Tuesday, December 8, 2009

“Semut” Pungli Menggigit Pendapatan Nelayan




















Selasa, 8 Desember 2009

Oleh: ANGGRAENNY P.



Siapa yang tidak terganggu dengan gigitan semut. Meskipun binatangnya kecil, efek gigitannya bisa meninggalkan rasa gatal luar biasa di kulit. Bagi nelayan, semut ternyata tidak hanya menggigit kulit. ”Semut-semut” yang berkeliaran pun terus menggigiti penghasilan mereka.

Mungkin belum banyak yang tahu, di komunitas nelayan dan pembudidaya perikanan, “semut” juga menjadi musuh besar. ”Bagaimana tidak, setelah petugas dari kantor ini datang minta iuran, ganti petugas dari dinas lain datang minta iuran yang berbeda. Menggigit terus-terusan. Kecil-kecil tapi kan mengganggu juga,” keluh Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara, Shidiq Moeslim, Senin (7/12).

Menurutnya, sejak dulu nelayan dibebani berbagai macam pungutan. Mulai dari retribusi dan pajak resmi hingga “gigitan-gigitan” kecil tersebut. Meskipun jumlahnya tidak seberapa, berbagai pungutan tersebut membuat pendapatan mereka berkurang 12%. Bahkan bagi mereka yang omzetnya mencapai Rp 3 miliar, keuntungan yang diperoleh bisa berkurang hingga 30% akibat pungutan-pungutan resmi dan tidak resmi itu.

Selain “gigitan” dari semut-semut tersebut, retribusi resmi pun masih dirasa memberatkan. ”Bagaimana kami bisa berkembang kalau dalam proses saja sudah dikenakan berbagai macam retribusi dan pajak. Mestinya pajak cukup di akhir saja. Setelah final semua baru ditarik pajak. Kami sebagai pengusaha juga pasti bayar kok,” ujarnya.

Beberapa retribusi yang harus dibayar nelayan dan pengusaha misalnya retribusi masuk ke pelabuhan dan biaya pelelangan. Belum lagi jika pengusaha mendatangkan ikan dari luar daerah.

Saat mengeluarkan ikan dari daerah tersebut, dia harus membayar pajak ke pemerintah daerah setempat dan retribusi lain-lain. Shidiq yang ditemui di Diskusi Bedah Program 100 Hari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengharapkan permasalahan tersebut bisa diatasi dengan membuat aturan baku dari pusat. Tidak semata diserahkan ke pemerintah daerah.

”Saya sangat setuju kalau penghapusan beberapa retribusi ini masuk dalam program 100 hari DKP. Tapi karena permasalahannya sama di masing-masing daerah, kami harapkan bisa dibuatkan Perpu dari pusat. Kalau diserahkan begitu saja, tidak mungkin dalam100 hari masalah ini terselesaikan,” harap pria yang juga pengusaha udang ini.

Belum lagi masih kurang dipikirkannya masalah pemasaran. Fokus di bidang perikanan selama ini masih berkutat masalah eksplorasi, penangkapan dan budidaya.

Sedangkan pemasaran masih sangat jarang disentuh. Padahal produksi perikanan tangkap Indonesia berada pada peringkat ke-4 dunia setelah China, Peru dan AS. Sedangkan perikanan budidaya berada pada peringkat ketiga setelah China dan India.

Total produksi perikanan RI tahun 2008 mencapai 8.707.810 ton dengan kenaikan produksi rata-rata dari tahun 2004 hingga 2008 sebesar 9,24%.

Jika kedua masalah itu bisa diselesaikan, diharapkan pendapatan nelayan bisa ditingkatkan. Idealnya, pendapatan nelayan minimal bisa Rp 1,5 juta per bulan.

Namun di Jawa saat ini pendapatan rata-rata nelayan baru Rp 900 ribu. Sedangkan di Medan Rp 1,3 juta. Pendapatan nelayan yang cukup layak di Gorontalo, yaitu Rp 1,6 juta.

Sekretaris Jenderal DKP, Syamsul Maarif dalam kesempatan yang sama menyatakan, penghapusan retribusi telah masuk dalam program 100 hari DKP. Namun hal tersebut tidak hanya menjadi fokus DKP saja. ”Itu tidak hanya domain DKP saja. Tapi juga harus koordinasi dengan Departemen lain. Misalnya Perhubungan untuk izin pelayaran,” ujarnya.

Sedangkan untuk pemasaran, DKP kini sudah menyiapkan negara tujuan ekspor baru. Jika sebelumnya sasaran ekspor hanya ke Eropa, Amerika dan Jepang, kini negara-negara Timur Tengah dan India pun mulai dijajaki.

No comments:

Post a Comment