Tuesday, July 27, 2010

Celoteh di Balik Kiblat











Celoteh di Balik Kiblat






Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.[2:177]

Hasil kesepakatan para ahli dengan para pemuka mengenai lempengan bumi dan kiblat bukan suatu kerugian jika didengarkan, tidak juga merupakan keberuntungan kalau ada yang membantah atau pun menerimanya. Bukti pada mereka tidak berpotensi untuk melahirkan fakta seputar dosa dan pahala sebagai ganjaran bagi yang ikut atau tidak melaksanakannya. Lagipula kegiatan ritual (ibadah) yang mengharuskan arah wajah ke Ka’bah itu tidak dilaksanakan atas harapan mendapatkan surga atau takut pada neraka, akan tetapi kegitan ini adalah simbol ketakwaan, tidak bisa diraih dengan modal ilmu.
Mengutarakan argumen kesempurnaan ritual atas kesepakatan tersebut hanya dipandang sebagai upaya pembenaran keputusan pada publikasinya, sikap pemberitaan ini seolah tidak mengambil kesempatan berpikir pada kedalaman dampak yang berikut akan terjadi. Jika pada permukaan dampak terlihat keraguan lahir akibat kesimpangsiuran pemikiran, dan secara manusiawi dapat mengurangi kenyamanan dalam melaksanakan ritual, maka sesuatu yang fatal ada pada kedalamannya.
Bukan saja membuang masa, terciptanya refleksi jarak mengakibatkan publik semakin jauh dari hakikat makna ritual yang sesungguhnya, dimana wujud makna tersebut harus dijelamakan. Tidak ingin bermimpi agar hal dimaksud dapat disegerakan, sebab upaya mendekatkan publik kearah tersebut merupakan kerja keras yang telah dilakukan, walau pun para ahli dan pemuka selalu dengan beragam kesepakatan, terlepas sengaja atau tidak berusaha menghalangi agar terhindar dari puncak pencapaiannya. Kalimaksnya kelembutan arogansi pembodohan semakin terlindungi dari jangkauan pandangan awam, sehingga sentuhan nalar setiap individu publik tidak peka untuk merespon sinyal kebenaran yang telah diutarakan.

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.[3:96]

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.[3:97]


Sejarah panjang Ka’bah diawali oleh Ibrahim sebagai penadas batu pertama (azar aswad), mejadikan bangunan bersegi empat ini pusat peribatan bagi masyarakat Islam masa kini, hampir 1500 tahun kotak yang dibungkus kain hitam itu menjadi syarat menentukan arah wajah saat melakukan ritual, yang pelaksanaannya lima kali dalam sehari. Jika melihat pada kedalaman nilai historisnya Ka’bah tidak hanya menjadai pusat peribadatan bagi masyarakat Islam saja, bermacam nama agama sebelumnya pun telah lebih dulu menjadikan Ka’bah sebagai pusat peribatan.
Disini ada hal yang tidak layak untuk dilupakan, selain sebagai bukti risalah serta penghormatan besar pada pendahulu, setiap utusan Allah selalu menjadikan Ka’bah titik tumpu akhir sebagai wadah berkumpul umatnya. Tidak usah heran mengapa Muhammad pernah meminta orang-orang terdekatnya untuk memindahkan banyak patung dari dalam Ka’bah kecuali hanya beberapa saja. Isa putra Maryam pernah mengancam orang-orang yang menyalahgunakan Ka’bah menjadi pusat perdagangan (pasar), dengan mengatakan “aku akan menghancurkan Bait Allah dalam waktu tiga hari, jika mereka tidak berhenti dari kebiasaannya.” Begitu juga Musa, diakhir perjuangannya ia meminta seluruh umatnya agar merawat makam dan batu yang diletakan Ibrahim pertama kalinya.
Dari ketiga peristwa diatas dapat dipelajari bahwa setiap kali utusan Allah meninggalkan umatnya, pengertian serta pandangan akidah mereka selalu mengalami pergeseran, terlebih ketika menyikapi keberadaan Ka’bah. Begitulah manusia saat ini, setelah Muhammad mangkat banyak cabang ilmu bersekala religius telah menggeser pandangan akidah masyarakat Islam, dengan berlindung dibalik dialetika kekiblatan menjadikan Ka’bah sebagai berhala dan objek bisnis ritual. Kegiatan itu akhirnya berhasil membungkam komunikasi informatif seputar kepemimpinan yang dianjurkan dalam Kitab Suci (Al Qur’an).
Keselarasan tiga peristiwa diatas terhadap Al Qur’an kontras dapat dilihat, bahwa untuk menetapkan wajah seluruh umat manusia agar menghadap ke Ka’bah adalah keputusan Allah, yang disosialisasikan oleh utusanNya, selaku pemegang mandat kepemimpinan. Pernyataan ini akan dianggap miring ketika piramida paham serta pandangan religius kekinian dibangun dengan radiasi kultural, kemudian endapan dari konsumsifitasnya bertitik pada penolakan terhadap kehadiran utusan Allah. Dalam bentuk relativitas peristiwa ini selalu akan mengalami masa pengulangan, sejak zaman Adam hingga kemasa Muhammad.
Dengan pengolahan emosional yang baik nalar kita harusnya bertanya, adakah sosok pemimpin bagi seluruh masyarakat Islam di muka bumi hari ini? Jika ingin membatalkan kebenaran Al Qur’an jawaban terbaiknya adalah “tidak.” Sebaliknya jika ingin menyempurnakan bukti ketakwaan dihadapan Allah, maka kita harus memberi jawaban “ya” dengan menyatukan telapak tangan kepada sosok yang dimaksud.
Idealnya kita mesti sampai pada kesadaran, bahwa Muhammad bin Abdullah tidak sempat menyaksikan keislaman kita, Isa putra Mryam tidak diberikan cukup waktu untuk memilih salahseorang dari kita agar dijadikan murid ketigabelasnya, kita juga tidak dapat berkunjung kemasa lalu dan serta di dalam kisah Musa ketika menghadapi fir’aun.
Mirisnya logika akan bertanya “umat siapa kamu?” Sebagai hamba Allah hati pasti menjadi malu. Salam.***

No comments:

Post a Comment