Monday, November 15, 2010

Seni Bung Karno di Zaman Jepang


Suara Pembaruan

BK dan lukisan S Sudjojono. Foto Suara Pembaruan

Sebagian besar masyarakat Indonesia mengenang Sukarno atau Bung Karno (1901-1970) dari sisi politik, sebagai pejuang kemerdekaan dan proklamator. Namun masyarakat seni rupa Indonesia justru mengingatnya dari sisi estetik: sebagai patron seni rupa nomor satu.

Memang dari dorongan Sukarno, perupa Indonesia mendapatkan kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Dari apresiasi Sukarno, karya-karya perupa Indonesia memperoleh penghormatan dan keluhuran. Dari stimulusnya pula, para pencinta seni rupa di Indonesia tumbuh menjadi peminat serius, bahkan menjadi kolektor, connoisseur.

Bung Karno senantiasa mengatakan kesukaan dan penghormatannya kepada seni rupa bermula sejak ia berusia dini. Namun ia juga menyebut keberadaannya di tengah dunia seni rupa Indonesia secara terangan-terangan baru dimulai sejak Indonesia memasuki zaman Jepang. Sementara pergumulan Sukarno dengan seni rupa yang berujung di sejumlah kitab besar, juga bertaut-taut dengan Jepang.

Keimin Bunka Sidhoso

Pada 1942 eksistensi Bung Karno mulai mencuat di tengah gelora seni rupa Tanah Air. Pada tahun itu, bulan Maret, pemerintah kolonial Belanda mundur dari Indonesia, lantaran Jepang menaklukkan seluruh wilayah Hindia Belanda. Dan Jepang masuk ke Indonesia dengan gerak yang simpatik, ketika pemerintah pendudukan ini menawarkan konsep pembangunan kesenian dan kebudayaan Indonesia, setelah selama beberapa abad seni budaya Indonesia dianggap tidak diperhatikan oleh pemerintahan penjajahan Belanda.

Semboyan politik Jepang yang didengungkan kala itu adalah Bersatoelah Bangsa Asia. Sementara semboyan yang lebih spesifik, yang di antaranya berkait dengan kebudayaan adalah Ajia-no Ajia atau Asia untuk Asia. Bung Karno merasa bahwa inilah saatnya kesenian Indonesia, sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia, bangkit. Untuk itu diperlukan kerja sama antara pemerintah pendudukan Jepang dengan bangsa Indonesia.

Melihat hasrat Bung Karno (dan teman-teman seperjuangannya) ini Letnan Jenderal Imamura lantas menginstruksikan agar seniman-seniman Jepang yang ada di Indonesia berkumpul, dan kemudian berkolaborasi dengan para seniman Indonesia. Pada April 1942 (atau 2602 menurut tahun Jepang) persekutuan itu terwujud di Jakarta. Bulan September 1942 terjadilah pameran karya seniman Indonesia-Jepang pertama. Di sinilah Bung Karno memperjelas peranannya.

Usaha penumbuhan dan pengembangan kebudayaan Indonesia lewat kerjasama dengan pemerintahan pendudukan ini memperoleh bentuk formal ketika Jepang mendirikan Keimin Bunka Sidosho atau Pusat Kebudayaan pada 1 April 1943. Dengan pendirian lembaga ini, Bung Karno sebagai penggerak kemajuan (dan kemerdekaan) bangsa semakin memperoleh peluang untuk bangkit. Adapun pendirian lembaga itu tertulis demikian, sebagaimana dimuat dalam pemberitaan majalah Djawa Baroe, no.3, tahun 2603, Jakarta.

Sedjak 1 April 2603, di Djakarta, Poesat Keboedajaan atau Keimin Boenka Shidosho, didirikan sebagai satoe tjabang loear Goensei Kanboe Sendehoe, dikepalai oleh seorang Tjo; dan terbagi dalam 5 bahagian: Bhg. Loekisan dan Oekiran, dengan anggota badan pimpinannja: T.Kohno. Bhg.Kesoesastraan, dengan anggota badan pimpinannja: Takeda. Bhg.Moesik, dengan anggota badan pimpinannja: N.Lida. Bhg.Sandiwara dan tari menari, dengan anggota pimpinannja, K.Yasoeda. Bhg, Film, dengan anggota badan pimpinannja: Soichi Oja.

Belasan Ribu Penonton

Bung Karno tentu sangat bergembira atas gagasan pemerintahan pendudukan Jepang ini. Pendapatnya: perjuangan bangsa menjadi utuh apabila tidak hanya bertumpu kepada kekuatan politik, tentara dan ekonomi, tetapi juga kepada dunia budaya. Tetapi tidak berarti Bung Karno segera puas dengan upaya Jepang itu. Justru dari sana nasionalismenya semakin tumbuh, sehingga ia mengajukan permintaan. Yakni muncul dan aktifnya seniman-seniman Indonesia dalam kepengurusan Keimin Bunka Sidosho, khususnya dalam bidang seni rupa. Pemerintah Jepang menuruti, sehingga kemudian dibentuk pengurus baru.

Maka di dalam bagian seni rupa tersebut, seperti ditulis Keboedajaan Timoer, majalah Keimin Bunka Sidosho no.2, 26 Desember 2603, muncul nama RM Soebanto Soerjosoebandrio, Setioso, Emiria Soenasa, GA Soekirno, Mohamad Saleh, S Toetoer, Soerono, Abdul Salam dan Sastradiwirja. Para bumiputera ini diangkat sebagai asisten pemimpin Badan Pemeliharaan Seni Rupa Keimin Bunka Shidosho Jakarta. Para pemimpin yang dimaksud adalah Saseo Ono, T Kohno, Yasioka dan Yamamoto, yang semuanya keluaran akademi seni rupa Jepang.

Masuknya nama-nama nasionalis itu didasari prinsip asimilasi antar organisasi. Karena Bung Karno merasa bahwa beberapa saat sebelum hadirnya Keimin Bunka Sidosho, di Jakarta telah berdiri lebih dahulu Poetera atau Poesat Tenaga Rakjat. Poetera dibentuk oleh “Empat Serangkai” Mohamad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, KH Mas Mansyur dan Bung Karno sendiri pada bulan Maret 1943.

Di dalam Poetera, ada seksi kebudayaan yang mengurusi seni rupa Indonesia, dengan Dullah, Sudjojono, Agus Djaya, Basoeki Abdullah sebagai tokoh dan pelatihnya. Persekutuan perupa Indonesia – Jepang ini mendatangkan kegairahan yang luar biasa bagi dunia seni rupa Indonesia. Lalu pameran-pameran pun banyak diadakan.

Sejak Jepang menduduki Indonesia sampai dengan April 1944, ada 14 acara pameran terselenggara. Bahkan di gedung Keimin Bunka Sidosho yang terletak di jalan Noordwijk (kini jalan Juanda) 39 Jakarta, terselenggara pergelaran Tenno Heika: Techo-setsu, atau pameran peringatan ulang tahun Kaisar Jepang. Di sana, karya 60 pelukis Indonesia dipajang, dan ditonton oleh 11.000 orang dalam 10 hari! Bahkan pemerintah Jepang membeli 9 lukisan untuk diikutkan dalam pameran keliling Asia Timur Raya. Bedakan kenyataan ini dengan situasi seni rupa Indonesia pada zaman kolonial Belanda. Pada era Hindia Belanda, Bung Karno tak ingin mendekati komunitas perupa Hindia Belanda yang memusat di gedung Bataviasche Kunstkring, di jalan Heutszboulevard no1 (kini jalan Teuku Umar), Jakarta.

Naoko Nemoto

Dalam persoalan kebudayaan Bung Karno dan Jepang sejak awal memang tampak bersekutu. Persekutuan itu diimbuhi dengan “persekutuan” lain yang lebih romantik, ketika ia mengawini Naoko Nemoto pada 3 Maret 1962. Naoko, kelahiran Tokyo 6 Februari 1940 adalah gadis cantik yang ingin jadi pelukis. Ia juga bercita-cita menjadi pengarang dan kritikus sastra. Ia pun suka menyanyi serta menari klasik Jepang. Bahkan bermain drama pada perkumpulan Sishere Hayakama Art Production di Tokyo.

Bung Karno pertama kali berjumpa dengan Naoko di Hotel Imperial Tokyo. Kecantikan Naoko memekarkan cintanya. Namun lebih dari segalanya, hasrat dan keleburan Naoko kepada senilah yang menjerat hati Sukarno. Pada hari-hari selanjutnya, Naoko Nemoto diberi nama baru oleh Bung Karno: Ratna Sari Dewi.

Bung Karno yang senang melukis, dan Ratna Sari Dewi yang sangat apresiatif kepada seni rupa, membawa mereka berjalan di koridor lain. Menurut Dullah dan Lim Wasim (para pelukis Istana Presiden), pada tahun 1964, Ratna Sari Dewi melakukan lobi-lobi di Jepang. Hasilnya, sebagian koleksi Bung Karno yang dibukukan dicetak oleh Percetakan Toppan,Tokyo. Buku monumental ini revisi dan wujud baru dari buku koleksi Bung Karno sebelumnya yang dicetak di Tiongkok.

sumber: Suara Pembaruan

No comments:

Post a Comment