkebangsaan Skotlandia melakukan revolusinisasi terhadap bisnis surat kabar pada 1835. Setelah bekerja di beberapa surat kabar dari Boston sampai Savannah akhirnya dia pun mendirikan surat kabar sendiri. Namanya ”New York Herald” dengan modal pinjaman sebesar 500 dollar. Percetakannya dikerjakan di ruang bawah tanah di Wall Street dengan mesin cetak yang sudah tuam dan semua pekerjaan reportase dilakukannya sendiri.
Sejak itulah berita sudah mulai dipilah-pilahkan menurut tingkat kepentingannya, tapi tidak berdasarkan kepentingan politik. Bennet menempatkan politik di halaman editorial. Isi korannya yang meliputi soal bisnis, pengadilan, dan kehidupan sosial masyarakat New York memang tidak bisa dijamin keobyektifatnya, tetapi setidaknya sudah jauh berubah lebih baik dibandingkan koran-koran sebelumnya.
Enam tahun setelah ”Herald” beredar, saingannya mulai muncul. Horace Greely mengeluarkan koran “The New York Tribune”. Tribune pun dibaca di seluruh Amerika. Pembacanya yang dominan adalah petani, yang tidak peduli apakah mereka baru sempat membaca korannya setelah berminggu-minggu kemudian. Bagi orang awam, koran ini dianggap membawa perbaikan bagi negara yang saat itu kurang terkontrol dan penuh bisnis yang tidak teratur.
Koran besar yang ketiga pun muncul di New York di tahun 1851, ketika Henry J. Raymond mendirikan koran dengan nama “The New York Times”, atas bantuan mitra usahanya, George Jones. Raymond-lah yang mempunyai gagasan untuk menerbitkan koran yang non partisan kepada pemerintah maupun perusahaan bisnis.
Setelah serentetan perang saudara di Amerika usai, bisnis persuratkabaran pun berkembang luar biasa. Koran-koran pun mulai muncul di bagian negara-negara selain New York dan Chicago. Di selatan, Henry W. Grady dengan koran “Konstitusi Atlanta”. Lalu, muncul koran “Daily News” dan “Kansas City Star” yang mempunyai konsep pelayanan masyarakat sebagai fungsi dari sebuah sebuah surat koran.
Di New York, surat kabar dianggap sebuah bisnis yang bakal menjanjikan. Charles Dana membeli surat kabar ”Sun” dan menyempurnakannya. Editornya, John Bogart punya cerita sendiri tentang berita. Menurutnya ”kalau anjing menggigit manusai, itu bukan berita. Tapi kalau manusia menggigit anjing, itu baru namanya berita”.
Pulitzer adalah yang pertama kali menerbitkan koran mingguan, di mana isinya ditulis oleh para penulis terbaik yang pernah ada. Setelah Pulitzer meninggal, ”New York World” malah menjadi yang terbesar di dunia. Orang menyebut Pulitzer sebagai ”wartawannya surat kabar”.
Dalam perkembangannya, surat kabar berangkat sebagai alat propaganda politik, lalu menjadi perusahaan perseorangan yang disertai keterkenalan dan kebesaran nama penerbitnya, dan sekarang menjadi bisnis yang tidak segemerlap dulu lagi, bahkan dengan nama penerbit yang semakin tidak dikenal.
Perubahan ini memberikan dampak baru. Ketika iklan mulai menggantikan sirkulasi (penjualan langsung) sebagai sumber dana utama bagi sebuah surat kabar, maka minat para penerbit jadi lebih identik dengan minat para masyarakat bisnis. Ambisi persaingan untuk mendapatkan berita paling aeal tidaklah sebesar ketika peloporan. Walaupun begitu, perang sirkulasi masih terjadi pada tahun 1920-an, tetapi tujuan jangka panjang mereka adalah untuk mencapai perkembnagn penghasilan dari sektor iklan. Sebagai badan usaha, yang semakin banyak ditangani oleh para pengusaha, maka surat kabar semakin kehilangna pamornya seperti yang dimilikinya pada abad ke-19.
Namun, surat kabar kini mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih penting. Surat kabar yang mapan kini tidak lagi diperalat sebagai senjata perang politik yang saling menjatuhkan ataupun bisnis yang individualis, melainkan menjadi media berita yang semakin obyektif, yang lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pihak-pihak tertentu saja.
Kenaikan koran-koran ukuran tabloid di tahun 1920-an yang dimulai oleh ”The New York Daily News”, memberikan suatu dimensi baru terhadap jurnalisme. Akhirnya memang menjadi kegembiraan besar bagi kehidupan surat kabar, terutama dalam meliput berita-berita keras. Perubahan lain yang layak mendapat perhatian adalah timbulnya sindikasi. Berkat adanya sindikat-sindikat, maka koran-koran kecil bisa memanjakan pembacanya dengan materi editorial, informasi, dan hiburan. Sebab kalau tidak, koran-koran kecil itu tentu tidak dapat mengusahakan materi-materi tersebut, lantaran biaya untuk itu tidaklah sedikit. Sindikat adalah perusahaan yang berhubungan dengan pers yang memperjualbelikan bahan berita, tulisan atau bahan-bahan lainuntuk digunakan dalam penerbitan pers.
Di Indonesia
Surat kabar mulai terbit di Indonesia pada pertengahan abad 18 dan umumnya diterbitkan oleh orang-orang Belanda dan berbahasa Belanda pula namun seiring dengan perkembangan mulai banyak surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa Melayu namun kebanyakan masih beraksara Arab, Jawa atapun campuran dengan aksara Latin.
Yang dimaksud dengan surat kabar pertama di Indonesia ialah surat kabar dengan bahasa Melayu dan murni beraksara Latin dan memiliki redaksi orang Indonesia asli serta diterbitkan oleh orang Indonesia asli.
  • Zaman Belanda
Menurut catatan sejarah, penerbitan media cetak di Indonesia sudah dimulai
sejak penguasaan VOC (1619-1799), tepatnya tahun 1676. Awalnya hanya
kalangan penguasa dari Eropa - terutama Belanda dan Inggris -- yang
diizinkan menerbitkan media cetak. Namun, kaum Tionghoa dan kalangan
bumiputra (pribumi) akhirnya juga diizinkan mengelola media cetak sendiri.
Dr De Haan dalam buku "Oud Batavia" (G. Kolf Batavia 1923) mengungkap, tahun
1676 di Batavia sudah muncul sebuhh terbitan berkala bernama Kort Bericht
Eropa (berita singkat dari Eropa). Terbitan berkala yang memuat berbagai
berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan
Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676.
Setelah itu terbit Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744. Kala itu,
Bataviasche Nouvelles hanya memuat berita tentang acara resepsi pejabat,
pengumuman kedatangan kapal, stok barang dagangan, atau berita dukacita.
Media cetak yang berbentuk surat kabar baru muncul tahun 1800-an.
Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang
terbit di Batavia tahun 1810. Ketika armada Inggris menaklukkan Jawa, Thomas
Stamford Raffles - yang diangkat sebagai Gubenur Jenderal - juga sempat
menerbitkan koran mingguan bernama Java Government Gazette pada tahun 1812. Pada tahun 1825 muncul De Locomotief di Semarang
Pada tahun 1828, di jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita-berita resmo pemerintahan. Di surabaya (1835) terbit Soerabajasch Niew en Advertentiebland. Sedangkan di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan De Searangsche Courant.
Pers yang melayani masyarakat pribumi baru lahir tahun 1855 di Solo dengan
nama Bromomartani. Kemudian disusul Selompret Melajoe di Semarang tahun
1860. Pada era ini, di luar Jawa, juga lahir sejumlah surat kabar. Antara
lain Celebes Courant dan Makassar Handelsblad di Ujungpandang, Tjahja Siang
di Manado, Sumatra Courant dan Padangsch Handelsblad di Padang. Sementara di
Batavia juga lahir sejumlah koran. Yang paling popular adalah Bintang
Betawi. Hanya saja, koran-koran yang terbit pada masa awal sejarah pers
tersebut kebanyakan dikelola kaum kolonial.
Sampai akhir abad ke-19, koran atau terbitan berkala yang dicetak di Batavia
hanya memakai bahasa Belanda. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh
pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh
dikata kurang seru. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan,
dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di
Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.
Pers lokal baru bangkit awal 1900-an setelah kolonial Belanda mengizinkan
kaum Tionghoa mengelola media cetak. Ketika Tionghoa mulai menerbitkan surat
kabar, orang-orang bumiputra juga mulai belajar mengelola koran. Tahun 1900
Dr Wahidin Soedirohoesodo menangani surat kabar Retno Dhoemilah dalam dua
bahasa; Jawa dan Melayu. Melalui media ini Wahidin mulai mengkampanyekan
nasionalisme, pendidikan masyarakat, persamaam derajat dan budi pekerti.
Hanya saja, surat kabar Retno Dhoemilah ini juga didirikan oleh orang
Belanda, FL winter, dengan perusahaan penerbit milik kolonial H Bunning
Co.
Pada tahun 1901, Datuk Sutan Marajo bersama adiknya bernama Baharudin Sutan Rajo nan Gadang menerbitkan dan memimpin sendiri sebuah surat kabar yang diberinya nama Warta Berita yang merupakan surat kabar pertama di Indonesia yang berbahasa Indonesia (bahasa Melayu dengan huruf Latin) dimiliki dan redakturnya orang Indonesia.
  • Zaman Jepang
Ketika jepang datang, surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih secara pelan-pelan. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi suratkabar.
  • Zaman Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia pun melakukan perlawanan alam hal sabotase komunikasi. Surat Kabar Berita Indonesia yang diprakarsai oleh Eddie Soeraedi ikut melakukan propaganda agar rakyat berbondong-bondong pada rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta tanggal 19 September 1945.
  • Zaman Orde Lama
Setelah Presiden Soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1954 tanggal 5 Juli 1959, terdapat larangan kegiatan politik, termasuk pers. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh PKI yang pada saat itu menaruh perhatian pada pers.
  • Jaman Orde Baru
Sejalan dengan tampilnya orde baru, surat kabar yang tadinya dipaksakan untuk mempunyai gantolan, kembali mendapatkan kepribadiannya.
  • Zaman Reformasi
Berakhirnya Orde Baru mengalihkan kebebasan berekspresi melalu media atau kebebasan pers.

  • PERKEMBANGAN PERWAJAHAN (LAY OUT) SURAT KABAR
Sebelum surat kabar muncul, ada yang disebut newsletter. Newsletter dan gazette (lembaran negara) pada mulanya ditulis oleh sekelompok bankir atau trading company bagi kelompok klien yang membutuhkan informasi spesifik yang bisa menarik minat mereka. Dengan cara yang sama, satu dari salah satu penyedia servis paling awal, Reuteurs, dari Inggris, fokus kepada penyediaan berita keuangan dan ekonomi untuk semua klien privat.
Mesin fax telah muncul sebagai media “cetak” yang yang memungkinkan pesan bisa dikirim secara instan ke mesin fax dan computer lainnya yang dituju. Kehadiran mesin fax bisa membuka banyak topik, dari stok persediaan obat olahraga hingga pasar peralatan telekomunikasi di Asia. Gazette ini bisa dikirim harian, mingguan, bulanan, atau sewaktu-waktu.
Untuk sebagian tingkat, ini adalah sesuatu yang baru, lebih cepat, dan mungkin lebih murah dalam arti pengiriman newsletter, tetapi itu memungkinkan kesempatan terbuka untuk pendistribusian potongan-potongan yang lebih visual, format lebih kreatif, dan lebih sedikit teratur. Ini berarti newsletter bisa dikirimkan dari computer para pengirim ke daftar orang-orang yang ingin mereka kirimi.
Metode ini juga menawarkan kemungkinan baru pengiriman di tempat di seluruh situasi di mana telepon menawarkan akses yang lebih baik daripada moda transportasi kuno, dan di mana internet bahkan belum ditemukan.
Surat kabar pertama kali dikembangkan sebagai kertas-kertas berita yang luar biasa di Belanda, Britania Raya, dan Perancis untuk membawa berita mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar negeri, seperti Tiga Puluh Tahun Peperangan di Jerman (1618-1648).
Kertas-kertas berita ini, yang disebut corantos, secara besar-besaran tergantikan keberadaannya oleh laporan harian, atau diurnos, yang terfokus pada peristiwa-peristiwa lokal, seperti berita tentang raja dan parlemen antara tahun 1640 hingga 1650 di Britania Raya.
Karakteristik terpenting yang membedakan surat kabar dari buku dan majalah adalah pada pendeknya waktu yang dibutuhkan surat kabar untuk proses produksi dan distribusi. Kecepatan adalah esensi utama dalam pencarian berita, penerbitan, dan penyebaran berita.
Perwajahan media massa, sesuai dengan fungsi dan tujuan penerbitannya, bersifat aktual yang tetap menjawab aspirasi medianya (falsafah, konsepsi) dan karakter sasaran pembacanya.
Meskipun media massa mengemban fungsi : informasi, opini dan hiburan, bentuk sebuah media tertentu sangat beragam tergantung pada penitikberatan arahnya:
• Positioning, identitas yang menjadi ciri media tersebut.
• Sasaran pembaca yang dituju.
Hal tersebut kemudian akan menentukan gaya visual suatu media, tercermin melalui pilihan foto/gambar, headline, cara bertutur dan perwajahannya.
Dua hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan gaya visual/perwajahan media :
Ciri yang tetap dalam perwajahan, agar secara selintas dapat dikenali identitasnya (konstanta). Dalam ciri yang tetap ini dimungkinkan mencapai variasi untuk mengungkap aktualitas isinya, hingga selalu tampak baru (variabel).
Koran “masa hidupnya” lebih pendek dari majalah, hanya sehari. Karena itu koran lebih menekankan pada berita, sedang majalah pada wawasan dan feature. Dengan demikian wajah koran berusaha lebih berteriak baik melalui headline maupun foto, untuk merangsang pembelinya.
Padahal koran hanya terdiri dari 16 halaman (di Indonesia), dan satu halaman koran ditempati oleh berbagai berita, rubrik dan artikel. Yang dianggap penting diletakkan di bagian depan. Masalahnya, bagaimana mengatur teriakan di halaman depan agar tetap terasa prioritasnya tanpa mengurangi kepentingan berita yang lain, dan mengalirkan sisa berita dengan baik ke lembar berikutnya. Majalah lebih leluasa dalam mengatur, karena tiap muka dapat berdiri secara individual. Tiap artikel dapat dirancang secara menarik dan runtun.
Baik koran maupun majalah, menghadapi masalah : mengatur emosi pembaca selama membalik-balik halaman. mengatur irama adalah mengalirkan perasaan pembaca sampai halaman terakhir.
Pada koran, tekanan selalu diletakkan di halaman pertama, halaman tengah (spread) dan halaman terakhir, halaman lain perlu diatur agar kadar menariknya tetap sinambung.
Rubrikasi biasanya ditandai dengan penempatan yang tetap dan desain khusus kepala rubrik. Pada koran penempatan yang tetap sangat membantu pembaca, membina kebiasaan dalam menemukan rubrik favoritnya.
Headline dan subhead pun biasanya ditentukan dengan jenis huruf yang tetap, dan beberapa jenis lain untuk yang khusus. Pada koran, umumnya variant jenis hurufnya lebih sederhana, karena soal waktu dan tekanan kepentingan pada bunyi/verbal katanya. Pada kasus tataletak gaya “circus” memang hal ini relatif, karena keseragaman akan mengurangi keunikan. Yang penting adalah memilih jenis-jenis huruf dan aplikasi yang selaras.
Banner Headline adalah headline yang berukuran sangat besar. Pada koran, biasanya terletak di halaman muka, sedang pada majalah pada awal artikel yang diunggulkan.
Teaser biasanya digunakan dalam majalah pada muka yang hanya berisi bodytext, tanpa head dan foto. Teaser yang merupakan cuplikan dari artikel digunakan untuk menarik pembaca pada artikel tersebut.
Initial, huruf pertama sebuah alinea, saat ini digunakan tidak hanya pada awal artikel. Initial yang disebar pada sebuah artikel dapat mempunyai kesan bahwa artikel tak terlalu panjang/melelahkan untuk dibaca. Selain itu dari segi perwajahan dapat menghidupkan halaman.