Wednesday, December 9, 2009

Ibu Ani & Langkah Politik yang Mudah Diduga




Rabu, 09/12/2009
A.S. Laksana - detikNews

Jakarta - Ketika kabar apa pun berseliweran membingungkan, anda akan membutuhkan sesuatu yang pasti sebagai pegangan. Untuk hal tersebut saya beruntung mempunyai sumber informasi yang bisa saya percaya kebenarannya, setidaknya di tingkat kampung. Ini penting, sebab kalau di tingkat kampung pun tidak ada yang bisa anda percaya, kiamat sudah.

Informan terpercaya ini tinggal di sebelah rumah saya; umurnya 60-an dan sejak dua tahun lalu menjadi duda karena istrinya meninggal. Hampir setiap hari ia memasok kabar, kebanyakan tanpa saya minta, tentang siapa perempuan yang sedang ia kejar untuk dijadikan istri. Itu tema utama pembicaraannya.

Tentu saja tetangga saya itu juga seorang analis politik, tidak beda dengan tetangga-tetangga anda. Kabar terakhir yang dibawa si Engkong adalah soal camat kami yang menjadi tersangka korupsi dana pemberantasan buta huruf. Selesai topik kecamatan, ia menggeser pembicaraan tingkat nasional, yakni tentang Ibu Ani Yudhoyono yang dijagokan memimpin Partai Demokrat (PD).

“Saya sudah menduga hal itu,” katanya. “Pasti akan begitu.”

“Ya, saya tahu anda pasti sudah menduganya,” kata saya. “Dan bagaimana anda bisa menduga begitu tepat?”

“Itu mudah sekali,” katanya. “Sama mudahnya dengan hitungan 2+2 = 4.”

“Jadi karena 2+2 = 4, maka Ibu Ani Yudhoyono pasti akan dipilih menjadi ketua umum Demokrat?”

“Bukan begitu. Maksud saya, waktu Pak SBY mau maju sebagai presiden, yang jadi ketua partai kenalannya. Lalu Pak SBY menang, terpilih jadi presiden untuk pertama kali, kenalannya diganti iparnya. Sekarang Pak SBY menjadi presiden kedua kali, siapa lagi yang lebih tepat menggantikan posisi ipar selain istrinya?”

“Tapi belum tentu Pak SBY setuju. Saya dengar ia membatasi peluang keluarganya meneruskan kepemimpinan partai.”

“Kalau partai maunya dipimpin Ibu Ani Yudhoyono, Pak SBY bisa apa?”

“Sebagai suami, saya kira dia bisa saja melarang istrinya ikut-ikutan berpolitik.”

“Itu suami zaman kuno. Tidak bisa begitu sekarang. Bisa dilaporkan melanggar HAM kalau dia sampai melarang-larang istrinya.”

Saya hanya mengangguk-angguk. Menghadapi analis politik seperti ini anda tidak bisa apa-apa selain mengangguk-angguk. Apa yang bisa diperdebatkan?

“Karena itu 2+2 = 4?” tanya saya sekenanya.

“Semuanya pasti begitu,” katanya lagi. “Bu Mega pun begitu; pasti nanti anaknya yang dijadikan ketua partai. Siapa lagi kalau bukan anaknya? Dan semua orang di partainya pasti mendukung.”

Dengan kalimat yang penuh kata “pasti”, si Engkong membuat saya semakin tidak berkutik. Cepat atau lambat, saya kira saya akan jatuh klenger atau sempoyongan seperti petinju mabuk pukulan. Tapi saya masih mencoba mengayunkan jab ringan ke arahnya: “Gus Dur juga punya anak.”

“Pak Gus Dur pun begitu. Dulu ponakan-ponakannya dia majukan; lalu ribut melulu antara paman dan ponakan. Sekarang anaknya yang maju ke mana-mana.”

“Masih ada lagi? Atau cuma tiga itu?”

“Yang lain belum pernah jadi presiden.”

“Jadi tak usah dibicarakan yang belum pernah jadi presiden.... Sekarang, ada soal lain, anda sudah dengar Pak SBY berniat menjadi presiden selama 6 kali masa jabatan?” pancing saya.

“Oh, itu melanggar aturan, tidak boleh. Sekarang orang cuma boleh dua kali menjadi presiden.”

“Maksudnya begini, Pak SBY dua kali, selesai. Dilanjutkan oleh Bu SBY dua kali, selesai. Dilanjutkan lagi nanti oleh anak Pak SBY dua kali, selesai. Jadi 6 kali seluruhnya.”

“Kalau itu saya sudah menduganya. Semua juga pasti begitu.”

Apa boleh buat, sekarang saya benar-benar klenger menghadapi analis politik yang sedang berkotbah di teras rumah saya ini. Ia selalu “sudah menduga” segala hal. Atau, jangan-jangan ia benar bahwa kaum politisi memang orang-orang yang seperti itu: langkah-langkah mereka selalu mudah ditebak dan karena itu membosankan?


*) A.S. Laksana, penulis dan cerpenis tinggal di Jakarta.

(iy/iy)

No comments:

Post a Comment