Monday, May 2, 2011

Bathin IX mencari kemerdekaan (2)

Setelah mengunjungi masyarakat adat Bathin IX yang berada di Desa Singoan, keesokan paginya saya diajak Pak Abunyani mengunjungi Dusun Tanah Menang, Desa Bungku, di Kecamatan Bajubang.

Sebuah dusun kecil yang terletak didalam kawasan pekebunan kelapa sawit milik PT Asiatic Persada (Wilmar Group). Di rumah kecil yang terbuat dari papan saya diterima oleh beberapa warga. Rumah yang berada dipinggir jalan perkebunan kelapa sawit yang berhadapan langsung dengan tanaman-tanaman kelapa sawit milik perusahaan. Jika dimusim hujan jalan-jalan ini berlumpur dan tidak bisa dilalui mobil-mobil kecil yang bukan four-wheel drive.


Kutar. Seorang laki-laki berperawakan tegap dan bersuara lantang, adalah pria yang saya temui di dusun ini. Kami berkunjung ketika dia sedang memperbaiki rumah kecilnya. Laki-laki yang sekarang ditunjuk menjadi ketua RT di lingkungannya ini banyak menjelaskan bagaimana konflik antara masyarakatnya dengan perusahaan perkebebunan kelapa sawit yang saat ini berada di wilayah mereka.

Berdasarkan beberapa sumber informasi dan penjelasan dari Kutar, tidak terlalu jauh dari wilayahnya terdapat 2 dusun lagi yang kawasannya diklaim oleh perusahaan sebagai wilayah perkebunan. Dua dusun tersebut adalah Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Luas lahan yang diklaim oleh perusahaan yang termasuk didalam HGU perusahaan di 3 dusun ini adalah 3.614 ha.

Di wilayah Dusun Padang Salak terdapat beberapa anak sungai yaitu Sungai Suban, Sungai Cermin, Sungai Padang Salak, Sungai laman Minang, Sungai Suban Ayomati, Sungai bayan Temen, Sungai Durian makan Mangku, Sungai Lubuk Burung, dan Sungai Ulu Suban Ayomati.

Di wilayah Dusun Pinang Tinggi terdapat beberapa sungai seperti Sungai Tunggul Udang, Sungai Durian Dibalai, Sungai Empang Rambai, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Pematang Tapus, Sungai Nyalim, Sungai Jalan Kudo, Sungai Durian Diguguk, Sungai Patah Bubung, Sungai Durian Diriring, Sungai Bayan Kralis, Sungai Durian pangulatan, Sungai Durian nenek Perda, Sungai Durian Tunggul Meranti, Sungai Mantilingan, Sungai lais, Sungai Sangkrubung, Sungai Durian Jerjak Ui, Sungai Tunggul Meranti, dan Sungai Tunggul Enaw.

Sementara Dusun Tanah Menang terdapat beberapa sungai yaitu Sungai Limus, Sungai Dahan Petaling, Sungai Langgar Tuan, Sungai Pagar, Sungai Klutum, Sungai Lesung Tigo, Sungai Lamban Bemban, Sungai Tertap, Sungai Nyalim, Sungai Temidai, Sungai Sialang Meranti, Sungai Dahan Setungau, Sungai Ulu Kelabau, Sungai Marung Tengah, SungaiBindu, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Semio, Sungai Klabau, dan Sungai Arang paro.

Keberadaan anak-anak sungai inilah yang menjadi batas-batas wilayah dan sumbermata pencaharian masyarakat. Beberapa anak sungai ini sekarang kondisinya sudah berubah karena ditanami kelapa sawit dan ada yang ditimbun oleh perusahaan untuk areal perkebunan. Sungai yang tersisa juga rusak oleh limbah-limbah pabrik penggilingan kelapa sawit. Masyarakat suku Bathin IX masih bisa mengingatnya dengan baik keberadaan sungai-sungai yang ada di wilayahnya.

Tahun 1987 adalah awal dari semua permasalahan. Sebuah HGU seluas 20.000 ha diterbitkan oleh BPN Kabupaten Batanghari untuk PT Bangun Desa Utama (PT BDU) untuk dibangun perkebunan kelapa sawit dan cokelat. Dua tahun setelah penerbitan HGU terjadi penggusuran masyarakat di 3 dusun, yaitu Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Penggusuran yang dilakukan perusahaan bersama aparat kepolisian dan tentara membuat masyarakat di 3 dusun berpencar. Beberapa masyarakat memilih meninggalkan rumahnya karena takut dengan intimidasi yang dilakukan pada saat proses penggusuran.

Pada tahun 2001-2002 setelah pergantian manajemen perusahaan, kembali terjadi penggusurun lahan warga. Tanaman cokelat yang sudah ditanam oleh perusahaan diganti menjadi kelapa sawit. Perusahaan mengklaim bahwa lahan yang ditempati masyarakat berada di kawasan HGU perusahaan. Tanaman-tanaman keras masyarakat seperti durian, digusur dan dibersihkan. Makam-makam masyarakat pun ikut tergusur.

Dampak dari penggusuran paksa yang menggunakan aparat militer dan kepolisian yang menggunakan kekerasan dan intimidasi pada saat itu bukan saja berdampak pada hilangnya tanah dan tanaman masyarakat, tetapi juga dampak psikologis terhadap beberapa orang dewasa dan anak-anak. Jay (24 tahun) yang dulu sewaktu penggusuran masih anak-anak, sampai dengan sekarang masih trauma melihat orang-orang yang berpakaian militer.

Kutar juga menceritakan pada saat itu dia juga pernah diusir dari rumahnya. Diseret ke mobil polisi dan dibawa ke kantor polisi karena dianggap melawan. Merasa tidak bersalah dan harus mempertahankan hak atas tanahnya, Kutar tidak gentar menghadapi para anggota kepolisian. “Pada tahun 86-87 tentara langsung masuk rumah. Menodong senjata dan mengusir kami. Andalan perusahaan itu adalah Kapolres Batang Hari dan Kapolsek Bajubang. Yang saya tanyakan sekarang, mereka ini polisi perusahaan atau masyarakat?” ucap Kutar.

Hanya Kutar dan beberapa rekannya yang masih bertahan di tanah mereka. Walaupun sering menerima intimidasi dan ancaman mereka tidak akan menyerahkan tanah yang sudah dimiliki dari nenek moyang mereka. Karena takut dengan ancaman-ancaman yang diberikan perusahaan, beberapa masyarakat di Dusun Padang Salak dan Dusun Pinang Tinggi sudah meninggalkan tanah mereka. Untuk menghilangkan bukti-bukti bahwa lahan tersebut adalah milik masyarakat Suku Bathin IX, perusahaan membunuh semua tanaman-tanaman keras milik masyarakat dengan cara diracun. Cara-cara inilah yang membuat Kutar dan masyarakat yang masih bertahan di Dusun Tanah Menang berang. “Negara ini kalau tidak salah berlaku undang-undang dan pancasila. Kalau tidak berlaku lagi undang-undang dan hukum ini, mungkin seperti inilah pak. Apakah bapak mau, klo istri bapak adalah istri kami? Harta bapak, harta kami?. Kami mengambil buah sawit satu biji ditangkap, karena dianggap pencuri. Perusahaan mengambil tanah kami tidak ditangkap” jawab Kutar ketika diintrogasi oleh polisi dan dituduh mengambil tanah perusahaan yang masuk kedalam wilayah HGU perusahaan.

Kutar menjelaskan, klo memang perusahaan itu merasa membeli tanah-tanah mereka, ia ingin mengetahui kepada siapa perusahaan itu membeli. Karena mereka merasa tidak pernah merasa menjual atau menyerahkan tanah yang sudah ditempati oleh mereka selama beberapa generasi kepada perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang dulu hidup harmonis dengan alam, berladang, berkebun karet dan berburu ini sekarang seperti orang tersesat. Berjalan tak tentu arah. “Sebelum tahun 1986 buah-buahan melimpah disini, sampai tidak habis kami memakannya. Kami berikan buah-buahan itu kepada masyarakat luar (orang-orang trasnmigrasi) karena saking banyaknya. Tanaman jerenang banyak di hutan. Sekarang susah. Perusahaan pernah bilang ke kami, katanya makin ramai makin aman. Tentram. Tapi kenyataannya makin susah hidup kami. Inilah resiko kami bermain dengan orang pintar” keluh Kutar.

Tak mampu beli durian

Tadi ada keluarga yang memberi uang sebesar Rp 50.000. Ketika saya pegang uang itu, cucu saya ingin sekali makan buah durian. Terpaksalah saya membeli durian yang harganya sekarang masih Rp 30.000/buah. Sekarang pak, kami tidak bisa lagi menikmati buah durian.” Ucap Harun C kepada saya ketika kami mengunjungi beberapa orang Bathin IX di Desa Nyogan. Harun C dulunya berasal dari Dusun Padang Salak, Desa Bungku. Dia dan sekeluarga terpaksa meninggalkan rumah dan tanahnya karena takut akan intimidasi para perusahaan dan militer. Tanah Harun C yang ditinggalkan di Dusun Padang Salak kurang lebih 200 X 900 depo. 1 depo sama dengan 1,5 meter.

Usup Bengking sekarang tinggal di Dusun Segandik, Desa Nyogan. Sama dengan Harun C, Usup juga meninggalkan rumah dan tanahnya yang berada di Dusun Pinang Tinggi. Dia dan beberapa rekan-rekannya sekarang tinggal di rumah yang sangat sederhana atas batuan Dinas Sosial sewaktu gencarnya konflik dan penggusuran tanah dan ladang mereka. Di Desa Nyogan sekitar 75% adalah masyarakat Suku Bathin IX. Sebanyak 60 orang mempunyai hak atas tanah di perkebunan PT Asiatic Persada. Mata pencaharian mereka saat ini sudah tidak menentu. Ada yang mencari ikan, berkebun dan buruh perkebunan.

Harapan kami, kami ingin tanah kami kembali. Tidak ada negosiasi lain. Saya ini sudah tua, umur kami sudah tidak lama lagi. Sudah puluhan tahun kami hidup mengungsi seperti ini. Anak cucu saya tidak punya tanah, tidak punya kebun. Mau bertani tidak bisa. Bagaimana mereka mau menjalani kehidupan ini?” ungkap Harun C.

Tidak mau sekolah gara-gara sandal jepit

Derita dan kesedihan bukan hanya dirasakan oleh satu generasi. Tapi mungkin akan berlanjut ke generasi berikutnya. Para orang tua mungkin merasakan sakit dan pedih karena tergusurnya tanah mereka. Sulitnya sumber mata pencaharian untuk penghidupan. Kemiskinan ini juga berdampak pada anak-anak mereka. Karena berasal dari keluarga yang tidak mampu, anak-anak Suku Bathin IX terpaksa sekolah dengan menggunakan baju sekolah seadanya dan menggunakan sandal jepit.

Supri salah satu anak Suku Bathin IX yang tinggal di Dusun Tanah Menang yang bersekolah di salah satu sekolah dasar yang ada di Pasar Kecamatan Bajubang. Pada tahun 2003 Supri duduk di bangku kelas 2. Masih ingat betul diingatan Supri pada saat itu dia dimarahin oleh seorang guru ketika ia dan seorang temannya yang juga berasal dari Suku Bathin IX berangkat sekolah menggunakan sadal jepit. Saat itu sang guru menanyakan kepada mereka kenapa mereka sekolah menggunakan sandal. Supri hanya bisa menjawab bahwa orang tuanya tidak mampu membeli sepatu. Supri juga sudah menejelaskan klo tanah mereka sudah habis diambil oleh perusahaan kelapa sawit. Orang tuanya tidak ada uang untuk membelikan sepatu untuk ke sekolah. Setelah menjawab pertanyaan sang guru, guru tersebut meminta Supri dan temannya untuk menggantungkan sandal mereka di leher dan berjemur di halaman sekolah. Setelah kejadian tersebut mereka tidak mau lagi ke sekolah karena malu dengan murid-murid lain yang mayoritas adalah orang-orang transmigrasi.

Kutar menyampaikan bahwa tanah yang dibangun untuk sekolah dahulunya adalah tanah wakaf dari orang tuanya. Sekolah yang dibangun oleh PT Asiatic Persada awalnya adalah untuk anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) bersekolah. Memperoleh pendidikan. Mengerti baca tulis.

Sampai dengan sekarang saya masih ingat nama dan wajah seorang guru yang menghukum saya disaat sekolah ketikasaya memakai sandal jepit” ungkap Supri. Tak urung Supri yang sekarang mulai tumbuh dewasa menyimpan dendam kepada sang guru.

Saat ini jumlah anak-anak usia sekolah di Dusun Tanah Menang sekitar 200 anak. Yang bisa mengenyam sekolah seekitar 20 orang.

Saya yang beberapa hari tinggal bersama orang-orang Suku Bathin IX menjadi tahu kenapa Pak Abunyani dan bersama dengan rekan-rekannya dari Suku Bathin IX berusaha membangun kekuatan untuk berjuang mencari sebuah kemerdekaan. Merdeka seutuhnya. Merdeka diatas tanah mereka sendiri. Selama 24 tahun mereka harus hidup berjuang mempertahankan tanah warisan dari para leluhur mereka. Seperti pepatah lama orang-orang Suku Bathin IX “Biarlah orang mendapat asal kito tidak kehilangan”.

TAMAT

No comments:

Post a Comment