Tuesday, December 8, 2009

Bencana di Dunia Transportasi Indonesia

Oleh csrreview
18 Juni 2008

Salah satu armada milik PT. Adam SkyConnection Airlines atau Adam Air hilang dari pantauan radar dalam perjalanan Surabaya ke Manado. Pesawat Boeing dengan nomor 737 - 400 PK-KKW KI 574 tersebut membawa 96 penumpang dan 6 awak pesawat. Setelah dilakukan pencarian selama beberapa minggu oleh tim evakuasi, badan pesawat belum juga ditemukan hingga negara Singapura dan AS datang untuk membantu. Berbagai spekulasi terkait penyebab kecelakaan dan keberadaan pesawat bermunculan mulai dari menabrak gunung, meledak di udara hingga jatuh dan tenggelam. Walaupun pada akhirnya dipastikan pesawat tersebut tenggelam pada kedalaman 1500 m, tetapi tetap saja faktor penyebab kejadian tersebut masih samar.

Entah apapun penyebabnya, praktis kejadian ini semakin memperburuk citra dunia transportasi Indonesia di mata dunia. Kondisi ini diperburuk lagi dengan raport merah jasa penerbangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kecelakaan pesawat dalam 10 tahun terakhir memang “sering” terjadi di Indonesia dan hal penting yang perlu digaris bawahi adalah tidak sedikit korban yang tewas. Sekedar mengingat, kasus jatuhnya pesawat Mandala Air di Padang, Sumatra Utara akibat gagal take off yang menewaskan 102 penumpang dan 47 penduduk setempat pada September 2005, atau kasus tergelincirnya pesawat Lion Air yang mendarat di bandara Adi Sumarmo Solo, November tahun 2004 lalu dengan korban berjumlah 31 orang.

Seyogyanya, sebagai salah satu sektor layanan publik, jasa transportasi penerbangan lebih memprioritaskan kenyamanan dan keselamatan konsumennya. Bukan malah sebaliknya. Lalu, bagaimana sebenarnya gambaran kondisi bisnis jasa transportasi udara Indonesia?

Saat ini Indonesia mempunyai lebih dari 20 operator maskapai penerbangan yang melayani rute baik domestik maupun luar negeri. Bisa dibilang jasa transportasi udara saat ini sudah menjadi pilihan konsumen karena selain hemat waktu, satu lagi alasan yang penting, murah.

Bahkan slogan “fly is cheap” yang menjadi ikon salah satu maskapai penerbangan, seperti telah menghipnotis para konsumen untuk selalu menggunakan jasa ini. Sistem tarif murah atau low-cost carrier (LCC) memang diterapkan hampir semua maskapai penerbangan di Indonesia untuk menarik konsumen. Adam Air misalnya, hadir sebagai salah satu maskapai yang juga menerapkan sistem LCC, bahkan baru saja maskapai ini menerima penghargaan Award of Merit untuk kategori Low Cost Airline of The Year, November tahun lalu. Namun dengan maraknya berbagai kejadian kecelakaan pesawat penerbangan sipil akhir-akhir ini menimbulkan sebuah keraguan dan pertanyaan, ada apa dibalik tiket murah tersebut.

Sebenarnya dengan pemberlakuan sistem LCC, harga lebih dapat dijangkau oleh konsumen dengan kata lain segmen pasar bertambah luas, akibatnya keuntungan juga semakin meningkat. Konsumen untung-operator pun untung, gambaran sebuah potret hubungan simbiosis mutualisme. Namun beberapa kalangan justru menilai sistem ini merugikan konsumen. Jika ditilik dari banyaknya kejadian kecelakaan akhir-akhir ini, cukup menggambarkan buruknya sistem manajemen dari pihak operator. Bahkan muncul indikasi bahwa mereka bisa memberlakukan tiket murah karena ada beberapa kewajiban dan perlakuan yang sengaja tidak dilakukan untuk menghemat biaya operasional.

Terjadinya kecelakaan – terlepas dari sistem LCC yang ada – dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu kualitas SDM, kualitas pesawat, cuaca dan fasilitas pendukung lain seperti kelayakan bandara. Pemerintah sebagai regulator juga memegang peranan yang penting, melalui kebijakan dan pengawasan terhadap praktek bisnis yang dilakukan para operator. Namun sepertinya pemerintah kewalahan dengan menjamurnya operator-operator penerbangan di Indonesia hal ini yang terlihat dari masih lemahnya pengawasan yang dilakukan. Adanya pengawasan yang lemah dari pemerintah mendorong terjadinya mal praktek bisnis yang dilakukan oleh operator. Tentunya hal tersebut dilakukan untuk memperoleh untung yang lebih besar. Sebagai contoh yaitu dalam hal perawatan dan penggantian spare part secara berkala yang sering diabaikan oleh operator, ada pula dengan penggunaan spare part yang tidak sesuai dengan standar. Hal-hal semacam ini yang mendorong tingginya angka kecelakaan pesawat di Indonesia. Kenyataan ini terlihat dari masih tingginya indeks kecelakaan pesawat di Indonesia per tahun jika dibandingkan dengan Asia pada umumnya, indeks di Indonesia hampir 3 kali lipat dari Asia, yaitu 2,46 (indeks Asia 1,00). Jauh di atas indeks kecelakaan pesawat di AS (0,8) atau Eropa yang ‘hanya’ sebesar 0,6.

Data Kecelakaan Pesawat Komersial tahun 1995 – 2007*

Tanggal


Jenis Pesawat


Keterangan


Korban Meninggal

16/01/1995


Boeing 737


Sempati PK-JHF (MSN 20508)
Yogyakarta, Indonesia


0

26/09/1997


Airbus A300


Garuda PK-GAI (MSN 214)
Medan, Indonesia


234

19/12/1997


Boeing 737


Silk air 9V-TRF (MSN 28556)
Palembang, Indonesia


104

14/01/2002


Boeing 737


Lion air PK-LID (MSN 20363)
Pekan baru airport, Indonesia


0

16/01/2002


Boeing 737


Garuda PK-GWA (MSN 24403)
Yogyakarta, Indonesia


1

30/11/2004


McDonnell Douglas MD-80/90


Lion air PK-LMN (MSN 49189)
Solo Airport, Indonesia


25

05/09/2005


Boeing 737


Mandala Airlines PK-RIM (MSN 22136)
Medan, Indonesia


102

01/01/2007


Boeing 737


Adam Air PK-KKW (MSN 24070)
Sulawesi, Indonesia


102

21/02/2007


Boeing 737


Adam Air PK-KKV (MSN 27284)
Surabaya-Juanda Airport, Indonesia


0

Keterangan : * awal tahun 2007

Sumber : http://airfleets.net/crash/crash_country_Indonesia.htm

Tingginya angka kecelakaan pesawat di Indonesia juga dipengaruhi oleh usia pesawat yang. Pesawat yang dipergunakan di Indonesia rata-rata telah berusia 20 tahun (hasil perhitungan rata-rata usia pesawat dari 9 maskapai penerbangan di Indonesia ), rata-rata usia termuda adalah maskapai nasional, Garuda Airlines. Umumnya maskapai penerbangan di Indonesia adalah pembeli tangan kedua atau membeli pesawat second (bekas : Red), jadi tidak heran jika umur pesawat di sini lebih tua. Ditambah lagi dengan kebijakan yang diterapkan di Indonesia bahwa batasan usia sebuah pesawat komersil di Indonesia maksimal 35 tahun dengan jam terbang pesawat (cycle) tidak lebih dari 70.000 jam. Jika usia setua itu tidak diimbangi dengan maintenance yang teratur dan sesuai standar, bukan tanpa sebab kecelakaan jika kecelakaan akan sering terjadi di dunia transportasi udara.

Langkah antisipasi sebenarnya telah diambil pemerintah setelah kecelakaan yang menimpa Lion Air di Solo tahun 2004 lalu, selain UU No.33 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan, pemerintah saat ini juga memperketat audit, menutup ijin bagi maskapai penerbangan baru dalam upaya meningkatkan pengawasan serta memberlakukan tarif referensi agar tidak ada perang tarif antar operator.

Bahkan pemerintah berkeinginan untuk mengubah aturan usia pesawat terbang komersil yang boleh beroperasi di Indonesia, seperti halnya yang telah ditetapkan di Singapura. Usia maksimal pesawat yang boleh mendarat di bandara Singapura maksimal 10 tahun dan tentu saja hanya beberapa dari maskapai Indonesia yang bisa mendarat di sana.

Bisnis penerbangan merupakan bisnis yang high regulated, banyak aturan yang harus dipenuhi dan dijalankan oleh semua pihak yang terkait terutama pihak maskapai sebagai operator. Banyaknya regulasi jika tidak diimbangi dengan komitmen kuat untuk menerapkan dan menaatinya maka sudah pasti resiko besar harus diterima. Buruknya lagi, justru konsumen yang harus menanggungnya.

Semoga dengan semua kejadian ini kita masih “bisa” merasa nyaman menggunakan jasa transportasi pesawat terbang Indonesia.

No comments:

Post a Comment