Saturday, August 15, 2009

HUTAN MANGROVE HIJAU DIATAS LAUT INDONESIA KU”

HUTAN MANGROVE HIJAU DIATAS LAUTAN INDONESIA
ROY ANDRE
Dimata Dunia Internasional Indonesia termasuk kategori Negara yang mengalami degradasi lingkungan hidup. Penyebab diantaranya adalah pengrusakan hutan, termasuk hutan mangrove(bakau). Sekarang ini tercatat ±29 juta hektar hutan yang kritis dan rusak parah setiap tahunnya, kerusakan hutan dikarenakan berbagai sebab di indonesia yang mencapai 1,8 hektar pertahunnya dan belakangan ini cenderung meningkat, jika terus berlangsung kita akan menyaksikan kerusakan hutan lebih parah lagi, selama ini perhatian pemerintah lebih banyak tertuang dalam pelestarian kawasan hutan daerah pegunungan sebab banyak mengalami kerusakan cukup parah termasuk hutan di Sumatera Utara namun kawasan hutan mangrove juga telah dirusak, dari 8 juta hektar hutan mangrove di Indonesia 60 % mengalami degradasi dan tidak virgin lagi dan sangat memerlukan perhatian serius sebab dampak dari kerusakan tersebut sangat fatal. Sebab hutan mangrove sangat penting sebagai penjaga antara laut dengan daratan untuk menghindari abrasi laut, perluasan daratan, pelindung pantai, penahan angin, penggendali banjir(tsunami), penyerap logam berat, bahan berbahaya dan racun serta meningkatkan produktivitas perikanan (persemaian biota laut) hutan mangrove di Sumatera Utara luasnya adalah ±85.393 hektar pada umumnya sudah tidak virgin lagi dan masih banyak lagi kerusakan lingkungan hidup, akibat belum terpadunya sistem pengelolaan umumnya limbah industri, limbah rumah tangga, limbah rumah sakit, perambahan hutan mangrove, perusakan terumbu karang, perkebunan sawit, tambak dan eksploitasi lainnya. Sementara perbaikan tidak seimbang dengan besarnya kerusakan yang ada sehinga bangsa ini dihadapkan berbagai permasalahan yang sangat serius, seperti kemiskinan dan hampir setiap tahunnya memakan korban yang tidak sedikit dikarenakan kita telah melupakan lingkungan sekitar kita dan ada sekelumit orang-orang yang bukan saja melupakan lingkungan hidup tetapi melakukan pengrusakan dan membalak hutan secara terang-terangan dan illegal dan telah merugikan Negara ± 45 triliun pertahunnya itupun untuk penebangan sebanyak 50 hingga 60 juta m3.begitu banyak kerugian yang dialami Negara kita, bukan hanya itu saja pembalakan liar juga berdampak pada beberapa bidang seperti kerusakan ekologis sumber daya air, sungai, waduk dan danau yang mengakibatkan pembakit listrik tidak dapat berpungsi dengan semestinya dan juga pengairan bagi sawah tidak berjalan dengan baik yang mengakibatkan para petani gagal panen.
Tidak sampai disi saja hilangnya flora dan fauna merupakan efek dari kegiatan tersebut. Sengaja maupun tidak sengaja karena UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UU no 5 tahun 1990 tentang sunber daya alam dan hayati serta UU no 7 tahun 2004 tentang sumber daya air tidak disosalisasikan kemasarakat oleh si pengambil keputusan di daerah di seluruh Indonesia. Dan pemerintah harus mengembalikan hak pengelolahan hutan kepada rakyat bukan kepada pengusaha ataupun mafia perhutanan, berdasarkan pengamatan Swara Wartawan Pemberantas Korupsi (ASPK) di berbagai tempat pengelolaan hutan yang dilakukan masarakat justru memiliki performa jauh lebih baik dibandingkan pengusaha. Dan masarakat lebih mampu melestarikan lingkungan sekaligus meningkatkan pendapatan mareka. Contohnya pengelolaan hutan rakyat di pegunungan kapur di selat pulau jawa, pengelolaan rempong di Sumatera serta simpunk dikalimatan yang berhasil mengelolah hutan dengan baik, atas dasar itu sudah saatnya pengelolaan hutan rakyat diberikan tempat oleh pemerintah jika tidak, pengerusakan dan pencemaran terus berjalan dan mengacam kita semua, yang mana Indonesia memiliki arti penting bagi kehidupan dunia sebab Indonesia merupakan paru-paru dunia tentang kehutanan, namun hal ini tidak harus menjadi kewajiban pemerintah akan tetapi menjadi kewajiban seluruh rakyat Indonesia dan semua umat manusia yang ada dimuka bumi ini. Dan coba kita mengarah pada permasalah hutan mangrove (bakau) yang mana disatu sisi kehidupan masarakat nelayan pesisir pantai yang nuasanya begitu jelas dapat kita lihat dan rasakan untuk mencukupi kehidupan sehari – hari para nelayan tradisional yang tidak sanggup menangkap ikan dilautan terbuka atau lepas di tempat-tempat ikan yang letaknya jauh ditengah lautan dengan fasilitas yang sederhana dan berhubungan langsung dengan alam laut sudah pasti hasil mereka pun sederhana, kemudian para nelayan tradisional untuk merubah hasil tangkapan mereka menjadi uang biasanya menjualnya kepenampungan atau toke boat ( toke sampan) begitu kehidupan para nelayan tradisionil berbeda dengan nelayan yang sudah mengunakan fasilitas alat tangkap ikan yang lebih modern seperti di Sumatera Utara dikota medan yaitu gabion Belawan. Keadaan alam juga sangat merpengaruhi terhadap nelayan tradisional misalnya cuaca tidak mendukung para nelayan tradisional pun turun kelaut walaupun mereka berlayar dengan cuaca yang cukup baik para nelayan tradisionil tersebut saat-saat ini selalu sering pulang dengan penghasilan minim atau kosong tak dapat hasil alias tak dapat ikan, dan kita sama –sama tahu bahwa hal ini di sebabkan oleh hal-hal tersebut diatas yang telah dipaparkan secara jelas. Masalahnya sekarang kenapa hal ini masih bisa terjadi ? bagaiman masalah hutan mangrove jika dibiarkan berlarut-larut lebih lama lagi? apa yang akan terjadi dengan negeri ini? padahal kampanye-kampanye yang menggalang kesadaran dan mengajak seluruh lapisan masarakat Indonesia agar dapat berpartisipasi untuk menjaga lingkungan hidup sudah sering dilakukan apalagi, sudah banyak LSM dan organisasi – organisasi yang membawa satu nama besar yang diberikan hak atau wewenang oleh Negara agar dapat menegur dan menindak tegas industri-industri atau pengusaha yang dengan sengaja mencemari air laut, sungai dengan limbahnya dan menebang hutan termasuk hutan mangrove, kemana semua para intansi-intansi terkait yang telah di beri tangung jawab untuk memberi penyuluhan kepada masarakat, sementara kerusakan kawasan pesisir pantai di Sumatera Uatara cukup parah dan menjadi problematika lingkungan hidup,dalam hal ini Untuk membangun kesadaran masarakat misalnya peran media electronic, Koran, radio dan lembaga-lembaga pendidikan jelas sangat menjadi hal yang paling penting, dimana dalam hal publikasi tentang lingkungan hidup masih kalah dibandingkan pemberitaan tentang kriminaltas, pilkadasung, gosip-gosip yang tidak memiliki arti sama sekali, salah menyalahkan, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan orang – orang untuk mendapatkan simpatik orang yang diuntungkan, tawuran antara pelajar, mahasisiwa, Tni Vs Polri, suporter bola yang akibatnya jelas – jelas tidak membuahkan hasil apa-apa.selain kerugian yang akan di tanggung oleh Negara, dan sekarang bukan waktunya lagi untuk membahas masalah ini tetapi saat ini dalam jam yang sama menit yang sama dan detik yang sama hari yang sama pikiran kita sama-sama berkata bahwa: “sudah berapa banyak uang yang sudah dibuang dengan percuma, dalam hal ini tidak ada yang harus disalahkan karena suasana ini tercipta hanya untuk memberi kesempatan kepada kita agar dapat berbuat sesuatu yang berguna bagi Bangsa Dan Negara Kesatuan Republik Indonesia “.Swara Pemberantas Korupsi (ASPK) yang merupakan wadah bagi insan Pers yang telah menulis di berbagai media, baik terbitan berskala lokan maupun berskala Nasional sebagai motor masarakat akan terus berjuang walaupun dengan keterbatasan, baik dari segi moral dan moril, hal itu tidak jadi penghalang dikarenakan adanya dukungan ormas seperti: Pujakesuma, LSM PHP, DPP Himpass. dan tokoh agama, tokoh adat dan segelintir nelayan yang mana program penanaman mangrove yang sudah kami jalankan bisa membawah perdamaian dunia agar nelayan tradisional lima tahun atau sepuluh tahun kedepan dan generasi mendatang dapat merasakan hasilnya. Swara Wartawan Pemberatas Korupsi (ASPK) mengajak seluruh elemen masarakat Indonesia terutama Sumatera Utara, ini merupakan interaksi pers, masarakat dan pemerintah yang sangat sadar akan hal tersebut adalah merupakan implementasi bergandeng tangan dengan pemerintah pusat, daerah dan dinas – dinas terkait untuk mewujudkan : “HUTAN MANGROVE HIJAU DIATAS LAUT INDONESIA KU”

Kondisi Hutan Di Hulu Sungai Deli

Kondisi hutan di hulu yang tinggal 15 persen, berakibat pada kondisi debit air di Sungai Deli. Hal ini berdampak besar bagi pengadaan air masa datang. Untuk itu, pemerintah dan semua elemen harus cepat mengambil sikap, menanggapi ancaman krisis air Sungai Deli yang mengalami defisit 2,5 M3/detik pada 2008. Dari tahun ke tahun ketersediaan air sungai cenderung menurun.
Harus ada upaya mengatasi debit air Sungai Deli dengan melakukan tutupan lahan/vegetasi di hulu mencapai 45 persen. Kondisi hutan di hulu demikian parahnya saat ini. Hal itu bisa dilihat dari data yang diperoleh dari survei tahun 2006 yang mendapati kondisi tutupan lahan ini sangat memprihatinkan.
Hutan negara hanya memiliki lahan tutupan sekitar 4,69 persen. Lahan milik masyarakat hanya 0,03 persen dan 45,5 persennya adalah lahan budi daya. Dengan kondisi seperti ini sudah tentu konservasi hutan harus segera dilakukan.
Dalam hal ini, lanjutnya, kondisi Sungai Deli hanya memiliki daerah tutupan hanya 12,02 persen. Kondisi inilah yang memicu persoalan debit air di Sungai Deli. Karenanya, perbaikan harus segera dimulai sejak sekarang dengan cara melakukan penjagaan dan konservasi hutan, memperbanyak kawasan resapan air yang bisa menahan dan menampung air pada saat hujan dan bisa dimanfaatkan pada saat kemarau.
Kesadaran masyarakat dan pemerintah perlu terus ditumbuhkembangkan untuk menjaga kondisi air di Sumatera Utara. Persoalan Sungai Deli, bukan persoalan sepele. Setidaknya tiga kabupaten kota (Deli Serdang, Karo dan Medan) mempunyai andil yang cukup besar dalam menjaga kondisinya. Dinas Kehutanan dan Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS), serta stakeholder termasuk mereka yang menggunakan sumber daya alam dalam kegiatannya di hulu, perlu berperan aktif dalam rangka menumbuhkembangkan kesadaran pemeliharaan hutan ini. Ini masalah kita bersama, jadi harus ada penyelesaiannya. Krisis hutan di hulu dan semakin meningkatnya volume pembangunan di sana dan gampangnya memotong pohon adalah sebuah persoalan.

Pemerintah Ultimatum Perambah Lahan Konservasi


Sabtu, 18 Oktober 2008 | 01:03 WIB
Medan, - Pemerintah mengultimatum perambah di kawasan konservasi yang menduduki secara tidak sah. Setelah memberi peringatan tiga kali, pemerintah akan mengambil langkah represif untuk mengembalikan kawasan itu ke fungsi semula.
”Sebelum upaya represif, kami akan melakukan pemetaan perambah di dalam kawasan. Pemetaan ini perlu kami lakukan untuk menyelamatkan kawasan dari kehancuran,” kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara Djati Witjaksono Hadi, Jumat (17/10) di Medan.
Menurut Djati, upaya represif benar-benar dilakukan setelah sosialisasi selama tiga kali ke penghuni kawasan. Sosialisasi dilakukan tim gabungan dari lintas instansi dalam kurun waktu selama tiga kali 14 hari.
Pada awal pekan ini Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) menggelar pertemuan di Medan, khusus untuk membahas perambahan di kawasan Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut (SMLTL) Karang Gading seluas 15.675 hektar (ha) dan Taman Wisata Alam (TWA) Holiday Resor 1.963 ha. Di dua kawasan ini terjadi kerusakan parah.
SMLTL Karang Gading yang terletak di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat kini tinggal 9.087 ha. Sebagian kawasan itu berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, tambak ikan, dan permukiman warga. Adapun TWA Holiday Resor di Kabupaten Labuhan Batu tinggal 200 ha. TWA Holiday Resor sebelumnya pusat pelatihan gajah. Namun, hampir seluruh kawasan itu kini berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Djati mengingatkan agar perambah meninggalkan kawasan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Pemerintah juga meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) meninjau kembali sertifikat yang telanjur keluar.
Sejak zaman Belanda
Camat Labuhan Deli, Deli Serdang, Darwin Zein, minta solusi yang tak merugikan siapa pun.
Ratusan warga Desa Karang Gading menempati lokasi itu sejak tahun 1918. Namun, petugas BBKSDA Sumut menyatakan lahan seluas 6.245 ha wilayah desa itu masuk dalam kawasan SMLTL Karang Gading. Padahal, luas Desa Karang Gading 6.250 ha. Total sekitar 1.683 keluarga atau 5.840 jiwa yang tinggal di desa itu ingin mengajukan revisi luas kawasan.

No comments:

Post a Comment