Saturday, April 3, 2010

Dugaan Korupsi Pengadaan Menara Suar di Departemen perhubungan Review Dugaan Korupsi Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (Menara Suar) Tahun

Jumat, 25 Juli 2008
Dugaan Korupsi Pengadaan Menara Suar di Departemen perhubungan

Review Dugaan Korupsi Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (Menara Suar) Tahun 2005 di Departemen Perhubungan
I. Pendahuluan

Pembangunan sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) merupakan bagian dari program pemerintah untuk mengembangkan potensi ekonomi wilayah kelautan sekaligus untuk menjaga kedaulatan Indonesia di pulau-pulau terluar.
Kondisi inilah yang mendorong pemerintah untuk meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan sarana navigasi. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No 7 Tahun 2005 dijelaskan bahwa sarana bantu navigasi pelayaran adalah sarana yang dibangun atau terbentuk secara alami dengan fungsi membantu navigator dalam menentukan posisi dan/atau haluan kapal serta memberitahukan bahaya dan/atau rintangan pelayaran untuk kepentingan keselamatan berlayar. Salah satu sarana bantu navigasi tersebut diantarannya adalah menara suar dan rambu suar.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut pada tahun 2005 berupaya membangun sarana bantu navigasi pelayaran di 47 lokasi pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Pendanaan dari proyek ini bersumber dari APBN dengan sistem multiyear.
Menurut kontrak kerja No. 01/K/SNP/PPK-SKDJPL/2005 tertanggal 19 desember 2005, Dirjen Perhubungan Laut menggandeng PT LEN Industri (Persero) untuk melakukan pekerjaan senilai Rp. 144.252.500.000,00 (Seratus empat puluh empat miliar dua ratus lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah).
Lingkup pekerjaan PT LEN adalah membangun SBNP di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar indonesia yang dibagi menjadi beberapa Home Base yaitu ; Padang, Tanjung pinang, Cilacap, Samarinda, Bitung dan Makassar. Pembangunan SBNP tersebut diantaranya :
1. Menara Suar 40 m di 25 lokasi
2. Rambu Suar 30 m di 15 lokasi
3. Rabu Suar 15 m di 3 lokasi
4. Rambu Suar 15 m laut di 4 Lokasi
II. Indikasi Penyimpangan
Pembangunan sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) bertujuan untuk meningkatkan kecukupan dan kehandalan sarana navigasi serta penandaan batas wilayah perbatasan NKRI dengan negara tetangga.
Pada prakteknya pembangunan 47 SBNP ini diindikasikan banyak mengalami penyimpangan, hal in diperkuat oleh hasil pemeriksaan BPK. yang tercantum dalam laporan Nomor 27/S/III-XI.2/06/2007, diantaranya :
1. Biaya penyediaan tanah tidak bisa dipertanggungjawabkan
2. Kemahalan harga peralatan SBNP yaitu sistem lampu suar flashing 12 NM
3. Sebagian dari pembangunan SBNP tidak sesuai dengan rencana
4. Perhitungan struktur bawah pembangunan SBNP belum sesuai dengan kontrak
Berdasarkan laporan masyarakat sekaligus menindaklanjuti temuan BPK maka ICW berinisiatif untuk melakukan penelusuran dan ternyata ditemukan berbagai penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara, diantaranya:
A. Penentuan Pulau tidak sesuai PerpresMenurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2005 pasal 1(b), dijelaskan bahwa Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 Km2. Menurut lampiran disebutkan bahwa jumlah pulau terluar sesuai Perpres ini mencapai 92 pulau. Namun jika membandingkan daftar pulau dimana lokasi 47 SBNP dibangun ternyata terdapat tujuh buah pulau yang tidak tercantum dalam Perpres. Pulau tersebut diantaranya :
1. Pulau Ujung Genteng
2. Pulau Tutuneden
3. Pulau Torodoro
4. Pulau Sungai Torasi
5. Pulau Tanjung Datu
6. Pulau Lakor
7. Pulau Tanpa Nama
B. Penentuan Home Base Mengakibatkan Inefisiensi
Pembangunan sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) yang berada di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar NKRI tentu membawa konskuensi pada jarak tempuh. Untuk itulah, demi pertimbangan efisiensi dan aksesibilitas kemudian ditentukan Home Base yang akan digunakan untuk mobilisasi dan demobilisasi.
Tabel 1 : Home Base Lokasi Pulau 47 SBNP Berdasarkan Kontrak Pekerjaan
No Home Base Nama Pulau
1. Home Base Padang Benggala, Wungga, Sibaru-baru, Batu Kecil
2. Home Base Tanjung Pinang Tokong Berlayar, Batu Mandi, Tanjung Datu, Kepala, Takong Nanas, Senua, Tokong Boro, Sebetul, Karimun Kecil, Pelampong
3. Home Base Cilacap Deli, Ujung Genteng, Barung, Sophialouisa, Manuk, Panehan
4. Home Base Samarinda Sebetik Timur, Sebetik Barat, Gosong Makassar, Dolangan
5. Home Base Bitung Manterawu, Makalehi, Marampit, Yiew, Brass, Intata, Kawio, Budd, Bepondi, Fanildo, Kakarutan
6. Home base Makassar Masela, Utara Karang, Sarikimas, Larat, Selaru, Laag, Tanjung Tutuneden, Tanjung Torodoro, Torasi, Kolepon, Kultubai Selatan, Lakor, Tanpa nama
Diduga penentuan lokasi home base justru tidak efisien karena pada praktiknya kegiatan mobilisasi dan demobilisasi yang umum dilakukan menggunakan Distrik Navigasi yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Tabel 2 : Daftar Klasifikasi Distrik Navigasi
Distrik Navigasi Kelas I Distrik Navigasi Kelas II Distrik Navigasi Kelas III
Distrik Navigasi Dumai Distrik Navigasi Belawan Sub Distrik Navigasi Sabang
Distrik Navigasi Tanjung Pinang Distrik Navigasi Teluk Bayur Sub Distrik Navigasi Sibolga
Distrik Navigasi Tanjung Priok Distrik Navigasi Palembang Sub Distrik Navigasi Cilacap
Distrik Navigasi Surabaya Distrik Navigasi Semarang Sub Distrik Navigasi Pontianak
Distrik Navigasi Samarinda Distrik Navigasi Benoa Sub Distrik Navigasi Kendari
Distrik Navigasi Manado / Bitung Distrik Navigasi Banjarmasin Sub Distrik Navigasi Merauke
Distrik Navigasi Makassar Distrik Navigasi Tarakan
Distrik Navigasi Ambon Distrik Navigasi Kupang
Distrik Navigasi Sorong Distrik Navigasi Jayapura
Sumber : http://www.indomarinav.net/masnav/profil.html
Jika lokasi pulau sesuai yang tercantum dalam kontrak (Tabel 1) dibandingkan dengan lokasi distrik navigasi (Tabel 2) dan (tabel 3), ternyata diketahui bahwa penetuan home base untuk beberapa pulau sangat tidak tepat. Misalnya saja pulau yang lokasinya berada di provinsi Papua ternyata home basenya berada di Makassar. Padahal di Provinsi Papua terdapat 3 distrik navigasi diantaranya distrik navigasi Sorong, Jayapura dan Merauke.
Begitu pula dengan lokasi pembangunan SBNP di pulau Barung dan Panehan yang lokasinya di provinsi Jawa Timur, ternyata menggunakan home base Cilacap tidak menggunakan home base/distrik navigasi Surabaya.
Tabel 3 : Lokasi Pulau 47 SBNP Berdasarkan Provinsi
No Provinsi Nama Pulau Sesuai Perpres 78 Tahun 2005
1. Kalimantan Timur P.Sebatik, P.Gosong Makasar,
2. Sulawesi Tengah P.Dolangan
3 Sulawei Utara P.Manterawu, P.Makalehi, P.Kawio, P.Marampit, P.Intata,
P.Kakarutan
4. Maluku P.Kultubai Selatan, P.Karang, P.Larat, P.Selaru, P.Masela,
5. Maluku Utara P.Jiew
6. Papua P.Budd, P.Fanildo, P.Bras, P.Bepondi, P.Kolepon, P.Laag
7. NTB P.Sophialouisa
8. Jawa Timur P.Barung, P.Panehan
9. Jawa Barat P.Manuk
10. Banten P.Deli
11. Lampung P.Batu Kecil
12. Kepulauan Riau P.Tokong Nanas, .P.Tokong Belayar, P.Tokongboro, P.Sebetul, P.Senua, P.Kepala ,P.Batu Mandi, P.Karimun Kecil, P.Pelampong
13. Sumatra Barat P.Sibarubaru
14. Sumatra Utara P. Wunga,
15. NAD P.Benggala
Hal lain yang patut dikritisi lagi yaitu, kegiatan mobilisasi dan demobilisasi seperti tercantum dalam kontrak dilakukan per pulau atau dari home base menuju satu pulau saja (Pulang-Pergi). Padahal menurut biasanya kegiatan mobilisasi dan demobilisasi biasanya dilakukan sekaligus dari home base/ distrik navigasi memutari pulau-pulau terdekat lainnya agar lebih efisien.
Akibat ketidakefisienan tersebut berdampak pada pemborosan biaya dan setidaknya negara dirugikan sebesar Rp. 33.934.112.205,00 ( Tiga puluh tiga miliar sembilan ratus tiga puluh empat juta seratus dua belas ribu dua ratus lima rupiah). Rinciannya tertera dalam Tabel 4.
Tabel 4 : Indikasi Mark Up Biaya Mobilisasi dan Demobilisasi
Kegiatan Mobilisasi dan Demobilisasi Biaya Mobilisasi Menurut Kontrak Standar Biaya Mobilisasi Dirjen Hubla Selisih
25 Menara Suar 40 M Rp. 26.329.941.144,00 Rp.2.000.000.000,00 Rp. 24.329.941.144,00
15 Rambu Suar 30 M Rp. 7.155.043.462,00 Rp. 600.000.000,00 Rp. 6.555.043.462,00
5 Rambu Suar 15 M Darat Rp. 585.694.576,00 Rp. 60.000.000,00 Rp. 525.694.576,00
2 Rambu Suar 15 M Laut Rp. 2.685.933.023,00 Rp. 162.500.000,00 Rp. 2.523.433.023,00
Indikasi Mark Up Rp. 33.934.112.205,00
C. Mark Up Harga PV Diesel Hybrid
PV diesel hybrid merupakan pengembangan dari pemanfaatan energi surya. Secara sederhana hybrid power system adalah suatu sistem pembangkit listrik yang menggunakan diesel generator, baterai, sumber energi terbarukan (renewable energy), unit pengkondisian daya berikut peralatan kontrol yang terintegrasi sehingga mampu menghasilkan daya listrik secara efisien pada berbagai kondisi pembebanan.
Menurut kontrak harga satuan peralatan catu daya mencapai Rp 1.049.165.000,00 (Satu miliar empat puluh sembilan juta seratus enam puluh lima ribu rupiah). Sedangkan penggunaan catu daya PV hybrid diesel tersebut diterapkan di 25 menara suar 40 m Darat, sehingga nilai total peralatannya mencapai Rp. 26.229.125.000,00 (Dua puluh enam miliar dua ratus duapuluh sembilan juta seratus dua puluh lima ribu rupiah).
Namun berdasarkan penelusuran dan membandingkan dengan harga normal yang berlaku di pasar internasional maka harga PV Diesel-Hybrid system mencapai US$ 47.000 atau hanya sekitar Rp 423.000.000,00 / paket.
Seperti diketahui paket PV diesel-hybrid system sendiri digunakan di 25 Menara Suar 40 M, artinya total pekerjaan hanya mencapai Rp 10.575.000.000,00 (Sepuluh miliar lima ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Sedangkan untuk biaya instalasi umumnya hanya sekitar Rp. 15 juta tiap paket, dan sebenarnya dengan harga diatas sudah termasuk biaya instalasi.
Dengan demikian, jika harga PV diesel hybrid system termasuk biaya instalasi dibandingkan dengan harga yang tercantum dalam kontrak terdapat indikasi mark up harga sebesar Rp. 15.879.125.000,00 (Lima belas miliar delapan ratus tujuh puluh sembilan juta seratus dua puluh lima ribu rupiah). Rinciannya sebagai berikut :
Tabel 5 : Indikasi Mark Up Harga Peralatan PV Diesel Hybrid
Deskripsi Harga Sesuai Kontrak Harga Pasar Selisih
25 Buah Peralatan Catu Daya PV Hybrid Diesel untuk menara suar 40 m Rp. 26.229.125.000,00 Rp 10.575.000.000,00 Rp. 15.654.125.000,00
Biaya Instalasi 25 Buah Catu Daya Menara Suar 40 m Rp. 315.000.000,00 Rp. 15.000.000,00 Rp. 225.000.000,00
Indikasi Mark Up Rp. 15.879.125.000,00
D. Total Mark Up Pengerjaan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap seluruh item pekerjaan dan peralatan dalam kontrak dengan standar Dephub sekaligus membandingkan dengan harga pasar internasional dan dalam negeri, ternyata indikasi adanya penggelembungan biaya semakin terlihat jelas. Berdasarkan perhitungan, setidaknya jumlah total potensi penggelembungan (mark up) biaya mencapai Rp 74.684.081.856,66 (Tujuh puluh empat miliar enam ratus delapan puluh empat juta delapan puluh satu ribu delapan ratus lima puluh enam koma enam puluh enam rupiah). Rinciannya sebagai berikut
Tabel 7 : Indikasi Total Mark Up Biaya Pekerjaan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
No. Pekerjaan SBNP Menurut Kontrak Standar Biaya dirjen Hubla
1. 25 Menara Suar 40 M Darat Rp 110.165.366.284,97 Rp 53.082.001.606,85
2. 15 Rambu Suar 30 M Darat Rp 24.986.524.350,92 Rp. 12.203.447.170,28
3. 5 Rambu Suar 15 M Laut Rp 7.551.849.479,80 Rp. 3.469.203.004,52
4. 2 Rambu Suar 15 M Darat Rp 1.519.033.949,52 Rp. 784.040.426,90
Total Rp 144.222.774.065,21 Rp. 69.538.692.208,55
Selisih atau Indikasi Mark Up Rp 74.684.081.856,66
III. Rekomendasi
1. Menuntut Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan atas dugaan korupsi dalam pekerjaan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran Tahun 2005 sekaligus memeriksa para pihak yang terlibat.
2. Menuntut Menteri Perhubungan untuk melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa diseluruh jajarannya.
3. Menuntut Menneg BUMN untuk melakukan pemeriksaan internal terhadap PT LEN terkait dugaan korupsi dalam proyek Sarana Bantu Navigasi Pelayaran Tahun 2005.
Jakarta, 25 Juli 2008

Indonesia Corruption Watch

No comments:

Post a Comment