6 Juni 1901
Soekarno dilahirkan di Lawang Seketeng Surabaya, dari pasangan Ida Ayu Rai Srimben/Ida Ayu Nyoman Rai asal Singaraja Bali) dan Raden Soekemi Sosrodihardjo (Probolinggo, Jawa Timur).
Setelah pindah sebentar ke Sidoarjo, keluarga Soekemi menetap di Mojokerto, Jawa Timur, dan Soekarno mulai bersekolah di sekolahdasar zaman Belanda hingga kelas lima. Lalu ia melanjutkan pendidikan ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah Eropa berbahasa Belanda, di Surabaya.
Soekarno dilahirkan di Lawang Seketeng Surabaya, dari pasangan Ida Ayu Rai Srimben/Ida Ayu Nyoman Rai asal Singaraja Bali) dan Raden Soekemi Sosrodihardjo (Probolinggo, Jawa Timur).
Setelah pindah sebentar ke Sidoarjo, keluarga Soekemi menetap di Mojokerto, Jawa Timur, dan Soekarno mulai bersekolah di sekolahdasar zaman Belanda hingga kelas lima. Lalu ia melanjutkan pendidikan ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah Eropa berbahasa Belanda, di Surabaya.
1915
Masuk Hoogere Burger School (HBS) sekolah menengah Belanda dan menumpang iindekost di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam (SI). Di situ, dia berkenalan dengan tokoh-tokoh senior pergerakan dan mulai proses magang politik.
21 Januari 1921
Artikel Soekarno yang pertama terbit dihalaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam. Soekarno menikah dengan Oetari Tjokroaminoto -yang menjadi perkawinan pertama Soekarno.
Pertengahan 1921
Kuliah di (Technische Hooge School,atau dikenal dengan ”Institut Teknologi Bandung").
1923
Menikahi Inggit Garnasih
25 Mei 1926
Mendapatkan gelar insinyur dari THS. Hotel Preanger adalah salah satu karyanya.
Pertengahan 1926:
Ikut mendirikan Klub Studi Umum, Bandung, klub diskusi yang berubah menjadi gerakan politik radikal. Terbit artikelnya yang terkenal: “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” dalam Suluh Indonesia Muda (1926) yang menegaskan, bahwa “nyawa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat, yaitu NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTISâ€�.
Soekarno menyatakan �Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, Bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu�.
Risalah ini ditulis dia akibat keprihatinan dia atas perseteruan SI Putih pimpinan Agus Salim dengan SI Merah (Sarekat Rakyat) Semaun dkk. Padahal keduanya sayap dari Sarekat Islam (SI).
Akhirnya anggota Sarekat Rakyat yang banyak merangkap keanggotaan dengan ISDV (Indische Socialisch Democratig Verenieging) pimpinan Sneevliet, Baars dsb melebur mendirikan PKI (Partai Komunis Indonesia)
Kemudian PKI dengan modal sejumlah basis kaum proletar di Jawa dan Sumatra melancarkan pembrontakan. Namun pembrontakan ini dengan mudah ditumpas habis oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Juli 1927
Selama beberapa hari pada bulan ini, Soekarno menurut pengakuannya saat memberikan kuliah tentang Shaping and Reshaping Indonesia di Bandung, 3 Juli 1957, dulu tahun 1926-1927an, dia kerap berjalan-jalan ke sawah di sekitar Bandung selatan.
Pengakuan ini juga dituturkan Soekarno kepada Cindy Adams, yang menuliskan kisah pertemuannya dengan Pak Marhaen dalam otobiografi, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat as told as to Cindy Adams.
Konon pertemuannya dengan petani di Cigareleng itulah yang mengilhami Soekarno untuk menamai pemahamannya tentang sosionasionalisme dan sosiodemokrasi selaku tujuan dan asas perjuangannya sebagai marhaenisme.
Istilah yang diambil dari nama Marhaen sebagai kosa kata untuk penggambaran sosok rata-rata masyarakat di Indonesia. Itulah mereka yang kendati memiliki tanah/sawah sendiri, yang dikerjakan sendiri dengan memakai alat-alat produksi milik sendiri, namun tetap saja miskin. Kemiskinan rakyat ini, kendati bukan seperti kaum proletar yang bekerja untuk orang/pemodal lain, digambarkan Soekarno serupa dengan nasib Pak Marhaen. Itu semua, menurut Soekarno, akibat mereka secara sistemik dan struktural telah dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme.
Sebagian pengamat dan kritikus yang sinis mengatakan Marhaen sebenarnya bukan nama petani di Cigareleng, tapi sekadar produk fiktif kreasi pemikiran Soekarno. Yaitu tidak lebih dari akronim nama Marx Hegel and Engels.
Namun apapun, terlepas dari kontroversi, apakah petani yang bernama Marhaen itu benar-benar ada atau tidak, apa yang dilakukan oleh Soekarno dengan perumusan istilah Marhaen ini, sesungguhnya itu memang merupakan kritik dan revisi Soekarno atas doktrin dan teori marxisme-leninisme yang kelak lebih dikenal dengan sebutan populer sebagai komunisme.
Dengan mencermati faktor kegagalan pembrontakan PKI pada tahun 1926, Soekarno berhasil memperoleh bukti bahwa di Indonesia memang belum ada kelas proletar. Itulah thesis pertama kritik Soekarno. Karena yang ada di Indonesia, hemat Soekarno, yang terbanyak justru kaum serupa marhaen. Bukan proletar.
Jika premis kategorisasi nasib marhaen oleh Soekarno ini kemudian dianalogikan ke luar ‘profesi’ petani, niscaya akan mencakup pula nasib para pedagang kecil alias la petite bourgouise atau pity capitalist.
Dari thesis ini Soekarno lalu meningkat kepada thesis kedua dalam merumuskan perjuangan revolusioner untuk mewujudkan sosialisme, yang notabene menolak konsep pertentangan kelas dari Karl Marx .
Beranjak dari thesis kedua ini, maka lahirlah thesis berikut Soekarno tentang revolusi di Indonesia. Yaitu Revolusi Indonesia yang justru hanya mengenal dua tahapan. Itulah tahapan Revolusi Borjuis Nasional dan tahapan Revolusi Sosialisme Indonesia.
Dalam revolusi borjuis nasional itulah, menurut Soekarno, justru kaum marhaen bersama kaum proletar malah harus bersatu padu dengan para borjuis tanggung –sisa-sisa feodalis lama– untuk menumbangkan dahulu kekuasaan kolonialisme asing demi ‘memerdekakan dahulu’ negara bangsa sebagai capaian ruang hidup (jembatan emas ke gerbang kemerdekaan) sebelum mewujudkan cita-cita tentang sosialisme Indonesia (merdeka dengan sempurna).
Baru setelah Indonesia merdeka sebagai negara bangsa, dimulai penyiapan tahapan kedua revolusi sosialisme Indonesia dengan cara memerdekakan masing-masing individu dari bangsa Indonesia dari kemiskinan, dan kebodohan .Itu sebabnya bisa difahami mengapa Soekarno di samping gandrung akan perstuan dan kestuan, dia juga tergila-gila dan selalau memprioritaskan program nation and character building.
Dengan revisi maupun thesis itu, sesungguhnya apa yang dimaksud sebagai Marhaenisme oleh Soekarno menjadi menarik, karena dapat dibandingkan dengan formulasi pendekatan teori kewirausahaan (enterpreneurship) dari David Mc Cleland yang baru muncul sekitar 50 tahun kemudian.
Perbedaannya, jika Mc Cleland lebih menekankan pada upaya penanaman virus N.ach (Need for Achievement) atau kehendak untuk maju dari kalangan rakyat atau pengusaha kecil, sehingga notabene didominasi oleh pendekatan fungsional. Maka pendekatan Soekarno atas marhaen (pity capatalist), justru bersifat struktural, antara lain melalui penanaman sikap progresif revolusioner.
4 Juli 1927
Mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung. Pada kongres 1928, gerakan itu memproklamasikan diri sebagai partai, dengan nama baru: Partai Nasional Indonesia (PNI). Azas PNI ini adalah Marhaenisme yang secara ringkas dirumuskan oleh Soekarno sebagai visi ideologi yang memperjuangkan SOSIO-NASIONALISME dan SOSIO-DEMOKRASI.
Pilihan tanggal 4 Juli selaku hari pendeklarasian PNI juga membuktikan kekaguman Soekarno terhadap Revolusi Amerika dan Declaration Of Independence hasil perumusan para the founding father Amerika Serikat selaku nation state tertua dan terbesar di dunia.
28 Oktober 1928
Sumpah Pemuda. Menyusul hasil kesepakatan dalam kongres pertama tahun 1026 untuk sedia bertemu kembali, maka berbagai kelompok pemuda di Hindia Belanda, seperti Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Sumatra, Jong Sunda (Sekar Rukun), Jong Java dsb sependapat menyelenggarakan kembali Kongres II pada bulan Oktober 1928.
Kongres II inilah yang akhirnya berhasil mencapai kesepakatan bulat agar para pemuda dari berbagai etnis dan wilayah koloni Hindia Belanda di Asia Tenggara, untuk sama-sama bersatu padu menyatakan diri sebagai “memiliki bangsa, bahasa, dan tanah air yang sama: Indonesia.”
Untuk pertama kalinya Lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan oleh sang penggubahnya Wage Rudolf Supratman. Soekarno juga menghadiri sebagai anggota Tri Koro Darmo (Jong Java).
29 Desember 1929
Sukarno bersama sejumlah tokoh PNI, ditangkap dan dijebloskan ke tahanan Penjara Banceuy. Mereka semua dituduh sebagai merencanakan pemberontakan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Agustus 1930
Pengadilan Soekarno. Dalam pidato pembelaannya yang amat terkenal, “Indonesia
Menggugat”, Soekarno mengecam penjajahan dan menyerukan perlawanan.
Pada hakekatnya, inti sari dari pleidoi Soekarno ini adalah kupasan mendalam tentang Anggaran Pembelian dan Belanja pemerintahan kolonial yang dikecam sebagai sama sekali tidak ada sedikit pun unsur pro rakyat. APB Kolonial sangat proinvestor asing, sehingga malah menghancurkan sendi-sendi perekonomian rakyat koloni.
Kebijakan politik anggaran dan neraca pembayaran APB Kolonial, terbukti makin memiskinkan nasib rakyat Hindia Belanda yang telah diperas habis sejak masa tanam paksa (kultuur stelsel) Johanes van den Bosch seabad yang lalu dengan mengorbankan sawah ladang petani hanya untuk diabdikan bagi kepentingan komoditas perkebunan yang laris di pasaran dunia.
Padahal keuntungan yang berlipatganda dari hasil ekspor komoditas primer dari tanaman monokultuur malah disedot terus mengalir deras ke negara induk Kerajaan Belanda di Eropa, atau populer disebuta sebagai Batig Slot.
Dalam pleidoi ini untuk pertama kalinya , Soekarno memakai istilah “Marhaen” sebagai pengganti dari kaum buruh (proletar). Sehingga lewat risalah yang menggugat kekejaman kolonialisme inilah, istilah marhaen kemudian menjadi semakin populer.
31 Desember 1931
Hukuman Soekarno dipotong dua tahun dan ia dibebaskan. Padahal sebelum itu, PNI telah membubarkan diri pada tahun 1931 itu.
Sebagian di antara anggota yang lebih berorientasikan pada partai kader lalu mendirikan PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Sebagian lagi yang berfaham radikal mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dipimpin oleh MR Sartono. Soekarno kemudian masuk Partindo.
1932-1933
Sukarno mencoba lebih memerinci lagi tentang ihwal pemahaman yang dia maksudkan tentang Marhaen dan Marhaenisme. Ini antara lain ditempuh dengan lebih mempertajam perbedaan di antara kosep Marhaen-nya dengan konsep Proletariat dari kaum Sosialis Barat, terutama dari pemahaman kaum Komunis.
Prinsipnya kalau struktur masyarakat Eropa telah melahirkan kaum buruh sebagai golongan tertindas atau proletar, maka masyarakat Indonesia meski kaya dengan sumber daya alam dan kendati belum menjadi ndustrialis, namun akibat sejak dulu terjajah oleh sistem feodalisme dan kemudian kolonialisme, tetap juga mempunyai golongan mayoritas rakyat yang sengsara dan melarat, yaitu kaum marhaen.
Risalah Sukarno itu dimuat dalam Fikiran Rakyat. Pemahaman ini lalu dikembangkan lebih lanjut lagi oleh Partindo sehingga menjadi Sembilan Tesis Pokok Marhaenisme dan Marhaenis.
Rumusan Sukarno ini, bisa dilihat juga sebagai bentuk perlawanan terhadap analisa kelas yang dipertahankan dan dikembangkan sebagai ideologi oleh pesaingnya dari PNI Baru, yaitu Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta. rumusan Sukarno ini juga mengubah – visi ekonomi sosialisme Eropa yang berdasarkan sebagaimana yang masih dianut oleh Sutan Sjahrir cs sebagai Marxisme Sciencentific – menjadi konsep kebahagiaan dan keadilan sosial untuk ke-90% lebih rakyat marhaen Indonesia.
Agustus 1933
Soekarno ditangkap untuk kedua kalinya.
21 November 1933
Soekarno menyatakan diri keluar dari Partindo.
17 Februari 1934
Soekarno dibuang ke Ende, Flores. Di sini Soekarno banyak bergaul dengan penduduk setempat dan olah ajar seni sandiwara.
Yang paling pendting adalah Soekarno sempat mendalami agama, khususnya Islam. Baik dari buku-buku kiriman yang dimintanya, maupun dari korespondensinya.
Inilah periode ‘Surat-Surat Islam’ dalam proses perkembangan pemikiran Soekarno, yang terus berlanjut sampai saat — – pengasingan Soekarno dipindahkan ke Bengkulu.
Februari 1938
Sejak diasingkan ke Bengkulu ini, Soekarno langsung terlibat dalam diskusi mengenai masalah sosial politik, khususnya dari tinjauan agama Islam, dengan sejumlah tokoh Muhammadiah. Termasuk dengan Hasan pengurus Muhammadiah setempat, yaitu ayah dari Siti Fatimah yang kemudian dinikahi dan berganti nama menjadi Fatmawati. Sementara Inggit yang menolak dimadu, lalu meminta cerai dan pulang ke Bandung.
9 Juli 1942
Soekarno kembali ke Pulau Jawa dan merebut simpati rakyat sebagai pemimpin pergerakan Indonesia di zaman Jepang. Keberhasilan merebut simpati ini sesungguhnya, dipengaruhi oleh dua unsur utama yang saling berkaitan.
Yaitu dukungan dari para pemimpin pergerakan yang memilih menempuh pola kooperatif dengan Balatentara Pendudukan Jepang (sehingga oleh pihak Pasulkan Sekutu bisa dianggap sebagai kolaborator dan penjahat perang). Umumnya mereka berasal dari unsur kelompok Islam contoh Haji Agus Salim dsb, dan sebagian lagi yang berlatarbelakangkan kelompok nasionalis Jawa seperti Ki Hajar Dewantara, dst.
Jangan lupa selama masa di pembuangan, Soekarno juga kian memahami seluk beluk pemikiran dan unsur nilai radikalisasi Islam dan nilai tradisi serta budaya dari banyak kelompok etnis (Nusatenggara dan Sumatra) di nusantara.
Dukungan yang lain, datang dalam bentuk pemahaman pentingnya strategi menempuh pendekatan berbeda untuk tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan. Pemahaman berupa kesepakatan tertutup itu datang dari para pemimpin pergerakan yang memilih menentang pendudukan Jepang, (Anti Fasis) dengan melakukan perlawanan bawah tanah, terbanyak berlatar belakang dan berorientasi Marxis, seperti Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan Amir Sjarifudin.
16 April 1943
Membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Poetera), yang ternyata dipakai Jepang sebagai pekerja paksa (romusha) dan menjadi propagandis Jepang.
7 September 1943
Penguasa Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia kelak di kemudian hari (namun mereka tidak memberitahukan batas waktu yang spesifik).
1 Juni 1945
Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno dalam pidatonya yang khusus menjawab pertanyaan ketua BPUPKI mengenai apa filosofie groundslaag atau dasar negara dari Indonesia yang akan dimerdekakan itu, menawarkan lima prinsip groundslag terdiri dari:
o nasionalisme;
o Internasionalisme/humanisme;
o demokrasi;
o keadilan;
o dan ke-Tuhanan …
kelima prinsip yang ditawarkan itu oleh Soekarno disebut juga sebagai PANCASILA.
Soekarno juga menawarkan alternatif berikut, bahwa kelima rumusan itu juga masih bisa disederhanakan lagi, menjadi cukup tiga prinsip saja, yaitu:
o Sosionasionalisme (gabungan pemadatan nasionalisme dengan internasionalisme);
o Sosiodemokrasi (gabungan demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi), dan
o ke-Tuhanan.
Ketiga prinsip itu oleh Soekarno disebut juga sebagai TRISILA
(yang notabene sesungguhnya itu merupakan FORMULASI TERBARU dari MARHAENISME sebagai hasil perenungan Soekarno semasa pembuangan).
Bahkan semua perumusan itu (baik yang versi 5 prinsip maupun 3 prinsip) oleh Soekarno juga masih bisa diringkas lebih padat lagi menjadi satu prinsip UTUH kebersamaan, yaitu:
o Gotong Royong atau disebut EKASILA.
Tawaran Soekarno itu ternyata diterima aklamasi oleh seluruh anggota BPUPKI, baik itu oleh kalangan yang mewakili golongah Islam maupun yang mewakili golongan nasionalis. Yaitu dalam bentuk perumusan yang terdiri dari lima dasar.
Rapat BPUPKI lalu juga bertugas mempersiapkan dan merumuskan naskah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi negara Indonesia, yang kelak akan dikenal sebagai UUD 1945.
22 Juni 1945
Perumusan tujuan kemerdekaan dan dasar negara Pancasila berdasarkan masukan utama dari Soekarno dalam pidato I Juni 1945, selesai dituntaskan dan ditandatangani oleh Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan anggota, dipimpin Soekarno yang dibentuk BPUPKI untuk merumuskan suatu naskah yang dipersiapkan untuk dibacakan sebagai dokumen pernyataan kemerdekaan Indonesia kelak sekaligus guna dijadikan sebagai preambule konstitusi.
Naskah pernyataan proklamasi ini yang juga ditandatangani oleh Mr Max Maramis selaku wakil golongan Kristen itu, kelak akan lebih dikenal dengan sebutan sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
16 Agustus 1945
17 Agustus 1945
Proklamasi Indonesia dibacakan Soekarno dan Hatta, atas nama Bangsa Indonesia. Berdasarkan naskah darurat yang dipersiapkan pada Malam Jumat 16 Agustus 1945, dalam rapat mendadak sejumlah anggota BPUPKI dan para kelompok pemuda Menteng Raya.
18 Agustus 1945
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dan menetapkan Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Kelak mereka dikenal dengan Dwi-Tunggal. PPKI juga menetapkan UUD 1945, dengan Mukadimah yang diangkat dari seluruh naskah Piagam Jakarta namun tanpa mencantumkan tujuh anak kata ‘…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.�
Di sini peran Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, dan tokoh lain dalam menghapuskan tujuh anak kata, sebagaimana permintaan dari para wakil Indonesia di kawasan Timur, sangat kuat.
19 September 1945
Satu bulan kemudian, tak kurang dari 300.000 orang berkumpul di Lapangan Ikada (Taman Medan Merdeka) 19 September 1945. Hebatnya, massa sebanyak itu datang berkumpul berkat berita dari mulut ke mulut, yang antara lain digerakkan oleh Adam Malik, Chairul Saleh, dkk, dan di belakangnya diotaki langsung oleh Tan Malaka.
Sebenarnya rapat umum Peristiwa Ikada itu semula direncanakan akan digelar tanggal 17 September, tepat satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Namun karena saat itu ada ancaman dari tentara Jepang dan Sekutu, rapat raksasa di Lapangan Ikada diundur jadi 19 September.
Rapat Raksasa di Lapangan Ikada yang mengetarkan bala tentara Jepang dan Sekutu, karena bisa berarti pertumpahan darah besar-besaran, saat itu ternyata hanya bisa dikendalikan dan ditenangkan oleh kharisma Soekarno.
“Saudara–saudara percaya kepada saya? Nah kalau percaya, pulanglah dengan baik. Percayakanlah al ini untuk kami selesaikan,� kata Soekarno yang membuktikan kepada Sekutu, bahwa dia presiden rakyat bukan boneka Jepang.
Sejak Peristiwa Ikada itu, menurut sejarawan Uka Tjandrasasmita, perlawanan rakyat terus menyebar ke seluruh negeri.
3 November 1945
Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat X, yang isinya mendukung terbentuknya multi partai politik dan mengadopsi sistem parlementer. Ketua BP (Badan Pekerja) KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) Sutan Sjahrir pun diangkat menjadi PM (Perdana Menteri) berikut barisan oposisinya yang dipimpin terutama sekali oleh Tan Malaka, dkk.
Semua tindakan darurat itu ternyata mampu menyelamatkan Republik lndonesia yang baru merdeka ini dari upaya pembubaran paksa oleh pihak Sekutu selaku pemenang Perang Dunia II.
Terutama mengingat bahwa posisi Soekarno-Hatta selaku dwitunggal proklamator sekaligus Presiden (Kepala Negara) dan Wakil Presiden, tengah diincar Sekutu untuk dikenai sanksi sebagai penjahat perang akibat dituduh erkolaborasi dengan tentara pendudukan Jepang.
Begitu pula kecurigaan Sekutu, yang semula mengira bahwa negara baru ini tak lebih dari republik boneka buatan Jepang, otomatis juga terbantahkan. Yaitu ketika mereka melihat ternyata ada tiga sayap gerakan bawah tanah nasional yang selana perang gigih melawan pendudukan Jepang, kini justru tampil bersama sebagai tokoh-tokoh utama pengendali negara eks koloni Belanda itu:
Sebagaimana Sekutu selaku pemenang Perang Dunia II yang terbelah menjadi Blok Barat dan Blok Timur, di kalangan pergerakan bawah tanah pun terpecah menjadi dua kubu utama. Kelompok Sjahrir (PSI) yang dianggap dekat ke Blok Barat dan Kelompok Tan Malaka (Murba) yang dinalai lebih berorientasi kepada Blok Timur.
10 November 1945
Rakyat Surabaya yang terilhami oleh Peristiwa Ikada memberikan perlawanan lebih bergelora, bukan hanya kepada Belanda (NICA-Netherland Indies Civil Administration), yang membonceng tentara Sekutu, tetapi malah terhadap Inggris selaku pimpinan pasukan Sekutu untuk melucuti Jepang di Indonesia. Perlawanan rakyat bersenjatakan apa adanya di Surabaya itulah, yang lalu memicu rentetan Perang Kemerdekaan.
14 November 1945
Kabinet pertama yang baru berusia tiga bulan jatuh, digantikan kabinet kedua dengan bentuk parlementer di bawah Perdana Menteri Sjahrir. Sejak saat itu, kabinet selalu jatuh-bangun.
Eksponen pemuda Menteng Raya 31, yang tak sabar lagi menanggapi fenomena kabinet seumur jagung itu, kemudian hari pun dipimpin Adam Malik langsung menemui Presiden Soekarno menyampaikan protes keras:
“Bung sudah jelas Bung Sjarir tidak dipercaya lagi oleh rakyat, mengapa dia lagi yang bung angkat jadi PM. kenapa bung tidak bung menunjuk Pak Tan?
(program Tan Malaka selaku pimpinan barisan oposisi Perstuan Perjuangan yang didukung penuh oleh Panglima BesarTNI Jendral Sudirman adalah Merdeka 100 persen, jadi bertolak belakang dengan strategi Syahrir yang condong menerapkan pola diplomasi guna membuka peluang pengakuan internasional bertahap atas kemerdekaan kita�
Soekarno pun menjawab:
“Adam ini bukan soal Sjahrir, Tan Malaka, Hatta atau Soekarno. Ini persoalan Republik. Ini persoalan geopolitik dan geostrategi dalam menyelamatkan kemerdekaan Indonesia. Kita harus mampu mendayung dengan selamat dari hempasan ombak di antara kedua karang Blok Timur dan Blok Barat dari pihak Sekutu pemenang Perang Dunia II. Ingat yang mendapat wewenang Sekutu untuk melucuti bala tentara Jepang di Indonesia ini adalah Blok Barat. Dan itu adalah Amerika Serikat yang diwakilkan kepada Inggris. Ingat itu.�
4 Januari 1946
Mengingat situasi Jakarta yang tak aman lagi bagi keberlangsungan pemerintahan RI, kabinet memutuskan memindah ibu kota negara ke Yogyakarta. Namun pertempuran sporadis terus meletus di Batavia, Bandung, Surabaya, dan sejumlah kota besar lain. Sampai akhirnya, Belanda setelah melalui perundingan dan pertempuran, berkat teknik diplomasi dari PM Sutan Syahrir kelak mau mengakui kemerdekaan Indonesia dan menyerahkan kedaulatan kepada Republik tanggal 27 Desember 1949.
18 September 1948
Pecah pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin Muso. Ketegasan Sukarno Hatta menumpas pembrontakan komunis, membuahkan keyakinan blok Barat di pihak Sekutu bahwa Sukarno bukan komunis, sehingga Amerika Serikat dan sekutunya mau mendukung upaya pengakuan kemerdekaan NKRI berikut permintaan keanggotaan RI di PBB.
Sebaliknya kekecewaan Uni Soviet, pihak Sekutu dari Blok Timur, akibat sikap RI yang menumpas pembrontakan itu, bisa terobati dengan keberanian inisiatif RI mengakui kepemimpinan Mao Zedong dengan Ku Chan Tang (Partai Komunis Cina) atas RRC yang berhasil mengusir rejim korup Kuo Min Tang pimpinan Jendral Chiang Kai Shek ke Formosa (sekarang Taiwan atau ROC). Sehingga Uni Soviet juga bisa menerima kehadiran RI di PBB.
“Ini persoalan geostrategi dalam menyelamatkan kemerdekaan Indonesia.“ kata Soekarno.
27 Desember 1949
Lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, yang terdiri dari negara-negara abagian, yaitu RI yang beribukota di Yogya, negara Pasundan, negara Madura, negara Sumatra, negara Borneo, dan negara Indonesia Timur. dengan catatan status Nieuw Guinea (Papua Barat kemudian Irian Jaya) akan ditentukan secara tersendiri kemudian.
17 Agustus 1950
Soekarno setelah berbulan-bulan melakukan safari yang melelahkan untuk berbicara langsung dengan rakyat di seluruh negara bagian berhasil mendorong rakyat membubarkan masing-masing negara bagian dari RIS itu, untuk kembali melebur bersatu ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
17 Oktober 1952
Dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober, ketika sebagian tentara yang kesal akibat campur tangan partai politik terhadap masalah internal TNI-AD, dipimpin oleh Mayor Ahmad Kemal Idris atas perintah Kolonel Abdul Haris Nasution, mengarahkan moncong meriam mereka ke Istana, menuntut Soekarno membubarkan parlemen.
Namun Soekarno dengan tegas menjawab todongan meriam itu, dengan menyatakan: “Saya bukan diktator.â€�
Selanjutnya, Soekarno selaku presiden Kepala Negara, kemudian mengingatkan jajaran tentara, bahwa jangan sekali-kali tentara sampai diombang-ambingkan oleh politik. Politik tentara adalah politik negara. Karena itu sebagai tentara rakyat, sebagai tentara nasional, tentara tidak boleh berpolitik sebagaimana partai politik.
18 April 1955
Berlangsung Konferensi Asia Afrika di Bandung atas prakarsa Soekarno. Dampak konferensi ini bersifat mondial. Sehingga Inggris selaku negara kolonialis bertype setengah royal bergegas mengantisipasinya.
Seperti menjanjikan kemerdekaan maupun segera memerdekakan beberapa wilayah koloninya di Asia dan Afrika. Namun dasar koloniaiis tulen, meski koloni itu sudah dimerdekakan, tapi kemudian masih coba diikat lagi, melalui konsep persemakmuran (commonwealth countries).
Sementara beberapa koloni yang dikuasai kolonialis type setengah kikir, seperti Perancis atau Belanda, semakin bergejolak dengan perjuangan bersenjata untuk merebut kembali kemerdekaan mereka. Sedangkan kolonialis type kikir, seperti Portugis dan Spanyol malah semakin memperkuat cengkeramannya, seperti di Timor dan Afrika..
31 Desember 1956
Muhammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI.
21 Februari 1957
Soekarno membekukan sistem demokrasi parlementer yang berlangsung sejak 1950 dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin.
14 Maret 1957
Soekarno memberlakukan keadaan perang dan darurat perang (SOB) akibat banyaknya pemberontakan militer di daerah. seperti Dewan Gajah di Sumatra yang dipimpin Letkol Simblon, dan di Sulawesi dipimpin Letkol Vence Sumual. Pergolakan militer di sejumlah daerah itu akibat kekecewaan sejumlah panglima atas kebijakan markas besar TNI maupun sikap pemerintah pusat di Jakarta.
Pergolakan daerah itu kemudian berlanjut lagi akibat krisis politik, sehingga memuncak jadi pembrontakan poltik bersenjata, yang menyeret keterlibatan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dalam bentuk gerakan pembentukan pemerintahan nasional tandingan pemerintah pusat, yang berupa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra Tengah (kini wilayah Kodam III 17 Agustus 1945) dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) yang mencakup wilayah Sulawesi Utara eks Kodam XIII Merdeka.
Peristiwa PRRI itu, khususnya berkenaan dengan luapan ambisi AH Nasution yang bernafsu segera menumpas habis para politisi yang terlibat (dalam hal ini tokoh-tokoh Masyumi) ditengarai, mungkin akibat rasa malu Nasution karena tawaran dia via LetKol Gatot Subroto sebelumnya, agar Masyumi mau bergabung mendukung rencana Nasution untuk mengkudeta Soekarno, ternyata malah ditolak mentah-mentah oleh para politisi demokratis yang kawakan itu.
Tentang rencana kudeta yang abortif ini kemudian dibeberkan oleh Letkol Sjoeib, salah seorang komandan PRRI, setahun menjelang reformasi. (Untuk lebih jelas baca juga “Paradigma Militerisme dalam Pelumpuhan Demokrasi� oleh Dhia Prekasha Yoedha dalam buku INDONESIA DI TENGAH TRANSISI Kata Pengantar Dr George Junus Aditjondro, Penerbit ProPatria, Jakarta 2000.)
30 November 1957
Terjadi percobaan pembunuhan terhadap Soekarno.
5 Juli 1959
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan konstituante dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
17 Agustus 1959
Soekarno memperkenalkan Manifesto Politik yang oleh MPRS dikukuhkan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol memuat lima pokok: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).
30 September 1960
Di Majelis Umum PBB, Soekarno menguraikan Pancasila dan perjuangan membebaskan Irian Barat dalam pidato berjudul To Build the World A New/ Membangun dunia kembali (MDK).
Dalam pidato ini, Sukarno tegas menyatakan Pancasila (baca: Marhaenisme) pada hakekatnya adalah sublimasi dari Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) dan Manifesto of Communism.
Artinya Pancasila justru merupakan alternatif ketiga dari kedua kubu yang bertentangan dalam Perang Dingin di antara Blok Barat dengan Blok Timur saat itu. Pemikiran Soekarno secara ideologis, sesungguhnya mirip sekali dengan apa yang dirumuskan oleh Anthony Giddens 20 tahun kemudian, sebagai the third way.
1963
Untuk menandingi Olimpiade yang digelar negara-negara Barat, Sukarno menggelar pertandingan olahraga internasional Ganefo (Games of New Emerging Forces) di Senayan, Jakarta, 10-22 November 1963, yang diikuti 48 negara.
3 Mei 1964
Karena kebenciannya kepada kolonialisme Inggris di Asia, dan pengkhianatan Tun Abdurrahman dari PTM (Persekutuan Tanah Melayu) atas Doktrin Maphilindo (Malaya, Philipina, Indonesia) yang akhirnya mengikuti skenario Inggris untuk membentuk negara boneka Malaysia, Sukarno menyerukan “Ganyang Malaysia”.
Padahal isi Doktrin Maphilindo yang ditandatatangani oleh Tun Abdurrahman, Presiden Philipina Diasdalgo Macapagal, dan Soekarno itu menyatakan bahwa masalah Sabah, (Brunai), Serawak di Kalimantan Utara yang sempat memicu kericuhan di antara ketiga pihak, sepakat akan diselesaikan dengan cara baik-baik oleh mereka bertiga, sesuai prinsip: Selesaikan Masalah Asia, Secara Asia, Oleh Asia.
Sikap Inggris dan Blok Barat yang malah kemudian terus memfasilitasi pembentukan negara boneka Malaysia, dan bukan hanya mendorong PBB agar menerimanya sebagai anggota, tapi juga menjadikannya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamananan PBB, membuat Soekarno berang. Akhirnya Soekarno memutuskan Indonesia ke luar dari PBB. Selanjutnya Soekarno pun membentuk Poros Jakarta-Peking, yang kemudian berkembang jadi Jakarta, Hanoi, Peking, Pyongyang.
14 Januari 1965
Partai Komunis Indonesia mulai melancarkan provokasi dengan tuntutan untuk
mempersenjatai buruh dan tani (angkatan kelima). Soekarno tidak menanggapinya.
26 Mei 1965
Beredar isu “Dokumen Gilchrist” yang menyebutkan adanya dewan jenderal dalam tubuh angkatan bersenjata untuk mengambil kekuasaan dari Soekarno.
Juli 1965
Soekarno mulai sakit-sakitan. Sekjenj PKI, D.N. Aidit memerintahkan agar biro khusus PKI menyiapkan gerakan mengantisipasi dampak sakitnya Soekarno.
30 September 1965
Penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal AD (tepatnya 6 jenderal plus satu perwira pertama) di Jakarta.
14 Oktober 1965
Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan
membekukan kegiatan PKI dan ormas-ormasnya.
11 Maret 1966
Soekarno di istana Bogor, dibawah tekanan tiga jenderal (Basuki Rahmat, Ahmad Yusuf, Amir Machmud) yang diperintah Soeharto –yang pagi sebelumnya menyuruh Mayjen Ahmad Kemal Idris bermanuver membawa pasukan tak dikenal mengepung Istana untuk menekan Presiden Soekarno agar segera membubarkan sidang kabinet– akhirnya menandatangani Surat Perintah yang berisikan:
Letjen Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI dengan tetap berkoordinasi bersama ketiga panglima angkatan (PangAL, PangAU, PangAK), …
* wajib memulihkan keamanan dan ketertiban demi..
* menjamin, terjaga dan terpeliharanya ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, dan
* menjaga keselamatan jiwa raga Bung Karno beserta keluarganya.
Surat Perintah 11 Maret yang bukan berupa pelimpahan kekuasaan ini kelak dikenal sebagai Super Semar yang dalam pelaksanaannya kelak dipelintir sedemikian rupa oleh Suharto, sehingga malah bisa mendukung skenario KUDETA MERANGKAK dalam menggerus kewenangan Presiden Soekarno.
12 Maret 1966
Dengan bekal Super Semar itu Soeharto secara sepihak Soeharto lalu membubarkan PKI, dan dimulailah babak pembantaian dan perburuan massal yang sistematis atas anggota PKI dan segenap ormasnya. Serta kelompok Soekarnois dan para die hard PNI
20 Juni 1966
Sidang Umum Ke-4 MPRS di Jakarta antara lain menetapkan, jika Presiden berhalangan tetap, pengemban Supersemar, yakni Soeharto, menjadi presiden.
21 Januari 1967
Pidato pertanggungjawaban Soekarno pada 10 Januari Nawaksara beserta pelengkapnya ditolak oleh MPRS dan DPRGR, kedua lembaga yang telah dikendalikan oleh Suharto, malah menyimpulkan ada petunjuk Soekarno terlibat dalam peristiwa 30 September 1965, yang dalam versi Orde Baru disebut sebagai G30S/PKI.
22 Februari 1967
Soekarno diberhentikan dari jabatan presiden dan digantikan Jenderal Soeharto. Upaya penggusuran Soekarno secara prosedural konstitusional ini, dimungkinkan karena Suharto telah berhasil; menempatkan kelompok pendukungnya sebagai anggota-anggota pengganti di MPRSI dan DPRGR. Sementara sejumlah tokoh diehard Soekarnois yang masih jadi anggota MPRS/DPRGR diintimidasi. Bahkan ditodong pistol langsung.
21 Juni 1970
Soekarno wafat di Istana Bogor setelah menderita sakit lama di Wisma Yaso, Jakarta. Jenazah Bapak Bangsa ini dilarang oleh rezim Orde Baru dimakamkan di dekat ibukota negara, karena itu diputuskan proklamator kemerdekaan untuk dimakamkan di Bllitar.<>
Hampir sejuta lebih massa rakyat yang menyampaikan penghormatan terakhir dan menangisi kematiannya, sejak dari rumah duka di Slipi, hingga ke Lanuma Halim Perdana Kusuma, sampai ke Blitar. Itu belum terhitung mereka yang convoy menuju Blitar dari berbagai penjuru tanah air.
Padahal Soeharto sendiri sudah mengingkari pesan terakhir almarhum, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Bung Karno dalam buku autobiografi, melalui testamen apabila dia mati.
“Jangan selubungi kerandaku dengan berbagai panji dan bendera organisasi. Cukup dengan panji-panji Muhammadiyah dan kuburkanlah aku di bawah pohon yang rindang dekat tepi sungai yang mengalir di bumi Priangan yang molek ini. Jangan tuliskan segala macam gelar dan sebutan di nisanku, cukup sebonhkah batu hitam yang bertuliskan Di sini Berkubur, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat “
-----
Sampe akhir hayatnya pun Bung Karno tetap menunjukkan bahwa memang dialah Presiden Kita, dialah Penyambung Lidah Rakyat. Bahkan sampai sekarang, jasad nya pun masih diperdebatkan keberadaanya.
Gajah mati meninggalkan tulang, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.
No comments:
Post a Comment