Sunday, February 6, 2011

Ketahanan Pangan, Tinggalkan Pendekatan Komoditas








Persoalan pangan telah membuat dunia mengalami ”kepanikan”. Masing-masing negara berlomba menyelamatkan ketersediaan pangannya. Gejolak pasar pangan dunia pun menjadi semakin keras, dengan masuknya para investor di pasar komoditas, dan menjadikan komoditas pangan sebagai investasi terbaik.

Beras, misalnya, kini menjadi komoditas yang paling diincar para investor di bursa komoditas. Di bursa Chicago AS, misalnya, pada tahun- tahun sebelumnya beras tidak pernah dilirik oleh investor, tetapi kini justru menempati posisi utama. Ini membuat pasar pangan menjadi liar.

Apalagi, sejak 1998, stok biji- bijian dunia terus menurun. Bahkan, tahun 2006, stok bijian-bijian dunia hanya separuh dari stok tahun 2000 karena dampak terpaan El Nino tahun 1997/1998, yang belum sepenuhnya terpulihkan. Situasi menjadi semakin sulit karena permintaan bahan pangan semakin meningkat, terutama dari dari China, India, dan Indonesia, yang merupakan tiga dari empat negara di dunia yang terbanyak penduduknya.

Kenyataan lain yang juga menyumbang pada ”krisis” pangan dunia saat ini adalah dorongan politik yang bergaung keras di dunia untuk menyikapi perubahan iklim dunia. Yang diwujudkan dengan gerakan mengurangi penggunaan energi dari fosil, dan mulai beralih ke biofuel, yang notabene berbahan baku biji-bijian. Dengan demikian, permintaan dunia terhadap biji-bijian meningkat.

“Kondisi-kondisi itu yang membuat Indonesia pada posisi sekarang. Jadi gonjang-ganjing pangan sekarang ini tak tiba-tiba dan sederhana,” tutur Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kehutanan dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan Kompas, Rabu (23/4) di Jakarta.

Diskusi yang dipandu guru besar ekonomi pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, itu selain menampilkan Bayu, juga menghadirkan pembicara Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Wakil Presiden Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang, dan Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Derom Bangun.

Menurut Bayu, pada dasarnya ketersediaan pangan di dalam negeri relatif cukup. Sebagai gambaran, saat ini suplai karbohidrat baik dalam bentuk beras, singkong, jagung, maupun umbi-umbian 0,5 kilogram per kapita per hari. Apabila separuh dari suplai karbohidrat itu untuk keperluan industri atau pakan ternak, setidaknya masih tersisa 600 gram per kapita per hari. Padahal, kebutuhan karbohidrat untuk hidup sehat hanya 300 gram per kapita per hari.

Dari data itu, bangsa ini secara ”tertulis” tak akan kekurangan pangan, setidaknya karbohidrat. Namun, suplai yang cukup itu tak akan berarti apa-apa manakala daya beli masyarakat melemah akibat kenaikan harga pangan yang terus-menerus meningkat.

Rawan kerusuhan

Kenaikan harga komoditas pangan, seperti beras, jagung, kedelai, gandum, dan sorghum, yang tajam, berpadu dengan melemahnya daya beli, membuat dunia rawan kerusuhan. Laporan pangan PBB, Kamis (17/4), memprediksi kerusuhan pangan akan merebak di 40 negara. Situasi itu memaksa Sekjen PBB Ban Kim-moon mengimbau agar negara maju berkomitmen dan menyediakan bantuan pangan tanpa syarat ke negara miskin.

Franciscus memaparkan, gejala ”krisis” pangan ini mulai terlihat sejak 1999/2000, yaitu saat stok biji-bijian dunia terus menurun. Disparitas antara permintaan dan penawaran yang lebar terjadi pada 2003/2004 ini setidaknya terlihat dari produksi gandum dunia yang jauh di bawah konsumsi.

Setidaknya dalam kurun waktu sembilan tahun dunia mengalami defisit stok pangan enam kali, yaitu 2000, 2002, 2003, 2004, 2006, dan 2007. Tahun 2008 diprediksi juga akan mengalami defisit stok pangan. Situasi makin rumit karena harga minyak mentah di pasar dunia juga melambung. Ini membuat keinginan menggunakan sumber energi alternatif berbahan baku sumber nabati makin kuat.

AS dan Eropa melaksanakan program itu dengan membuat undang-undang. Pada Desember 2006, kebijakan mengembangkan bahan bakar nabati di AS baru sebatas draf, tetapi empat bulan kemudian sudah menjadi UU. Hal itu mengubah struktur perdagangan biji-bijian di dunia. Menurut Franciscus, dalam 30 tahun terakhir, stok gandum dunia berada pada titik terendah. Bahkan, stok gandum AS, sebagai negara penghasil gandum terbesar, tak bisa lagi jadi patokan dalam 60 tahun terakhir. Itu karena 75 persen lahan gandum di AS tak bisa ditanami akibat serangan hama penyakit.

Di tengah produksi gandum AS dan Australia yang melemah, Kazakstan melarang ekspor gandum. Argentina memperpanjang larangan ekspor gandum sampai 5 Mei 2008. ”Perebutan” beras tak kalah serunya dengan gandum. Begitu Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan agar waspada menyikapi perubahan struktur pasar komoditas biji-bijian, negara produsen beras dunia pun langsung menahan produksinya untuk stok dalam negerinya.

Hanya AS dan Thailand yang masih mau menjual berasnya. Ini membuat dunia tak punya pilihan, kecuali menerima berapa pun harga yang harus dibayar untuk mendapatkan beras dari AS. Negara-negara Afrika pun mulai membeli beras dari AS. Filipina malah telah gagal mendapatkan 500.000 ton beras pada tender 17 April 2008. Karena itu, mereka panik dan bersedia membeli beras dengan harga berapa pun.

Sebagai negara agraris, seharusnya tak ada yang patut disesali dari kenaikan harga komoditas pertanian. Seharusnya Indonesia mendapat manfaat dari kenaikan harga itu. Apalagi, dari sisi produksi, tahun ini angka ramalan I BPS memprediksi tahun ini produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 58,27 juta ton atau setara 34 juta ton beras. Padahal, konsumsi diperkirakan 32 juta ton beras.

Namun, persoalannya bukan hanya berhenti di produksi. Apa artinya surplus bila rakyat tak mampu menjangkaunya karena harga yang tinggi. Apa artinya beras ada, tetapi rakyat tak mampu membelinya. “Jadi persoalan utama kita memang pada daya beli, bukan pada ketersediaan. Ini tidak hanya terjadi pada beras, tetapi juga minyak goreng,” kata Bayu.

Kenaikan harga beras, misalnya, di satu sisi meningkatkan pendapatan petani. Namun, di sisi lain, kata Rina, juga menjadi beban petani, karena petani di Indonesia bukan hanya produsen, tetapi juga net konsumen. “Sehingga kenaikan harga tidak sepenuhnya dinikmati petani,” tutur Rina.

Jika demikian, maka langkah yang harus menjadi perhatian bersama adalah bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya rumah tangga miskin, agar bisa menjangkau harga pangan yang mahal itu.

Jaring pengaman pangan

Selama ini untuk mengatasi mahalnya harga, kebijakan yang diambil selalu berorientasi kommoditas. Harga kedelai naik, diluncurkan subsidi kedelai. Harga minyak goreng naik, digelontorkan subsidi minyak goreng. “Kalau pendekatannya seperti tu, sampai batas mana akan terus dilakukan, sebab jika ada komoditas yang goncang, kita buat paket subsidi lagi,” ujar Bayu.

Seharusnya, kebijakan dengan pendekatan komoditas sudah harus ditinggalkan, dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih ”hakiki”, yaitu dengan membuat jaring pengaman pangan masyarakat. Kebijakan ini tidak berbasis komoditas, tetapi berorientasi pada daya beli. Program beras untuk rakyat miskin, lanjut Bayu, sebenarnya memiliki filosofi untuk meningkatkan daya beli. Yaitu, dengan menjual beras berharga murah pada masyarakat tak mampu, diharapkan alokasi anggaran rumah tangga untuk membeli beras bisa ditekan. Sehingga dana yang dimiliki bisa untuk memenuhi kebutuhan lain. “Ada juga program peningkatan produksi. Misalnya dengan bantuan benih dan perbaikan pasca panen. Ini subsidi langsung yang bisa meningkatkan produktivitas,” kata Bayu.

Selain, tetapi harus dilakukan investasi baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, seperti, program penanggulangan kemiskinan, program padat karya, dan sebagainya

No comments:

Post a Comment