Sunday, December 20, 2009

Keberpihakan Migas Masih Setengah Hati



(ANTARA/Aguk Sudarmojo)Minggu, 20 Desember 2009



Jakarta (ANTARA News) - Pengusahaan tambang minyak dan gas (migas) di Indonesia sudah berlangsung lebih dari 100 tahun. Namun, waktu yang cukup lama hingga satu abad tersebut, tampaknya belum memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara.

Sebagian besar ladang-ladang migas kini masih dikuasai perusahaan asing. Perusahaan dalam negeri di luar PT Pertamina (Persero) yang ikut bisnis eksplorasi dan eksploitasi migas, bisa dihitung dengan jari sebut saja, PT Medco E&P Indonesia, dan PT Energi Mega Persada Tbk.

Sedang, ladang-ladang migas yang memproduksi migas cukup besar atau diperkirakan memiliki cadangan besar, dikelola dan dikendalikan perusahaan asing.

Mereka antara lain PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang merupakan produsen minyak mentah terbesar di Indonesia.

Tercatat, produksi minyak perusahaan migas multinasional asal AS dari lapangannya yang berada di Riau mencapai 50 persen dari produksi nasional.

Selanjutnya, Total Indonesie yang mengendalikan Blok Mahakam, Kaltim yang merupakan produsen gas terbesar di Indonesia.

Lainnya, BP Indonesia yang juga merupakan produsen gas besar di Tangguh, Papua, lalu Inpex di Masela yang diperkirakan memiliki cadangan besar, dan ExxonMobil, sebelum beralih ke Pertamina di Natuna, Kepri dengan cadangan gas yang juga cukup besar.

Dalam seminar Energy Outlook: Quo Vadis Perpanjangan Production Sharing Contract yang diselenggarakan LKBN ANTARA pada pekan ini, mencuat keinginan agar pemerintah lebih memberi keperpihakan pengelolaan migas kepada kepentingan nasional.

Hadir sebagai pembicara dalam seminar dengan moderator Dirut Perum LKBN ANTARA Ahmad Mukhlis Yusuf adalah Wakil Kepala Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Hadi Purnomo, Direktur Hulu Migas Departemen ESDM Edy Hermantoro, Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi Bagus Setiardja, pengamat migas Effendi Siradjuddin, dan mantan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Marwan Batubara.

Pengamat migas, Effendi Siradjuddin mengatakan, konsep kontrak bagi hasil (production sharing contract) sebenarnya ditujukan bagi penguasaan migas oleh nasional.

Melalui model kontrak tersebut, Indonesia diharapkan bisa menyerap pengelolaan perusahaan minyak asing serta menguasai teknologinya.

Namun, setelah selama puluhan tahun diterapkan, model kontrak bagi hasil itu ternyata belum memunculkan perusahaan-perusahaan nasional yang menguasai ladang-ladang minyak khususnya berskala besar.

Effendi mengatakan, kontrak lapangan migas yang akan segera berakhir dan sebelumnya dikelola perusahaan asing, seharusnya dikembalikan kepada negara dan selanjutnya diserahkan kepada BUMN, BUMD, atau perusahaan swasta nasional.

Ia mencatat, lebih dari 20 lapangan migas yang saat ini dikelola perusahaan asing, akan berakhir masa kontraknya hingga 2025.

Dalam waktu dekat, kontrak yang akan habis, di antaranya, pada 2011 adalah Blok West Madura yang dikelola Kodeco Energy, Bawean yang dioperasikan Camar Resources Canada Inc, dan Pase oleh ExxonMobil Oil Indonesia.

Pada 2012, ada Madura Strait yang dikelola Husky Oil (Madura) Ltd dan 2013 adalah Blok Siak oleh Chevron Pacific Indonesia.

Selanjutnya, blok-blok besar lainnya yang akan habis masa kontraknya adalah Corridor yang kini dikelola ConocoPhillips pada 2016, lalu Mahakam dengan operator Total Indonesie, East Kalimantan oleh Chevron Indonesia, dan Blok B oleh ExxonMobil pada 2017.

Pada 2018, ada Vico di Blok Sanga-sanga dan North Sumatra Offshore oleh ExxonMobil, selanjutnya pada 2019 adalah South Natuna Sea Block B oleh ConocoPhillips dan Blok Rokan oleh Chevron Pacific Indonesia pada 2021.

Hal senada dikemukakan mantan Anggota DPD Marwan Batubara.

Menurut dia, terkait Blok Mahakam, pemerintah sebaiknya menunggu sampai kontrak berakhir pada 2017 dan setelah itu langsung diserahkan ke Pertamina.

"Jangan lakukan negosiasi perpanjangan blok dengan operator lama," katanya.

Bagus Setiardja mengatakan, bagi Pertamina, keberpihakan pemerintah diperlukan agar perusahaan menjadi besar dan keuntungan yang didapat akan menambah kas negara.

"Kami harapkan adanya dukungan agar Pertamina memperoleh kesempatan yang lebih luas mengelola ladang migas baik di dalam maupun luar negeri dan keuntungan Pertamina akan menambah kas negara," katanya.

Menurut Bagus, dengan pengalaman lebih dari setengah abad, Pertamina siap menjadi operator yang kompetitif dalam mengelola bisnis migas khususnya sektor hulu baik di darat maupun laut.

Ia mengatakan, sesuai peraturan pemerintah, Pertamina memang mendapat keistimewaan.

"Namun, pelaksanaannya belum sesuai harapan," ujarnya.

Wakil Kepala BP Migas Hadi Purnomo mengatakan, pemerintah sebenarnya telah memberikan sejumlah keistimewaan (privillage) kepada Pertamina agar menjadi perusahaan yang maju.

"Pertamina memiliki `privillage` yakni bisa meminta suatu blok migas yang telah habis masa kontraknya," katanya.

Keistimewaan lainnya adalah porsi bagi hasil yang lebih besar yakni 60 persen buat pemerintah dan 40 persen buat Pertamina.

Pertamina, lanjutnya, juga mendapatkan "privillage" untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu sepanjang 100 persen sahamnya dimiliki BUMN tersebut dan dapat memasarkan minyak dan gas bagian negara.

Edy Hermantoro menambahkan, pemerintah terus berupaya meningkatkan kapasitas nasional dalam pengelolaan migas.

Menurut dia, pada tahun 2025, pemerintah menargetkan sebanyak 50 persen pengelolaan blok-blok migas dilakukan perusahaan nasional.

Kemudian, pemanfaatan penggunaan barang dan jasa nasional hingga 91 persen, dan 99 persen penggunaan sumber daya manusia nasional ditargetkan tercapai pada 2025.

"Semua upaya itu bermuara pada peningkatan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan tercapainya cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat," katanya.

Namun, Marwan Batubara mengatakan, keberpihakan pemerintah kepada kepentingan nasional khususnya bagi peningkatan kemampuan Pertamina, masihlah setengah hati.

Ia mencontohkan, pemerintah tidak memberikan dukungan kepada Pertamina untuk mendapatkan blok migas yang potensial tanpa melalui tender seperti Cepu dan Semai V.

"Potensi sumber daya migas yang melimpah dan dikelola melalui kontrak bagi hasil selama puluhan tahun ini ternyata tidak mampu menciptakan kemandirian nasional sekaligus kesejahteraan bagi rakyat," katanya.(*)

No comments:

Post a Comment