Saturday, August 27, 2011

SILSILAH LELUHUR AL-AKHI AL MUKARRAM MUHAMMAD ZUBIR AMIR BIN AMIR ABDULLAH AL-KHALIDI JUM’ATUL JABIR SILSILAH LELUHUR AL-AKHI AL MUKARRAM MUHAMMAD ZUBIR AMIR BIN AMIR ABDULLAH AL-KHALIDI JUM’ATUL JABIR

rahmat berkata

SILSILAH LELUHUR AL-AKHI AL MUKARRAM MUHAMMAD ZUBIR AMIR BIN AMIR ABDULLAH AL-KHALIDI JUM’ATUL JABIR
SILSILAH LELUHUR AL-AKHI AL
MUKARRAM MUHAMMAD ZUBIR AMIR
BIN AMIR ABDULLAH AL-KHALIDI
JUM’ATUL JABIR
A. ANAK DAN ORANG TUA DALAM PANDANGAN AL- QUR’AN
Semua manusia yang terlahir ke alam dunia ini pasti mempunyai perantara, dia tidak mungkin lahir atau muncul secara tiba-tiba ke alam dunia ini, kecuali Nabi Adam as. Kedua orang tua (ayah dan ibu) adalah perantara seorang anak untuk hadir ke dunia ini. Untuk terjadinya seorang anak dalam kandungan seorang ibu diperlukan beberapa faktor, di antaranya seorang ibu harus mempunyai benih telur yang sehat dalam rahimnya. Kemudian tidak hanya itu, telur yang ada di rahim ibu itu juga harus dibuahi sperma dari seorang lelaki (ayah), kecuali Nabi Isa as. Secara umum semua manusia yang terlahir ke alam dunia ini dikarenakan terjadinya percampuran antara sel telur seorang ibu dan sperma dari seorang ayah. Setelah sperma membuahi sel telur maka terjadilah ‘alaqah (darah yang menempel dalam rahim) lalu berkembang menjadi segumpal daging, kemudian segumpal daging itu berubah menjadi tulang belulang setelah itu tulang belulang itupun dibungkus kembali dengan daging, kemudian jadilah la embrio seorang manusia yang siap terlahir ke dunia ketika sudah sampai pada masa yang ditentukan.
Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. al¬Mukminuun [23]: 14)
Demikianlah proses penciptaan jasad manusia yang diceritakan Allah dalam kitabNya, namun manusia tidak hanya tercipta dari unsur jasad (ragawi) yang berasal dari sari pati tanah vang menjadi sperma dan sel telur akan tetapi manusia mempunyai satu unsur lagi yaitu unsur rohani yang berasal dari Ruh Tuhan itu sendiri.
Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Q.S. as-Sajdah [32]: 9)
Sempurnalah la menjadi seorang manusia ketika ia mempunyai unsur jasad yang ia warisi dari orang tua genetiknya dan unsur ruh yang ditiupkan oleh Tuhan itu sendiri. Karena manusia makhluk Allah yang tercipta dari unsur jasad yang bersifat fisik dan nyata dan unsur ruh yang bersifat metafisik atau ghaib maka yang dikatakan sebagai orang tuanya pun tidak terbatas pada orang tua genetiknya saja. Akan tetapi di samping orang tua yang membentuk jasadnya dia juga mempunyai orang tua yang membentuk jiwanya (ideologinya), orang tua seperti ini penulis sebut dengan orang tua jiwa atau guru spiritual yang mengajarkan kepadanya tentang Tuhan (kebenaran sejati). Dalam tafsir fathul bayan juga disebutkan seorang nabi adalah ayah (orang tua) bagi umatnya.
Nabi juga bersabda dalam kumpulan hadis al-jaml’us soghir pasal alif halaman 103, artinya:
Sesungguhnya aku bagi kamu menempati kedudukan sebagai bapak.
Berdasarkan hadis tersebut jelaslah bagi kita bahwa nabi dikatakan sebagai orang tua bagi umatnya karena nabi adalah guru spiritual yang mengajarkan dan mengenalkan Tuhan kepada umatnya. Bahkan dalam ajaran Islam orang, genetik (jasad) dengan anak genetiknya tidak dapat saling memberi syafaat bila salah satu di antara keduanya ada yang kafir. Sebagai contoh Nabi Nuh as dia mempunyai anak genetik yang bernama Kan’an, tetapi Kan’an bukan termasuk orang yang beriman kepada Nuh sebagai Rosui Allah, maka betapa sayangnyapun Nuh kepada Ka’nan karena Kan’an anak biologisnya menurut pandangan Allah, Kan’an bukanlah termasuk anak Nabi Nuh as, karena anak-¬anak Nuh yang sesungguhnya adalah orang-orang yang mau beriman dan mengikuti ajaran Nuh meskipun bukan dari keturunan biologis Nabi Nuh as.
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Q.S. Mud [11]:45-46)
Kemudian mari kita lihat kembali kisah Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an. Ibrahim adalah anak seorang pembuat dan penvembah berhala, yang bernama Azar. Meskipun Ibrahim secara biologis (genetik) anak dari pembuat dan penyembah berhala akan tetapi Ibrahim tidak mewarisi ideologi (ajaran) bapaknya yang menyembah berhala akan tetapi justru Ibrahim bertolak belakang dengan bapaknya, dia malah menjadi hamba dan rosul Allah.
Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi. Ingatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, Sesungguhnya Telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah aku, niscaya Aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, Maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”. Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim? jika kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah Aku buat waktu yang lama”. Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, Aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya dia sangat baik kepadaku. Dan Aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan Aku akan berdoa kepada Tuhanku, Mudah-mudahan Aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”. Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya’qub. dan masing-masingnya kami angkat menjadi nabi.
Berdasarkan firman Allah yang penulis sampaikan di atas, jelaslah bagi kita orang tua yang sesungguhnya adalah yang mengajari dan membimbing kita ke jalan Tuhan, dan anak yang sesungguhnya adalah anak yang patuh dan mau mengikuti semua perintah bapaknya. Namun meskipun orang tua jasad (genetik) ada yang tidak mengenal Allah sehingga ia pun tidak bisa membimbing anaknya ke jalan Allah dan mungkin malah memerintahkan anaknya untuk menserikatkan Allah, sikap seorang muslim menurut al-Qur’an harus tetap sopan kepadanya tetapi tidak perlu mematuhinya.
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.
B. SILSILAH GURU SPIRITUAL AL-AKHI ALTWKARRAM MUHAMMAD ZUBIR AMIR BIN AMIR ABDULLAH AL-KHALIDIJUM’ATULJABIR YANG SAMPAI IMAM HASAN IBN ABI THOLIB.
Silsilah talqin dzikir yang diterima oleh Al-akhi AlMukarram Muhammad Zubir Amir Alkhalidi-Aljumu’atul Jabir anak dari Al-Akhi Al Mukarram Amir Abdullah Labuhan Deli dari pada Thariqat Al Khalwatiyah.
Mereka mengambil talqin dan ijazahnya dari pada:
1. AlFaqir Ilallaahu Ta’ala “arifin bin Muhammad `Isa, yang ia mengambil talqin dan ijazahnya daripada gurunya
2. Al’Alim –Al Alamah AlKhabar AlFahamah Asysyaikh Hasanuddin bin Asysyaikh Muhammad Ma’shum, dan ia mengambil talqin dan ijazah dari pada gurunya
3. Asysyaikh Ahmad Khathib bin ‘Abd AlLathif AlMinangkabawi, ia menerima yang demikian itu daripada gurunya
4. Asysyaikh Assaaiyyid Abi Bakar Syatha, la menerima dari pada
5. Asysyaikh Assaivyid Ahmad bin Zaini Addahlan Mufti Makkat AIMukarramah, dan la menerima dari pada
6. Asysyaikh AdDamyathi, la menerima dari pada
7. Asysyaikh Asysvinwani, la menerima dari pada
8. Asysyaikh Mahmud Alkurdi, la menerima daripada
9. Asysyaikh Muhammad Salam AlHafni, dan la menerima dari pada
10. Asysyaikh Musthafa AlBakri, dan la menerima dari pada
11. Asysyaikh ‘Abd AlLathif AlHalabi, dan la dari pada
12. Asysyaikh Mushthafa Afandi AlArduni, dan la dari pada
13. Asysyaikh ‘Ah Qurhu Basya, dan la dari pada
14. Asysyaikh Isma’il Aljurumi, dan la dari pada
15. Asysyaikh ‘Umar AlFuadi, dan ia dari pada
16. Asysyaikh Sya’ban AlQasthamuni, dan la dari pada
17. Asysyaikh Khairuddin AnNaqadi, dan la dari pada
18. Asysyaikh halabi shulthan Al-Aqdas yang telah masyhur
19. dengan Jamal AlKhuluti, dan la terima dari pada
20. Asysyaikh Muhammad Bahauddin Asysyirwani, dan ia dari pada
21. Asysyaikh Yahya AlBakuri, dan la dari pada
22. Asysyaikh Shuduruddin Aljayani, dan is dari pada
23. AlHajj ‘Izzuddin, dan ia dari pada
24. Asysyaikh adhi Muhammad AlKhuluti, dan la dari pada
25. Asysyaikh Ibrahim AzZahid AlKailani, dan la dari pada
26. Jamaluddin AtTabrizi, dan la dari pada
27. Syihabuddin Muhammad AsySyirazi, dan la dari pada
28. Rukunuddin Muhammad AnNajasi, dan la dari pada
29. Quthubuddin AlBahri, dan la dari pada
30. Abi anNajibAsSahrurdi, dan la dari pada
31. Asysyaikh ‘umar AlBak-ri, dan la dari pada
32. Mamsyaduddin AlDainyri, dan la dari pada
33. AIjunald AlBagdadi Penghulu Ahl AshShufi, dan Ll dari pada
34. Bisri AsSaqathi, dan la dari pada
35. Ma’ruf AlKarkhi, dan la dari padaDaud AthTha-I, dan la dari pada
36. Habib Al’Ajmi, dan la dari pada
37. Imam Hasan bin ‘All Karamallahu wajhah, dan la menerima talyn dan ijazah seperti yang dahulu itu dari pada
38. Amirul Mukminin Saiyyidina ‘ali bin abi Thalib radhiyallahu `anhu, dan is menerima akan dia dari pada
39. Penghulu sekalian mursalin Saiyyidina Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam, Beliau menerima dari
40. Ruh AlQuddus Malaikat Jibril `alaihis salam dan Beliau dari Allah `azza wa Jalla Rabb Al’Alamin.
C. SILSILAH GURU SPIRITUAL AL-AKHI ALMUKARRAM MUHAMMAD ZUBIR AMIR BIN AMIR ABDULLAH AL-JUM’ATULJABIR YANG SAMPAI KEPADA IMAN HUSEIN IBN ALI IBN ABI THOLIB
Silsilah talqin dzikir yang diterima oleh Al-akhi AlMukarram Muhammad zubir amir AlKhalidi Aljum’atul Jabir bin Al-akhi alMukarram Amir’Abdullah Labuhan Deli dari pada tharikat AsySyathariyah. Beliau mengambil talqin dan ijazahnya dari pada:
1. Tuan Guru AlMukarram AlFaqih Jamal Riva’i Quddu, Asysyathariyah Syahid, ia mengambil dari ayah kandungnya sendiri
2. Syaikh Saiyidina wa Habibina wa Barakatina Ashhabi Ratibi Quthub Abd AlHamid Jama’ Suarik Waliyullah quddusullah, ia mengambil dari
3. Syaikh Bagindo Tando Waliyullah Negri Pariaman Sumatera Barat, ia mengambil dari
4. Syaikh Angku Kiambang Waliyullah Negri Pariaman Sumatera Barat, ia mengambil dari
5. Syaikh Angku Razaq Waliyullah Negri Pariaman Sumatera Barat, ia mengambil dari
6. Syaikh Angku Ampalu Panjang Waliyullah Negri Pariaman Sumatera Barat, ia mengambil dari
7. Syaikh Angku Pondoh Waliyullah Negri Pariaman, Sumatera Barat, ia mengambil dari
8. Syaikh Burhanuddin Waliyullah Negri Ulakan Sumatra Barat, ia mengambil dari
9. Syaikh Abdur Rauf Waliyullah Negri aceh, ia mengambil dari
10. Arif billah Kamalul Mukammal Shafiyuddin Ahmad Ibnu Muhammad AlMadani Al-anshari AsySyahid AlQasvasyi, ia mengambil dari
11. Syaikh Quthub daerah Musyahadat ArRabbani Al-Mufradi fi Awanah Basalasi Abil Muhibbi Abdillah bin Ahmad Sanawi Thaballah Sirrahu, ia menambil dari
12. Shulthan Al’Arifin Saiyyidi Shibghatullah, ia mengambil dari
13. Qudut Al’Ulama Saiyyidina Wajihuddin Al-Alawi, ia mengambil dari
14. AlGauts Aljamami’ lil Jawami’ Sayyidina Muhammad AlGauts, ia mengambil dari
15. Sayyidina Qudut Al Muqari bin Syaikh Alhajj Huduri Thaba Sirrahu, ia mengambil dari
16. Sayyidina Syaikh Hiddayatullah Asar Masta, ia mengambil dari
17. Sayyidina Imam Qadi AsyAthari
18. Sayyidina Syaikh Abdillah AsyAthari, ia mengambil dari
19. Sayyidina Syaikh Asyaq, ia mengambil dari
20. Sayyidina Syaikh Muammad Asyaq, ia mengambil dari
21. Sayyidina Syaikh Hudhuli AlMauri AnNahri, ia mengambil dari
22. Qutub Abi AlHasan Al Harqani, la mengambil dari
23. Sayyidina Syaikh Abi AlMuzafar Maulana Tark AthThautsi, ia mengambil dari
24. Maulana Syaikh Al-Arabi Yazid AlAsyaq, ia mengambil dari
25. Maulana Syaikh Muhammad AlMaghribi, ia mengambil dari
26. Ruhaniyah Sulthan Al’Arifin Syaikh Abi Yazid AlBusthami, la mengambil dari
27. Maulana Ruhaniyah Imam jaffar Shadiq, ia mengambil dari
28. Maulana Imam Muhammad Baqir, ia mengambil dari
29. Maulana Sayyidina Imam Zainal ‘Abidin ibn AlHusain AsySyahid, la mengambil dari abah beliau
30. Maulana Ruhanivah ArRasul ibn Fatimah bind ArRasulullah Imam Husain AsySyahid, is mengambil dari abah beliau
31. Maulana Imam Masyriq wal Maghrib Babul ‘Ilm Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah, mengambil dan menerima dari
32. Thaniqat AsySyathari Sayyid AlKauni wa Jadd AlHusain Muhammad AlTMusthofa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau mengambil dan menerima dari
33. Ruh AlQuddus Malaikat Aljibrail ‘Alaihis Salam dan Beliau dari Allah ‘Azza wa Jalla Rabb Al’Alamin.
Berdasarkan dua silsilah tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa AL-AKHI ALMUKARRAM MUHAMMAD ZUBIR AMIR BIN AMIR ABDULLAH AL¬KHALIDI JUM’ATUL JABIR secara biologis (genetik) keturunan Imam Hasan dan dari faktor ruhani beliau adalah keturunan Imam Husen ibn All ibn Abi Thalib. Jadi imam Hasan dan Imam Husen ibn Ali ibn Abi Thalib bertemu (bersatu) dalam jiwa dan raga AL-AKHI ALMUKARRAM MUHAMMAD ZUBIR AMIR BIN AMIR ABDULLAH AL-KHALIDI JUM’ATUL JABIR, oleh sebab itu dia diben gelar JUM’ATUL JABIR.

Syeikh Abdurrauf As-Sinkili

Syeikh Abdurrauf As-Sinkili

Mursyid Profilic dari Sinkil. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf As Sinkili dikenal sebagai pembawa tarekat Syatariyah ke Indonesia. Ia seorang ulama profilic(produktif)dalam menghasilkan karya intelektual.
Konon sewaktu bencana tsunami di Aceh tahun 2004 ada sesuatu peritiwa di luar nalar. Orang-orang yang berkumpul di makam Syaikh Kuala luput dari amukan air bah yang dahsyat. Padahal letak makam tersebut berada di pinggir pantai. Tentu saja cerita ini menjadi buah bibir masyarakat kala itu. Bahkan ada yang mengkeramatkannya. Syeikh Kuala memang tokoh yang dihormati dan mempunyai pengaruh hingga sekarang.

Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islan international. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki asal Sinkel, Fansur Aceh Utara ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama universitas di Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia.
Kitabnya yang berjudul Umtad Al Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syeikh Kuala membangun jaringan intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga dataran Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu “lahir’ saja tetapi juga ilmu”batin”. Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai.
Patut disayangkan catatan tentang kehidupannya sangat minim. Kalaupun ada hanya sejarah lesan saja dan sedikit komentar dalam karya-karyanya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa Syeikh Kuala lahir di Singkel pada tahun 1035 H. Nama kampungnya ini kemudian melekat pada dirinya. Nama aslinya Abdurauf. Dalam dunia ulama Melayu atau Jawi namanya disebut sangat panjang yaitu Syeikh Abdurauf al Jawi Al Fansuri as Sinkili. Biografi ulama yang satu ini hanya bisa dilihat sekilas saja. Itupun hanya sepotong tulisan dalam berbagai kitabnya. Riwayatnya sebatas bagaimana ia belajar dengan beberapa guru. Tidak secara spesifik menyebutkan tentang biografinya.
Ayahnya menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di Dayan (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.
Setelah tamat kemudian meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.
Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultan Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf pulang kampung. Ia kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnyapun berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya yang paling terkenal adalah Syikh Burhanuddin Ulakan Sumatera Barat dan Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat.
Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak peutus Merehum, syarak bak Syikeh di Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan. Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama moden Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Mursyid Syatariyah
Sebagai ulama tasawuf, Syeikh Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir semua ordo tarekat Syatariyah di Nusantara silsilahnya berujung padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.
Dalam bertasawuf Abdurauf menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wu jud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna pada Insan Kamil.
Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik. Di akhir buku dicantumkan tentang sedikit riwayat hidupnya. Syeikh Abdurauf wafat pada tahun 1643 dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh. Hinnga kemudian makamnya dikenal dengan makam Syeikh Kuala.

As-Syaikh Abdur Rauf As-Sinkili

As-Syaikh Abdur Rauf As-Sinkili


Abdul Rauf bin Ali dilahirkan di Singkel, Aceh Selatan pada tahun 1620. Beliau lalu sering disebut dengan nama Abdul Rauf Ali al-Fansuri atau Abdul Rauf Singkel atau Abdul Rauf al-Sinkili. Beliau juga digelar dengan "Tengku Syiah Kuala". Gelaran ini popular di kalangan masyarakat setempat. Pada awalnya, gelarannya disebut "Tengku Syeikh di Kuala" kerana keilmuannya dalam bidang agama. Tetapi masyarakat memudah sebutan gelaran itu kepada Syekh Kuala dan seterusnya berubah pengucapan menjadi "Syiah Kuala". Gelar Syiah Kuala yang diberikan kepada Abdul Rauf Al-Sinkili tidak ada kaitan langsung dengan aliran atau faham Syiah yang pengikutnya berkembang di Iran dan Iraq.
Beliau mengajar dan mendirikan madrasah di Kuala Aceh sekembalinya dari berguru di Makkah, Madinah dan Jeddah. Syeikh Abdul Rauf mendapat pendidikan awal dalam lingkungan dayah (sejenis pesantren) yang diasuh oleh ayahandanya, Syeikh Ali. Kemudian ia belajar kepada beberapa ulama di daerah Fansur, Aceh. Beberapa tahun kemudian, beliau berguru dengan seorang tokoh ulama Aceh yang cukup terkenal di zamannya, iaitu Syeikh Syamsuddin Al Sumatra-i di Banda Aceh. Syeikh Abdul Rauf Al-Sinkili lalu merantau ke Tanah Arab pada tahun 1642 dan belajar selama 19 tahun dengan 27 ulama yang ahli dalam berbagai disiplin Ilmu Islam. Beliau merantau hampir ke seluruh Tanah Arab seperti Doha, Yaman, Jeddah, Makkah dan Madinah untuk menimba ilmu. Pengetahuannya mencakupi dalam bidang syariat, fiqh, hadith, ilmu kalam dan tasawuf. Dengan ilmunya yang meluas, beliau dikatakan pernah juga mengajar di Makkah & Madinah, terutama bagi murid-murid yang berasal dari Nusantara. Sekembaliya ke Aceh, beliau bermukim di Kuala sebuah tempat yang jaraknya 15 km dari Banda Aceh. Di tempat ini Syeikh Abdul Rauf Al-Sinkili membuka madrasah dan menjadi tenaga pengajar utama di sana. Banyak murid datang berguru kepadanya, termasuk dari daerah yang cukup jauh. Antara mereka ialah seperti yang dicatat oleh almarhum Ustaz Haji Wan Mohd Saghir,
Baba Daud bin Agha Ismail bin Agha Mustata al-Jawi ar-Rumi. Beliau ini dikatakan berasal daripada keturunan ulama Rom yang berpindah ke Turki, keturunannya pindah pula ke Aceh sehingga menjadi ulama yang tersebut ini. Keturunan beliau pula ada yang berpindah ke Pattani, sehingga menurunkan ulama terkenal iaitu Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani. Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani ini setelah berkhidmat di Mekah dikirim oleh saudara sepupu dan gurunya Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani ke Kota Bharu, Kelantan untuk memimpin Matba’ah al-Miriyah al-Kainah al-Kalantaniyah. Lalu beliau berpindah ke Kota Bharu, Kelantan, dan dikenali orang dengan gelaran ‘Tok Daud Katib’. Ada pun moyangnya iaitu Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi inilah yang menyempurnakan karya gurunya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang berjudul Turjumanul al-Mutafid atau yang lebih terkenal dengan Tafsir al-Baidhawi Melayu, iaitu terjemah dan tafsir al-Quran 30 juzuk yang pertama dalam bahasa Melayu. Naskhah asli tulisan tangan Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi itu dimiliki oleh keturunannya Tok Daud Katib, lalu naskhah itu diserahkan kepada guru dan saudara sepupunya Syeikh Ahmad al-Fathani. Dari naskhah yang asli itulah diproses oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani dan Syeikh Idris bin Husein Kelantan sehingga terjadi cetakan pertama di Turki, di Mekah dan Mesir pada peringkat awal. Nama ketiga-tiga ulama itu yang dinyatakan sebagai Mushahhih (Pentashhih) pada setiap cetakan tafsir itu kekal diletakkan di halaman terakhir pada semua cetakan tafsir itu.
Syeikh Burhanuddin Ulakan. Beliau dipercayai orang yang pertama menyebar Islam di Minangkabau (Sumatera Barat) melalui kaedah pengajaran Tarekat Syathariyah.
Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Beliau adalah anak murid Syeikh Abdur Rauf yang dianggap orang pertama membawa Tarekat Syathariyah ke Jawa Barat dan selanjutnya berkembang hingga ke seluruh tanah Jawa.
Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi yang berasal dari tanah Bugis. Ada riwayat menyebut bahawa beliau adalah murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Ini berdasarkan kepada salasilah tarekat syatariyah yang menyebut Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi menerima Tarekat Syathariyah daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu. Memang diakui bahawa Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi ialah orang pertama menyebarkan Tarekat Syathariyah di Tanah Bugis atau seluruh Sulawesi Selatan. Berdasarkan manuskrip Mukhtashar Tashnif Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fanshuri oleh Syeikh Abdur Rauf bin Makhalid Khali-fah al-Qadiri al-Bantani ada catatan menyatakan bahawa Syeikh Yusuf al-Mankatsi adalah cucu murid kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Catatan tersebut berbunyi, “... kerana kata ini daripada Syeikh Yusuf (al-Mankatsi/al-Maqasari) turun daripada Syeikh Muhyuddin Karang (Pamijahan), turun daripada Syeikh Abdur Rauf al-Asyi”.
Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Terengganu atau lebih popular dengan gelar Tok Pulau Manis yang mengarang berbagai-bagai kitab di antaranya Syarah Hikam dan Kitab Kifayah.’[1]
Sebagai seorang sufi, beliau turut mengajar wirid dan zikir Syattariyyah. Beliau mengembangkan tariqah ini sampai ianya tersebar dari Aceh ke seluruh Sumatera dan Jawa sampai sekarang. Beliau banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan sebahagian kecil dalam bahasa Melayu. KItab-kitabnya yang berjaya ditemui setakat ini ialah seperti;
Bidang fiqh: Mir’at al-Tullâb fi Taysîr al-Ahkâm al-Syar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb (Cermin para Penuntut ilmu, untuk memudahkan Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan, bahasa Melayu). Bayân al-Arkân (Penjelasan Rukun-rukun, Bahasa Melayu), Bidâyat al-Balîghah (Permulaan yang Sempurna, Bahasa Melayu), Majmû’ al-Masâ’il (Kumpulan Masalah, Bahasa Melayu), Fatîhah Syaikh ‘Abd al-Rauf (Kaedah Bacaan Fatihah Syaikh Abd al-Rauf, Bahasa Melayu), Tanbîh al-‘Amil fî Tahqîq al-Kalâm al-Nawâfil (Peringatan bagi Orang yang Mentahqiqkan Kalam Sembahyang Sunat, Bahasa Melayu), Sebuah Huraian mengenai Niat Sembahyang (Bahasa Melayu), Wasiyyah (tentang Wasiat-Wasiat Abd al-Rauf kepada Muridnya, Bahasa Melayu), Do’a yang Dianjurkan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf Kuala Aceh (Bahasa Melayu) dan, Sakaratul Maut (Tentang Hal-hal yang Dialami Manusia Menjelang Ajalnya, Bahasa Melayu)[2]
Bidang Tasawuf: Tanbîh al-Mâsyî al-Mansub ila Tarîq al-Qusyâsyî (Pedoman bagi orang yang Menempuh Tarekat al-Qusyasyi, Bahasa Melayu), ‘Umdat al-Muhtajîn ila Suluk Maslak al-Mufradîn (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf, Bahasa Melayu), Sullâm al-Mustafidîn (Tanggapan Setiap orang yang Mencari Faidah, Bahasa Melayu), Piagam tentang Dzikir (Bahasa Melayu), Kifâyah al-Muhtajîn ila Masyârab al-Muwahhidîn al-Qâ’ilîn bi Wahdat al-Wujûd (Bekal bagi Orang yang Memerlukan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdat al-Wujûd, Bahasa Melayu), Bayân Aqmad al-Masâ’il wa al-Sifat al-Wâjibah li Rabb al-Ard wa al-Samâwât (Penjelasan tentang Masalah-masalah Tersembunyi dan Sifat-sifat Wajib bagi Tuhan Penguasa Langit dan Bumi, Bahasa Melayu), Bayân Tajallî (Penjelasan Tajalli, Bahasa Melayu), Daqâ’iq al-Huruf (Kedalaman Makna Huruf, Bahasa Melayu), Risâlah Adab Murid akan Syaikh (Bahasa Arab dan Melayu), Munyah al-I’tiqâd (Cita-cita Keyakinan, Bahasa Melayu), Bayân al-Itlâq (Penjelasan Makna Istilah Itlâq, Bahasa Melayu), Risâlah A’yân al-Tsâbitah (Penjelasan tentang A’yan Tsabitah, Bahasa Melayu), Risalah Jalan Ma’rifatullah (Karangan tentang Jalan Menuju Makrifat Kepada Allah, Bahasa Melayu), Risâlah Mukhtasarah fi Bayân Syurut al-Syaikh wa al-Murîd (Karangan Ringkas tentang Syarat-syarat Guru dan Murid, Bahasa Melayu), Faidah yang tersebut di dalamnya Kaifiyah Mengucap Dzikir Lâ Ilâha illa Allâh (bahasa Melayu), Syair Ma’rifah (Bahasa Melayu), Otak Ilmu tasawuf (Bahasa Melayu), ‘Umdah al-Ansâb (Pohon Segala Nasab, Bahasa Melayu), Idah al-Bayân fi Tahqîq Masâ’il al-Adyân (Penjelasan dalam Menyatakan Masalah-masalah Agama, Bahasa Melayu), Ta’yid al-Bayan Hasyiyah Idah al-Bayân (Penegasan Penjelasan; Catatan atas Kitab Idah al-Bayan, Bahasa Melayu), Lubb al-Kasyf wa al-Bayân li Ma Yarahu al- Muhtadar bi al-‘Iyân (Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa yang Dilihat Secara Terang-Terangan, Bahasa Arab dan Melayu. Risalah Simpan (Membahas Aspek-Aspek Sembahyang secara Mistis, Bahasa Melayu), dan Syattâriyyah (tentang Ajaran dan Tata Cara Dzikir Tarikat Syattariyah, Bahasa Melayu)[3]
Bidang Tafsir: Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawiy, yang merupakan Tafsir Pertama di dunia Islam dalam Bahasa Melayu,
Bidang Hadis: Al-Arba’in Haditsan li al-Imam al-Nawawiyah (Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, Bahasa Melayu), Al-Mawaidz al-Badî’ah (Petua-petua Berharga, Bahasa Melayu)[4]
Sebahagian dari karya yang disebut diatas sangat terkenal di Alam Melayu seperti:
Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî''rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-WahhabKarya ini ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin. Kitab ini dipercayai ditulis pada tahun 1663 yakni setahun selepas beliau kembali ke Nusantara. Kitab ini dipandang sebagai pelopor dalam penulisan fiqh muamalat di nusantara kerana pembahasannya yang cukup luas di bidang ini, yang meliputi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan (ibadah).
Tarjuman al-Mustafid
Kitab ini merupakan naskah pertama tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-NawawiKitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
Mawa'iz al-Badî;Kitab ini berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak. Dizaman pemerintahan Sultan Iskandar Shah, Sultan yang memerintah Perak dari tahun 1918 ke 1938, kitab ini telah diterbit semula. Kitab ini telah diterbit dibawah seliaan Wan Abdul Jalil bin Wan Hasan – Orang Kaya Temenggung Paduka Raja, Perak. Tarikh ia diterbitkan semula ialah pada 10 Mei 1936.


Kitab Mawa'izd al-Badi'ah yang diterbit smeula oleh Jahabersa dan ditransliterasi ke Rumi. Kitab ini digabungkan dengan kitab Muhimmah yang ditulis oleh Syeikh Abdullah bin Abdul Rahim al-Fathani


Tanbih al-Masyi
Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil WujudKitab ini memuatkan penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
Daqâiq al-HurfKitab ini memuatkan pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
‘Umdat al-Muhtajîn ila Suluk Maslak al-MufradînKitab ini berisi amalan-amalan yang perlu ditempuhi oleh seorang sufi. Syeikh Abdul Rauf membahagi kitab ini kepada beberapa fasal. Setelah muqaddimah, fasal pertama yang dibahas ialah tentang kewajiban mukallaf untuk mengetahui sifat wajib, mustahil dan jaiz Allah dan sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Rasul. Fasal kedua membahas tentang adab dan tata cara zikir. Fasal ketiga membicarakan tentang hadith Rasulullah yang berkaitan dengan keutamaan lâ ilâha illâ Allâh; Fasal keempat membahas tentang faedah zikir lâ ilâha illâ Allâh dengan mendalam; fasal kelima berisi penjaelasan tentang talqin guru pada murid dengan lâ ilâha illâ Allâh serta tata cara bai’ah dan talqin; Fasal keenam membahas tentang solat-solat sunnah dan wirid yang harus diamal oleh seorang salik, dan fasal ketujuh membahas tentang sifat-sifat pengikut tarekat dan penjelasan Rasul tentang sifat-sifat mukmin. Syeikh Abdul Rauf turut membahas tentang guru-gurunya, tarekat yang telah ditekuninya, serta murid-murid yang telah belajar padanya sebelum mengakhiri isi kitab tersebut.
Bayan Tajalli
Kitab ini pernah dicetak dibawah label Tabbia’ bi Matba’ah Darr Ikhyak al-Mutub al-Arabiyah pada tahun 1925


Ketika Syeikh Abdul Rauf al-Sinkili kembali ke Aceh, Sultanah Safiatuddin Tajul Alam sedang memerintah di Kesultanan Darussalam Aceh (berkuasa dari tahun 1662 – 1675). Dengan pengetahuannya yang meluas dalam bidang agama, Sultanah telah mengangkatnya menjadi Mufti yang bertanggung jawab memberi nasihat di dalam bidang agama, sosial, dan kebudayaan. Beliau juga bertanggung jawab menyusun kembali Aceh yang hancur akibat perang dengan Portugis di Melaka pada tahun 1629. Menurut perhitungan para sarjana, Syeikh Abdul Rauf Al-Sinkili meninggal dunia pada tahun 1693, ketika berusia 73 tahun. Jasad ulama besar kebanggaan nusantara itu dimakamkan berdekatan masjid Al-Waqib (masjid yang dibangunnya sendiri) di Kuala, tepatnya di desa Deyah Raya Kecamatan Kuala yang terletak sekitar 15 km dari Banda Aceh.
Guru-gurunya
Di Timur Tengah, dikatakan bahawa beliau telah memulakan pengajian di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir. Ketika di Yaman, Syeikh Abdul Rauf belajar di sebuah kota bernama Bayt al-Faqih dengan keluarga Ja'man. Beberapa anggota keluarga ini terkenal sebagai ahli sufi dan ulama terkemuka seperti Ibrahim Muhammad Ja'man dan Faqih al-Thayyib Abi al-Qasim Ja'man. Sebahagian ulama Ja'man adalah juga murid-murid dari Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani yang telah menyarankan kepada beliau agar mencari kedua-dua guru ini untuk menimba ilmu sapabila tiba di Madinah kelak. Guru paling berpengaruh terhadap pemahaman keagamaan Syeikh Abdul Rauf adalah Ibrahim Abdullah Ja'man yang merupakan seorang muhaddith dan faqih. Gurunya ini dikatakan seorang pemberi fatwa yang produktif. Beliau turut mempelajari ilmu hadith dengan Ishaq Muhammad Ja'man yang juga terkenal sebagai muhaddith dan faqih di Bayt al-Faqih. Di Zabid, Syeikh Abdul Rauf menadah kitab kepada Abd Al-Rahim al-Shiddiq Al-Khash, Amin Al-Shiddiq al-Mizjaji dan Abd Allag Muhammad Al-Adani. Sejumlah ulama Yaman seperti Abd Fatah Al-Khash, Sayyid al-Thahit Al-Maqassari, Qadhi Muhammad Abi Bakr Muthayr dan Ahmad Abu Al-Abbas al-Muthayr turut berhubungan dengan Syeikh Abdul Rauf tentang hal-hal ilmiah. Ketika berada di Jeddah, beliau belajar dengan mufti Abd Al-Qadir Al-Bharkali. Selanjutnya di Makkah, Syeikh Abdul Rauf belajar dengan Badr Al-Din al-Luhuri dan Abd Allah Al-Luhuri. Gurunya yang terpenting di Makkah adalah Ali Abd Al-Qadir. Ulama-ulama terkemuka di Makkah yang turut dikunjunginya ialah seperti Isa al-Maghribi, Abd Al-Aziz Al-Zamzani, Taj Al-din Ibn Ya'qub, Ala' Al-Din Al-Babili, Zayn Al-Abidin Al-Thabari, Ali Jamal Al-Makki dan Abd Allah Sa'id Ba Qasyir al-Makki. Madinah adalah destinasi ilmu terakhir Syeikh Abdul Rauf. Di kota tersebut, beliau belajar dengan dua orang ulama terkemuka, Ahmad Al-Qusyasyi dan khalifahnya Ibrahim al-Kurani. Dari Al-Qusyasyi, beliau mendalami ilmu-ilmu dalam (ilm al bathin) yakni tasawuf dan ilmu terkait lainnya. Dari gurunya itu, Syeikh Abdul Rauf beroleh ijazah dan ditunjuk sebagai khalifah Syathariyyah dan Qadiriyyah. Ini sekaligus menandai selesainya pelajaran dalam jalan mistis. Ibrahim Al-Kurani pula banyak menanamkan pendidikan secara intelektual yang berkaitan dnegan akhlak dan ilmiah Islam kepada Syeikh Abdul Rauf. Kedua ulama tersebut menjadi sentral dalam pencarian pengetahuan keagamaan dan kerohanian Syeikh Abdul Rauf. Bahkan tidak berlebihan jika al-Qusyasyi dianggap sebagai guru spiritual dan mistis sementara Al-Kurani menjadi guru intelektualnya.
Mengharmonikan tasawuf dengan bidang lain
Kitab Mawa'iz al-Badî' karangan Syeikh Abdul Rauf dianggap satu percubaan beliau untuk memadukan faham tasawuf dengan faham ortodoks. Syeikh Abdul Rauf berusaha menyerapkan inti ajaran tasawuf khususnya bab akhlak kedalam amalan harian masyarakat. Mawa'iz al-Badî' termasuk dalam kelompok kitab yang diperuntukkan untuk masyarakat umum. Muatan-muatan yang tersaji di dalamnya lebih banyak menekankan nasihat-nasihat penting bagi setiap Muslim seperti berusaha memiliki keyakinan, penghayatan, dan pengamalan agama dengan benar dan kaffah. Sekalipun ditujukan kepada masyarakat awam, namun kandungan Mawa'iz al-Badî' dipandang cukup penting kerana pemahaman isi kandungan didalamnya adalah berkisar mengikut perspektif tasawuf. Intipati isi kandungannya ialah seperti berikut;
(1) ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan ciptaan
(2) neraka dan syurga; dan
(3) cara-cara yang layak bagi kaum muslim untuk mendapatkan redha Tuhan.
Dalam kitab ini, Syeikh Abdul Rauf Al-Sinkili secara khusus menekankan perlunya bagi setiap Muslim menyeimbangkan antara pengetahuan ('ilm) dan perbuatan baik ('amal) kerana pengetahuan saja tidak akan membuat seseorang menjadi muslim lebih baik. Muslim yang baik harus melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Tentang pengajaran yang ada didalam Mawa'iz al-Badî', ia berkisar pada tiga tujuan yang utama, iaitu; (1) kebencian terhadap segala bentuk dosa atau yang mendorong perbuatan dosa; (2) kesucian jiwa dari segala sifat dan perilaku tercela (akhlak mazmumah); dan (3) kedekatan kepada Allah SWT. Dari tiga tujuan ini Mawa'iz al-Badî' memaparkan sejumlah doktrin keislaman yang pada dasarnya bersifat spritual.
Selain Mawa’iz al-Badi’, kitab Mir’at at-Tullab juga merupakan usaha Syeikh Abdul Rauf memadukan tasawuf dengan bidang syariat. Ia merupakan kitab fiqh mu’amalat pertama yang berusaha menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu, bahwa doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja, tapi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Meskipun kini tidak lagi digunakan, di masa lampau karya ini beredar luas, bahkan pada pertengahan abad ke-19, menjadi salah satu acuan utama hukum Islam di Maquidanao, Filipina. Sumber utama karya ini adalah Fath al-Wahhab karya Zakariyya Al-Anshari. Syeikh Abdul Rauf juga turut merujuk dari Fath al-Jawab dan Tuhfat al-Muhtaj, keduanya karya Ibn Hajar Al-Haytsami (w. 973 H/1565 M), Nihayat al-Muhtaj karya Syams Al-Din Al-Ramli; Tafsir al-Baydhawi karya Ibn Umar Al-Baydhawi (w. 685H/1286 M); dan Syarh Shahih Muslim karya Al-Nawawi (w.676 H/1277 M).
Walaupun Syeikh Abdul Rauf dikenali di Alam Melayu sebagai sufi besar namun karya-karyanya didalam bidang sufi ditulisnya dengan berhati-hati. Beliau sangat berhati-hati dalam menghuraikan sesuatu isi kandungan tasawuf khususnya yang mempunyai tema yang halus dan mendalam kerana dikhuatiri akan menimbulkan kekeliruan dikalangan orang awam. Tambahan pula beliau memegang jawatan Qadhi Malik Al-‘Adil dalam kerajaan dimana sebarang tutur kata, tulisan dan perbuatannya menjadi ikutan masyarakat. Karya-karyanya seperti Tanbih al-Masyi dan Daqa’iq al-Huruf, ditulis dengan berhati-hati. Contoh sikap berhati-hati Syeikh Abdul Rauf boleh dilihat menerusi karyanya, Syair Ma’rifah ketika menjelaskan makna Man ‘Arafa Nafsahu Fa qad ‘Arafa Rabbahu (barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya), sebagai berikut:
“Jika tuan menuntut ilmu,
ketahui dahulu keadaanmu,
Man ‘arafa nafsahu kenal dirimu,
Fa-qad ‘arafa Rabbahu kenal Tuhanmu.
Kenal dirimu muhadas semata,
Kenal Tuhanmu kadim Zat-Nya,
Tiada bersamaan itu keduanya,
Tiada semisal seumpamanya”
Syeikh Abdul Rauf jelas memisahkan sifat kekekalan (kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kemakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain secara mutlak.[5] Ini bagi mengelakkan salah tanggap atau kekeliruan kepada si pembaca kerana tema pembahasannya yang sangat halus dan mendalam.
Tafsir al-Quran
Syeikh Abdul Rauf dipercayai orang Melayu pertama yang menulis tafsir al-Quran dengan lengkap dalam Bahasa Melayu. Karyanya itu Tarjumân al-Mustafîd, sangat popular di Alam Melayu dan dikatakan beredar luas di wilayah Melayu-Nusantara sehinggalah ke hari ini. Kitab ini juga dikatakan turut diedarkan di Afrika Selatan.[6] Kitab tafsir ini dicetak dimerata-rata tempat seperti Singapura, India, Pulau Pinang, Jakarta dan Timur Tengah. Kali terakhir, karya tafsir ini diterbitkan ialah di Jakarta pada tahun 1981. Tentang isi kandungannya, ianya adalah merupakan terjemahan sebahagian besar dari Tafsir Jalalayn. Ini berdasarkan kepada kajian yang dilakukan oleh Peter Riddell dan Salman Harun, penyelidik dari Australia dan IAIN Jakarta yang mendapati bahawa Tarjumân al-Mustafîd adalah merupakan terjemahan dari Tafsîr Jalâlayn, kecuali pada bahagian-bahagian tertentu yang dirujuk dari Tafsîr al-Baydlâwî dan al-Khazin. Tafsir Jalâlayn ditulis oleh dua orang ulama terkemuka, Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w. 864/1459) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûtî yang menjadi salah satu rujukan penting karya-karya para ulama Nusantara.



Tafsir Baidhawi yang diterbit oleh Pustaka Nasional pada tahun 1980-an





[1] Wan Mohd Saghir Wan Abdullah. 2007. Syeikh Abdul Rauf Fansuri pentafsir al-Quran pertama dalam bahasa Melayu. Utusan Malaysia. Terbit pada 3 September 2007
[2] Oman Fathurrahman. 1999. Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Mizan. Bandung. Hlm 29

[3] Oman Fathurrahman. 1999. Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Mizan. Bandung. Hlm 29
[4] Azyumardi Azra. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Mizan. Bandung. Hlm 205

[5] Oman Fathurahman. Abdurrauf Singkel: Ulama Santun dari Serambi Mekkah dalam B. Kristanto (ed.). 2000. Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, hlm 457-469
[6] Mazlan Ibrahim, Ahmad Kamel Mohamad. 2004. Israiliyyat dalam kitab Tafsir Anwar Baidhawi. Jurnal Islamiyyat 26 (2). Universiti Kebangsaan Malaysia.

Syeikh Abdurrauf As-Sinkili

Syeikh Abdurrauf As-Sinkili

Mursyid Profilic dari Sinkil
Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf As Sinkili dikenal sebagai pembawa tarekat Syatariyah ke Indonesia. Ia seorang ulama profilic(produktif)dalam menghasilkan karya intelektual.
Konon sewaktu bencana tsunami di Aceh tahun 2004 ada sesuatu peritiwa di luar nalar. Orang-orang yang berkumpul di makam Syaikh Kuala luput dari amukan air bah yang dahsyat. Padahal letak makam tersebut berada di pinggir pantai. Tentu saja cerita ini menjadi buah bibir masyarakat kala itu. Bahkan ada yang mengkeramatkannya. Syeikh Kuala memang tokoh yang dihormati dan mempunyai pengaruh hingga sekarang.
Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islan international. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki asal Sinkel, Fansur Aceh Utara  ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama universitas di Banda Aceh.

Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia.  
Kitabnya yang berjudul Umtad Al Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syeikh Kuala membangun  jaringan intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden  hingga dataran Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu “lahir’ saja tetapi juga ilmu”batin”. Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai.  
Patut disayangkan catatan tentang kehidupannya sangat minim. Kalaupun ada hanya sejarah lesan saja dan sedikit komentar dalam karya-karyanya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa Syeikh Kuala lahir di Singkel pada tahun 1035 H. Nama kampungnya ini kemudian melekat pada dirinya. Nama aslinya  Abdurauf. Dalam dunia ulama Melayu atau Jawi namanya disebut sangat panjang yaitu Syeikh Abdurauf  al Jawi Al Fansuri as Sinkili. Biografi ulama yang satu ini hanya bisa dilihat sekilas saja. Itupun hanya sepotong tulisan dalam berbagai kitabnya. Riwayatnya sebatas bagaimana ia belajar dengan beberapa guru. Tidak secara spesifik menyebutkan tentang biografinya.
Ayahnya menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di Dayan (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan  ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.
Setelah tamat  kemudian meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.
Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultan Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya  menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf pulang kampung. Ia kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnyapun berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya yang paling terkenal adalah Syikh Burhanuddin Ulakan Sumatera Barat dan  Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat.
Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak peutus Merehum, syarak bak Syikeh di Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan. Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama moden Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi:  “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Mursyid SyatariyahSebagai ulama tasawuf, Syeikh Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir semua  ordo tarekat Syatariyah di  Nusantara silsilahnya berujung padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.
Dalam bertasawuf Abdurauf menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wu jud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna pada Insan Kamil.
Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik. Di akhir buku dicantumkan tentang sedikit riwayat hidupnya. Syeikh Abdurauf wafat pada tahun 1643 dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh. Hinnga kemudian makamnya dikenal dengan makam Syeikh Kuala.

Sufi Road : Berziarah ke Makam Syeh Kuala

Sufi Road : Berziarah ke Makam Syeh Kuala


Sebuah makam tua di salah satu pantai di kota Banda Aceh. 20 Menit perjalanan kearah Gempong daya melewati reruntuhan saksi dahsyatnya tsunami beberapa tahun silam, ditepi pantai, dan tidak berubah posisi batu nisan walau dilewati air tinggi tsunami.. banyak kesaksian masyarakan mengatakan makam ini naik keatas pd saat itu.

Beliau adalah Syeh Abdurrauf Bin Ali Alfanshuri / Syiah Kuala, (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili[1]. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam. Disebut Syekh Kuala karena Syekh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wa­fatnya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh.Beliau mengajar dan mendirikan madrasah di Kuala Aceh sekembalinya dari berguru di Makkah, Madinah dan Jeddah. Syeikh Abdul Rauf mendapat pendidikan awal dalam lingkungan dayah (sejenis pesantren) yang diasuh oleh ayahandanya, Syeikh Ali. Kemudian ia belajar kepada beberapa ulama di daerah Fansur, Aceh. Beberapa tahun kemudian, beliau berguru dengan seorang tokoh ulama Aceh yang cukup terkenal di zamannya, iaitu Syeikh Syamsuddin Al Sumatra-i di Banda Aceh. Syeikh Abdul Rauf Al-Sinkili lalu merantau ke Tanah Arab pada tahun 1642 dan belajar selama 19 tahun dengan 27 ulama yang ahli dalam berbagai disiplin Ilmu Islam. Beliau merantau hampir ke seluruh Tanah Arab seperti Doha, Yaman, Jeddah, Makkah dan Madinah untuk menimba ilmu. Pengetahuannya mencakupi dalam bidang syariat, fiqh, hadith, ilmu kalam dan tasawuf. Dengan ilmunya yang meluas, beliau dikatakan pernah juga mengajar di Makkah & Madinah, terutama bagi murid-murid yang berasal dari Nusantara


Sekembaliya ke Aceh, beliau bermukim di Kuala sebuah tempat yang jaraknya 15 km dari Banda Aceh. Di tempat ini Syeikh Abdul Rauf Al-Sinkili membuka madrasah dan menjadi tenaga pengajar utama di sana. Banyak murid datang berguru kepadanya, termasuk dari daerah yang cukup jauh. Antara mereka ialah seperti yang dicatat oleh almarhum Ustaz Haji Wan Mohd Saghir,
Baba Daud bin Agha Ismail bin Agha Mustata al-Jawi ar-Rumi. Beliau ini dikatakan berasal daripada keturunan ulama Rom yang berpindah ke Turki, keturunannya pindah pula ke Aceh sehingga menjadi ulama yang tersebut ini. Keturunan beliau pula ada yang berpindah ke Pattani, sehingga menurunkan ulama terkenal iaitu Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani. Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani ini setelah berkhidmat di Mekah dikirim oleh saudara sepupu dan gurunya Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani ke Kota Bharu, Kelantan untuk memimpin Matba’ah al-Miriyah al-Kainah al-Kalantaniyah. Lalu beliau berpindah ke Kota Bharu, Kelantan, dan dikenali orang dengan gelaran ‘Tok Daud Katib’. Ada pun moyangnya iaitu Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi inilah yang menyempurnakan karya gurunya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang berjudul Turjumanul al-Mutafid atau yang lebih terkenal dengan Tafsir al-Baidhawi Melayu, iaitu terjemah dan tafsir al-Quran 30 juzuk yang pertama dalam bahasa Melayu. Naskhah asli tulisan tangan Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi itu dimiliki oleh keturunannya Tok Daud Katib, lalu naskhah itu diserahkan kepada guru dan saudara sepupunya Syeikh Ahmad al-Fathani. Dari naskhah yang asli itulah diproses oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani dan Syeikh Idris bin Husein Kelantan sehingga terjadi cetakan pertama di Turki, di Mekah dan Mesir pada peringkat awal. Nama ketiga-tiga ulama itu yang dinyatakan sebagai Mushahhih (Pentashhih) pada setiap cetakan tafsir itu kekal diletakkan di halaman terakhir pada semua cetakan tafsir itu.

Syeikh Burhanuddin Ulakan. Beliau dipercayai orang yang pertama menyebar Islam di Minangkabau (Sumatera Barat) melalui kaedah pengajaran Tarekat Syathariyah.
Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Beliau adalah anak murid Syeikh Abdur Rauf yang dianggap orang pertama membawa Tarekat Syathariyah ke Jawa Barat dan selanjutnya berkembang hingga ke seluruh tanah Jawa.

Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi yang berasal dari tanah Bugis. Ada riwayat menyebut bahawa beliau adalah murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Ini berdasarkan kepada salasilah tarekat syatariyah yang menyebut Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi menerima Tarekat Syathariyah daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu. Memang diakui bahawa Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi ialah orang pertama menyebarkan Tarekat Syathariyah di Tanah Bugis atau seluruh Sulawesi Selatan. Berdasarkan manuskrip Mukhtashar Tashnif Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fanshuri oleh Syeikh Abdur Rauf bin Makhalid Khali-fah al-Qadiri al-Bantani ada catatan menyatakan bahawa Syeikh Yusuf al-Mankatsi adalah cucu murid kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Catatan tersebut berbunyi, “... kerana kata ini daripada Syeikh Yusuf (al-Mankatsi/al-Maqasari) turun daripada Syeikh Muhyuddin Karang (Pamijahan), turun daripada Syeikh Abdur Rauf al-Asyi”.
Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Terengganu atau lebih popular dengan gelar Tok Pulau Manis yang mengarang berbagai-bagai kitab di antaranya Syarah Hikam dan Kitab Kifayah.’[1]
Sebagai seorang sufi, beliau turut mengajar wirid dan zikir Syattariyyah. Beliau mengembangkan tariqah ini sampai ianya tersebar dari Aceh ke seluruh Sumatera dan Jawa sampai sekarang. Beliau banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan sebahagian kecil dalam bahasa Melayu. KItab-kitabnya yang berjaya ditemui setakat ini ialah seperti;

Bidang fiqh:
Mir’at al-Tullâb fi Taysîr al-Ahkâm al-Syar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb (Cermin para Penuntut ilmu, untuk memudahkan Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan, bahasa Melayu). Bayân al-Arkân (Penjelasan Rukun-rukun, Bahasa Melayu), Bidâyat al-Balîghah (Permulaan yang Sempurna, Bahasa Melayu), Majmû’ al-Masâ’il (Kumpulan Masalah, Bahasa Melayu), Fatîhah Syaikh ‘Abd al-Rauf (Kaedah Bacaan Fatihah Syaikh Abd al-Rauf, Bahasa Melayu), Tanbîh al-‘Amil fî Tahqîq al-Kalâm al-Nawâfil (Peringatan bagi Orang yang Mentahqiqkan Kalam Sembahyang Sunat, Bahasa Melayu), Sebuah Huraian mengenai Niat Sembahyang (Bahasa Melayu), Wasiyyah (tentang Wasiat-Wasiat Abd al-Rauf kepada Muridnya, Bahasa Melayu), Do’a yang Dianjurkan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf Kuala Aceh (Bahasa Melayu) dan, Sakaratul Maut (Tentang Hal-hal yang Dialami Manusia Menjelang Ajalnya, Bahasa Melayu)[2]

Bidang Tasawuf: Tanbîh al-Mâsyî al-Mansub ila Tarîq al-Qusyâsyî (Pedoman bagi orang yang Menempuh Tarekat al-Qusyasyi, Bahasa Melayu), ‘Umdat al-Muhtajîn ila Suluk Maslak al-Mufradîn (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf, Bahasa Melayu), Sullâm al-Mustafidîn (Tanggapan Setiap orang yang Mencari Faidah, Bahasa Melayu), Piagam tentang Dzikir (Bahasa Melayu), Kifâyah al-Muhtajîn ila Masyârab al-Muwahhidîn al-Qâ’ilîn bi Wahdat al-Wujûd (Bekal bagi Orang yang Memerlukan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdat al-Wujûd, Bahasa Melayu), Bayân Aqmad al-Masâ’il wa al-Sifat al-Wâjibah li Rabb al-Ard wa al-Samâwât (Penjelasan tentang Masalah-masalah Tersembunyi dan Sifat-sifat Wajib bagi Tuhan Penguasa Langit dan Bumi, Bahasa Melayu), Bayân Tajallî (Penjelasan Tajalli, Bahasa Melayu), Daqâ’iq al-Huruf (Kedalaman Makna Huruf, Bahasa Melayu), Risâlah Adab Murid akan Syaikh (Bahasa Arab dan Melayu), Munyah al-I’tiqâd (Cita-cita Keyakinan, Bahasa Melayu), Bayân al-Itlâq (Penjelasan Makna Istilah Itlâq, Bahasa Melayu), Risâlah A’yân al-Tsâbitah (Penjelasan tentang A’yan Tsabitah, Bahasa Melayu), Risalah Jalan Ma’rifatullah (Karangan tentang Jalan Menuju Makrifat Kepada Allah, Bahasa Melayu), Risâlah Mukhtasarah fi Bayân Syurut al-Syaikh wa al-Murîd (Karangan Ringkas tentang Syarat-syarat Guru dan Murid, Bahasa Melayu), Faidah yang tersebut di dalamnya Kaifiyah Mengucap Dzikir Lâ Ilâha illa Allâh (bahasa Melayu), Syair Ma’rifah (Bahasa Melayu), Otak Ilmu tasawuf (Bahasa Melayu), ‘Umdah al-Ansâb (Pohon Segala Nasab, Bahasa Melayu), Idah al-Bayân fi Tahqîq Masâ’il al-Adyân (Penjelasan dalam Menyatakan Masalah-masalah Agama, Bahasa Melayu), Ta’yid al-Bayan Hasyiyah Idah al-Bayân (Penegasan Penjelasan; Catatan atas Kitab Idah al-Bayan, Bahasa Melayu), Lubb al-Kasyf wa al-Bayân li Ma Yarahu al- Muhtadar bi al-‘Iyân (Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa yang Dilihat Secara Terang-Terangan, Bahasa Arab dan Melayu. Risalah Simpan (Membahas Aspek-Aspek Sembahyang secara Mistis, Bahasa Melayu), dan Syattâriyyah (tentang Ajaran dan Tata Cara Dzikir Tarikat Syattariyah, Bahasa Melayu)[3]
Bidang Tafsir: Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawiy, yang merupakan Tafsir Pertama di dunia Islam dalam Bahasa Melayu,

Bidang Hadis: Al-Arba’in Haditsan li al-Imam al-Nawawiyah (Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, Bahasa Melayu), Al-Mawaidz al-Badî’ah (Petua-petua Berharga, Bahasa Melayu)[4]

Sebahagian dari karya yang disebut diatas sangat terkenal di Alam Melayu seperti:
Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî''rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab
Karya ini ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin. Kitab ini dipercayai ditulis pada tahun 1663 yakni setahun selepas beliau kembali ke Nusantara. Kitab ini dipandang sebagai pelopor dalam penulisan fiqh muamalat di nusantara kerana pembahasannya yang cukup luas di bidang ini, yang meliputi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan (ibadah).

Tarjuman al-Mustafid
Kitab ini merupakan naskah pertama tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi
Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.

Mawa'iz al-Badî;
Kitab ini berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak. Dizaman pemerintahan Sultan Iskandar Shah, Sultan yang memerintah Perak dari tahun 1918 ke 1938, kitab ini telah diterbit semula. Kitab ini telah diterbit dibawah seliaan Wan Abdul Jalil bin Wan Hasan – Orang Kaya Temenggung Paduka Raja, Perak. Tarikh ia diterbitkan semula ialah pada 10 Mei 1936.

Kitab Mawa'izd al-Badi'ah yang diterbit smeula oleh Jahabersa dan ditransliterasi ke Rumi. Kitab ini digabungkan dengan kitab Muhimmah yang ditulis oleh Syeikh Abdullah bin Abdul Rahim al-Fathani

Tanbih al-Masyi
Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud
Kitab ini memuatkan penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.

Daqâiq al-Hurf
Kitab ini memuatkan pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
‘Umdat al-Muhtajîn ila Suluk Maslak al-Mufradîn
Kitab ini berisi amalan-amalan yang perlu ditempuhi oleh seorang sufi. Syeikh Abdul Rauf membahagi kitab ini kepada beberapa fasal. Setelah muqaddimah, fasal pertama yang dibahas ialah tentang kewajiban mukallaf untuk mengetahui sifat wajib, mustahil dan jaiz Allah dan sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Rasul. Fasal kedua membahas tentang adab dan tata cara zikir. Fasal ketiga membicarakan tentang hadith Rasulullah yang berkaitan dengan keutamaan lâ ilâha illâ Allâh; Fasal keempat membahas tentang faedah zikir lâ ilâha illâ Allâh dengan mendalam; fasal kelima berisi penjaelasan tentang talqin guru pada murid dengan lâ ilâha illâ Allâh serta tata cara bai’ah dan talqin; Fasal keenam membahas tentang solat-solat sunnah dan wirid yang harus diamal oleh seorang salik, dan fasal ketujuh membahas tentang sifat-sifat pengikut tarekat dan penjelasan Rasul tentang sifat-sifat mukmin. Syeikh Abdul Rauf turut membahas tentang guru-gurunya, tarekat yang telah ditekuninya, serta murid-murid yang telah belajar padanya sebelum mengakhiri isi kitab tersebut.

Bayan Tajalli
Kitab ini pernah dicetak dibawah label Tabbia’ bi Matba’ah Darr Ikhyak al-Mutub al-Arabiyah pada tahun 1925

Ketika Syeikh Abdul Rauf al-Sinkili kembali ke Aceh, Sultanah Safiatuddin Tajul Alam sedang memerintah di Kesultanan Darussalam Aceh (berkuasa dari tahun 1662 – 1675). Dengan pengetahuannya yang meluas dalam bidang agama, Sultanah telah mengangkatnya menjadi Mufti yang bertanggung jawab memberi nasihat di dalam bidang agama, sosial, dan kebudayaan. Beliau juga bertanggung jawab menyusun kembali Aceh yang hancur akibat perang dengan Portugis di Melaka pada tahun 1629. Menurut perhitungan para sarjana, Syeikh Abdul Rauf Al-Sinkili meninggal dunia pada tahun 1693, ketika berusia 73 tahun. Jasad ulama besar kebanggaan nusantara itu dimakamkan berdekatan masjid Al-Waqib (masjid yang dibangunnya sendiri) di Kuala, tepatnya di desa Deyah Raya Kecamatan Kuala yang terletak sekitar 15 km dari Banda Aceh.

Guru-gurunya
Di Timur Tengah, dikatakan bahawa beliau telah memulakan pengajian di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir. Ketika di Yaman, Syeikh Abdul Rauf belajar di sebuah kota bernama Bayt al-Faqih dengan keluarga Ja'man. Beberapa anggota keluarga ini terkenal sebagai ahli sufi dan ulama terkemuka seperti Ibrahim Muhammad Ja'man dan Faqih al-Thayyib Abi al-Qasim Ja'man. Sebahagian ulama Ja'man adalah juga murid-murid dari Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani yang telah menyarankan kepada beliau agar mencari kedua-dua guru ini untuk menimba ilmu sapabila tiba di Madinah kelak. Guru paling berpengaruh terhadap pemahaman keagamaan Syeikh Abdul Rauf adalah Ibrahim Abdullah Ja'man yang merupakan seorang muhaddith dan faqih. Gurunya ini dikatakan seorang pemberi fatwa yang produktif. Beliau turut mempelajari ilmu hadith dengan Ishaq Muhammad Ja'man yang juga terkenal sebagai muhaddith dan faqih di Bayt al-Faqih. Di Zabid, Syeikh Abdul Rauf menadah kitab kepada Abd Al-Rahim al-Shiddiq Al-Khash, Amin Al-Shiddiq al-Mizjaji dan Abd Allag Muhammad Al-Adani. Sejumlah ulama Yaman seperti Abd Fatah Al-Khash, Sayyid al-Thahit Al-Maqassari, Qadhi Muhammad Abi Bakr Muthayr dan Ahmad Abu Al-Abbas al-Muthayr turut berhubungan dengan Syeikh Abdul Rauf tentang hal-hal ilmiah. Ketika berada di Jeddah, beliau belajar dengan mufti Abd Al-Qadir Al-Bharkali. Selanjutnya di Makkah, Syeikh Abdul Rauf belajar dengan Badr Al-Din al-Luhuri dan Abd Allah Al-Luhuri. Gurunya yang terpenting di Makkah adalah Ali Abd Al-Qadir. Ulama-ulama terkemuka di Makkah yang turut dikunjunginya ialah seperti Isa al-Maghribi, Abd Al-Aziz Al-Zamzani, Taj Al-din Ibn Ya'qub, Ala' Al-Din Al-Babili, Zayn Al-Abidin Al-Thabari, Ali Jamal Al-Makki dan Abd Allah Sa'id Ba Qasyir al-Makki. Madinah adalah destinasi ilmu terakhir Syeikh Abdul Rauf. Di kota tersebut, beliau belajar dengan dua orang ulama terkemuka, Ahmad Al-Qusyasyi dan khalifahnya Ibrahim al-Kurani. Dari Al-Qusyasyi, beliau mendalami ilmu-ilmu dalam (ilm al bathin) yakni tasawuf dan ilmu terkait lainnya. Dari gurunya itu, Syeikh Abdul Rauf beroleh ijazah dan ditunjuk sebagai khalifah Syathariyyah dan Qadiriyyah. Ini sekaligus menandai selesainya pelajaran dalam jalan mistis. Ibrahim Al-Kurani pula banyak menanamkan pendidikan secara intelektual yang berkaitan dnegan akhlak dan ilmiah Islam kepada Syeikh Abdul Rauf. Kedua ulama tersebut menjadi sentral dalam pencarian pengetahuan keagamaan dan kerohanian Syeikh Abdul Rauf. Bahkan tidak berlebihan jika al-Qusyasyi dianggap sebagai guru spiritual dan mistis sementara Al-Kurani menjadi guru intelektualnya.

Mengharmonikan tasawuf dengan bidang lain
Kitab Mawa'iz al-Badî' karangan Syeikh Abdul Rauf dianggap satu percubaan beliau untuk memadukan faham tasawuf dengan faham ortodoks. Syeikh Abdul Rauf berusaha menyerapkan inti ajaran tasawuf khususnya bab akhlak kedalam amalan harian masyarakat. Mawa'iz al-Badî' termasuk dalam kelompok kitab yang diperuntukkan untuk masyarakat umum. Muatan-muatan yang tersaji di dalamnya lebih banyak menekankan nasihat-nasihat penting bagi setiap Muslim seperti berusaha memiliki keyakinan, penghayatan, dan pengamalan agama dengan benar dan kaffah. Sekalipun ditujukan kepada masyarakat awam, namun kandungan Mawa'iz al-Badî' dipandang cukup penting kerana pemahaman isi kandungan didalamnya adalah berkisar mengikut perspektif tasawuf. Intipati isi kandungannya ialah seperti berikut;
(1) ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan ciptaan
(2) neraka dan syurga; dan
(3) cara-cara yang layak bagi kaum muslim untuk mendapatkan redha Tuhan.

Dalam kitab ini, Syeikh Abdul Rauf Al-Sinkili secara khusus menekankan perlunya bagi setiap Muslim menyeimbangkan antara pengetahuan ('ilm) dan perbuatan baik ('amal) kerana pengetahuan saja tidak akan membuat seseorang menjadi muslim lebih baik. Muslim yang baik harus melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
Tentang pengajaran yang ada didalam Mawa'iz al-Badî', ia berkisar pada tiga tujuan yang utama, iaitu;
(1) kebencian terhadap segala bentuk dosa atau yang mendorong perbuatan dosa;
(2) kesucian jiwa dari segala sifat dan perilaku tercela (akhlak mazmumah); dan
(3) kedekatan kepada Allah SWT. Dari tiga tujuan ini Mawa'iz al-Badî' memaparkan sejumlah doktrin keislaman yang pada dasarnya bersifat spritual.

Selain Mawa’iz al-Badi’, kitab Mir’at at-Tullab juga merupakan usaha Syeikh Abdul Rauf memadukan tasawuf dengan bidang syariat. Ia merupakan kitab fiqh mu’amalat pertama yang berusaha menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu, bahwa doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja, tapi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Meskipun kini tidak lagi digunakan, di masa lampau karya ini beredar luas, bahkan pada pertengahan abad ke-19, menjadi salah satu acuan utama hukum Islam di Maquidanao, Filipina. Sumber utama karya ini adalah Fath al-Wahhab karya Zakariyya Al-Anshari. Syeikh Abdul Rauf juga turut merujuk dari Fath al-Jawab dan Tuhfat al-Muhtaj, keduanya karya Ibn Hajar Al-Haytsami (w. 973 H/1565 M), Nihayat al-Muhtaj karya Syams Al-Din Al-Ramli; Tafsir al-Baydhawi karya Ibn Umar Al-Baydhawi (w. 685H/1286 M); dan Syarh Shahih Muslim karya Al-Nawawi (w.676 H/1277 M).

Walaupun Syeikh Abdul Rauf dikenali di Alam Melayu sebagai sufi besar namun karya-karyanya didalam bidang sufi ditulisnya dengan berhati-hati. Beliau sangat berhati-hati dalam menghuraikan sesuatu isi kandungan tasawuf khususnya yang mempunyai tema yang halus dan mendalam kerana dikhuatiri akan menimbulkan kekeliruan dikalangan orang awam. Tambahan pula beliau memegang jawatan Qadhi Malik Al-‘Adil dalam kerajaan dimana sebarang tutur kata, tulisan dan perbuatannya menjadi ikutan masyarakat. Karya-karyanya seperti Tanbih al-Masyi dan Daqa’iq al-Huruf, ditulis dengan berhati-hati.

Contoh sikap berhati-hati Syeikh Abdul Rauf boleh dilihat menerusi karyanya, Syair Ma’rifah ketika menjelaskan makna Man ‘Arafa Nafsahu Fa qad ‘Arafa Rabbahu (barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya), sebagai berikut:

“Jika tuan menuntut ilmu,
ketahui dahulu keadaanmu,
Man ‘arafa nafsahu kenal dirimu,
Fa-qad ‘arafa Rabbahu kenal Tuhanmu.
Kenal dirimu muhadas semata,
Kenal Tuhanmu kadim Zat-Nya,
Tiada bersamaan itu keduanya,
Tiada semisal seumpamanya”

Syeikh Abdul Rauf jelas memisahkan sifat kekekalan (kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kemakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain secara mutlak.[5] Ini bagi mengelakkan salah tanggap atau kekeliruan kepada si pembaca kerana tema pembahasannya yang sangat halus dan mendalam.

Sebagai penyair, Syeikh Abdurrauf memperlihatkan kepiawaiannya menulis puisi “Syair Ma’rifat”. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun 1859. Syair Ma’rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma’rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi.

Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah.
Jikalau diibarat sebiji kelapa
kulit dan isi tiada serupa
janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa
sebiji kelapa ibarat sama
lafaznya empat suatu ma’ana
di situlah banyak orang terlena
sebab pendapat kurang sempurna
kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat

(Syair Ma’rifat: Perpustakaan Universiti, Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember 1992).

Tingkat ma’rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat, dan hakekat, dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma’rifat, menurut Abdurrauf, orang harus lebih da­hulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas.

Tentunya ada suasana mistik di sana. Suasana mistik itu akan lebih terasa bila membaca barisan lain dari “Syair Ma’rifat”.
Airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila
ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi

Tafsir al-Quran
Syeikh Abdul Rauf dipercayai orang Melayu pertama yang menulis tafsir al-Quran dengan lengkap dalam Bahasa Melayu. Karyanya itu Tarjumân al-Mustafîd, sangat popular di Alam Melayu dan dikatakan beredar luas di wilayah Melayu-Nusantara sehinggalah ke hari ini. Kitab ini juga dikatakan turut diedarkan di Afrika Selatan.[6] Kitab tafsir ini dicetak dimerata-rata tempat seperti Singapura, India, Pulau Pinang, Jakarta dan Timur Tengah. Kali terakhir, karya tafsir ini diterbitkan ialah di Jakarta pada tahun 1981. Tentang isi kandungannya, ianya adalah merupakan terjemahan sebahagian besar dari Tafsir Jalalayn. Ini berdasarkan kepada kajian yang dilakukan oleh Peter Riddell dan Salman Harun, penyelidik dari Australia dan IAIN Jakarta yang mendapati bahawa Tarjumân al-Mustafîd adalah merupakan terjemahan dari Tafsîr Jalâlayn, kecuali pada bahagian-bahagian tertentu yang dirujuk dari Tafsîr al-Baydlâwî dan al-Khazin. Tafsir Jalâlayn ditulis oleh dua orang ulama terkemuka, Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w. 864/1459) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûtî yang menjadi salah satu rujukan penting karya-karya para ulama Nusantara.

Tafsir Baidhawi yang diterbit oleh Pustaka Nasional pada tahun 1980-an

[1] Wan Mohd Saghir Wan Abdullah. 2007. Syeikh Abdul Rauf Fansuri pentafsir al-Quran pertama dalam bahasa Melayu. Utusan Malaysia. Terbit pada 3 September 2007
[2] Oman Fathurrahman. 1999. Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Mizan. Bandung. Hlm 29
[3] Oman Fathurrahman. 1999. Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Mizan. Bandung. Hlm 29
[4] Azyumardi Azra. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Mizan. Bandung. Hlm 205
[5] Oman Fathurahman. Abdurrauf Singkel: Ulama Santun dari Serambi Mekkah dalam B. Kristanto (ed.). 2000. Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, hlm 457-469
[6] Mazlan Ibrahim, Ahmad Kamel Mohamad. 2004. Israiliyyat dalam kitab Tafsir Anwar Baidhawi. Jurnal Islamiyyat 26 (2). Universiti Kebangsaan Malaysia.
sumber : TRAH KRT. HASAN MIDARYO