Monday, March 28, 2011

REFORMASI BIROKRASI

birokrasi buruk


  1. REFORMASI BIROKRASI
Melihat kondisi birokrasi di negara kita yang carut-marut ini sangat jelas bahwa diperlukan adanya perubahan yang mendasar (reformasi) dari dalam tubuh birokrasi itu sendiri. Jika terus dibiarkan maka masyarakat kecillah yang akan merasakan efek dari proses birokrasi yang rumit dan memakan banyak biaya ini. Siapapun akan enggan menghadapi proses dalam birokrasi yang sering berbelit-belit dan tidak transparan ini. Pelayanan yang tidak ramah, tidak ada kepastian waktu, mengutamakan formalitas dan rutinitas dari pada hasil kerja yang esensial, sombong dan cuek, dan beberapa sifat negatif lainnya dari birokrasi kita. Selain itu kondisi birokrasi kita sekarang ini sangat rawan memudahkan para birokrat untuk melakukan korupsi, kulusi dan nepotisme. Tak heran masyarakat menjadi apatis, bahkan benci dan tidak mau lagi berurusan dengan birokrasi.
Birokrasi begitu lamban dalam merespon perubahan sosial yang yang terjadi selama periode Orde Baru dan era transisi. Ini menyebabkan Indonesia makin terpuruk. Hubungan penguasa/birokrat dan masyarakat tidak mengalami perubahan yang signifikan. Akibatnya, aspirasi masyarakat tidak banyak terakomodasi dalam pebuatan kebijakan dan bahkan rakyat acapkali merasa sangat dirugikan oleh suatu kebijakan pemerintah. Tidak terakomodasinya aspirasi dan kepentingan masyarakat tersebut memunculkan keresahan di tengah masyarakat. Bila hal ini dibiarkan akan menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Kesenjangan atara kaya-miskin, desa-kota, Jawa-luar Jawa dan kawasan barat-kawasan timur Indonesia, akan mengancam keutuhan wilayah RI.
Penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat, munculnya korupsi menjadi bukti konkret rendahnya kualitas birokrasi Indonesia. Hal ini berpengaruh negatif terhadap daya saing. Birokrasi kurang responsif terhadap kebutuhan akan profesionalismenya sehingga telah menelantarkan kepentingan nasional. Oleh karena itu, kinerja pemerintahan perlu diperbaiki melalui reformasi birokrasi, khususnya aspek regulasi, aspek kelembagaan dan aspek sumber daya alam.
Aspek Regulasi
Regulasi yang dikeluarkan Pemerintah untuk menanggulangi korupsi relatif cukup. Tapi, korupsi makin menjadi-jadi dan bahkan semakin mencolok saat ini. Pasca gerakan reformasi 1998 tuntutan untuk membasmi KKN antara lain diwujudkan melalui beberapa peraturan, baik di bawah kepeminpinan Presiden B.J. Habibie[1], Presiden Abdurrahman Wahid[2], Presiden Megawati[3] maupun SBY[4]. Sumber dari maraknya korupsi ini disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Badan-badan pengawasan yang ada tidak berfungsi maksimal. Meskipun Indonesia mempunyai KPK, BPK, Timtastipikor, Indonesia Corruption Watch (ICW), Bangwasda (di daerah-daerah) dll, korupsi tetap berlangsung juga. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar badan pengawas yang didirikan tidak efektif dalam menjalankan tugasnya. Sifat kolutif dalam proses pengawasan cukup dominan. Hampir tidak mungkin pengawasan dilakukan dari dalam institusi itu sendiri. Relatif efektifnya peran KPK dalam memberantas korupsi, misalnya, menunjukkan bahwa pada dasarnya pengawasan harus dilakukan dari luar, dan oleh karena itu, tampaknya Bangwasda kurang relevan keberadaannya di daerah. Selain itu juga dapat disampaikan bahwa kekuatan mengikat suatu peraturan atau UU cenderung sangat lemah karena tidak diikuti oleh penalti yang konkret.
Kebijakan rekrutmen PNS perlu dibenahi, terutama berkaitan dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS. Ini adalah tahapan awal yang salah dalam proses dan mekanisme penerimaan calon PNS. Pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS juga merupakan salah satu penyebab kurang berkualitasnya aparatur pemerintahan di Indonesia. Birokrasi Indonesia tidak akan bisa profesional dan netral bila sistem dan mekanisme rekrutmennya masih seperti sekarang ini. Keengganan SDM handal masuk PNS juga ikut berpengaruh, sehingga sebagian besar PNS masih dihuni oleh kualitas SDM nomor dua. Demikian juga dengan motif politik dalam rekrutmen PNS. Sebagai contoh, kalau dulu rekrutmen besar-besaran PNS untuk mendukung Golkar, sekarang kecenderungannya untuk mengurangi pengangguran. Kedua kebijakan ini sangat merugikan prospek birokrasi Indonesia
Aspek Kelembagaan
Perubahan sistem politik memberikan peran penting kepada DPR RI dan ini cenderung dimaknai sebagai _kekuasaan_ ketimbang pemahaman fungsi checks and balances. Sistem presidensiil yang dikombinasikan dengan sitem multi partai mengaburkan realisasi checks and balances, dimana rasionalitas politik yang seharusnya mengedepan digantikan oleh menonjolnya tarikan kepentingan yang ditampakkan oleh lembaga legislatif. Hal ini tentunya menghambat program pemerintah dalam bidang pembangunan ekonomi. Karena itu tak jarang _interupsi politik_ (baca kepentingan politik) yang dilakukan badan legislatif terhadap badan eksekutif mengganggu realisasi pembangunan ekonomi.
Disfungsi kelembagaan sangat menonjol di era reformasi. Pembentukan beberapa komisi tak jarang tumpang tindih dengan institusi yang sudah ada. Jadi, masalahnya bukannya karena _demokrasi yang berlangsung secara cepat dan bebas_, tapi lebih pada kurang berfungsi dan berperannya institusi yang sudah terbentuk. Munculnya _perang_ internal di lembaga hukum (Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi) dan lembaga legislatif (DPR RI dan DPD RI) dipicu oleh kurangnya pemahaman yang memadai tentang fungsi dan peran masing-masing. Keberadaan suatu lembaga senantiasa diidentikkan dengan besar kecilnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki, dan bukannya tugas yang seharusnya diemban oleh institusi tersebut.
Fenomena-fenomena di atas menunjukkan bahwa realisasi demokratisasi memerlukan penegakan hukum dan pendidikan politik yang memadai bagi masyarakat. Ini diperlukan supaya demokrasi yang berlangsung di Indonesia bisa berjalan sesuai dengan harapan pembukaan UUD 1945, yaitu _memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Baik Parlemen maupun partai politik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Hal ini juga dikuatkan oleh pengalaman sejarah politik Indonesia, dimana birokrasi cenderung digunakan sebagai ajang pertarungan kepentingan, baik di era Orde Lama maupun Orde Baru. Pasca Orde Baru, Indonesia menerapkan kembali sistem multi partai. Hal ini bukan tanpa resiko, karena dengan banyaknya partai politik, soliditas birokrasi terancam dan birokrasi cenderung terkotak-terkotak, khususnya dalam pilkada langsung di beberapa daerah sejak 2005. Masalahnya adalah bagaimana menyingkirkan kepentingan-kepentingan parpol dari birokrasi?
Masalah politisasi birokrasi harus dicermati, khususnya di era pilpres dan pilkada langsung. Pembangunan ekonomi daerah tidak hanya dihambat oleh _interupsi politik_ DPRD, tapi juga ancaman tarik-menarik kepentingan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, lebih-lebih lagi bila keduanya berasal dari partai politik yang berbeda. Konflik kepentingan, baik antara eksekutif-legislatif maupun antara kepala daerah-wakil kepala daerah hanya akan menghambat proses pembangunan dan kemajuan daerah dan juga menurunkan daya saing ekonomi daerah. Daerah cenderung tidak kompetitif karena pimpinan daerah lebih sibuk mengurusi masalah kekuasaan dan upaya untuk mempertahankannya ketimbang memprioritaskan pelayanan publik dan mensejahterakan rakyat.
Aspek Sumber Daya Manusia
Kesadaran untuk merekrut tenaga-tenaga handal dalam birokrasi sudah menjadi perhatian pemerintah sejak lama. Bahkan sejak pemerintahan Orde Baru, keinginan untuk mengefektifkan dan mengefisienkan birokrasi sangat besar. Untuk itu, pemerintahan Orde Baru ditopang penuh oleh birokrasi yang efektif dan efisien, namun mengorbankan demokrasi. Debirokratisasi juga dilaksanakan dengan memangkas berbagai peraturan yang dinilai tidak menguntungkan bagi investasi dan pembangunan ekonomi Indonesia. Insentif diberikan kepada investor yang menanamkan investasinya di kawasan-kawasan tertentu seperti kawasan Indonesia timur. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya memberikan jaminan stabilitas politik bagi pemodal asing dan domestik, tapi juga kemudahan peraturan investasi, meskipun ini dilakukan secara tidak transparan.
Pelayanan publik belum maksimal karena beberapa faktor. Pertama, gaji yang relatif rendah. Ini berpengaruh negatif terhadap upaya PNS untuk mencari tambahan penghasilan melalui cara yang illegal. Tindakan korupsi salah satunya dipicu oleh rendahnya penghasilan PNS. Korupsi dalam birokrasi juga dipicu oleh absennya bill of government ethics dalam sistem pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu, peraturan tentang etika berpemerintahan mendesak untuk direalisasikan agar memberikan guidance bagi PNS dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan publik.
Kedua, mengubah mindset PNS/birokrat yang berorientasi pada kekuasaan dan pada safety first philosophy. Mental melayani perlu terus disosialisasikan diantara birokrat/PNS agar ada perubahan orientasi dari yang tadinya minta dilayani menjadi melayani masyarakat. Demikian juga dengan sikap pragmatisme birokrat yang cenderung mencari selamat ketimbang kerja secara profesional.
Ketiga, menciptakan lingkungan kerja yang kompetitif melalui pemberian reward and punishment. Seiring dengan itu juga perlu disosialisasikan merit system untuk memacu PNS yang kreatif dan progresif dalam melaksanakan tugas-tugas birokrasi.
Hambatan peningkatan kualitas SDM dalam birokrasi sebenarnya bukan karena jumlah PNS yang dinilai cukup besar[5], tapi lebih karena sistem rekrutmen dan pembinaan yang kurang tepat sejak awal. Ini termasuk sistem yang secara umum berlangsung selama ini. Sebagai contoh, masalah korupsi, ini adalah berkaitan dengan kejahatan dan masalah moral. Tapi, peraturan yang ada tidak cukup mengikat dan penalti cenderung tidak tegas. Oleh karena itu, tak jarang tindakan korupsi dianggap sebagai masalah yang biasa dan bisa ditoleransi. Sebagai contoh, pengakuan seorang birokrat tinggi di suatu daerah yang mengatakan bahwa _kalau birokrasi ya korupsi, tidak ada birokrasi yang tidak korupsi_.
Untuk meningkatkan kualitas SDM, kultur birokrasi atau mindset mereka harus berubah. Ini butuh waktu yang tidak singkat karena untuk mengubahnya perlu ada pergantian generasi. Apa yang bisa dilaksanakan sekarang ini adalah memulainya menuju perubahan yang riil dengan mengubah model birokrasi Indonesia. Yaitu birokrasi yang partisipatif yang mampu merespon perubahan pesat dalam masyarakat. Artinya, birokrasi Indonesia ke depan bukanlah birokrasi yang ignorant yang tidak akomodatif, melainkan birokrasi yang akomodatif yang memungkinkan adanya kompetisi antarbagian dan yang mendorong kreativitas PNS yang cemerlang.

kenapa begini?

April 27, 2009 oleh boyzcrazy
sedih melihat organisasi yg ada d kampus..
seolah-olah sedang terjadi vacum of proker dalam organisasi di FISIP. knp bs spt itu? apa semua mahasiswa telah kehilangan kreatifitas? apa semuanya sudah kehilangan jiwa pejuangnya?
apa emang orang2 yg ada d organisasi skrg emang ga tau apa2 tentang organisasi???

salam..


Demokrasi di Pedesaan Jawa
Sejarah Politik di Pedesaan Jawa
Pedesaan Jawa secara historis telah banyak mengalami perubahan-perubahan yang berarti selama kurun waktu yang sangat panjang. Hal ini dimungkinkan karena pedesaan Jawa telah lebih dulu terkena dampak dari gaya penetrasi negara kolonial Belanda, selain sebab-sebab khusus yang mendasarinya. Oleh karenanya perubahan dari segi administrasi pemerintahan, sistem ekonomi agraris kelembagaan sosial dan kultural di pedesaan Jawa lebih mudah untuk diamati. Realitas ini membawa konsekuensi baru, bahwa justru proses perubahan sosial di pedesaan Jawa itu semakin lebih kompleks dan bervariatif.
            Djoko Suryo misalnya mengemukakan bahwa awal modernisasi dan pembangunan di pedesaan Jawa secara historis dapat ditarik jauh ke belakang pada abad ke-19 terutama pada sistem tanam wajib (cultur stelsel) dan kapitalisme perkebunan. Pembahasan tentang politik harus dikaitkan dengan masyarakat atau masa dalam hal ini masyarakat Jawa dimana mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Sekalipun demikian studi tentang masyarakat petani kurang mendapatkan perhatian yang memadai dalam teori-teori kemasyarakatan. Begitu pula dalam perdebatan teori-teori masyarakat klasik (tradisional) petani begitu saja diremehkan peranannya Teori kapitalisme–liberal dan Marxisme klasik, memandang masyarakat petani kurang diperhitungkan sebagai subyek perubahan atau revolusi pembaharuan.
            Sejarah menunjukkan bahwa kehidupan petani di desa sepanjang abad telah mendominasi proses perubahan-perubahan besar, khususnya di lapangan hubungan antara petani dan golongan elite ekonomi dan politikagraria di Jawa. Perubahan ini antara lain disebabkan oleh munculnya negara-negara pusat yang kuat, apa itu negara kolonial atau negara kuat modern Indonesia sekarang ini dan dibawah pengaruh perkembangan ekonomi kapitalis internasional atas bagi hasil pertanian.
            Hal ini sebenarnya menandai bahwa dalam tahap tertentu pemahaman kehidupan politik masyarakat desa masa lampau menjadi bagian penting dalam studi-studi politik kontemporer. Dengan demikian kehidupan politik kaum tani dan buruh tani, dijadikan acuan sejarah untuk melihat kahidupan politik masa lampau di pedesaan Jawa, karena kehidupan politiknya didominasi oleh sektor pertanian tradisional agraris.
            Para ahli sejarah sosial modern dengan pendekatan yang lebih multidisipliner (komprehensif) mampu menyusun tesis-tesis keterlibatan petani dalam politik di pedesaan Jawa selama ini. Biasanya analisis terhadap keterlibatan petani ini mempergunakan tiga tesis utama, yakni:
Pertama adalah tesis yang menekankan adanya polarisasi masyarakat pedesaan yang susunan kelasnya terdiri atas tuan tanah dan petani penggarap, yang keduanya berada dalam kedudukan berhadapan dan terjadi kesenjangan antara keduanya. Dalam teori J. Paige determinan penting kelakuan politik dan ekonomi baik petani penanam maupun non penanam (non cultivator) adalah berupa tanah, modal atau tenaga kerja. ketergantungan kedua kelas itu pada ketiga faktor tersebut dicerminkan oleh interaksi dari kelakuan mereka.
Kedua adalah tesis yang menekankan ketegangan yaitu mereka yang kuat agama (santri) dan mereka yang tidak agama (abangan).
Ketiga adalah yang berusaha menjelaskan bahwa keterlibatan politik kaum tani adalah gabungan dari dua tesis diatas. tesis ini mengemukakan bahwa masyarakat petani menderita dua macam konflik, yakni sosialekonomi dan kultural. Daniel S. Lev dalam memberi kata pengantar monografnya Margo L. Lyon juga berpendapat bahwa dasar dari pertentangan di pedesaan Jawa adalah economic resources and religius faith –sustenance of body and soul penyebab utama konflik dan pergolakan pada masyarakat Jawa lebih diakibatkan oleh persoalan perut dan ideologi.
            Banyak peristiwa politik,ekonomi dan agrarian yang terjadi dalam masyarakat pedesaan dalam negara Orde Baru, semata-mata hanya merupakan respon dari kalangan petani terhadap perilaku negara yang berlebihan. Tahun 1989 memcatat munculnya banyak peristiwa sosial penting, yakni pelanggaran terhadap hal azasi manusia baik politik, ekonomi dan lingkungannya. respon-respon yang dilakukan masyarakat petani tersebut,telah memaksa masyarakat pedesaan berdiri pada posisi yang berhadapan dengan negara. Di mana segala bentuk kepentingan negara menjadi keharusan bagi masyarakat petani untuk selalu mendukungnya. Di sisni merupakan bukti bahwa otoriterisme negara, telah menempatkan kepentingan masyarakat pedesaan bersifat minimal dan pinggiran dalam kehidupan berbangasa.   

Redefinisi Demokrasi di Pedesaan Jawa
Demokrasi dalam ilmu politik dapat dilihat dalam dua dimensi utama. Pertama dari dimensi konseptual ideal normative (yuridis formal). Kedua dari dimensi empirik pragmatis yang melihat bagaimana demokrasi dilaksanakan secara nyata dalam kehidupan sehar-hari maupun dalam kehidupan bernegara. Dalam pengertian yang terakhir ini demokrasi dinilai dari segi penampilan (performance) masyarakat dalam berpolitik (democracy in action).
            Alasan utama yang mendorong pendekatan ke arah demokrasi empiris–pragmatis dan upaya ke arah defiisi demokrasi dalam konteks pedesaan adalah pertama-tama lebih diakibatkan oleh sudah tidak memadainya lagi klaim normatif dari demokrasi dengan berbagai bentuknya untuk menjelaskan fenomena yang tengah terjadi pada masyarakat civil di tingkat bawah terutama masyarakat pedesaan. Definisi dan klaim normatif dari demokrasi tersebut pada tahap-tahap selanjutnya kurang  bisa menjelaskan perilaku dan watak dasar dari Dunia Ketiga yang otoriter-represif, sehingga gagal menangkap peran masyarakat atau rakyat yang sangat minimal dan pingiran dalam proses politik.
            Kedua, sudah tidak memadainya lagi tolok ukur demokrasi secara konvensinal seperti Pemilu dan Pilkades di pedesaan Jawa, untuk menjadi tolok ukur demokratis tidaknya kehidupan politik masyarakat karena dari segi konsep demokrasi di pedesaan masih terbukanya peluang untuk secara definitif mampu menjelaskan persoalan yang terjadi.
            Dengan demikian konsepsi demokrasi apabila dikaitkan dengan keputusan-keputusan politik yang mengharuskan keterlibatan rakyat akan tampak bahwa Pemilu ataupun Pilkades bukan hanya tidak penting namun juga sudah sangat tidak memadai untuk menangkap peran demokrasi kerakyatan secara utuh di tingkat pedesaan. Sebab, setelah moment demokrasi konvensional itu selesai, terasa sekali rakyat sudah tidak lagi terlibat dalam proses pembuatan keputusan apalagi melakukan kontrol terhadap kekuasaan.
            Dengan demikian perlunya reorientasi akan tolok ukur yang konvensional di pedesaan Jawa yang selama ini terabaikan dan tidak ditangani secara serius. Artinya partisipasi politik formal seperti Pemilu dan Pilkades yang selama ini menjadi tolok ukur demokratisasi di pedesaan seharusnya sudah mulai mempertimbangkan konsep-konsep yang lebih realistis yang mempertautkan proses kehidupan masyarakat desa yang lebih menyeluruh, dalam tata cara masyarakat pedesaan untuk mencari nafkah dan memperjuangkan kehidupannya.
            Dalam Pemilu di pedesaan Jawa selama ini yang dilakukan oleh negara Orde Baru dalam jangka panjang akan sangat merugikan karena yang sesungguhnya terjadi adalah mobilisasi dan depolitisasi politik. Mekanisme politik di pedesaan itu sama sekali kurang menghadirkan pendidikan politik modern atau pertumbuhan demokrasi.
            Pendapat klasik yang normatif selalu menekankan bahwa susunan organisasi desa dan tata kerja di pedesaan sudah disusun berdasarkan hukum asli Indonesia dan disusun atas asas demokrasi. Akan tetapi perkembangan selanjutnya jelas semakin menuntut suatu perhatian yang serius. Di sini demokrasi desa yang dulu dihadapkan dengan negara feodal keraton telah sangat mamadai untuk menjelaskan demokrasi desa yang sekarang ini. Perkembangan negara modern sekarang ini, khususnya Orde Baru jauh lebih kuat untuk melakukan kooptasi dan penetrasi terhadap masyarakat desa dibandingkan dengan negara feodalis keraton.
            Pandangan yang lebih kritis tentang eksistensi demokrasi di pedesaan Jawa datang dari Parsudi Suparlan maupun Yumiko dan Prijono Tjiptoherijanto Parsudi Suparlan pada akhirnya menyimpulkan bahwa politik yang berlaku pada masyarakat tradisional di pedesaan Jawa sebenarnya tidak bisa disebut bercorak demokratis. Argumentasinya adalah walaupun desa mempunyai hak otonomi tetapi pengaruh dari dan orientasi kepada kekuasaan negara (kraton) tak bisa dikesampingkan yang besar kecilnya pengaruh itu tergantung dari jarak desa dari pusat negara. Demikian pula seperti apa yang diajukan oleh Soetjipto Wirsarjono yang berpendapat bahwa sesungguhnya banyak aspek kultural dari kehidupan bangsa Indonesia masa lampau yang berlawanan dengan hakekat tatanan kehidupan yang a-demokratis, seperti penindasan, ketidakberdayaan, dll. Sehingga ia menolak eksistensi demokrasi pedesaan Jawa masa lampau itu.
            Dalam ilmu sosial nampaknya persoalan ada tidaknya demokrasi masa lampau pada tingkat pedesaan masih menjadi bahan perdebatan terutama karena perbedaan menganai pemahaman “demokrasi di pedesaan Jawa”. Perbedaan dalam cara meletakkan pembicaraan kelompok pertama ini adalah dalam pandangan atau konteks normatif-das sollen (apa yang seharusnya) orang akan melihat nuansa romantisme yang mengatakan bahwa demokrasi di pedesaan itu masih ada dan tetap bertahan dalam tradisi Jawa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong dan musyawarah. Artinya banyak aspek kultural dari kehidupan rakyat di pedesaan Jawa yang bisa menjelaskan adanya sistem politik efektif yang bisa disebut demokrasi. Biasanya pendangan yang demikian ini menggunakan difinisi yang sangat normatif dan berbau kultural.
            Sedangkan kelompok kedua dalam konteks pemahaman empirik-das sain (apa yang senyatanya) melihat bahwa demokrasi di pedesaan Jawa itu adalah sesuatu yang romantis, tidak bemar-benar ada dalam realitas kehidupan pedesaan. Argumentasinya adalah cukup banyak bukti kajian secara empirik pragmatis apa yang dsebut sebagai praktek “demokrasi” di pedesaan itu akan ditemukan aspek kultural dasar yang berlawanan dengan hakekat tatanan masyarakat yang demokratis. Biasanya kelompok yang kedua ini menggunakan definisi secara luas kontemporer dan sekaligus empirik.
            Eksistensi demokrasi di pedesaan Jawa mengandung arti ada tidaknya pengakuan, perlindungan dan penerapan hak-hak azasi manusia rakyat pedesaan. Demokrasi pedesaan tidak dapat lepas dari konteks perkembangan obyektif masyarakat sejak ia melepaskan diri dari kekuasaan feodalisme hinga ke kapitalisme dan sosialisme. Disini pemahaman demokrasi di pedesaan Jawa hanya akan terjelaskan dengan terlebih daulu memahami struktur sosial pedesaannya. Persoalannya adalah apakah struktur sosial pedesaan Jawa yang sekarang ini bisa dijadikan landasan kehidupan yang demokratis. Karena kondisi struktur ini sangat menentukan berjalan tidaknya demokrasi di pedesaan Jawa.
            Hampir dapat ditentukan bahwa struktur sosial yang timpang dipedesaan Jawa jelas akan mempersulit pelaksanaan demokrasi itu sendiri, karena kekuatan-kekuatan yang nyata dan diuntungkan oleh proses sejarah barangkali tidak setuju dengan proses demokrasi. Sekalipun dalam buku ini mempertautkan struktur sosial di dalam pedesaan Jawa, akan tetapi yang lebih penting disini adalah bahwa negraa mendominasi kekuatan supra desa.

Kebijaksanaan Politik di Pedesaan Jawa
            Diatas sudah dijelaskan bahwa “kebijakan politik di pedesaan Jawa” adalah merupakan bagian penting dalam memahami proses hubungan antara desa dan negara di Indonesia. Kebijaksanaan politik ini, menjadi penting tatkala negara mendominasi hampir seluruh proses pembuatan, pelaksanaan dan penentuan hasil dari kebijaksanaan di pedesaan itu. Contoh dari realitas itu adalah diterapkannya strategi-strategi pembangunan pedesaan dan pertanian yang berorientasi pada pendekatan klasik “atas-bawah” (top down approach). Jelas bahwa jenis pendekatan ini telah banyak mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, karena asumsinya yang terlampau kuno dan tidak memadai dalam perdebadan teori pembangunan yang kontemporer yang lebih banyak menekankan aspek kebebasan dan kesejahteraan manusia sebagai subjek pembangunan.
            Realitas dari dominasi negara ini juga mengakibatkan kebijaksanaan di bidang politik pedesaan dan ekonomi pertanian seringkali mengalami kemacetan atau bahkan benturan-benturan yang seringkali memunculkan krisis yang merupakan respon dari masyarakat di pedesaan. Kondisi ini pada dasarnya diakibatkan oleh dominasi dan watak dasar dari negara Orde Baru yang sangat intervensionis dan represif terhadap perkembangan masyarakat sipil. Selain tentu saja kurangnya pemahaman yang memadai terhadap pembangunan dan dinamika masyarakat yang sedang berjalan.
            Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, telah mengakibatkan lahirnya suatu proses reorganisasi kehidupan kelembagaan dan politik pedesaan yang sangat mendalam. Dikeluarkannya doktrin “masa mengambang”, suatu istilah politik yang diperkenalkan pemerintah Orde Baru pada tahun 1971, yang pada hakekatnya merupakan pemisahan politik efektif pedesaan dari keterlibatan partai 1975, saat lahirnya ketentuan yang melarang kehadiran semua cabang partai politik di bawah tingkat kabupaten.
            Kita lihat berbagai wadah kaum tani dan buruh pedesaan yang semula berafiliasi dengan partai-partai politik, sekarang kedudukannya digantikan oleh suatu badan tunggal yang didominasi dan disponsori oleh negara, seperti HKTI (Himpunan Kelompok Tani Indonesia). Lembaga-lembaga kehidupan politik tradisional di pedesaan juga semakin hilang sifat partisipatorisnya seperti LMD (Lembaga Musyawarah Desa) dan pemilihan terhadap kepala desa (pemimpin desa).

Dimensi Politik UU No.5 Tahun 1979
            Asumsi utama yang ingin dikembangkan disini adalah, bahwa Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan bagian dari kebijaksanaan politik negara Orde Baru dalam rangka mengintegrasikan dan mengkooptasi masyarakat desa kedalam negara dalam pandangan Donald K. Emmerson sebagai memadukan masyarakat (The State Unites society). Dengan demikian Undang-Undang tersebut merupakan awal dari proses politik untuk dasar legitimasi dan dominasi desa oleh negara dalam pelaksanaan program-program pembangunannya negara Orde Baru.
            Proses memasukkan desa dalam negara Orde Baru dengan UU No.5 Tahun 1979 ini, melalui proses penyeragaman aturan terhadap pemerintah desa adalah suatu proses politik yang baru yang belum pernah terjadi dalam rezim negara sebelumnya di Jawa
            Undang-Undang ini memandang desa-desa di Indonesia merupakan suatu bentuk komunitas tunggal dan seragam (uniform), otoritas budaya adat atau lokal menjadi sesuatu yang bisa diabaikan dalam kerangka dominasi kepentingan negara itu. Oleh karena itu dapat dimengerti kalau banyak kebijakan dan inovasi dari negara mengalami kegagalan, oleh sebab inovasi eksternal itu kurang memahami kehendak sistem sosial dan komunitas setempat.
            Dalam dimensi yuridis administratif undang-undang itu jelas merupakan kemajuan politik negara Orde Baru, akan tetapi sebaliknya nampak bahwa undang-undang itu merupakan kemunduran politik bagi demokrasi dan perkembangan masyarakat sipil di pedesaan. Kehadiran UU No.5 Tahun 1979 memang telah melakukan beberapa perubahan dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan desa secara prinsipil, apabila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Beberapa perubahan itu antara lain seperti diungkapkan oleh Hasyuri Haschab yakni :
  1. Secara resmi organisasi pemerintahan dipisahkan antara yang bersifat administratif yaitu kelurahan dengan desa yang bersifat otonom
  2. Untuk pertama kalinya secara nasional, pejabat dan organisasi pemerintahan yang terendah dipegang oleh pegawai negeri
  3. Penghapusan lembaga perwakilan masyarakat desa
  4. Pengukuhan kepala desa sebagai pusat kekuasaan di desa
  5. Penyeragaman struktur organisasi struktur pemerintah desa

Kepala Desa dan Pemilihan Kepala Desa
            Kepala desa sebenarnya dalam negara Orde Baru merupakan manifestasi atau presentasi dari negara. Oleh karena itu ada kekeliruan kalau menganggap (mengharapkan) kepala desa merupakan wakil dari masyarakat desa yang harus berhadap-berhadapan dengan kepentingan negara
            Dalam konteks yang demikianlah tema kebijaksanaan politik dari negara itu ingin dikemukakan. Oleh karena itu sejak masa pra-kolonial (feodal) sampai dengan negara Orde Baru sekarang ini kepala desa atau Kades khususnya di pedesaan Jawa, masih merupakan posisi kunci bagi keberhasilan pembangunan.
            Dapat dimengerti pandangan negara dalam setiap periode apapun akan tetap memandang penting desa-desa di Jawa, untuk menjadikannya daya dukung dan sumber legitimasinya. Akar-akar kekuasaan dan kebudayaan tradisionil Jawa yang sangat patrimonial hierarkis adalah sesuatu yang sangat dipahami oleh negara. Realitas itu membawa negara sampai pada suatu kesimpulan bahwa kooptasi dan pengaturan terhadap masyarakat harus terlebih dahulu menciptakan aturan-aturan terhadap kepala desa dan proses pemilihan kepala desa.
            Sekalipun Pilkades dan Pemilu dalam negara Orde Baru sekarang ini telah begitu didominasi oleh negara akan tetapi nampak bahwa Pilkades lebih menjamin partisipasi masyarakat. Alasannya adalah : ada interaksi pribadi dan langsung antara calon dengan dan pemilih, program dan isu pemilihan lebih jelas dan kongkrit serta langsung menyangkut masalahnya dan ada sedikit banyak kebebasan memilih karena tidak ada pentargetan dari atas serta “penggiringan” yang semi korsif ke kotak suara. Akan tetapi bukan berarti disini tidak ada konflik yang serius antara negara dengan masyarakat, fenomena kotak kosong, protes massa, seleksi calon, calon tunggal, uang pelicin, kegagalan Pilkades adalah contoh dari ketegangan itu.
            Disini negara Orde Baru telah secara intensif menciptakan birokrasi yang kuat dalam pemerintahan desa. Dengan demikian kondisi politik di pedesaan Jawa adalah hasil dari kekuatan negara. Dan oleh karena itu dapat dipahami bahwa pemerintah desa lebih merupakan representasi dari negara daripada wakil dari masyarakat yang harus melindungi kepentingan desa. Ini perlu dikedepankan, karena ditakutkan akan menghasilkan pemahaman yang keliru terhadap usaha penjelasan deskriptif-kulaitatif dari hubungan tersebut
            Pilkades sebagai sarana pendidikan politik rakyat, yang mengarah pada demokrasi pedesaan akan sangat berkembang kalau seminimal mungkin mengurangi campur tangan negara secara berlebihan. Diharapkan kondisi ini akan menciptakan kesadaran akan kebebasan berpendapat dan menentukan kualitas kepemimpinan di pedesaan.

No comments:

Post a Comment