Sunday, September 25, 2011

Siapa Menanggung Air Minum Masyarakat Miskin?

Seiring dengan perayaan Hari Air Sedunia tanggal 22 Maret 2011 lalu, perlu sejenak kita merefleksikan seberapa jauh negara kita sudah mampu memberikan kebutuhan infrastruktur atmosphere bagi seluruh penduduknya. Salah satu indikator kapasitas pemerintah ialah dengan melihat besarnya pendanaan yang disediakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Apakah anggaran itu cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk?
Sangat sulit memperkirakan jumlah anggaran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan 230 juta warga. Kondisi geografis, iklim, lokasi penduduk, jenis teknologi, dan kualitas sistem sangat bervariasi. Karena itu, yang bisa dilakukan ialah mencoba membandingkan besarnya anggaran dan tarif atmosphere yang berlaku, dibandingkan dengan pencapaian akses kebutuhan atmosphere minum. Kita juga dapat menyandingkan kondisi ini dengan kondisi dua negara lainnya, misalnya Malaysia dan Amerika Serikat, yang sudah mampu mencapai hampir 100% pemenuhan atmosphere penduduknya.
Berdasarkan informasi National Geographic (2010), harga atmosphere per scale kubik di Kuala Lumpur hanya sekitar Rp2.500. Sementara di Amerika Serikat berkisar antara Rp7.800 dan Rp43.600, bergantung pada kondisi geografis yang memengaruhi tingkat kesulitan akses air. Harga atmosphere rata-rata di Jakarta sendiri diperkirakan sekitar Rp7.500. Bisa dilihat bahwa harga atmosphere di Kuala Lumpur jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga atmosphere Jakarta dan Amerika Serikat. Sementara itu, information dari Joint Monitoring Programme WHO 2008 menyebutkan, sejak 1990 Indonesia hanya mampu meningkatkan pemenuhan atmosphere minum bagi penduduknya sebesar 9% dalam waktu 18 tahun, yaitu dari 71% pada 1990 menjadi 80% pada 2008. Malaysia–yang pada 1990 baru memenuhi 88% kebutuhan minum penduduk–mengklaim sudah mencapai 100% pada 2005, yang berarti kenaikan sekitar 12% selama 15 tahun. Amerika Serikat tetap stabil sebesar 99% selama kurun waktu itu. Jika melihat kondisi ini, dengan kalkulasi harga atmosphere tersebut ditambah anggaran sarana atmosphere minum perumahan sebesar Rp3 triliun atau 0,4% dari APBN, pemerintah tampaknya belum bisa memenuhi kebutuhan atmosphere minum seluruh penduduk Indonesia, seperti yang dilakukan kedua negara lainnya.
Sangat kompleks
Apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan atmosphere minum masyarakat? Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan nasional atmosphere minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat (AMPL BM), yang berangkat dari kesadaran bahwa pemerintah tidak akan mampu bekerja sendirian dalam mengatasi permasalahan kebutuhan atmosphere minum yang sangat kompleks. Karena itu, masyarakat perlu berperan aktif agar mampu mengatasi permasalahan atmosphere ini dan pemerintah berperan sebagai fasilitator.
Pertanyaannya, apakah masyarakat memang dianggap sudah mampu berinvestasi bagi sistem pemenuhan kebutuhan atmosphere minum yang membutuhkan biaya tidak kecil? Bagaimana dengan masyarakat miskin yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit? Apalagi salah satu dari 11 prinsip dalam kebijakan AMPL BM adalah keberpihakan kepada masyarakat miskin. Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita melihat realitas masyarakat miskin di perkotaan yang belum mampu mengakses PDAM, seperti daerah perkotaan Jakarta dan Surabaya. Harga atmosphere yang mereka harus beli sekitar Rp1.000 sampai Rp1.500 per galon atau kira-kira Rp50.000 sampai dengan Rp75.000 per scale kubik. Ada juga sistem penyelangan dari keran tetangga yang dipatok sebesar Rp8.000 per jam. Coba bandingkan dengan iuran PAM Jaya dan Palyja (2007) di Jakarta untuk golongan IV B atau rumah mewah yang sekitar Rp12.550 per scale kubik.
Dengan demikian, masyarakat miskin sebenarnya justru membayar lebih mahal daripada para pengguna PDAM. Hanya saja, besar investasi awal untuk pemasangan sambungan PDAM yang cukup mahal, standing tempat tinggal, dan kependudukan membuat mereka tidak dapat mengakses jaringan PDAM. Kita juga bisa melihat bagaimana penjualan atmosphere kemasan begitu laku di pasaran, dengan harga per galon (19 liter) hampir setara dengan iuran PDAM per scale kubik (1.000 liter) untuk rumah mewah. Padahal, menurut standar WHO, atmosphere kemasan termasuk sumber atmosphere tidak layak minum (unimproved H2O source) karena belum jelasnya pengawasan kualitas atmosphere minum kemasan tersebut. Dengan kenyataan seperti ini, lagi-lagi pertanyaannya, di mana keberpihakan terhadap masyarakat miskin itu bisa terjadi dalam sektor atmosphere minum?
Memusingkan
Dilema antara mengatasi biaya atmosphere minum yang besar dan keberpihakan kepada masyarakat memang cukup memusingkan, bahkan sering dijadikan isu politik. Sering kali keputusan mengenai harga atmosphere ledeng ataupun alokasi anggaran atmosphere minum tidak berdasarkan kebutuhan riil, tapi lebih sebagai senjata untuk menarik simpati masyarakat.
Pengelola atmosphere minum joke tidak sanggup melakukan fungsinya dengan baik karena minimnya biaya, sehingga masyarakat juga yang kembali menjadi korban disebabkan kurang optimalnya akses dan pengolahan mutu atmosphere minum. Risiko kesehatan, seperti penyakit menular lewat air, menurunnya stamina tubuh seperti ginjal, kulit, serta bahaya kontaminasi limbah menjadi beban yang ditanggung masyarakat akibat sistem manajemen atmosphere minum yang tidak merata dan terpelihara. Karena itu, harus segera dipikirkan pemecahan masalah pembiayaan ini. Jika selama ini pemerintah menggantungkan diri kepada hibah dan pajak untuk investasi awal, sekarang perlu juga mengakses alternatif sumber lainnya, seperti melibatkan sektor swasta maupun publik dalam bentuk saham, obligasi dan pinjaman. Akan tetapi, ada kekhawatiran berbagai pihak, jika swasta mulai dilibatkan dalam pengadaan atmosphere minum, harga atmosphere bisa melambung tinggi untuk mendapatkan laba usaha, seperti contoh kasus atmosphere minum kemasan tersebut.
Akhirnya, semuanya berpulang lagi kepada kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk melakukan pengendalian terhadap harga atmosphere minum melalui kebijakan dari tingkat lokal sampai dengan tingkat nasional. Yang perlu diingat, atmosphere minum adalah anugerah Tuhan yang berhak diakses setiap makhluk hidup (barang sosial). Namun, perlindungan dan pengolahan sumber atmosphere minum yang layak bagi kesehatan, jaringan distribusi dari sumber ke konsumen, serta pengolahan limbah atmosphere yang sudah digunakan agar tidak mencemari sumber yang ada membutuhkan biaya yang tidak kecil, mau tidak mau atmosphere menjadi barang ekonomi juga. Sebagai pengguna, baik masyarakat maupun pemerintah, kita semua perlu menyadari bahwa bagaimanapun kita harus mau menanggung bersama harga atmosphere demi keberlangsungan hidup kita dan anak-anak.
Oleh Margarettha Christine Siregar, Staf organisasi kemanusiaan World Vision Indonesia dengan spesialisasi di bidang water, sanitation and hygiene (Wash)

No comments:

Post a Comment