Sunday, February 20, 2011

Perikanan : Reinkarnasi Politik Konsesi dari Daratan ke Lautan

Indonesia merupakan negara Kepulauan, dimana wilayah lautnya lebih luas dibandingkan wilayah daratannya. Kekayaan alam yang terkandung di wilayah lautnya, termasuk entitas ekosistemnya, tak kalah kaya dibandingkan yang ada di daratannya.
Pemikiran inilah yang menjadi salah satu latarbelakang dibentuknya Departemen Kelautan, pada masa awal era Reformasi yang telah lalu. Diharapkan, dengan terbentuknya departemen ini akan mempercepat terjadinya perubahan paradigma kebijakan pemerintah, dari paradigma terestrial ke paradigma kelautan.
Sekarang, sudah selama satu dasawarsa umurnya. Sudah banyak seminar, makalah dan urun rembug pemikiran yang dituangkan. Namun, rupanya tak mudah membelokkan mainstream pemikiran. Tak kunjung jua terlihat adanya terobosan yang bernas dan cerdas dalam mengimplementasikan misi dan visi dibentuknya intitusi departemen ini.
Dorongan agar terjadi perubahan kebijakan dari paradigma terestrial ke paradigma kelautan ini, justru dimaknai dengan keinginan replacement arenanya kebijakan politik konsesi, dari daratan ke wilayah lautan.
Seperti kita ketahui bersama, dahulu pada masa awal Orde Baru, marak politik konsesi HPH. Kelihatannya apa yang direncanakan oleh pemerintahan orde sekarang ini tak berbeda jauh. Tak ubahnya, hanya sekedar memindahkan politik konsesi HPH dari wilayah daratan ke wilayah lautan
Mulai tahun 2010, pemerintah akan menerapkan kebijakan HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisiran) dan KUPT (Kluster Usaha Perikanan Tangkap) yang membagi zona wilayah lautan menjadi 4 kawasan, yakni kawasan Pemanfaatan Umum, kawasan Konservasi, kawasan nasional Stategis Tertentu, kawasan Alur Pelayaran.
Pembagian perairan menjadi kapling-kapling ini menjadi landasan untuk pemberlakuan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Adapun Kluster Usaha Perikanan Tangkap (KUPT) mengacu pada Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 5/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Pada undang-undang tersebut disebutkan bahwa melalui Sertifikat HP-3, dapat diberikan hak eksklusif kepada pihak swasta (Asing ataupun Nasional) mulai dari sertifikat hak pengusahaan, perairan, dan pesisir, yang meliputi permukaan air, kolom air, hingga ke dasar perairan. Hak atas KUPT itu memberikan hak eksklusif kepada pihak swasta (Asing ataupun Nasional) untuk memanfaatkan sumber daya ikan di perairan hingga sejauh 12 mil laut dari garis pantai. Sertifikat dan hak ini juga termasuk untuk sektor pariwisata bahari atau marine ecotourism.
Dalam arti kata, ketentuan Sertifikat HP3 dan Hak KUPT ini sama saja dengan memberikan hak eksklusif pengusahaan kepada pihak swasta (Asing ataupun Nasional) selama jangka waktu tertentu, periode pengusahaan 20 tahun dan dapat diperpanjang untuk periode berikutnya. Dan, hak itu dapat dialihkan ke pihak lainnya.
Perencanaan strategis sebagai prasyarat terbitnya Sertifikat HP-3 dan Hak KUPT ini hanya ditentukan oleh dua pihak saja, yaitu pemilik modal (pihak Swasta Asing atau Swasta Nasional) dan Pemerintah Daerah serta Pemerintah Pusat. Masyarakat setempat tidak mendapatkan hak untuk turut merencanakannya.
Sekalipun masyarakat setempat dilibatkan, tetap saja tak merubah dampaknya, pemberian hak eksklusif pengelolaan kepada pihak tertentu ini, berpotensi menimbulkan konsentrasi kepemilikan usaha yang akibat lanjutnya adalah praktik monopoli.
Dapat dikategorikan monopoli, sebab selama jangka waktu diberikannya hak itu kepada pihak swasta (Asing ataupun Nasional) praktis akan mengakibatkan masyarakat umum kehilangan akses apapun terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Bahkan termasuk kehilangan akses ke lokasi lapangan kerja mereka untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Jangan coba-coba datang dengan cara menyelam ke wilayah tersebut, karena itu juga termasuk tindakan yang melanggar hukum atas nama ketentuan hak eksklusif yang terkandung didalam Sertifikat HP3 dan Hak KUPT ini.
Maka, sangat jelas jika kebijakan politik konsesi atas wilayah lautan ini, berpotensi memiskinkan masyarakat lokal, dan memberangus hak-hak nelayan tradisional, serta membuat masyarakat setempat di wilayah yang mereka tinggali bertahun-tahun lamanya hanya akan menonton dan gigit jari saja.
Sebagai catatan, saat ini di Indonesia, dari sekitar 99% pelaku usaha perikanan tangkap, merupakan nelayan kecil dengan kapasitas kapal dengan bobot mati di bawah 30 ton. Tahun 2008, total armada perikanan Indonesia 590.380 unit. Jumlah nelayan Indonesia 2,78 juta orang. Sementara itu, jumlah pembudidaya ikan sebanyak 2,61 juta orang.
Hal lainnya, tak tertutup juga, pada jangka waktu yang tak terlalu panjang, sudah akan memperlihatkan potensi terjadinya pengurasan sumber daya perikanan secara besar-besaran. Ini hal yang logis saja, apabila pihak swasta (Asing dan Nasional) yang memegang hak eksklusif pengelolaan kluster itu dikejar kuota yang harus dipenuhinya kontrak penjualan ikan dalam jumlah sangat besar.
Apakah sekarang sudah ada contohnya ?.
Salah satu misalnya, di kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah, sebuah Perusahaan Asing dari Italia. Di daerah ini diterapkan larangan untuk kegiatan perikanan tradisional sejauh 7 kilometer.. Lalu, di Tomia, Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, daerah ini dikelola sebuah Perusahaan Asing dari Swiss. Di daerah ini diterapkan zona larang tangkap karena diperuntukkan sebagai area dive point. Ini sama saja dengan pengaplingan area laut, walau penduduk desa mendapatkan kompensasi sebesar Rp. 5 juta per bulan yang diperuntukan bagi pembangunan infrastruktur desa.
Apakah jumlah uang itu sebanding dengan nilai kerugian yang diderita oleh seluruh masyarakat desa yang kehilangan akses terhadap sumber daya di zona larangan tangkap itu ?.
Hal lain yang sangat perlu direnungkan lagi adalah dengan menilik kembali bagaimana sejarah awal mula HPH (Hak Pengusahaan Hutan) selanjutnya menelusuri bagaimana fakta yang telah berlangsung berpuluh tahunnya, kemudian bagaimana akibat yang ditimbulkannya hari ini.
Apakah kesejahteraan yang telah disumbangkan oleh politik konsesi ala HPH itu sebanding dengan nilai kerugian yang telah diakibatkannya ?. Sebandingkah benefit cost rasio-nya ?.
Jika pemerintahan rezim Orde Baruterbukti dengan politik konsesi HPH-nya telah memporak porandakan hutan di wilayah daratan. Maka pemerintahan rezim orde mendatang ini seharusnya berlaku bijaksana. Janganlah hanya menjadi reinkarnasi- nya saja, yang hakikat kebijakannya hanya merupakan modifikasi politik konsesi ala HPHyang dipindahkan dari wilayah daratanke wilayah lautan.

No comments:

Post a Comment