Monday, November 15, 2010

Kesaksian Sze Tu Mei Sen


Sze Tu Mei Sen adalah penerjemah Presiden Sukarno untuk bahasa Cina. Dia pernah memberi kesaksian penting terkait keterlibatan RRC dalam pemberontakan PKI atau yang kita kenal dengan Gestok (Gerakan Satu Oktober), yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Bung Karno. Sze Tu Mei Sen membantah keras informasi yang menyebutkan keterlibatan RRC itu.

Bantahan keterlibatan Cina (Mao Zedong) dalam tragedi berdarah tersebut disampaikan Sze Tu Mei Sen, seorang mantan penerjemah Bung Karno saat melakukan pembicaraan dengan pemimpin Tiongkok perihal kebijaksaan politik Cina dan Indonesia. Kesaksian yang disampaikan lewat faks itu dikirim Sze Tu Mei Sen kepada Kolonel (Pur) Maulwi Saelan, Wakil Komandan Tjakrabirawa pada 7 Desember 2005. Oleh Saelan, faks tersebut disampaikan dalam forum diskusi buku “Kudeta 1 Oktober 1965—Sebuah Studi Tentang Konspirasi. Berikut ini isinya:

Sejak tahun 1950, sesudah penyerahan kedaulatan, saya masih bekerja sebagai wartawan dari harian “Sin Po” edisi Tionghoa, saya sudah sering dipanggil oleh Presiden Soekarno supaya ikut dalam aktivitas yang bertalian masalah hubungan Indonesia dan Tiongkok. Membantu beliau berkomunikasi dengan Tiongkok, misalnya, Upa-cara Penyerahan Surat Kepercayaan dari Duta Besar Pertama Tiongkok untuk Indonesia dan juga kunjungan Delegasi Kese-nian Tiongkok, Madam Sun Yat Sen dan sebagainya.

Pada akhir tahun 1956, Presiden melakukan kunjungan ne-gara pertama ke Tiongkok, saya diperintahkan ikut sebagai Sekretaris pribadi Presiden dan anggota advance team yang berangkat terlebih dahulu. Itu pertama kalinya saya menginjak Bumi Tiongkok.

Sejak kunjungan inilah saya bertindak sebagai Penerjemah Utama dalam bahasa Tionghoa. Tugas saya menerjemahkan pidato Presiden selama kunjungan dan penerjemah untuk pembicaraan dengan pemimpin pemimpin Tiongkok seperti Mao Tze Tung, Chow En Lay, Chu Te, Liu Sao Chi, dan Madam Sun Yat Sen.

Pada akhir tahun 1959-60, sesudah RI kembali ke UUD 1945, hubungan Indonesia dan Tiongkok semakin erat, saya dipanggil Presiden ditetapkan sebagai pembantu pribadi Presiden merangkap sebagai penerjemah utama khusus bahasa Tionghoa.

Tahun 1960-1965, hubungan dengan Tiongkok semakin erat dan kunjngan kenegaraan semakin sering. Di samping para pejabat dari Deplu yang berkepentingan saya selalu mendampingi Presiden dalam hampir seluruh pertemuan, perundingan dan pembicaraan dengan pemimpin dari Tiongkok terutama dengan Chow En Lai (Prime Minister) dan Chen Yi (Wakil Prime Minister merangkap Menlu), kecuali apabila saya sedang sakit atau sedang tidak di Jakarta.

Dalam seluruh pertemuan, perundingan dan pembicaraan, perundingan dan pertemuan, pemimpin Tiongkok sangat mengagumi keberanian Indonesia dalam perjuangan anti dan melawan Neokolin (New Colonialism) menghormati yang dijunjung oleh Indonesia. Sama sekali tidak ada pembi-caraan yang mengharapkan Indonesia condong ke kiri, apalagi masuk kubu Negara komunis di Asia.

Pembicaraan-pembicaraan penting antara Presiden dengan para pemimpin Tiongkok yaitu dengan Ketua Liu Sao Chi tahun 1963 di Bali, PM Chow En Lai (1964 di Shanghai dan 1965 di Jakarta), Wakil PM merangkap Menlu Chen Yi (Mei 1965 di Jakarta yang berlangsung 4 jam).

Intisari dari pembicaraan tersebut adalah Indonesia terus menerus membangkitkan semangat NEFOS dan memberanikan diri memimpin negara dunia ketiga dan non aliansi countries. Tiongkok sebagai negara yang menjalin hubungan dengan Uni Soviet tidak dapat memimpin negara dunia ketiga, sedangkan situasi nasional dan Asia khususnya untuk mengimbangi kekuatan dan pengaruh Amerika dan sekutunya, termasuk hampir seluruh Negara Asia Tenggara tergabung dalam SEATO (South East Asia Treaty Organization), kepentingan nasional Tiongkok pada waktu itu adalah mengarapkan Nefos dan negara dunia ketiga dapat mengimbangi situasi yang sangat suram bagi mereka.

Pemimpin Tiongkok dalam pembicaraannya sama sekali tidak berharap Indonesia menjadi negara komunis karena hanya akan memperuncing situasi yang membahayakan mereka sendiri. Politik Tiongkok adalah Indonesia terus membimbing NEFOS (New Emerging Forces) dan negara dunia ketiga sesuai dengan kepentingan Tiongkok saat itu, mengimbangi kekuatan Amerika.

Informasi ini saya kutip dari tabloid CITA CITA yang pernah saya pimpin. ***

No comments:

Post a Comment