Saturday, January 15, 2011

Jambi Jangan Jadi Sapi Perah

Jaga Kelestarian SDA

Sawit
















JAMBI
- Pepatah habis manis sepah dibuang, jangan sampai menimpah Jambi dikemudian hari. Sumber Daya Alam (SDA) yang sudah terkuras, kemudian ditinggalkan oleh investor begitu saja. Oleh karena itu, pemerintah harus mewaspadai ini terjadi. ''Jangan sampai kita ini jadi sapi perahan saja,'' ungkap pengamat ekonomi, Dr Pantun Bukit, kepada koran ini, kemarin.

Dari catatan koran ini, memang Jambi ini termasuk daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Dari dataran Jambi seluas 51.000.000 hektare, sebanyak 1.211.236 hektare diantaranya telah dikembangkan untuk lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Hasil pertanian inilah yang memberikan kontribusi 26,92% untuk PRDB. Kemudian, komoditas perkebunan khususnya karet dan kelapa sawit merupakan komoditas unggulan. Tahun 2006 luas kebun karet mencapai 623.825 ha dengan produksi 225.702 ton per tahun. Sedangkan Sawit hingga tahun 2010 mencapai 490.000 Ha. Produksi batu bara sekitar 50.000 metrik ton per tahun, kabupaten penghasil terbesar adalah Kabupaten Sarolangun dan Bungo dengan kandungan kalori rendah sampai sedang. Potensi lain adalah gas bumi dengan potensi 178,13 Triliun kaku kubik/TCF yang terdiri dari 91,17 TCF cadangan terbukti dan 86,69 TCF cadangan potensi. Potensi gas berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi.

Sumber daya alam yang melimpah ini saat ini sedang diekploitasi oleh perusahaan swasta maupun BUMN. Tapi, sayangnya, hasil eksploitasi SDA ini, terutama migas, sekitar 80 persennya dibawah ke pusat.

''Hanya 15 persen yang dikembalikan ke provinsi Jambi. Itu artinya multiplayer effect yang ditimbulkan akibat kecilnya perputaran uang itu tidak begitu besar. Makanya, saya mengatakan, ekploitasi SDA menimbulkan efek negatif,'' sebut Pantun.

Sektor batubara, katanya, juga demikian. Sebagian besar pemilik batubara adalah orang luar Jambi. Sehingga uang dari hasil produksi batubara banyak lari ke luar daerah. ''Multiplayer effect yang ditimbulkan juga sangat kecil,'' ucap Pantun.

Oleh karena itu, katanya, pemerintah harus membuat kebijakan untuk mengurangi eksploitasi batubara ini. Batubara yang masih muda-muda katanya, sebaiknya jangan diekploitasi terlebih dahulu. Sedangkan untuk perkebunan sendiri dia menilai, perlu dipikirkan industri hilirnya. Ini untuk menimbulkan multiplayers effeck yang lebih luas. ''Selama ini kita hanya bergantung di sektor primernya saja,'' tukasnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi pertanian Unja, Prof Dr Zulkifli Alamsyah mengingatkan pemerintah akan dampak dari perkebunan sawit. Dikatakannya, pasca perkebunan sawit, tanahnya sulit untuk digunakan kembali. Sampai saat ini, belum ada teknologi yang murah untuk menggembalikan kegemburan tanah perkebunan sawit ini.

''Di Malaysia, bekas perkebunan sawit dikasih bahan kimia, kemudian digemburkan tanahnya dengan alat berat. Lalu ditunggu dua tahun baru bisa ditanam kembali. Saya kira teknologi kita belum ada yang seperti itu,'' ujarnya.

Di Jambi ini katanya, banyak sekali perkebunan sawit yang sudah tua. Terutama yang ditanam tahun 1980-an. Padahal, usia produktif kebun sawit itu sebutnya, paling lama hanya 25 tahun. ''PTPN III yang pernah saya kunjungi pernah merevitalisasi kebun sawit dengan cara menyisipkan tanaman tersebut. Tapi, ternyata hasilnya hanya 60 persen dari produksi biasanya. Oleh karena itu saya kira pemerintah perlu membuat kebijakan untuk merevitalisasi kebun sawit tersebut. Tanpa bantuan pemerintah, saya kira petani tidak bisa,'' tandasnya.

Ditambahkannya, dari 26 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Jambi, sepengatahuannya tidak ada yang dimiliki oleh masyarakat Jambi. Hasilnya tentu, akan keluar Jambi. ''Pemerintah perlu juga menekan perusahaan sawit tersebut agar mereka selain membayar pajak dan menyalurkan CSR, juga bisa membantu pembangunan infrastruktur. Minimal di daerah sekitar perkebunan tersebut,'' tegasnya.

NGO yang bergerak mengamati perkebunan sawit, Setara juga mencatat hingga tahun 2010, luas perkebunan sawit mencapai 490.000 Ha. Dari luasan tersebut sekitar 70% dikuasai oleh group-group besar. Sedangkan sisanya 30% adalah dikuasai oleh negara melalui PTPN VI dan perusahaan-perusahaan lokal.

''Ini terlihat ada ketidakadilan pengusaan lahan di provinsi Jambi. Dimana ruang-ruang investasi skala besar dibuka seluas-luasnya. Sementara untuk masyarakat, untuk menggarap hutan atau mengelola lahan saja tidak pernah dibuka ruang sedemikian besar,'' ungkap Divisi Kampanye Setara, Nurbaya Zulhakim.

Dikatakannya, ketidakadilan ini juga berlaku, dimana pemerintah sangat memperhatikan perusahaan-perusahaan skala besar. Seperti iklim investasi, jaminan pembiayaan skema kemitraan. Bahkan hingga pada jaminan berusaha dan jaminan keamanan.

''Sementara petani kecil (petani mandiri), belum dapat akses pendanaan perbankan, dan bahkan jaminan pasar,'' tandasnya.

No comments:

Post a Comment