Sunday, September 18, 2011

Masalah Sanitasi Perkotaan Duh, Warga Ibu Kota pun Antre Air Bersih

Senin, 5 September 2011
Warga antre air bersih
Warga antre air bersih
JAKARTA - Puluhan kaum ibu, remaja putra hingga anak-anak berjejer di samping sebuah mobil tangki warna putih bertuliskan Palyja. Mereka antre sejak pagi sambil membawa ember, jeriken, galon, dan wadah-wadah lainnya untuk mendapatkan jatah air bersih, akibat pasokan dari PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) terhenti.

Sebagian warga lainnya terpaksa membeli air bersih di kios-kios penjualan air isi ulang untuk kebutuhan sehari-hari sepertti minum, masak, mencuci, mandi, dan sebagainya. Pemandangan seperti itu ternyata ada di Ibu Kota, bukan di daerah tandus seperti di Gunungkidul yang memang rawan air bersih karena kerap dilanda kekeringan. 

Ya, Jakarta mendadak krisis air bersih. Kondisi sulit mendapatkan air bersih ini diakibatkan jebolnya tanggul Buaran, Jakarta Timur, sepanjang 10 meter pada 31 Agustus 2011. Dampak dari gangguan ini sekira 60-65 persen atau lebih dari 250.000 pelanggan Palyja tidak dapat menerima suplai air bersih. Bahkan Istana Kepresidenan pun kena imbas krisis air. Sejumlah kamar mandi di dalam kompleks Istana kosong, termasuk di ruang wartawan. Tak ayal, pihak rumah tangga Istana meminta pasokan air kepada Palyja agar memasok air bersih melalui mobil tangki.

Tidak adanya suplai air bersih ini membuat berang warga. Marcel (29), warga Cipinang Pulo Maja RT III, Jakarta Timur, misalnya. Dia kesal karena tidak ada tindakan cepat dari PT Aetra selaku pemasok air bersih ke wilayahnya. “Bagaimana, kalau begini terus. Kalau mandi bisa ditahan, tapi kalau untuk buang air kan repot,” ujar Marcel kepada okezone. Keluhan-keluhan terkait tersendatnya pasokan air juga banyak dilontarkan sejumlah pembaca okezone. Mereka protes, karena PT Palyja dan Aetra lebih mementingkan suplai air ke Istana.

Air memang kebutuhan yang paling banyak berpengaruh bagi kehidupan mahluk hidup. Tidak tersedianya kebutuhan air bersih berdampak luas, tak hanya membuat warga kesulitan untuk minum, memasak, mandi, mencuci, dan lainnya. Namun ada ancaman yang lebih serius, yakni menyebarnya penyakit akibat sanitasi buruk.

Akibat tidak ada air, tentunya banyak toilet dan closet di fasilitas umum yang tidak disiram. Kotoran manusia dan limbah rumah tangga berserakan di mana-mana, lalu dihinggapi lalat yang berterbangan akan menyebarkan penyakit. Masyarakat pun terancam wabah penyakit diare akibat ketidaktersediaan air bersih di tempat-tempat umum.

Kenapa Jakarta yang notabene etalasenya Indonesia di mata dunia harus mengalami krisis air bersih? Peristiwa ini membuktikan Jakarta memang rawan krisis air bersih. Hanya gara-gara tanggul jebol, warga harus antre dan membeli air di distributor air isi ulang. Hal itu tidak akan terjadi jika sumur-sumur warga layak dikonsumsi sehingga tidak tergantung pada air pam.

Paljaya mengaku kelimpungan menyuplai air bersih saat peristiwa darurat seperti tanggul jebol ini adalah buruknya kualitas sungai-sungai yang ada di Jakarta, akibat tercemar limbah. Terlebih Paljaya tidak memiliki cadangan air bersih.

Corporate Communications Head PT Palyja Meyritha Maryanie mengungkapkan, ada 13 sungai di Jakarta. Sayangnya, sudah tidak bisa diolah menjadi air baku karena sudah tercemar. Jika air sungai itu bisa digunakan, maka krisis air bersih seperti kasus jebolnya tanggul di Kalimalang bisa diantisipasi. "Sungai-sungai yang ada di Jakarta sudah tidak bisa diolah, karena pencemarannya sudah sangat tinggi," ungkap Meyritha saat dihubungi okezone. 

Data dari Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia menyebutkan, 80-90 persen air tanah dangkal di Jakarta sudah tercemar bakteri pencernaan atau E-Coli. "Seluruh sungai yakni 13 sungai di Jakarta tercemar bakteri E-Coli, baik tercemar berat maupun sedang,” ungkap Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Program Pascasarjana UI Setyo Sarwanto Moersidik dalam sebuah diskusi, beberapa waktu lalu.

Hasil penelitian Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menemukan pencemaran masuk dalam kategori sangat tinggi dan melampui ambang batas pada sungai-sungai di Jakarta. Berdasarkan hasil pantauan BPLHD DKI Jakarta, pada periode Maret hingga Mei 2010 persentase status mutu air sungai yang masih baik adalah 0 persen, sedangkan yang tercemar ringan 7-9 persen, tercemar sedang 10-20 persen, selebihnya tercemar berat sekitar 71-82 persen.

Bahkan khusus untuk Kali Ciliwung, dari sembilan titik pantau terdapat rentang status mutu mulai dari tercemar ringan hingga tercemar berat. Kali Ciliwung yang melintasi 76 kelurahan dan 20 kecamatan di Jakarta ini terdapat sedikitnya 108 titik pembuangan sampah ilegal. Akibat limbah dari 13 aliran sungai itu menjadikan wilayah Kepulauan Seribu sebagai muara berbagai sampah-sampah tersebut.

Sanitasi di perkotaan adalah masalah serius yang harus ditangani secara tepat dan komprehensif. Namun masih banyak pihak yang belum menganggap penting pembangunan sanitasi. Seolah-olah sanitasi ini tidak akan memberikan pengaruh signifikan dalam pembangunan. Padahal, dalam berbagai studi, peningkatan pembangunan sanitasi berdampak sangat signifikan bagi masyarakat.

Justru luar biasa kerugiaan yang diakibatkan buruknya sanitasi. Perilaku mencemari lingkungan baik tanah maupun air ini akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Berdasarkan hitungan Bank Dunia, Indonesia kehilangan Rp58 triliun per tahun akibat sanitasi buruk. Adapun studi WHO tentang Water Supply and Sanitation pada 2008 menempatkan Indonesia di posisi ke-9 dari 11 negara di kawasan Asia Tenggara.

Laporan Economic Impact of Sanitation in Indonesia menyebutkan, sanitasi buruk menjadi penyumbang bagi meningkatnya penyakit diare, di mana anak-anak menjadi korban terbanyak, bahkan lebih banyak dari masalah gizi buruk pada balita. Sanitasi yang buruk juga menyebabkan Indonesia mengalami sedikitnya 120 juta kasus penyakit dan 50.000 kematian dini tiap tahun.

Sementara itu Indonesia membutuhkan biaya pemulihan pencemaran air mencapai Rp13,3 triliun per tahun, hampir sama dengan APBN bidang sanitasi yang dialokasikan untuk lima tahun. Tapi sebaliknya, efek luar biasa dari peningkatan kualitas sanitasi pada kesehatan, pendidikan, dan produktifitas. WHO memperkirakan bahwa kondisi dan perilaku sanitasi yang baik dan perbaikan kualitas air minum dapat menurunkan kasus diare sampai 94 persen.

Pada Sidang Umum PBB yang dilakukan akhir Juli 2010, Indonesia menjadi salah satu dari 122 negara yang menetapkan sanitasi sebagai hak asasi manusia. Indonesia juga termasuk ke dalam 189 negara pendukung Deklarasi Milenium yang menetapkan sanitasi sebagai sasaran MDG's 2015. Dalam hal ini, Indonesia menargetkan peningkatkan proporsi rumah tangga terhadap akses sanitasi yang berkelanjutan menjadi 62,41 persen pada 2015.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan, sumber air tawar terus berkurang karena pencemaran hasil dari pembuangan kotoran domestik, limbah industri, limbah padat, dan aliran dari limbah pertanian ke sungai dan danau.

Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran terhadap sumber air, pemerintah melakukan upaya-upaya melalui Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) yang ditargetkan pada 330 ibu kota kabupaten/kota selama 2010-2014. Hingga saat ini telah selesai disusun 41 Strategi Sanitasi Kota (SSK). Untuk daerah perdesaan dilakukan upaya peningkatan perilaku higienis dan peningkatan akses sanitasi dasar atau jamban keluarga melalui kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). "Dalam tahun 2011 telah dilaksanakan di 2510 desa yang memberi akses kepada 2,9 juta jiwa dan tahun 2011 direncanakan di 5.500 desa," imbuh Tjandra.

Sebab itu, kata dia, tema yang diangkat dalam peringatan Hari Air Sedunia (World Water Day 2011) pada 22 Maret lalu adalah Water for Cities, Responding to The Urban Challenge, diterjemahkan menjadi Tema Nasional Air Perkotaan dan Tantangannya.

Bagaimana dengan Ibu Kota Jakarta? Nah, tantangan berat bagi Jakarta untuk segera membangun sistem pengolahan air limbah seperti model Maynilad di Dagat Dagatan, Novotas, Manila. Model ini sudah berteknologi sederhana dan investasinya kurang dari Rp1 triliun. Proses pengolahan air limbahnya cukup sederhana, yakni dari rumah tangga langsung mengalir melalui pipa-pipa menuju pusat penampungan. Selanjutnya, limbah cair dan limbah padat masuk ke pusat pengolahan air limbah dan diproses melalui tiga tahapan. Dari proses di Maynilad itu diperoleh dua produk dari dua jenis limbah. Limbah cair diolah menjadi air bersih dan limbah padat diolah menjadi biogas.

Jakarta memang memiliki pusat pengolahan air limbah, namun hanya untuk limbah hotel dan rumah sakit, seperti di Penggilingan, Jakarta Utara. Diharapkan dengan mengadopsi model Maynilad, warga Jakarta ke depan memiliki sistem sanitasi yang baik. Sehingga, bisa memberikan nilai positif untuk kualitas kesehatan warga Ibu Kota, yang akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Di samping itu, PPSP yang berlangsung 2010-2014 ini terus digalakan sesuai dengan tiga target pembangunan sanitasi, yaitu setop buang air besar sembarangan, penanganan sampah melalui pengurangan timbunan dari sumber dan penerapan sistem sanitary landfill untuk TPA dengan prioritas di 240 kota, serta pengurangan genangan air di sejumlah kota/kawasan perkotaan seluas 22.500 hektare.

Dengan demikian, sanitasi adalah upaya pencegahan masalah kesehatan dan kerugian ekonomi yang sangat efektif. Seyogianya, dampak positif dari peningkatan kualitas sanitasi ini menjadi prioritas dari pengambil kebijakan di pusat dan daerah, termasuk wakil rakyat sehingga tidak hanya meriah saat Jambore Sanitasi. Lucu dan tak elok kalau Istana dikirimi mobil tangki Palyja dan warga Jakarta harus jinjing jeriken dan antre sekadar mendapatkan air bersih.

No comments:

Post a Comment