Wednesday, January 26, 2011

Lima Danau Tercemar Limbah Selama 2010

Jakarta - Limbah sawit dan kegiatan penambangan yang mendominasi pencemaran lingkungan selama 2010, selain mencemari sungai-sungai juga turut mencemari lima danau besar di Indonesia.

"Selain sungai, terdapat lima danau yang juga tercemar limbah," kata Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Mukri Friatna di Jakarta, Senin.

Danau yang tercemar tersebut yaitu Danau Sentani di Jayapura Provinsi Papua tercemar limbah domestik, Danau Unhas di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan yang tercemar limbah logam berat, Situ Rawabadung di Jakarta Timur tercemar mercury.

Selain itu juga Danau Sembuluh di Kabupaten Seruyan Provinsi Kalimantan Tengah yang tercemar limbah CPO dan Danau Penantian di Muaraenim Palembang Provinsi Sumatera Selatan yang tercemar limbah PLTU.

Pencemaran air di danau tersebut menyebabkan masyarakat setempat tidak bisa lagi memanfaatkan air danau untuk kebutuhan sehari-hari baik untuk konsumsi maupun membudidayakan ikan.

Pencemaran air dilihat dari tingginya tingkat BOD (Biological Oxygen Demand.), COD (Chemical Oxygen Demand) dan PH melampaui baku mutu yang ditetapkan.

Bila mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/ Menkes/ SK/ VII/2002 menyebutkan, tingkat keasaman air (PH) harus antara 6,5 hingga 8,5. Nilai ini sama dengan yang telah ditetapkan oleh badan kesehatan dunia (WHO) yaitu air bisa diminum jika PH 6,5 hingga 8,5.

Walhi mendata selama 2010 telah terjadi 75 kali pencemaran yang mengakibatkan 65 sungai dan lima lokasi perairan laut tercemar.

Selain lima danau tersebut, sejumlah sungai juga turut tercemar selama 2010 seperti sungai Batota di Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur dan 18 sungai lainnya di sejumlah daerah yang tercemar limbah tambang batubara.

Di samping itu, lima sungai tercemar tambang emas, sungai Rembang dan Indralaya di Ogan Ilir Provinsi Sumatra Selatan yang tercemar minyak, sungai Nuangan di Manado tercemar limbah B3 dan sungai Bali di Kotabaru Kaltim tercemar bijih besi serta sungai Ulu Muntok di Bangka yang tercemar timah.

Sementara itu, 21 sungai dimana 18 di antaranya di wilayah Sumatra dan lainnya di Provinsi Kalimantan Barat tercemar limbah sawit serta 22 sungai juga tercemar limbah industri dan campuran.

Hutan Bakau Pangkalan Susu Jadi Kebun Sawit


Langkat (sumatera utara)- Pesisir Pangkalan Susu, Sumatera Utara yang sebelumnya kawasan hutan bakau atau mangrove, kini telah berubah peruntukkannya menjadi tambak dan perkebunan kelapa sawit."Ratusan hektare hutan bakau yang ada di pesisir Pangkalan Susu, khususnya di Kelurahan Beras Basah, kini telah berubah menjadi areal tambak dan kebun sawit. Ini sangat memprihatinkan," kata Heri Widiyanto, aktivis lingkungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lantera Institute Langkat, ketika ditemui di Stabat, Selasa. Ia memperkirakan ratusan hektare hutan bakau telah "digasak" warga untuk dijadikan lahan sawit serta tambak ikan dan udang tersebut. Kelurahan Beras Basah yang luasnya kurang lebih 700 hektare dialiri sungai serta paluh-paluh kecil yang sebelumnya lebat dengan pohon bakau, kini diperkirakan tinggal hanya 200 hektare, katanya. "Bila aparat di Kecamatan Pangkalan Susu atau di Kabupaten Langkat tidak melindungi hutan mangrove tersebut sebagai kawasan penyangga dan jalur hijau, maka dikhawatirkan Kelurahan Beras Basah akan tenggelam akibat dikikis ombak," ungkapnya. Sementara itu Camat Pangkalan Susu Sukhyar Muliamin ketika dihubungi menjelaskan bahwa memang ada hutan mangrove yang kondisinya sangat memprihatinkan di Kelurahan Beras Basah dan Pangkalan Siata. Namun demikian, kata dia, langkah penyelamatan sudah dimulai dengan melakukan penanaman kembali hutan-hutan bakau yang gundul di beberapa tempat melalui langkah terpadu dan berkelanjutan. Dijelaskannya, penghijauan hutan bakau di Pangkalan Susu tidak bisa ditangani secara sendiri-sendiri tanpa adanya komitmen dari semua pihak, katanya. Di sekitar Pangkalan Susu ada tujuh pulau kecil yang juga akan menjadi perhatian untuk dikembangkan menjadi areal bakau di kemudian hari, yaitu Pulau Panjang, Rawa, Talang, Kera, Kerpu Beting, Mesjid dan Pulau Dongok. "Kami sudah lakukan penertipan hutan bakau dengan mengajak masyarakat untuk kembali menanam, menjaga, merawat dan memelihara hutan yang ada. Jangan lagi ada penebangan," katanya.

Petabang Emas Tanpa Izin Masih Marak di DAS Batanghari Tebo



PETI : Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di Daerah Akliran Sungai (DAS) Batanghari, tampak praktik PETI di Desa Pelayang, Kecamatan Tebo Tengah, Provinsi Jambi tengah beroperasi, Kamis (23/10). Hingga kini PETI masih marak di DAS Batanghari wilayah Tebo. Aparat hukum tampaknya membiarkan praktek ini berjalan terus menerus.

Lahan dan Hutan Kritis, Air Krisis


Ancaman global sudah di depan mata. Indonesia salah satu negara yang sangat rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Perubahan iklim telah mengubah pola presipitasi (hujan) dan evaporasi (penguapan), sehingga berpotensi menimbulkan banjir di beberapa lokasi dan kekeringan di lokasi yang lain. Kenyataan ini sangat mengancam berbagai bidang mata pencaharian masyarakat di Tanah Air, terutama pertanian dan perikanan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami peningkatan intensitas dan frekuensi perubahan cuaca yang mengkhawatirkan. “Kita berulang menghadapi banjir, kekeringan, dan kejadian-kejadian yang berawal dari penggundulan dan kerusakan hutan,” kata mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar.

Persoalan pemanasan global dan perubahan iklim yang mengejala itu memperlihatkan bahwa berbagai aktivitas pembangunan yang dilakukan tidak atau kurang memperhatikan keberlanjutan ekologis, yang merupakan faktor mendasar bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Sejalan dengan gejala perubahan iklim, kelangkaan air (kekeringan) pada musim kemarau menjadi salah satu isu yang paling menonjol dalam sumber daya air. Demikian pula dengan persoalan kelangkaan dan kesulitan air yang layak pakai (air bersih). Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2007 melaporkan, penurunan kualitas air disebabkan oleh rusaknya daerah tangkapan air yang cenderung diperparah oleh gejala perubahan iklim.

Berdasarkan perhitungan kebutuhan air yang dilakukan Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, Pulau Jawa (yang memiliki populasi dan industri tinggi), Bali, dan Nusa Tenggara Timur telah mengalami defisit air sejak beberapa tahun terakhir, terutama pada musim kemarau. Defisit air ini akan bertambah parah pada tahun-tahun mendatang akibat pertambahan penduduk dan meningkatnya kegiatan ekonomi.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan, kondisi mata air di Jawa Timur sudah cukup kritis, sehingga diperlukan upaya penyelamatan terhadap yang masih tersisa. “Dari laporan yang saya dapat, dari 117 mata air yang ada, kini tersisa 53 sumber. Bahkan, ketika musim kemarau datang, sumber air hanya tersisa tiga. Kita perlu menyelamatkan sumber mata air dari kerusakan dengan melakukan konservasi melalui penanaman pohon di daerah sumber mata air, serta di sekitar daerah aliran sungai,” katanya.

Tak hanya di Jawa Timur, krisis air bersih terjadi di banyak kota di Indonesia, termasuk di ibukota RI, DKI Jakarta. Dari data penelitian Walhi, 125 juta (65 persen) penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang kapasitas kandungan airnya hanya 4,5 persen saja.

Air merupakan isu penting yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini, karena air sangat penting bagi kehidupan. Adalah kenyataan, sekitar 85 persen masyarakat Indonesia masih mengonsumsi air yang kemungkinan besar terkontaminasi, karena lokasinya tidak memperhitungkan jarak dari tempat pembuangan tinja.

United States Agency for International Development (USAID) dalam laporannya (2007), menyebutkan, penelitian di berbagai kota di Indonesia menunjukkan hampir 100 persen sumber air minum kita tercemar oleh bakteri E Coli dan Coliform. Kualitas air dari segi bakteriologis untuk air minum sangatlah penting karena dapat menimbulkan penyakit dan kematian dalam waktu singkat.

Data dari Kementerian Kesehatan dan Bappenas tahun 2006, 19 persen kematian anak di bawah tiga tahun disebabkan oleh diare atau setara dengan 100.000 anak meninggal setiap tahun. Diare adalah pembunuh kedua terbesar balita Indonesia setiap tahunnya.


Kerusahan lahan dan hutan

Kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab besarnya erosi dalam sebuah ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga dapat mengganggu pasokan/ketersediaan air untuk air baku air minum dan air untuk mendukung kegiatan-kegiatan domestik, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pertanian, industri, dan sebagainya.

Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2007 melaporkan, dari 23 DAS yang ada, sebagian besar (82,6 persen) memiliki luas kawasan lindung kurang dari 30 persen. Walhi melaporkan, 60 dari 470 DAS yang ada di Indonesia dalam kondisi krisis. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1991 terdapat ketentuan yang menyaratkan luas hutan minimal 30 persen di setiap ekosistem DAS.

Kerusakan sumber daya lahan dan hutan sudah sejak lama terjadi, karena negara hanya memikirkan keuntungan ekonomis semata, menjadikannya sumber devisa negara. Lebih-lebih ketika pengelolaan lingkungan hidup dilimpahkan ke pemerintah provinsi/kabupaten/kota, sejak tahun 2007 lalu. Kabupaten/kota defenitif baru hasil pemekaran, menjadikan sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), sehingga hutan beralih fungsi.

Namun, keuntungan tersebut harus ditebus mahal, dengan terjadinya kerusakan sumber daya lahan dan hutan. Jutaan hektar lahan kritis terbentuk karena pemanfaatan sumber daya yang kurang memperhatikan keberlanjutannya.

Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Umar Anggara Jenie mengungkapkan, kondisi hutan di Indonesia sudah mengkhawatirkan karena 1,8 juta hektar hutan hancur per tahun. “Data tersebut berdasarkan pengamatan dari tahun 2002 hingga 2005. Artinya tingkat kehancuran hutan mencapai dua persen setiap tahun atau setara dengan 51 kilometer persegi per hari,” tandasnya.

Dengan tingkat kerusakan yang 1,8 persen itu, Guinness Books of Record edisi 2008 mencatat Indonesia sebagai negara yang hutannya mengalami kerusakan paling cepat di antara 44 negara yang masih memiliki hutan.


Laju deforestasi yang tinggi di Indonesia telah menyebabkan timbulnya jutaan hektar lahan kritis, diperkirakan mencapai 77 juta hektar, yang berada di dalam kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Lahan dan hutan kritis yang mengalami kerusakan sangat parah dan terluas berada di di Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Provinsi Riau.

Kerusakan lahan dan hutan terjadi di mana-mana, dari Aceh hingga Papua. Di Papua, misalnya, luas kawasan hutan mengalami pengurangan sekitar 3,5 juta hektar dari sekitar 31,56 juta hektar pada dekade 1960-an hingga menjadi 28 juta hektar saat ini. “Pengurangan luas kawasan hutan Papua itu sebagai dampak dari meningkatnya aktivitas pembangunan serta pengelolaan hutan, akibat pemekaran wilayah kabupaten/kota,” kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Marten Kayoi.

Sekitar tujuh kabupaten yang baru terbentuk di provinsi Papua yang berada di pegunungan tengah, wilayah administratifnya seluruhnya berada di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Memberamo.

Bahkan di Jawa dan Bali, lebih kurang 91 persen dari hutan alam yang pernah ada kini telah berubah musnah dan beralih fungsi untuk tujuan pertanian, transportasi, perkebunan, pemukiman dan sebagainya.

Mencermati kenyataan tersebut, penyelamatan tumbuhan asli Indonesia menjadi suatu keniscayaan dan harus memacu kita untuk mencegah punahnya tumbuhan sebagai aset yang tidak ternilai harganya untuk modal pembangunan dan masa depan bangsa. Soalnya, keanekaragaman hayati merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional dan modal strategis dalam meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa.

Ilmuwan Indonesia berkelas dunia, Guru Besar Kimia Bahan Alam, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang, Dayar Arbain, mengatakan, penelitian keanekaragaman hayati di hutan Sumatera ditemukan sejumlah senyawa untuk bahan baku obat dan sudah dipatenkan. Temuan senyawa itu menjadi incaran negara-negara industri farmasi di dunia.

“Demi untuk kesejahteraan Indonesia, senyawa-senyawa kimia aktif biologis khusus untuk obat itu, tidak akan saya jual. Sebab, negara yang membeli bisa meraih keuntungan sedikitnya 200 juta dollar AS per tahun. Kalau itu saya lakukan, sama saja saya menjual Indonesia,” tandasnya. Ekstrak senyawa temuan Dayar pernah ditawari negara Jepang, Jerman, dan Belanda, dengan harga miliaran rupiah.

Yang mencemaskan Dayar Arbain sekarang, temuannya belum dikembangkan sementara kondisi hutan sudah rusak parah. Bukan tidak mungkin, keanekaragaman hayati yang menjadi bahan baku obat itu punah. Padahal nilai kayu, tidak seberapa dibanding nilai tanaman obat itu kalau diindonesia dibangun industri obat-obatan, yang bisa menguntungkan sedikitnya 200 juta dollar AS per tahun.

Adalah kenyataan, Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country, karena memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, peringkat lima besar di dunia. Tercatat lebih dari 38.000 jenis tumbuhan, di mana 55 persen di antaranya merupakan jenis endemik.

Untuk pulau Jawa saja, ungkap Ketua LIPI Umar Anggara Jenie, setiap 10.000 kilometer persegi terdapat 2.000 sampai 3.000 jenis tanaman endemik. Sedangkan di Kalimantan dan Papua mencapai lebih dari 5.000 jenis. Dan masih banyak keanekaragaman hayati lainnya yang berpotensi dan memiliki prospek secara ekonomis maupun keilmuan.

Sekretaris Utama LIPI Rochadi Abdul Hadi menggarisbawahi, fakta di lapangan menunjukkan degradasi habitat yang berimplikasi pada penurunan keanekaragaman ekosistem, jenis, dan genetik memperlihatkan tren yang semakin mengkhawatirkan.
Kegiatan-kegiatan merusak lahan dan hutan (gambut) di berbagai daerah di Indonesia tidak hanya sebatas menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber daya alam di sekitarnya, tetapi juga menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyimpan dan penyerap karbon, sebagai daerah resapan air yang mampu mencegah banjir pada wilayah sekitarnya pada musim hujan dan mencegah instrusi air asin pada musim kemarau.


Kerusakan hutan juga berdampak terhadap kesehatan. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam buku Rencana Aksi Nasinal dalam Menghadapi Perubahan Iklim (2007) mengatakan, kekurangan akses terhadap air minum dan sanitasi, serta buruk dan rusaknya lingkungan akan membawa dampak yang membahayakan kesehatan.
Tentang dampak yang membahayakan kesehatan itu, peneliti Sarah Olson dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, dalam laporan penelitiannya di jurnal Emerging Infectious Diseases (2010) mengatakan, pengundulan hutan di Amazon membantu nyamuk berkembang dan menyebabkan angka malaria melonjak. “Ditemukan 48 persen peningkatan dalam kasus malaria di satu wilayah di Brazil setelah 4,2 persen pohon lindung ditebang,” katanya.

Malaria disebabkan oleh parasit yang menularkan nyamuk, membunuh sekitar 860 ribu orang per tahun secara global, menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO. Brazil memiliki sekitar 500 ribu kasus malaria per tahun, sebagian besar disebarkan oleh nyamuk Anopheles.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Perusakan hutan juga membuat kasus malaria meningkat. Data Kementerian Kesehatan, penyakit malaria masih merupakan penyakit menular dengan prevalensi terbesar, yakni 2,85.

Solusi: Pelestarian Hutan



Karena kerusakan lahan dan hutan berdampak terhadap krisis air, maka mendesak kiranya dilakukan berbagai upaya pengelolaan sumber daya lahan dan hutan. Lahan dan hutan yang kritis dan gundul, harus dihijaukan kembali. Mungkin berbagai program sudah, sedang, dan akan dilaksanakan. Sejak tahun 2005 lalu, misalnya, ada program pengembangan Lahan Pertanian Abadi (Lestari) 2025, yang ditetapkan oleh Presiden dengan luas yang ditargetkan 15 juta hektar.

Sekarang dengan isu pemanasan global, ajakan penanaman pohon bergema ke mana-mana. Menanam pohon adalah upaya awal mengurangi pemanasan global. Perusahaan-perusahaan dalam program corporate social responsibility (CSR), kini menggalakkan penanaman pohon. Danone Aqua, misalnya, hingga 2010 ini sudah ada 300.000 pohon yang ditanam.

“Target hingga 2011 nanti bisa ada 700.000 pohon yang akan ditatam. Kami tidak mementingkan jumlah pohon yang ditatam, tapi bagaimana kesinambungan penanaman pohon ini terus berlangsung. Sebab, pelestarian lingkungan demi melindungi pemenuhan kebutuhan sumber daya alam bagi manusia sungguh merupakan suatu yang tak bisa ditawar-tawar,” kata Pimpinan Danone Aqua, Parmaningsih Hadinegoro, yang 5 Agustus lalu mewakili Aqua menerima penghargaan dalam Indonesia Green Awards 2010. Dalam penghargaan tersebut, Agua mendapat Gold Award pada kategori Green CSR dan Green Manufacture.

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan hingga 2013 program penanaman satu miliar pohon. “Sampai saat ini sudah terlaksana sebanyak 30 juta-an pohon. Kita berkeyakinan target penanaman pohon tersebut bisa tercapai bila seluruh pemangku kebijakan, swasta, BUMN, dan masyarakat sama-sama menanam pohon di lingkungan masing-masing,” kata Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan RI, Indri Astuti.

Pohon-pohon yang ditanam, lanjut Indri Astuti, sebaiknya juga dipelihara sampai pohon itu jadi dan bermanfaat bagi semua. Kegiatan penanaman satu miliar pohon ini akan membantu Indonesia dalam mengurangi emisi karbon hingga 26 persen pada 2020 dan bila program itu dibantu asing, maka emisi karbon yang dikurangi bisa mencapai 40 persen.

Jika pohon yang ditanam jenis Trembesi, maka dapat menurunkan konsentrasi gas karbon dioksida secara efektif dalam waktu yang lebih singkat. Sebab, dari hasil penelitian pakar dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, satu batang pohon Trembesi (diameter tajun 15 meter) mampu menyerap 28,5 ton gas karbon dioksida setiap tahun.

Penasehat khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim, George Soros, ketika bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Mei 2010 lalu, mengatakan, peran Indonesia untuk mendorong mengatasi pemanasan global sangat besar.

“Saya ditugaskan oleh Sekretaris Jenderal PBB untuk memantau langkah pencegahan global warming. Indonesia salah satu yang memimpin dan Presiden pegang peranan penting dengan menawarkan 26 persen kurangi emisi dan lebih dari itu bila ada asistensi,” katanya.

Peran Indonesia dalam mencegah dan atau mengendalikan gejala perubahan iklim ini akan sangat berarti. Kawasan hutan yang luas sangat potensial sebagai tempat menyerap karbon demikian pula dengan lautan, yang luasnya dua per tiga dari luas wilayah Indonesia, yang dianggap memiliki potensi yang sangat besar dalam mencegah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim karena kemampuan menyerap karbon dioksida.

Konservasi Sumber Daya Air

Penanaman pohon dalam program satu miliar pohon, tentu tak sebatas bagaimana karbon dioksida bisa terserap banyak. Melainkan juga untuk menghasilkan sumber daya air. Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sumarto, yang dihubungi Senin (23/8) mengatakan, setiap satu pohon yang ditanam, selama daur hidupnya akan menghasilkan 250 galon air.

“Setiap pohon yang ditanam dalam ekosistem hutan tropis pegunungan, selama daur hidupnya akan menghasilkan air 250 galon air. Saat ini, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang luasnya 22.851 hektar, menghasilkan 231 miliar liter air per tahun,” paparnya. “Saat ini ada 20 perusahaan air dalam kemasan yang berada di hilir TN Gunung Gere Pangrango,” tambahnya.

Kebanyakan kita kurang menyadari bahwa, walau Indonesia memiliki sungai, danau, waduk, dan rawa yang relatif banyak sebagai potensi sumber daya air selain air tanah, namun tidak semuanya bisa digunakan untuk kepentingan air bersih. Apalagi kalau lahan dan hutan mengalami rusak parah, yang jumlahnya mencapai 77 juta hektar, tentu potensi sumber daya air menjadi berkurang.

Menurut Maude Barlow dan Tony Clarke (Blue Gold, 2005), jumlah air di planet Bumi kira-kira 1,4 miliar kilometer kubik. Dari jumlah itu, air tawar yang tersedia hanya 2,6 persennya atau 36 juta kilometer kubik. Tak banyak volume air tawar yang dapat dinikmati manusia dari siklus air yang berlangsung cepat, yaitu hanya sekitar 0,77 persen dari total air tawar yang ada di alam, atau hanya 11 juta kilometer kubik.

Makanya jangan heran krisis air terjadi di mana-mana. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain.

Upaya penyelamatan lingkungan, termasuk di antaranya penyelamatan sumber-sumber air, harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan. Hal ini tak bisa ditawar-tawar. Apalagi Indonesia dalam visi airnya, telah mencanangkan menuju terwujudnya kemanfaatan air yang mantap, yang berdaya guna, dan berhasil guna, serta berkelanjutan bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Salah satu cara adalah dengan laku budaya hemat air dan ramah lingkungan seluruh komponen masyarakat. Gerakan hemat air harus lebih digalakkan.

Aksi lain yang perlu diimplementasikan adalah memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi perubahan ketersediaan air maupun sebagai perangkat pengelolaan air dan sumber air.

Mengadakan inventarisasi DAS yang mengalami pencemaran, namun tingkat penggunaan airnya sangat tinggi di Jawa untuk dapat ditentutan prioritas penanganannya. Sekaligus meningkatkan daya dukung DAS dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki daerah tangkapan air sebagai daerah resapan air melalui upaya korservasi lahan.

Melaksanakan pembangunan situ, embung, dan waduk, karena tempat-tempat penampungan air tersebut dapat digunakan sarana menyimpan air di musim hujan sehingga bisa dimanfaatkan airnya di musim kemarau. Juga penting mengadakan perubahan pola operasi dan pemeliharaan waduk dan bangunan pelengkap/penunjangnya untuk menyesuaikan dengan adanya peningkatan intensitas hujan dan berkurangnya curah hujan sebagai dampak adanya perubahan iklim.

Penting juga melembagakan pemanfaatan informasi prakiraan cuaca dan iklim secara efektif dalam melaksanakan operasi dan pengelolaan air waduk, sehingga dapat menekan resiko kekeringan dan kebanjiran lebih efektif.

Penelitian geohidrologi untuk mengetahui cekungan-cekungan air tawan juga penting, sehingga dapat dibangun dan dipertahankan situ-situ, danau-danau, dan pembangunan resapan air serta penampungan air, baik di gedung-gedung maupun di dalam tamah. Perlu dilakukan pengawasan terhadap kewajiban pemilik gedung untuk membuat resapan air dan penampungan air.

Gerakan Indonesia hijau dengan menanam pohon harus terus digalakkan. Pada anak-anak, remaja, dan generasi muda harus ditanamkan budaya “Muda Menamam, Tua Memanen”. Jadi, menanam pohon bukan sekadar kegiatan seremonial, tapi berkelanjutan.

Hal lain yang perlu kita lakukan adalah memanen hujan. Mencegah seminimal mungkin air hujan terbuang ke laut untuk dimanfaatkan pada musim kemarau dengan membangun sarana infrastruktur penampung air seperti waduk, embung, situ, sumur-sumur resapan, lubang resapan biopori, dan tandon air. Upaya ini juga dimaksudkan untuk mencegah bencana banjir yang selalu datang pada musim hujan.

Perlu juga perencanaan dan pelaksanaan strategi nasional pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Melakukan rehabilitasi pengelolaan air di daerah lahan gambut pada kanal-kanal terbuka dengan membangun sistem buka-tutup pada kanal tersebut untuk menjaga kestabilan muka air tanah. Dan menginventarisasi daerah lahan gambut sesuai dengan karakteristiknya dan perlu dibuat penataan ruang lahan gambut sesuai karakteristik tersebut.

Mencermati pengalaman negara Australia ketika membantu penanganan kebutuhan air bersih masyarakat pascagempa di Sumatera Barat, 30 September 2009 lali, yang mengembangkan teknologi untuk mengolah air asin (laut) menjadi air tawar yang dapat diminum, maka teknologi itu ke depan perlu dikembangkan di Indonesia, terutama di daerah-daerah krisis air bersih. []

Kredit Foto : Deni Rahadian dan Saeful Rahman

ASWD:DAS Batanghari Paling Kritis di Indonesia

Jambi
Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari seluas 5 juta hektar lebih, merupakan DAS paling kritis di Indonesia. Fungsi-fungsi hidrologi DAS Batanghari terus mengalami kemerosotan seluruh aspek tata air secara drastis.

Kemerosotan aspek air tersebut akibat semakin gundulnya hutan penyanggah DAS Batanghari. Diperkirakan tahun 2012 tutupan hutan DAS Batanghari tinggal 10 persen.

Selain kemerosotan aspek air, penurunan fungsi hidrologi DAS Batanghari juga disebabkan dampak iklim ekstrim, dampak deforestasi dan dampak kebun sawit yang terus meluas.

Demikian dikatakan Ketua koordinator DPP ASWD ROY ANDRE Monitoring dan Evaluasi DAS Batanghari, kepada wartawan, Minggu (26/01). Menurutnya, adanya perubahan iklim secara ekstrim yang terjadi di wilayah tropis membuat DAS Batanghari semakin kristis.

Disebutkan, turunnya hujan diatas rata-rata, menyebabkan terjadinya aliran permukaan air sungai yang sangat tinggi, dan mengangkut material yang berada dipermukaan tanah ke sungai. Pada gilirannya sungai tidak mampu lagi menampung jumlah luapan air, sehingga terjadilah banjir.

Ditambahkan, penyebab lain berkurangnya fungsi hidrologi DAS Batanghari akibat laju deforestasi. Dari analisa citra Landsat beberapa tahun lalu, tampak tutupan hutan di wilayah DAS Batanghari terus menipis. Laju deforesatsi terjadi sejak tahun 1932.

“Pada tahun ini tutupan DAS Batanghari masih 4 juta hektar, pada tahun 2000 lalu jumlah hutan yang ada tinggal 1,4 juta hektar. Rata-rata deforestasi tahunan adalah 126,987 hektar. Dengan ini bisa diperkirakan jumlah tutupan hutan DAS Batanghari pada tahun 2012 hanya tinggal 46.969 hektar atau kurang dari 10 persen dari luas DAS," katanya.

Hal itu akan menyebakan meningkatnya laju erosi 5 kali lipat. Dengan jumlah material angkutan mencapai 5,8 juta ton yang akan sampai di pelabuhan Samudra Muara Sabak.

Hilangnya hutan di DAS Batanghari disebabkan karena konversi lahan menjadi kebun kepala sawit secara besar-besaran. Terutama pada areal-areal eks HPH yang menyebar hampir kesemua zona konservasi, mulai dari hulu hingga ke kawasan hilir.
“Hilangnya fungsi hidrologi DAS Batanghari membuat banjir akan lebih sering terjadi dengan luas tangkapan air DAS Batanghari yang sangat luas dan berada pada jalur jajaran bukit Barisan dengan curah hujan cukup tinggi,”ujarnya.

Disebutkan, pengembangan kebun kelapa sawit yang tengah gencar dilakukan pemerintah dan swasta dan juga dengan melibatkan banyak investor, juga menjadi salah satu faktor penyebab penurunan fungsi hidrologi DAS Batanghari.

“Konversi lahan menjadi kebun sawit akan menyebabkan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm dan pengisian air tanah menurun drastis. Akibatnya sungai Batanghari tidak akan mampu menampung luapan air hujan,”katanya.

Selain itu, pembukaan lahan sawit di daerah gambut seperti di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muarojambi yang menerapkan adanya sistem drainase akan menyebabkan penurunan muka air tanah. Sehingga terjadi penurunan (sudsidence) muka tanah.

“Dengan menggunakan data radar, bisa diprediksi bahwa konversi lahan di daerah Petaling untuk perkebunan sawit akan menyebabkan penurunan atau amblasnya lapisan tanah setinggi 3-4 meter pada tahun 2045. Akibatnya akan terjadi pembalikan arus sungai dari daerah Sungai Air Hitam Laut ke arah Kumpeh, dan Air Hitam Laut akan diinterusi air laut,”katanya.

Selain itu, kondisi tersebut juga menyebabkan terjadinya kebakaran gambut di musim kemarau, karena tidak ada lagi kemampuan tanah menyimpan air.

Masih Menurut Roy dengan kondisi-kondisi tersebut, maka sudah sewajarnya jika difikirkan secara bersama penanganan yang lebih konfrehensif DAS Batanghari.

“Diperlukan penataan ruang yang memenuhi kaidah-kaidah konservasi air. Selain itu, juga harus dihindari terjadinya konversi lahan di kawasan resapan air. Sehingga tingkat kerusakan DAS Batanghari dapat diatasi,”katanya.

Saturday, January 22, 2011

Lomba MTQ Kecamatan Bajubang Ditutup Berharap Dapat Berprestasi di Tingkat Kabupaten Batang hari





Muara Bulian -Penyelenggaraan lomba MTQ tingkat Kecamatan Bajubang yang berlangsung mulai tanggal 21 Januari 2011, ditutup hari saptu malam minggu jam 8 wib 23 januari 2011oleh Camat Bajubang Adnan Sos di desa pompa air. Acara berlangsung lancer, setelah penutupan acara dilakukan pembagian hadiah kepada para peserta yang telah berhasil menjadi juara. “Apapun hasil yang diraih dalam lomba MTQ ini kalah ataupun menang yang terpenting adalah ibadah kepada Allah SWT,” terang Adnan tadi malam saat penutupan.

ADnan juga Yang menjadi juara pertama dalam lomba MTQ juara 1 desa Batin ,Juara 2 Deasa Ladang Peris dan Juara 3 di menangkan Tuan rumah Desa pompa ,Yang terpilih agar dapat berbenah diri dan yang belum menang agar giat berlatih untuk meningkatkan prestasi, saya mengharap untuk tingkat Kabupaten masuk dalam nominasi” ucap dia.

Ketua panitia lomba MTQ yang juga Kades Pompa Air A.Darih mengatakan, lomba ini diharap dapat mewujudkan kecerdasan intelektual tatanan spiritualitas serta moralitas. “Kita memberikan yang terbaik dalam penyelenggaraan ini dan para peserta pun diharap dapat berprestasi sampai tingkat Kabupaten,” ungkapnya.

Kecamatan Bajubang sempat mencapai prestasi gemilang dalam lomba MTQ diharap prestasi dulu dapat kembali diraih oleh para wakil dari wilayah tersebut, agar menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat, Para peserta yang telah ikut dalam lomba ini, telah diseleksi agar bisa mewakili Kecamatan Balikpapan Barat maju pada tingkat kota, dalam lomba kali ini tidak ada juara umum yang terpenting para peserta menampilkan yang terbaik,” tandas Sekcam Kecamatan Bajubang Zailani .

Zailani Juga menambahkan, kegiatan ini diharap dapat meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan makin mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. “Makin dekatkan diri kepada Allah SWT dan menjadi pribadi yang berakhlak mulia,” tutup dia

Februari, PTPN II Kebun Helvetia Panen 28 Ribu Ton Gula Tebu Dihasilkan

S



HAMPER - Direncanakan Februari 2011 ini lahan perkebunan tebu seluas 350 hektar yang saat ini dikelola PTPN II Kebun Helvetia akan panen menghasilkan sekitar 28 ribu ton gula.

Sedangkan luas areal 160 hektar saat ini sedang ditanami tembakau, 346, 56 hektar sawit, 53, 43 tanaman Jati selebihnya areal ditanami ubi maupun jagung yang merupakan Kerja Sama Operasi/usaha (KSO) seluas 613,23 Ha.

Hal itu dijelaskan Ir.Fauzi selaku Manager PTPN II Kebun Helvetia saat ditemui wartawan (22/01/2011) di ruang kerjanya dalam menyingkapi prospek kedepan kebun Helvetia yang saat ini memiliki total lahan seluas 1848 Ha dengan mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) nomor 111 tersebut.

Fauzi optimis, 28 ribu ton gula dari sejumlah kebun tebu yang ada dapat dihasilkan sesuai target, jumlah ini diperkirakan meningkat ketimbang tahun lalu. ADM serta Manager kebun Helvetia ini juga mengaku jauh lebih mudah merawat kebun tebu ketimbang kebun tembakau, meski begitu kebun tembakau seluas 160 hektar tetap dipertahankan guna menghasilkan tembakau cerutu berkwalitas.

Selain tak membutuhkan sejumlah sumur serta perawatan ekstra, perkebunan tebu masa perawatannya hanya berlangsung 3 bulan saja, lain halnya dengan kebun tembakau, mulai dari bibit hingga masa panen harus benar-benar diperhatikan agar tak gagal panen maupun diserang hama. Urai Manager Kebun Helvetia yang saat ini membawahi sekitar 665 karyawan kebun.

Soal HGU, Petani Tuding Manager Kebun Helvetia Bohongi Publik



MARELAN - Kuasa hukum Serikat Kaum Tani (SEKATA) M.Noor Arief SH sempat gerah dengan pernyataan manager kebun Helvetia Ir fauzi soal masih berlakunya HGU Kebun Helvetia/klambir hingga 2028.

Melalui wartawan, Sabtu (22/01/2011) Arif berkomentar, Manager Kebun Helvetia telah bohongi public sebab HGU PTPN II kebun Helvetia tak diperpanjang lagi sejak 2005, buktinya ada sama saya, bahkan masalah eks HGU lahan PTPN II pada 3 bulan lalu telah ditanggani anggota DPD/ MPR-RI komisi IX diketua DR Rahmad Shah dalam Kunkernya ke kantor BPN Sumut Jln Brigjend Katomso Medan yang disambut M.Setia Budi selaku Kakanwil BPN Sumut.

Guna menyelesaikan areal eks HGU baik yang ada Langkat, Binjai, Deliserdang namun mereka sendiri masih membentuk kelompok kerja (Pokja) diketuai M.Setia Budi sekretaris H Darwin dan anggotanya Poldasu, Kodam I BB serta Muspidasu guna selesaikan lahan eks HGU yang dituntut pengembalian haknya oleh masyarakat petani tersebut.

Menurut mereka, lahan-lahan yang mengandung ketetapan hukum berdasarkan surat keputusan Gubsu akan dikeluarkan dari lahan PTPN II bila, para kelompok atau masyarakat tani memiliki bukti-bukti syah.

Namun sampai saat ini belum terealisasi ada kesan pengaburan masalah terbukti SEKATA telah melayangkan surat pada instansi terkait diantaranya Poldasu, Kejatisu, BPN Sumut, Dirut dan ADM PTPN II, DPRD Sumut pada tanggal 20 Desember dan 26 desember 2010 tidak ada balasan surat kecuali, surat dari Kapoldasu pada tanggal 07 Januari 2011 nomor K/70/I/2011/Dit.Reskrim terkait permohonan masuk keareal PTPN II .

Dengan berisikan, Kapoldasu tak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan persoalan tanah serta status tanah tersebut, ujar Arif.

SEKATA juga merasa kecewa terhadap instansi yang berwenang sepertinya tak berpihak pada masyarakat petani untuk menyelesaikan tanah yang seharusnya menjadi hak dari petani yang sekian lama telah dicaplok PTPN II .

Bila pihak Kebun Helvetia memiliki perpanjangan HGU 111 tersebut tolong tunjukkan serta publikasikan pada masyarakat melalui media agar jelas, sebab ini masalah perdata yang harus dibuktikan lewat bukti otentik, katanya.

Rencana akan dilakukan okupasi atau penertiban lahan oleh pihak PTPN II Kebun Helvetia mendatang, Arief mengaku, bersama ratusan massa petani siap menggelar aksi dan menggugat sebab dengan dasar apa mereka mengadakan okupasi, sebab menurut pengetahuan saya, HGU kebun Helvetia sudah kadaluarsa atau tak diperpanjang lagi makanya ada Pokja DPR-RI.

Kita juga tagih janji DPRD Sumut yang rencananya akan bentuk Pansus tanah eks HGU, papar M.Noor Arief saat berada di posko perjuangan SEKATA di sekitar lapangan capung pasar XI Kebun Helvetia.

Menurut pandangan saya, apabila uji material di PTUN �kan maka HGU itu kalah pemegang kekuasan tertinggi di daerah sesuai UU Otda nomor 32 thn 2002. Jelas Arif mengakhiri.

Friday, January 21, 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 2010

TENTANG


ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

TAHUN ANGGARAN 2011


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

a.

bahwa dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amendemen Keempat, Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diajukan oleh Presiden setiap tahun untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;

b.

bahwa Rancangan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

c.

bahwa Rancangan APBN Tahun Anggaran 2011 disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mendukung terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;

d.

bahwa penyusunan Rancangan APBN Tahun Anggaran 2011 berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah tahun 2011 dan memperhatikan aspirasi masyarakat, dalam rangka mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat;

e.

bahwa sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI/2008, Pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;

f.

bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2011 antara Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah telah memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan DPD Nomor 52/DPD RI/IV/2009-2010 tanggal 3 Agustus 2010;

g.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011.

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (4), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amendemen Keempat;

2.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313);

3.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);

4.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);

5.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);

6.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988);

7.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);

8.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);

9.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

10.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);

11.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

12.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

13.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

14.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

15.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

16.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

17.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

18.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);

19.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);

20.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);

21.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);

22.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);

23.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852);

24.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884);

25.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

26.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);

27.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

28.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011.

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:

1.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

2.

Pendapatan negara dan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.

3.

Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.

4.

Pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, cukai, dan pajak lainnya.

5.

Pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan bea keluar.

6.

Penerimaan negara bukan pajak, yang selanjutnya disingkat PNBP, adalah semua penerimaan Pemerintah Pusat yang diterima dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam, bagian Pemerintah atas laba badan usaha milik negara (BUMN), penerimaan negara bukan pajak lainnya, serta pendapatan badan layanan umum (BLU).

7.

Penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang, jasa, dan surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

8.

Belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah.

9.

Belanja Pemerintah Pusat menurut organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian negara/lembaga (K/L), sesuai dengan program-program Rencana Kerja Pemerintah yang akan dijalankan.

10.

Belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata dan budaya, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial.

11.

Belanja Pemerintah Pusat menurut jenis adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

12.

Belanja pegawai adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membiayai kompensasi dalam bentuk uang atau barang yang diberikan kepada pegawai Pemerintah Pusat, pensiunan, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pejabat negara, baik yang bertugas di dalam negeri maupun di luar negeri, sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.

13.

Belanja barang adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membiayai pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa, baik yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat, serta belanja perjalanan.

14.

Belanja modal adalah belanja Pemerintah Pusat yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik lainnya.

15.

Pembayaran bunga utang adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membayar kewajiban atas penggunaan pokok utang baik utang dalam negeri maupun luar negeri, yang dihitung berdasarkan ketentuan dan persyaratan dari utang yang sudah ada dan perkiraan utang baru, termasuk untuk biaya terkait dengan pengelolaan utang.

16.

Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.

17.

Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan atau lembaga yang menyediakan dan mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu, liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 (tiga) kilogram, dan tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.

18.

Belanja hibah adalah belanja Pemerintah Pusat yang bersifat sukarela dengan pengalihan hak dalam bentuk uang, barang, atau jasa dari Pemerintah kepada BUMN, pemerintah negara lain, lembaga/organisasi internasional, pemerintah daerah khususnya pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang diterushibahkan ke daerah yang tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus dan dilakukan dengan naskah perjanjian antara pemberi hibah dan penerima hibah.

19.

Bantuan sosial adalah semua pengeluaran negara dalam bentuk transfer uang/barang yang diberikan kepada masyarakat melalui kementerian negara/lembaga dan/atau pemerintah daerah guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya berbagai risiko sosial.

20.

Belanja lain-lain adalah semua pengeluaran atau belanja pemerintah pusat yang dialokasikan untuk membiayai keperluan lembaga yang belum mempunyai kode bagian anggaran, keperluan yang bersifat ad hoc (tidak terus menerus), kewajiban pemerintah berupa kontribusi atau iuran kepada organisasi/lembaga keuangan internasional yang belum ditampung dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga, dan dana cadangan risiko fiskal serta mengantisipasi kebutuhan mendesak.

21.

Transfer ke daerah adalah pengeluaran negara dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian.

22.

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

23.

Dana bagi hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

24.

Dana alokasi umum, yang selanjutnya disingkat DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dihitung dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto.

25.

Pendapatan dalam negeri neto, yang selanjutnya disebut PDN neto, adalah hasil penjumlahan dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak, dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah dalam bentuk DBH, anggaran belanja yang sifatnya diarahkan berupa belanja PNBP Kementerian Negara/Lembaga, subsidi pajak, serta beberapa subsidi lainnya yang terdiri atas subsidi BBM jenis tertentu dan LPG tabung 3 (tiga) kilogram, subsidi listrik, subsidi pupuk, subsidi pangan, dan subsidi benih yang dihitung berdasarkan bobot/persentase tertentu.

26.

Dana alokasi khusus, yang selanjutnya disingkat DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

27.

Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

28.

Dana penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu Pemerintah dan DPR sesuai peraturan perundangan, yang terdiri atas dana insentif daerah, Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), dana-dana yang dialihkan dari Kementerian Pendidikan Nasional ke Transfer ke Daerah, berupa Tunjangan Profesi Guru dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, serta Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Provinsi Papua Barat.

29.

Bantuan operasional sekolah, yang selanjutnya disingkat BOS, adalah dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar, dan dapat dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk teknis Menteri Pendidikan Nasional.

30.

Pembiayaan defisit anggaran adalah semua jenis penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit anggaran negara dalam APBN dan kebutuhan pengeluaran pembiayaan.

31.

Pembiayaan dalam negeri adalah semua penerimaan pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri yang terdiri atas penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman, Rekening Kas Umum Negara untuk pembiayaan kredit investasi Pemerintah, saldo anggaran lebih, privatisasi, hasil pengelolaan aset, penerbitan bersih surat berharga negara, pinjaman dalam negeri, dikurangi pengeluaran pembiayaan yang terdiri atas dana investasi Pemerintah, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, kewajiban yang timbul akibat penjaminan Pemerintah, dan penyertaan modal negara

32.

Sisa lebih pembiayaan anggaran, yang selanjutnya disingkat SILPA, adalah selisih lebih realisasi pembiayaan atas realisasi defisit anggaran yang terjadi.

33.

Saldo anggaran lebih, yang selanjutnya disingkat SAL, adalah akumulasi dari sisa lebih pembiayaan anggaran tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.

34.

Surat berharga negara, yang selanjutnya disingkat SBN, meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara.

35.

Surat utang negara, yang selanjutnya disingkat SUN, adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.

36.

Surat berharga syariah negara, yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.

37.

Bantuan Pemerintah yang belum ditetapkan statusnya, yang selanjutnya disingkat BPYBDS, adalah bantuan Pemerintah berupa Barang Milik Negara yang berasal dari APBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh BUMN berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga (K/L) atau pada BUMN.

38.

Dana investasi Pemerintah adalah dukungan Pemerintah dalam bentuk kompensasi finansial dan/atau kompensasi dalam bentuk lain yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha dan BLU.

39.

Penyertaan modal negara adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya dan dikelola secara korporasi, termasuk penyertaan modal kepada organisasi/lembaga keuangan internasional.

40.

Dana bergulir adalah dana yang dikelola oleh BLU untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya.

41.

Dana pengembangan pendidikan nasional adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi yang pengelolaannya menggunakan mekanisme dana bergulir dan dilakukan oleh BLU di bidang pendidikan, dan dana cadangan pendidikan untuk mengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana alam.

42.

Pinjaman dalam negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya.

43.

Kewajiban penjaminan adalah kewajiban yang secara potensial menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada BUMN dan/atau badan usaha milik daerah (BUMD) dalam hal BUMN dan/atau BUMD dimaksud tidak dapat membayar kewajibannya kepada kreditur sesuai perjanjian pinjaman.

44.

Pembiayaan luar negeri neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek dikurangi dengan penerusan pinjaman dan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.

45.

Pinjaman program adalah pinjaman yang diterima dalam bentuk tunai dimana pencairannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati kedua belah pihak seperti matrik kebijakan atau dilaksanakannya kegiatan tertentu.

46.

Pinjaman proyek adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu kementerian negara/lembaga, termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan dan/ atau diterushibahkan kepada pemerintah daerah dan/ atau BUMN.

47.

Penerusan pinjaman adalah pinjaman luar negeri atau pinjaman dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah Pusat yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah atau BUMN yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.

48.

Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.

49.

Persentase anggaran pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara.

50.

Tahun anggaran 2011 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2011.

Pasal 2

(1)

Anggaran pendapatan negara dan hibah tahun anggaran 2011 diperoleh dari sumber-sumber:

a.

penerimaan perpajakan;

b.

penerimaan negara bukan pajak; dan

c.

penerimaan hibah.

(2)

Penerimaan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp850.255.476.000.000,00 (delapan ratus lima puluh triliun dua ratus lima puluh lima miliar empat ratus tujuh puluh enam juta rupiah).

(3)

Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp250.906.988.236.000,00 (dua ratus lima puluh triliun sembilan ratus enam miliar sembilan ratus delapan puluh delapan juta dua ratus tiga puluh enam ribu rupiah).

(4)

Penerimaan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp3.739.500.000.000,00 (tiga triliun tujuh ratus tiga puluh sembilan miliar lima ratus juta rupiah).

(5)

Jumlah anggaran pendapatan negara dan hibah tahun anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) direncanakan sebesar Rp1.104.901.964.236.000,00 (satu kuadriliun seratus empat triliun sembilan ratus satu miliar sembilan ratus enam puluh empat juta dua ratus tiga puluh enam ribu rupiah).

Pasal 3

(1)

Penerimaan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri atas:

a.

pajak dalam negeri; dan

b.

pajak perdagangan internasional.

(2)

Penerimaan pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp827.246.166.000.000,00 (delapan ratus dua puluh tujuh triliun dua ratus empat puluh enam miliar seratus enam puluh enam juta rupiah), yang terdiri atas:

a.

Pajak penghasilan sebesar Rp420.493.787.000.000,00 (empat ratus dua puluh triliun empat ratus sembilan puluh tiga miliar tujuh ratus delapan puluh tujuh juta rupiah), termasuk pajak penghasilan ditanggung Pemerintah (PPh DTP) atas:

1.

Komoditas panas bumi sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);

2.

Bunga, imbal hasil, dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan surat berharga negara di pasar internasional, namun tidak termasuk jasa konsultan hukum lokal, sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah);

3.

Hibah dan pembiayaan internasional dari lembaga keuangan multilateral sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);

yang dalam pelaksanaannya, masing-masing PPh DTP tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

b.

Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebesar Rp312.109.978.000.000,00 (tiga ratus dua belas triliun seratus sembilan miliar sembilan ratus tujuh puluh delapan juta rupiah), termasuk pajak pertambahan nilai ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas:

1.

Bahan bakar minyak jenis tertentu dan LPG tabung 3 (tiga) kilogram bersubsidi sebesar Rp6.000.000.000.000,00 (enam triliun rupiah);

2.

Pajak dalam rangka impor (PDRI) eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi sebesar Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah);

3.

Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); dan

4.

PPN minyak goreng dalam rangka stabilisasi pangan sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah);

yang dalam pelaksanaannya, masing-masing PPN DTP tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

c.

Pajak bumi dan bangunan sebesar Rp27.682.394.000.000,00 (dua puluh tujuh triliun enam ratus delapan puluh dua miliar tiga ratus sembilan puluh empat juta rupiah);

d.

Cukai sebesar Rp62.759.938.000.000,00 (enam puluh dua triliun tujuh ratus lima puluh sembilan miliar sembilan ratus tiga puluh delapan juta rupiah); dan

e.

Pajak lainnya sebesar Rp4.200.069.000.000,00 (empat triliun dua ratus miliar enam puluh sembilan juta rupiah).

(3)

Penerimaan pajak perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp23.009.310.000.000,00 (dua puluh tiga triliun sembilan miliar tiga ratus sepuluh juta rupiah), yang terdiri atas:

a.

Bea masuk sebesar Rp17.902.008.000.000,00 (tujuh belas triliun sembilan ratus dua miliar delapan juta rupiah), termasuk fasilitas bea masuk ditanggung Pemerintah (BM DTP) sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah), yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; dan

b.

Bea keluar sebesar Rp5.107.302.000.000,00 (lima triliun seratus tujuh miliar tiga ratus dua juta rupiah).

(4)

Rincian penerimaan perpajakan tahun anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) adalah sebagaimana tercantum dalam penjelasan ayat ini.

Pasal 4



(1)

Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) terdiri atas:

a.

penerimaan sumber daya alam;

b.

bagian Pemerintah atas laba BUMN;

c.

penerimaan negara bukan pajak lainnya; dan

d.

pendapatan BLU.

(2)

Penerimaan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp163.119.225.862.000,00 (seratus enam puluh tiga triliun seratus sembilan belas miliar dua ratus dua puluh lima juta delapan ratus enam puluh dua ribu rupiah), terdiri atas:

a.

penerimaan sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi (SDA migas) sebesar Rp149.339.800.000.000,00 (seratus empat puluh sembilan triliun tiga ratus tiga puluh sembilan miliar delapan ratus juta rupiah); dan

b.

penerimaan sumber daya alam non-minyak bumi dan gas bumi (SDA nonmigas) sebesar Rp13.779.425.862.000,00 (tiga belas triliun tujuh ratus tujuh puluh sembilan miliar empat ratus dua puluh lima juta delapan ratus enam puluh dua ribu rupiah).

(3)

Dana yang dicadangkan untuk kegiatan pemulihan lokasi perminyakan yang ditinggalkan oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) harus ditempatkan pada perbankan nasional.

(4)

Bagian Pemerintah atas laba BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp27.590.400.000.000,00 (dua puluh tujuh triliun lima ratus sembilan puluh miliar empat ratus juta rupiah).

(5)

Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN di bidang usaha perbankan, penyelesaian piutang bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya.

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian piutang bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(7)

Penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk penerimaan bagian Pemerintah atas laba PT PLN (Persero) pada tahun buku 2010 sebagai akibat dari pemberian margin usaha sebesar 8% (delapan persen) kepada PT PLN (Persero).

(8)

Penerimaan negara bukan pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp45.166.553.743.000,00 (empat puluh lima triliun seratus enam puluh enam miliar lima ratus lima puluh tiga juta tujuh ratus empat puluh tiga ribu rupiah).

(9)

Pendapatan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d direncanakan sebesar Rp15.030.808.631.000,00 (lima belas triliun tiga puluh miliar delapan ratus delapan juta enam ratus tiga puluh satu ribu rupiah).

(10)

Rincian penerimaan negara bukan pajak tahun anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), ayat (8), dan ayat (9) adalah sebagaimana tercantum dalam penjelasan ayat ini.

Pasal 5

(1)

Anggaran belanja negara tahun anggaran 2011 terdiri atas:

a.

anggaran belanja Pemerintah Pusat; dan

b.

anggaran transfer ke daerah.

(2)

Anggaran belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp836.578.166.827.800,00 (delapan ratus tiga puluh enam triliun lima ratus tujuh puluh delapan miliar seratus enam puluh enam juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus rupiah).

(3)

Anggaran transfer ke daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp392.980.298.478.200,00 (tiga ratus sembilan puluh dua triliun sembilan ratus delapan puluh miliar dua ratus sembilan puluh delapan juta empat ratus tujuh puluh delapan ribu dua ratus rupiah).

(4)

Jumlah anggaran belanja negara tahun anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) direncanakan sebesar Rp1.229.558.465.306.000,00 (satu kuadriliun dua ratus dua puluh sembilan triliun lima ratus lima puluh delapan miliar empat ratus enam puluh lima juta tiga ratus enam ribu rupiah).

Pasal 6

(1)

Anggaran belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dikelompokkan atas:

a.

belanja Pemerintah Pusat menurut organisasi;

b.

belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi; dan

c.

belanja Pemerintah Pusat menurut jenis belanja.

(2)

Belanja Pemerintah Pusat menurut organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp836.578.166.827.800,00 (delapan ratus tiga puluh enam triliun lima ratus tujuh puluh delapan miliar seratus enam puluh enam juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus rupiah).

(3)

Belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp836.578.166.827.800,00 (delapan ratus tiga puluh enam triliun lima ratus tujuh puluh delapan miliar seratus enam puluh enam juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus rupiah).

(4)

Belanja Pemerintah Pusat menurut jenis belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp836.578.166.827.800,00 (delapan ratus tiga puluh enam triliun lima ratus tujuh puluh delapan miliar seratus enam puluh enam juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus rupiah).

(5)

Rincian lebih lanjut dari anggaran belanja Pemerintah Pusat menurut unit organisasi/bagian anggaran, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja dibahas bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.

(6)

Rincian anggaran belanja Pemerintah Pusat tahun anggaran 2011 menurut organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menurut fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan menurut jenis belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden yang menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini yang ditetapkan paling lambat tanggal 30 November 2010.

Pasal 7

(1)

Subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2011 direncanakan sebesar Rp95.914.180.000.000,00 (sembilan puluh lima triliun sembilan ratus empat belas miliar seratus delapan puluh juta rupiah).

(2)

Pengendalian anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 (tiga) kilogram dalam Tahun Anggaran 2011 dilakukan melalui efisiensi terhadap biaya distribusi dan margin usaha (alpha), serta melakukan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.

(3)

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKS) untuk perhitungan subsidi BBM jenis tertentu sebesar 5% (lima persen).

(4)

Dalam hal perkiraan harga rata-rata minyak mentah Indonesia [Indonesian Crude Price (ICP)] dalam 1 (satu) tahun mengalami kenaikan lebih dari 10% (sepuluh persen) dari harga yang diasumsikan dalam APBN 2011, Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi.

Pasal 8

(1)

Subsidi listrik dalam Tahun Anggaran 2011 direncanakan sebesar Rp40.700.000.000.000,00 (empat puluh triliun tujuh ratus miliar rupiah).

(2)

Pengendalian anggaran subsidi listrik dalam Tahun Anggaran 2011 dilakukan melalui pemberian margin kepada PT PLN (Persero) dalam rangka pemenuhan persyaratan pembiayaan investasi PT PLN (Persero) ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) tahun 2011.

Pasal 9

Subsidi pangan dalam Tahun Anggaran 2011 direncanakan sebesar Rp15.267.030.111.000,00 (lima belas triliun dua ratus enam puluh tujuh miliar tiga puluh juta seratus sebelas ribu rupiah).

Pasal 10

(1)

Subsidi Pupuk dalam Tahun Anggaran 2011 direncanakan sebesar Rp16.377.000.000.000,00 (enam belas triliun tiga ratus tujuh puluh tujuh miliar rupiah).

(2)

Pemerintah mengutamakan kecukupan pasokan gas yang dibutuhkan perusahaan produsen pupuk dalam negeri dalam rangka menjaga ketahanan pangan, dengan tetap mengoptimalkan penerimaan negara dari penjualan gas.

(3)

Dalam rangka untuk mengurangi beban subsidi pertanian terutama pupuk pada masa yang akan datang, Pemerintah menjamin harga gas untuk memenuhi kebutuhan perusahaan produsen pupuk dalam negeri dengan harga domestik.

(4)

Pemerintah daerah diberi kewenangan mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi melalui mekanisme Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RD KK).

Pasal 11

Subsidi benih dalam Tahun Anggaran 2011 direncanakan sebesar Rp120.322.880.000,00 (seratus dua puluh miliar tiga ratus dua puluh dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah).

Pasal 12

Subsidi dalam rangka kewajiban pelayanan umum/ public service obligation (PSO) dalam Tahun Anggaran 2011 direncanakan sebesar Rp1.877.494.574.000,00 (satu triliun delapan ratus tujuh puluh tujuh miliar empat ratus sembilan puluh empat juta lima ratus tujuh puluh empat ribu rupiah).

Pasal 13

Subsidi bunga kredit program dalam Tahun Anggaran 2011 direncanakan sebesar Rp2.618.239.000.000,00 (dua triliun enam ratus delapan belas miliar dua ratus tiga puluh sembilan juta rupiah) .

Pasal 14

Subsidi pajak ditanggung Pemerintah (DTP) dalam Tahun Anggaran 2011 direncanakan sebesar Rp14.750.000.000.000,00 (empat belas triliun tujuh ratus lima puluh miliar rupiah).

Pasal 15

(1)

Belanja Subsidi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan untuk mengantisipasi deviasi realisasi asumsi ekonomi makro, berdasarkan kemampuan keuangan negara.

(2)

Apabila kemampuan keuangan negara memungkinkan, yaitu dalam hal terjadi penghematan belanja negara pada tahun 2010 yang mengakibatkan terjadinya SILPA yang menambah SAL, Pemerintah dapat melakukan pembayaran kekurangan subsidi listrik tahun 2009 (audited) sebesar Rp4.580.473.788.000,00 (empat triliun lima ratus delapan puluh miliar empat ratus tujuh puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluh delapan ribu rupiah), dan dilaporkan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2011 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2011.

(3)

Untuk mengantisipasi terjadinya risiko fiskal akibat dari realisasi subsidi listrik tahun 2010 dan tahun 2011 yang melebihi pagu anggarannya sehingga berpotensi menambah defisit anggaran, Pemerintah diberikan kewenangan untuk menggunakan dana SAL di luar penggunaan SAL/SILPA sebagaimana dimaksud ayat (2) dengan pagu paling tinggi sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), dibahas dengan Badan Anggaran dan dilaporkan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2011 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011.

Pasal 16

(1)

Dalam rangka kesinambungan pelaksanaan kegiatan-kegiatan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan, Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dalam Program/Kegiatan Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang terdiri atas Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pengembangan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2010, dapat dilanjutkan sampai dengan akhir April 2011.

(2)

Pengajuan usulan lanjutan program/kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam bentuk konsep DIPA Lanjutan (DIPA-L) paling lambat pada tanggal 15 Januari 2011.

(3)

Pengaturan lebih lanjut pelaksanaan DIPA-L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 17

(1)

Kegiatan-kegiatan dalam rangka pembangunan infrastruktur serta rehabilitasi dan rekonstruksi bencana alam yang dilakukan dalam tahun 2010, tetapi belum dapat diselesaikan sampai dengan akhir Desember 2010, dapat dilanjutkan penyelesaiannya ke tahun 2011.

(2)

Pendanaan untuk kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari pagu kementerian negara/lembaga masing-masing dalam Tahun Anggaran 2011.

(3)

Pengajuan usulan lanjutan kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam bentuk konsep revisi DIPA paling lambat pada tanggal 31 Januari 2011.

(4)

Pengaturan lebih lanjut pelaksanaan kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 18

(1)

Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2011, dapat digunakan untuk melunasi kekurangan pembayaran pembelian tanah, bantuan kontrak rumah, tunjangan hidup dan biaya evakuasi di luar peta terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedung Cangkring, dan Desa Pejarakan), serta untuk bantuan kontrak rumah, tunjangan hidup, biaya evakuasi dan relokasi pada sembilan rukun tetangga di tiga desa (Desa Siring Barat, Desa Jatirejo, dan Desa Mindi).

(2)

Kekurangan pembayaran pembelian tanah di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedung Cangkring, dan Desa Pejarakan) disesuaikan dengan tahapan pelunasan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas.

Pasal 19

(1)

Dalam rangka penyelamatan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar tanggul lumpur Sidoarjo, anggaran belanja yang dialokasikan pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2011 dapat digunakan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur, termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong (mengalirkan lumpur dari tanggul utama ke Kali Porong) dengan pagu paling tinggi sebesar Rp155.000.000.000,00 (seratus lima puluh lima miliar rupiah).

(2)

Pelaksanaan kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Pasal 20

(1)

Dalam rangka efisiensi dan efektivitas pelaksanaan anggaran belanja tahun 2010, kementerian negara/lembaga (K/L) yang tidak sepenuhnya melaksanakan anggaran belanja tahun 2010 sebagaimana telah ditetapkan, anggaran yang tidak terserap tersebut akan menjadi faktor pengurang dalam penetapan alokasi anggaran pada Tahun Anggaran 2011.



(2)

Faktor pengurang dalam penetapan alokasi anggaran pada Tahun Anggaran 2011 bagi kementerian negara/lembaga (K/L) yang tidak sepenuhnya melaksanakan anggaran belanja tahun 2010 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

a.

Pengurangan dikenakan hanya terhadap kementerian negara/lembaga (K/L) yang tidak dapat memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

b.

Pengurangan pagu belanja Tahun Anggaran 2011 bagi kementerian negara/lembaga (K/L) sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah maksimum sebesar sisa anggaran belanja 2010 yang tidak diserap; dan

c.

Pengurangan pagu belanja Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dibebankan pada satuan kerja yang tidak menyerap pagu belanja kementerian negara/lembaga (K/L) secara maksimal melalui pemotongan alokasi anggaran pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) satuan kerja yang bersangkutan.

(3)

Pengurangan pagu kepada kementerian negara/lembaga (K/L) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lambat 31 Maret 2011.

(4)

Pengurangan pagu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2011 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011.

(5)

Tata cara pemotongan pagu belanja diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Pasal 21

Pemerintah diberi kewenangan untuk melakukan pengeluaran dalam rangka memenuhi setiap kewajiban yang timbul sehubungan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).

Pasal 22

(1)

Perubahan rincian lebih lanjut dari anggaran belanja Pemerintah Pusat berupa:

a.

pergeseran anggaran belanja:

1.

dari Bagian Anggaran 999.08 (Belanja Lainnya) ke Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (K/L);

2.

antarkegiatan dalam satu program sepanjang pergeseran tersebut merupakan hasil optimalisasi dan tidak mengurangi volume keluaran (output) yang telah direncanakan; dan/atau

3.

antarjenis belanja dalam satu kegiatan.

b.

perubahan anggaran belanja yang bersumber dari kelebihan realisasi di atas target PNBP;

c.

perubahan pagu pinjaman proyek dan hibah luar negeri dan pinjaman dan hibah dalam negeri (PHDN) sebagai akibat dari lanjutan dan percepatan penarikan pinjaman proyek dan hibah luar negeri dan PHDN, termasuk hibah luar negeri/hibah dalam negeri setelah Undang-Undang mengenai APBN ditetapkan; dan

d.

perubahan pagu pinjaman proyek luar negeri sebagai akibat pengurangan alokasi pinjaman luar negeri;

ditetapkan oleh Pemerintah.

(2)

Penggunaan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP di atas pagu APBN untuk perguruan tinggi negeri dan BLU ditetapkan oleh Pemerintah.

(3)

Perubahan rincian belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang masih dalam satu provinsi/kabupaten/kota untuk kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka tugas pembantuan dan Urusan Bersama (UB) atau dalam satu provinsi untuk kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka dekonsentrasi.

(4)

Perubahan rincian belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan antarprovinsi/ kabupaten/kota untuk kegiatan operasional yang dilaksanakan oleh unit organisasi di tingkat pusat dan oleh instansi vertikalnya di daerah.

(5)

Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaporkan Pemerintah kepada DPR RI dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2011 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011.

Pasal 23

(1)

Hasil optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a.2) hanya dapat digunakan pada tahun anggaran 2012 untuk kegiatan dan program yang sama atau sebagai kegiatan baru, kecuali untuk hal-hal yang bersifat prioritas, mendesak, kedaruratan atau yang tidak dapat ditunda, yang penetapannya dilakukan oleh Pemerintah.

(2)

Tata cara perubahan rincian anggaran belanja pemerintah pusat, termasuk penggunaan hasil optimalisasi, diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Pasal 24

Kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman dalam negeri dapat dilaksanakan dengan tahun jamak.

Pasal 25

(1)

Anggaran transfer ke daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b terdiri atas:

a.

dana perimbangan; dan

b.

dana otonomi khusus dan penyesuaian.

(2)

Dana perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp334.324.012.145.000,00 (tiga ratus tiga puluh empat triliun tiga ratus dua puluh empat miliar dua belas juta seratus empat puluh lima ribu rupiah).

(3)

Dana otonomi khusus dan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp58.656.286.333.200,00 (lima puluh delapan triliun enam ratus lima puluh enam miliar dua ratus delapan puluh enam juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu dua ratus rupiah).

Pasal 26



(1)

Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a terdiri atas:

a.

Dana bagi hasil;

b.

Dana alokasi umum; dan

c.

Dana alokasi khusus.

(2)

Dana bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp83.558.387.320.000,00 (delapan puluh tiga triliun lima ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus delapan puluh tujuh juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah).

(3)

Dana bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk kurang bayar dana bagi hasil SDA minyak bumi dan gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi serta dana bagi hasil pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

(4)

Dana alokasi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dialokasikan sebesar 26% (dua puluh enam persen) dari PDN neto atau direncanakan sebesar Rp225.532.824.825.000,00 (dua ratus dua puluh lima triliun lima ratus tiga puluh dua miliar delapan ratus dua puluh empat juta delapan ratus dua puluh lima ribu rupiah).

(5)

PDN neto sebagaimana dimaksud ayat (4) dihitung berdasarkan penjumlahan antara penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak, dikurangi dengan:

a.

penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah;

b.

anggaran belanja yang sifatnya diarahkan berupa belanja PNBP Kementerian Negara/Lembaga;

c.

subsidi pajak; dan

d.

subsidi lainnya yang terdiri atas subsidi BBM jenis tertentu dan LPG tabung 3 (tiga) kilogram, subsidi listrik, subsidi pupuk, subsidi pangan dan subsidi benih yang dihitung berdasarkan bobot/persentase tertentu.

(6)

Dana alokasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp25.232.800.000.000,00 (dua puluh lima triliun dua ratus tiga puluh dua miliar delapan ratus juta rupiah).

(7)

Petunjuk teknis pelaksanaan DAK Pendidikan harus terlebih dahulu dikonsultasikan/ mendapatkan persetujuan Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Untuk menjamin efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitasnya, maka pelaksanaan DAK Pendidikan harus menggunakan metode pengadaan barang dan jasa yang mengacu kepada mekanisme sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak dalam bentuk block grant/hibah ke penerima manfaat atau sekolah.

(8)

Dalam hal pagu atas perkiraan alokasi DBH yang ditetapkan dalam Tahun Anggaran 2011 tidak mencukupi kebutuhan penyaluran atau realisasi melebihi pagu dalam Tahun Anggaran 2011, Pemerintah menyalurkan alokasi DBH berdasarkan realisasi penerimaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(9)

Dalam hal terdapat sisa realisasi penerimaan yang belum dibagihasilkan sebagai dampak belum teridentifikasinya daerah penghasil, Menteri Keuangan menempatkan sisa penerimaan dimaksud sebagai dana cadangan dalam rekening Pemerintah.

(10)

Dana cadangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dialokasikan berdasarkan selisih pagu dalam satu tahun anggaran dengan penyaluran DBH triwulan I sampai dengan triwulan IV Tahun Anggaran 2011.

(11)

Tata cara pengelolaan dana cadangan dalam rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(12)

Perhitungan dan pembagian lebih lanjut mengenai dana perimbangan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

(13)

Rincian dana perimbangan Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6) adalah sebagaimana tercantum dalam penjelasan ayat ini.

Pasal 27

(1)

Dana otonomi khusus dan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b terdiri atas:

a.

dana otonomi khusus; dan

b.

dana penyesuaian, yang terdiri atas:

1.

dana tambahan penghasilan guru pegawai negeri sipil daerah (PNSD);

2.

dana insentif daerah (DID);

3.

tunjangan profesi guru (TPG);

4.

bantuan operasional sekolah (BOS);

5.

dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID); dan

6.

kurang bayar dana sarana dan prasarana infrastruktur Provinsi Papua Barat tahun Anggaran 2008.

(2)

Dana otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp10.421.312.993.000,00 (sepuluh triliun empat ratus dua puluh satu miliar tiga ratus dua belas juta sembilan ratus sembilan puluh tiga ribu rupiah).

(3)

Dana penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp48.234.973.340.200,00 (empat puluh delapan triliun dua ratus tiga puluh empat miliar sembilan ratus tujuh puluh tiga juta tiga ratus empat puluh ribu dua ratus rupiah).

(4)

Dana tambahan penghasilan guru pegawai negeri sipil daerah (PNSD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 direncanakan sebesar Rp3.696.177.700.000,00 (tiga triliun enam ratus sembilan puluh enam miliar seratus tujuh puluh tujuh juta tujuh ratus ribu rupiah).

(5)

Dana insentif daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 direncanakan sebesar Rp1.387.800.000.000,00 (satu triliun tiga ratus delapan puluh tujuh miliar delapan ratus juta rupiah).

(6)

Tunjangan profesi guru (TPG) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 direncanakan sebesar Rp18.537.689.880.200,00 (delapan belas triliun lima ratus tiga puluh tujuh miliar enam ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus delapan puluh ribu dua ratus rupiah).

(7)

Bantuan operasional sekolah (BOS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 4 direncanakan sebesar Rp16.812.005.760.000,00 (enam belas triliun delapan ratus dua belas miliar lima juta tujuh ratus enam puluh ribu rupiah) dan akan dibayarkan melalui mekanisme transfer ke daerah.

(8)

Dana penyesuaian infrastruktur daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 5 direncanakan sebesar Rp7.700.800.000.000,00 (tujuh triliun tujuh ratus miliar delapan ratus juta rupiah).

(9)

Kurang bayar dana sarana dan prasarana infrastruktur Provinsi Papua Barat tahun Anggaran 2008 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 6 direncanakan sebesar Rp100.500.000.000,00 (seratus miliar lima ratus juta rupiah).

(10)

Dana insentif daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan dalam rangka pelaksanaan fungsi pendidikan yang dialokasikan kepada daerah dengan mempertimbangkan kriteria tertentu.

Pasal 28

(1)

Anggaran pendidikan direncanakan sebesar Rp248.978.493.061.200,00 (dua ratus empat puluh delapan triliun sembilan ratus tujuh puluh delapan miliar empat ratus sembilan puluh tiga juta enam puluh satu ribu dua ratus rupiah).

(2)

Persentase anggaran pendidikan adalah sebesar 20,2% (dua puluh koma dua persen), yang merupakan perbandingan alokasi anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap total anggaran belanja negara sebesar Rp1.229.558.465.306.000,00 (satu kuadriliun dua ratus dua puluh sembilan triliun lima ratus lima puluh delapan miliar empat ratus enam puluh lima juta tiga ratus enam ribu rupiah).

(3)

Di dalam alokasi anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dana pengembangan pendidikan nasional sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) yang penggunaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

(1)

Jumlah anggaran pendapatan negara dan hibah Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp1.104.901.964.236.000,00 (satu kuadriliun seratus empat triliun sembilan ratus satu miliar sembilan ratus enam puluh empat juta dua ratus tiga puluh enam ribu rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), lebih kecil daripada jumlah anggaran belanja negara sebesar Rp1.229.558.465.306.000,00 (satu kuadriliun dua ratus dua puluh sembilan triliun lima ratus lima puluh delapan miliar empat ratus enam puluh lima juta tiga ratus enam ribu rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) sehingga dalam Tahun Anggaran 2011 terdapat defisit anggaran sebesar Rp124.656.501.070.000,00 (seratus dua puluh empat triliun enam ratus lima puluh enam miliar lima ratus satu juta tujuh puluh ribu rupiah) yang akan dibiayai dari pembiayaan defisit anggaran.

(2)

Pembiayaan defisit anggaran Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sumber-sumber:

a.

pembiayaan dalam negeri sebesar Rp125.265.957.255.000,00 (seratus dua puluh lima triliun dua ratus enam puluh lima miliar sembilan ratus lima puluh tujuh juta dua ratus lima puluh lima ribu rupiah); dan

b.

pembiayaan luar negeri neto sebesar negatif Rp609.456.185.000,00 (enam ratus sembilan miliar empat ratus lima puluh enam juta seratus delapan puluh lima ribu rupiah).

(3)

Rincian pembiayaan defisit anggaran Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam penjelasan ayat ini.

Pasal 30

(1)

Penyertaan modal negara pada organisasi/lembaga keuangan internasional yang akan dilakukan dan/atau telah tercatat pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagai Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara, ditetapkan untuk dijadikan penyertaan modal negara pada organisasi/lembaga keuangan internasional tersebut.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyertaan modal negara pada organisasi/lembaga keuangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 31

(1)

Barang Milik Negara (BMN) yang berasal dari Daftar Isian Kegiatan (DIK)/Daftar Isian Proyek (DIP)/Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Negara/Lembaga yang dipergunakan dan/atau dioperasikan oleh BUMN dan telah tercatat pada Neraca BUMN sebagai BPYBDS atau akun yang sejenis, ditetapkan untuk dijadikan Penyertaan Modal Negara pada BUMN tersebut.

(2)

Persetujuan DIPA Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2011 atas pengadaan BMN yang akan dipergunakan dan/atau dioperasikan oleh BUMN, sekaligus menjadi persetujuan untuk pengalihan BMN tersebut sebagai Penyertaan Modal Negara pada BUMN yang mempergunakan/mengoperasikan BMN tersebut.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyertaan modal negara pada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 32

Perubahan lebih lanjut dari pembiayaan defisit anggaran berupa perubahan pagu penerusan pinjaman luar negeri akibat dari lanjutan dan percepatan penarikan penerusan pinjaman luar negeri, ditetapkan oleh Pemerintah dan dilaporkan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2011 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011.

Pasal 33

(1)

Dalam rangka kesinambungan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang dananya bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri dan telah dialokasikan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2011, sisa anggaran yang tidak terserap sampai dengan akhir tahun anggaran 2011 dapat dilanjutkan pada tahun anggaran 2012.

(2)

Pengajuan usulan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam bentuk konsep DIPA Lanjutan (DIPA-L) paling lambat tanggal 31 Januari 2012.

(3)

Pengaturan lebih lanjut pelaksanaan DIPA-L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 34

(1)

Pada pertengahan Tahun Anggaran 2011, Pemerintah menyusun laporan realisasi pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara Semester Pertama Tahun Anggaran 2011 mengenai:

a.

realisasi pendapatan negara dan hibah;

b.

realisasi belanja negara; dan

c.

realisasi pembiayaan defisit anggaran.

(2)

Dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah menyertakan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.

(3)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat pada akhir bulan Juli 2011, untuk dibahas bersama antara DPR RI dan Pemerintah.

Pasal 35

(1)

Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menyelesaikan piutang instansi Pemerintah yang diurus/ dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, khususnya piutang terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan piutang berupa Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana (KPR RS/RSS), meliputi dan tidak terbatas pada restrukturisasi dan haircut piutang pokok sampai dengan 100% (seratus persen).

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 36

(1)

Dalam hal realisasi penerimaan negara tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran negara pada saat tertentu, kekurangannya dapat dipenuhi dari dana SAL, Penerbitan SBN atau penyesuaian belanja negara.

(2)

Pemerintah dapat menerbitkan SBN untuk membiayai kebutuhan pengelolaan kas bagi pelaksanaan APBN, apabila dana tunai pengelolaan kas tidak cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan awal tahun.

(3)

Pemerintah dapat melakukan pembelian SBN untuk kepentingan stabilisasi pasar dan pengelolaan kas dengan tetap memperhatikan jumlah kebutuhan penerbitan SBN neto untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan yang ditetapkan.

(4)

Dalam hal terdapat alternatif sumber pembiayaan dari utang yang lebih menguntungkan, Pemerintah dapat melakukan perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang tanpa menyebabkan perubahan pada total pembiayaan utang tunai.

(5)

Untuk menurunkan biaya penerbitan SBN dan memastikan ketersediaan pembiayaan melalui utang, Pemerintah dapat menerima jaminan penerbitan utang dari lembaga yang dapat menjalankan fungsi penjaminan, dan/atau menerima fasilitas dalam bentuk dukungan pembiayaan.

(6)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) ditetapkan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2011 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011.

Pasal 37

(1)

Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2011 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2011, apabila terjadi:

a.

perkiraan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2011;

b.

perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;

c.

keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarprogram, dan/ atau antarjenis belanja; dan/ atau

d.

keadaan yang menyebabkan SAL tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan.

(2)

Saldo anggaran lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak termasuk SAL yang merupakan saldo kas di BLU yang penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dilaporkan dalam pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

(3)

Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum tahun anggaran 2011 berakhir.

Pasal 38

(1)

Setelah Tahun Anggaran 2011 berakhir, Pemerintah menyusun pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2011 berupa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

(2)

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.

(3)

Laporan realisasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan informasi pendapatan dan belanja berbasis akrual.

(4)

Neraca sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyajikan aset dan kewajiban berdasarkan basis akrual.

(5)

Penerapan pendapatan dan belanja negara secara akrual dalam laporan keuangan tahun 2011 dilaksanakan secara bertahap pada badan layanan umum.

(6)

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berbasis kas menuju akrual.

(7)

Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011, setelah Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, paling lambat 6 (enam) bulan setelah Tahun Anggaran 2011 berakhir untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 39

Pemerintah dalam melaksanakan APBN Tahun Anggaran 2011 harus mengupayakan pemenuhan sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang tercermin dalam:

a.

penurunan kemiskinan menjadi sebesar 11,5% (sebelas koma lima persen) sampai dengan 12,5% (dua belas koma lima persen); dan

b.

pertumbuhan ekonomi setiap 1% (satu persen) dapat menyerap sekitar 400.000 (empat ratus ribu) tenaga kerja.

Pasal 40

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 19 November 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 19 November 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 126