Monday, May 2, 2011

Kelapa sawit Janji Diuapkan, Sawit Dipindahkan

BOCAH kelas enam SD itu meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Muarabulian, Jambi. Tubuhnya kurus, matanya cekung. Hendra, bocah itu, tiga bulan lagi akan menghadapi ujian akhir. Tapi ia kini patah arang. "Saya tidak mau ikut ujian," ujarnya. Pada awal bulan ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Batanghari menghukumnya tiga bulan penjara. Ketua majelis hakim, Junita Betrix, menyatakan bocah itu terbukti mencuri kelapa sawit. Sebelum mendekam di penjara Muarabulian, warga suku Kubu itu sempat mendekam sepekan di tahanan Polres Batanghari.
Pada akhir Desember lalu, sekitar 20 polisi mendatangi kampungnya, Desa Sialang Puguk, di Singoan, sekitar 15 kilometer dari Jambi. Jam hampir menunjuk pukul delapan malam, ketika para polisi mulai mendobrak beberapa pintu rumah dan menangkap sekitar seratus orang Kubu di sana. Hendra, yang kala itu sedang mandi, ikut ditangkap.
Polisi menuduh mereka mencuri kelapa sawit milik PT Indo Kebun Unggul (IKU) di Sialang Puguk. Dari seratusan yang diperiksa, 16 dinyatakan tersangka. "Mereka tertangkap basah melakukan pencurian," ujar Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Batanghari, Ajun Komisaris Polisi Slamet Widodo. Apalagi, katanya, polisi punya alat bukti berupa 100 tandan buah sawit segar dan dodos, alat pencungkil buah sawit.
Mangara Siahaan, salah satu anggota tim pembela suku Kubu, menuding polisi bertindak tidak jujur dalam kasus ini. Menurut Mangara, enam belas warga Kubu yang tidak bisa baca-tulis itu dipaksa menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tanpa mengerti isinya. "Mereka dibangunkan di tengah malam untuk menandatangani BAP," katanya.
Di pengadilan, belasan orang Kubu itu juga tertatih-tatih mengikuti sidang. Selain tak semuanya fasih berbahasa Indonesia, sejumlah pertanyaan hakim "tak nyambung" dengan budaya mereka. Saat hakim bertanya perihal jam berapa mereka memanen sawit itu, misalnya, mereka hanya melongo. "Kami tak tahu jam. Patokannya matahari, Bu," ujar seorang terdakwa.
Tindakan warga Kubu ini tak lepas dari kekecewaan mereka terhadap janji yang diberikan PT Indo Kebun. Pada 1996, ujar Mangara, suku Kubu yang tinggal di sekitar rimba Singoan, Batanghari, ditawari kerja sama membuka kebun kelapa sawit oleh PT Indo Kebun, milik pengusaha terkenal Jambi, Tanoto Jakobes. Syaratnya, lahan mereka diserahkan ke perusahaan untuk dirombak jadi kebun kelapa sawit. Sebelumnya, di atas lahan itu tumbuh pohon karet, duku, durian, dan mangga, yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Janji yang diberikan PT Indo Kebun menggiurkan suku Kubu, karena mereka akan mendapat 70 persen dari hasil panen sawit itu. Lalu pada 18 November 1996 dibuat perjanjian penyerahan 1.600 hektare kebun dan hutan milik 87 kepala keluarga suku Kubu kepada PT Indo Kebun. PT Indo juga mendirikan Koperasi Unit Desa (KUD) Sinar Tani untuk mewakili mereka dalam pengurusan bagi hasil itu.
Niat Indo Kebun didukung pemerin-tah daerah setempat. Tahun itu juga Bupati Batanghari mengeluarkan izin prinsip pembukaan kebun kelapa sawit tersebut. Luas yang disetujui sekitar 13 ribu hektare. Tapi, belakangan, penerbitan izin prinsip dikembalikan dari Bupati kepada Menteri Kehutanan, yang memutuskan Indo Kebun hanya mendapat sekitar 2.500 hektare.
Awalnya terlihat mulus. Sekitar 800 hektare lahan milik warga Kubu itu ditanami kelapa sawit, 600 hektare di antaranya tumbuh subur. Tapi belakang-an tanda-tanda ketidakberesan mulai muncul. Sisa lahan milik warga Kubu ternyata ditelantarkan begitu saja setelah pohonnya ditebangi. Pohon sawit yang sudah ditanam pun dibiarkan begitu saja, tanpa perawatan. "Mereka ternyata cuma mau mengambil kayu di lahan kami," ujar seorang suku Kubu.
Pekan lalu Tempo mendatangi kebun sawit itu. Jalan akses menuju kebun tertutup rumput tinggi, menandakan kebun ini jarang sekali dirawat. Ratusan pohon sawit juga sudah terbungkus ilalang.
Penasihat hukum PT Indo, Suratno Jumanto, membantah kliennya menelantarkan kebun dan buah sawit mereka. Menurut Jumanto, perusahaan tidak bisa menanam sawit karena selalu dihalangi warga desa. "Lahan-lahan itu ternyata juga berpindah tangan karena dijual warga," ujarnya.
Pada 2000, kebun sawit itu seharus-nya memulai panen pertamanya. Warga saat itu gembira dan mengharap hasil penjualan sawit itu diberikan kepada mereka sesuai dengan perjanjian. Uang itu penting bagi mereka. Sebab, setelah lahan mereka dibabat untuk kebun sawit, suku Kubu tak memiliki sumber penghasilan tetap. "Ratusan orang Kubu bekerja serabutan di luar desa," ujar beberapa orang Kubu yang ditemui Tempo di sekitar kebun.
Selain harus mencari makan untuk mengganjal perut, selama ini suku Kubu juga menanggung utang kepada Bank Mandiri. Ini lantaran pada 1996 PT Indo Kebun mengagunkan lahan milik suku Kubu itu ke Bank Bumi Daya (kini jadi Bank Mandiri) untuk mendapat kredit Rp 23,2 miliar.
Sekretaris KUD Sinar Tani, M. Sidik, dalam persidangan tak mengakui pihaknya pernah meminta kredit dengan mengagunkan tanah orang Kubu. "Itu surat fiktif," katanya soal surat permohonan kredit ke bank. Tapi, buktinya, kredit itu cair pada 1998 dengan agunan tanah 13 ribu hektare, termasuk 1.600 hektare milik orang Kubu.
Tapi inilah yang terjadi. Perusahaan tak mau memanen sehingga warga tak mendapatkan uangnya. Bersabar selama enam tahun rupanya lebih dari cukup bagi warga Kubu, sehingga mereka memutuskan menyatroni kebun sawit PT IKU. "Itu sawit kami, ditanam di atas tanah kami," kata Alex Saputra, salah satu warga Kubu yang menjadi terdakwa. Walau mengaku mengambil sawit, di persidangan para warga Kubu itu menolak disebut sebagai pencuri. "Ini bukan tanah PT IKU," kata mereka.
Menurut Suratno, para terdakwa yang bukan anggota koperasi itu tak berhak memanen, karena perusahaan mengikat perjanjian dengan anggota KUD. Tapi hal ini dibantah keras Mangara. Menurut dia, sejumlah warga Kubu yang kini mendekam di penjara adalah anggota Koperasi Sinar Tani.
Menurut Mangara, yang dilakukan warga Kubu sebenarnya tidak salah. Penelantaran lahan oleh PT Indo Kebun, ujarnya, melanggar peraturan daerah tentang pembinaan perkebunan kelapa sawit pola kemitraan. Menurut aturan itu, kata Mangara, petani berhak memanen tanaman jika dalam 48 bulan perusahaan tidak juga melakukan kegiatan seperti ditulis dalam perjanjian pola kemitraan. "Karena perusahaan ingkar, dan para peserta punya kewajiban membayar kredit, mereka berhak memanen buah sawit itu," ujarnya.

No comments:

Post a Comment