Monday, May 2, 2011

Terusir dari Tanah Air Warisan Leluhur



Tanggal: 11 Apr 2011


Prakarsa Rakyat,

Komunitas terasing Bathin IX adalah ahli waris sebagian hutan alam di Jambi. Namun, pembangunan daerah ini selama 30 tahun terakhir telah mengubah nasib mereka. Mereka menjadi kaum terusir dari ”rumah” yang berlimpah sumber daya.
Selama itu pulalah eksistensi komunitas Bathin IX nyaris tak terdengar. Baru pada tiga tahun terakhir ini, masyarakat di Provinsi Jambi mulai menyadari keberadaan mereka sebagai satu komunitas adat yang unik di dalam hutan.
Namun, mereka berbeda dengan suku Anak Dalam yang selalu diasosiasikan dengan Orang Rimba atau suku Kubu yang identik akan makna keterbelakangan. ”Kami adalah suku Bathin IX. Jangan sebut kami Kubu. Kami tidak terbelakang,” ujar Abunyani, pemimpin Himpunan suku Anak Dalam Bathin IX, Rabu (16/2).
Kesalahan persepsi ini muncul sebagai warisan Orde Baru. Pemerintah mengadakan program transmigrasi besar-besaran di Jambi pada 1975. Ratusan ribu hektar hutan adat milik suku Bathin IX beralih fungsi menjadi permukiman transmigran serta perkebunan sawit dan akasia.
Hanya segelintir warga Bathin IX dan Orang Rimba di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas memperoleh bantuan rumah melalui program permukiman kembali masyarakat terasing. Departemen Sosial menyatukan sebutan untuk keduanya: suku Anak Dalam. Pendekatan pembangunan ini telah mengaburkan identitas Bathin IX. Sejak itulah nama Bathin IX tenggelam.
Konservator masyarakat suku-suku terasing dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Rudi Syaf, yang meneliti suku Bathin IX sejak 1998, mengatakan, mereka kini bahkan malu mengaku dirinya sebagai keturunan Bathin IX. ”Generasi muda cenderung menghilangkan etnisitas Bathin IX, dan lebih suka disebut sebagai warga desa saja,” tutur Rudi Syaf.
Selain hampir kehilangan etnisitasnya, pada masa itu juga mereka terusir dari rumah di dalam hutan, dan mengalami perampasan hak-hak adat. Ribuan tanaman yang menjadi sumber penghidupan mereka digilas mesin, serta kebun baru penghasil minyak sawit dan bubur kertas. ”Kami tidak bisa lagi memanen jernang, karet, serta buah-buahan yang selama ini dapat menghidupi kami,” kenang Abunyani.
Terusir
Konflik pun terjadi dengan sejumlah perusahaan pengelola hutan. Catata Kompas menyebutkan, pengusiran terhadap suku Bathin IX dan konflik berkelanjutan dengan perusahaan mulai terjadi sejak 1986. PT Bangun Desa Utama (BDU) memperoleh konsesi lahan yang merupakan hutan adat Bathin IX di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Batanghari, mengusir mereka secara paksa melalui aparat bersenjata.
Mereka kini hidup dalam pondok-pondok darurat di bawah pohon sawit. ”Hingga kini, masih banyak warga trauma ketika melihat aparat,” tambah Abunyani.
Saat ini, PT BDU telah menjadi PT Asiatic Persada, tetapi konflik tak kunjung selesai. Pendudukan lahan kerap terjadi, bahkan konflik berujung pada tuntutan hukum.
Masyarakat Bathin IX juga mengalami penipuan, melalui kerja sama kemitraan dengan perusahaan. Pada konflik yang terjadi dengan PT IKU, lahan masyarakat diambil untuk pembukaan kebun, tetapi hingga kini mereka tidak kebagian hasil. Saling klaim kepemilikan lahan juga terjadi antara kelompok Bathin IX dan perusahaan tanaman industri PT Wira Karya Sakti.
Tidak hanya atas kepentingan ekonomi, hak-hak adat suku Bathin IX dikorbankan untuk kepentingan konservasi. Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hutan dan Lahan Aditya mengatakan, pada 2003 hutan adat mereka seluas 15.300 hektar dialihkan menjadi Taman Hutan Raya Senami. ”Di kawasan ini, masyarakat yang tinggal di enam kecamatan hanya bisa gigit jari karena tidak boleh lagi mengelola lahan,” ujarnya.
Lalu, bagaimana nasib mereka saat ini?
Tumenggung Sapii, Ketua Adat Suku Bathin IX di Desa Nebang Para, Sungai Bahar, Muaro Jambi, mengenang kehidupan mereka bagaikan cacing. ”Di mana tanah hidup, di situ kami juga bertahan hidup,” ungkapnya, mengingat perampasan tanah adat menjadi kebun sawit, 30 tahun lalu. Menurut Sapii, mereka menjadi satu kelompok suku tergusur yang hampir punah.
Abunyani menambahkan, sebagian warga yang masih memiliki lahan dapat bertahan lebih leluasa. Mereka membuka kebun karet, mengelola jernang, memanfaatkan rotan, dan membudidayakan tanaman pangan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, bagi yang terusir dari hutan dan tidak lagi memiliki lahan, kini menjadi buruh penyadap atau tenaga kasar di perkebunan sawit. Sebagian lagi menjadi pemulung dan penarik gerobak di Pasar Muara Bulian.
”Ada hampir 100 orang jadi pemulung dan buruh di pasar karena tidak punya sumber penghidupan lain,” jelasnya.
Penghuni awal
Suku Bathin IX yang kini terusir dari tanah adat diyakini sebagai salah satu penghuni awal negeri Jambi. Ada dua versi cerita mengenai asal keberadaan mereka.
Abunyani yang selama dua tahun getol menelusuri sejarah dan budaya Bathin IX menjelaskan, nenek moyang mereka adalah Pangeran Nagasari. Pada abad XIV ayahnya, Mahorum Sunsangrumo, dari Kerajaan Mataram, mengawini Bayan Lais, keturunan Pagaruyung dan Gunung Kembar. Semasa kecilnya, Nagasari tinggal di satu tempat yang disebut wilayah Aur Duri, kini diperkirakan wilayah Muaro Jambi. Nagasari mempunyai anak bernama Raden Ontar, dan mendapat sembilan cucu.
Kesembilan cucu inilah yang menjadi awal mula terbentuknya suku Bathin IX. Setiap anak diwariskan untuk tinggal dan mengembangkan penghidupannya pada sembilan bathin (anak sungai), yaitu Bathin Semak (Bulian), Bahar, Singoan, Jebak, Jangga, Kelisak, Sekamis, Semusir, dan Burung Hantu. Sungai-sungai tempat mereka berdiam diberi nama sesuai nama mereka.
Versi lain sejarah Bathin IX diceritakan Dulhadi, tokoh adat Bathin IX di kawasan hutan produksi eks HPH Asialog. Versi ini mengaitkan kisah hidup suku Bathin IX tak lepas dari masa lalu sebagai kaum terusir dari tanah tinggal mereka. Nenek moyang mereka adalah Puyang Semikat dari Palembang, diusir karena kekayaannya dianggap telah melampaui Sang Raja. Pada masa itu hasil tambang emas mendatangkan rezeki berlimpah.
Setelah diusir, Puyang Semikat menelusuri Sungai Lalan (Sumatera Selatan) sampai ke Sungai Bahar (Jambi). Di wilayah Sungai Bahar, Puyang Semikat bertemu dengan penguasa setempat, Depati Seneneng Ikan Tanah. Ia lalu mengawini dua putri Depati, Bayan Riu dan Bayan Lais, serta memiliki sejumlah anak.
Keturunannya membentuk komune-komune yang berkembang di kawasan hutan sekitar sembilan sungai tersier di Kabupaten Muaro Jambi sampai Sarolangun, Provinsi Jambi, yang bermuara ke Sungai Batang Tembesi dan Sungai Batanghari. Hutan di sepanjang aliran sungai itu melimpahi mereka dengan berbagai jenis makanan dan sumber daya.
Suku Bathin IX semula dapat membangun kehidupan mereka secara leluasa dalam hutan yang kaya, tetapi kini menjadi kaum terusir. Identitas mereka kian kabur, dan mungkin juga akan lenyap dalam 10 tahun atau 20 tahun ke depan. Kita tidak pernah tahu....

No comments:

Post a Comment