Thursday, December 24, 2009

lahan PTPN II Kebun Helvetia Desa Manunggal, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang

LABUHAN DELI-Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, konflik pertanahan di negeri agraris ini tidak pernah terlewatkan. Sengketa tanah selalu bermunculan dan acap membawa masyarakat berhadapan dengan penguasa. Ujung-ujungnya, masyarakat lah yang selalu menjadi korban dari kekuasaan penguasa negeri ini.

Itu pula yang terjadi di Perkampungan Semangat di lahan PTPN II Kebun Helvetia Desa Manunggal, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang. Lewat perusahaan perkebunan, tangan besi pemerintah mengusir masyarakat yang pernah tinggal dan menggarap lahan 125 Hektar di sana.

Ratusan Kepala Keluarga (KK) yang mendiami Perkampungan Semangat sejak tahun 1942 dipaksa keluar dari lahan itu dengan dalih warga yang memiliki surat semisal KRPT dan Ontsla Gbrief adalah PKI. Perladangan dan kediaman warga itu akhirnya dirubuhkan, sedangkan masyarakatnya lari kocar kacir menyelamatkan keluarganya. Setelah menguasai lahan tersebut, perusahaan perkebunan Negara itu menanaminya dengan tanaman yang menghasilkan tapi tak pernah memperdulikan nasib masyarakat yang terusir.

Mirisnya lagi, setelah mengusir masyarakat, PTPN II malah membiarkan dan terkesan telah menjual beberapa bagian lahan kebun kepada warga pendatang yang notabene berkantong tebal. Keadaan ini diperparah dengan orang-orang yang mengambil keuntungan dari kelemahan PTPN II dengan cara menjual lahan pada orang lain. Keadaan ini telah berlangsung lama tanpa adanya tindakan tegas terhadap orang yang telah menjual lahan Negara tersebut.

Karena itu tak heran, kini di lahan PTPN II berdiri ribuan rumah permanen, pergudangan, ruko, perumahan mewah, bahkan kafe remang-remang yang diduga menjadi ajang prostitusi. Melihat pembangunan gedung di atas lahannya, PTPN II ‘hanya diam dan tak pernah bertindak’. Timbul pertanyaan, apakah ini yang dinamakan kebijakan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakatnya? Kalau memang hal ini dibenarkan, maka pemerintah dianggap gagal dalam melaksanakan UUD 1945 yang mestinya menjadi tolak ukur perjalanan negeri ini dalam menyejahterakan warga negaranya.

Sayangnya, operasi besar-besaran menumpas tabiat bak komunis yang berdampak kepada kesengsaraan masyarakat Kampung Semangat itu tak dapat dibuktikan secara yuridis. “Setelah keseluruhan warga Kampung Semangat terusir, di tahun 70an lahan tersebut ditanami sawit oleh pihak perkebunan,” ungkap Kimin, warga yang tersisa di Kampung Semangat.

Sejak terusir dari kediamannya, warga Kampung Semangat hidup dalam kemiskinan. Rumah dan perladangan mereka dikuasai negara dengan paksa. Kini mereka menuntut pemerintah agar mengembalikan lahan tersebut.

Selain itu, mereka juga meminta ganti rugi atas tanaman mereka yang dahulu dirusak, bahkan pemerintah telah mengambil untung dari lahan mereka yang ditanami dengan tanaman pokok perkebunan.

Namun alih-alih pemerintah ingin mengembalikan, menggubris permohonan masyarakat saja pemerintah serasa tak sudi. Padahal mereka telah menunjukkan bukti-bukti serta saksi-saksi yang mengetahui secara pasti keberadaan perkampungan tersebut.

Di tahun 2003, salah satu warga yang pernah menghuni perkampungan tersebut ingin bertani kembali. Begitu tanaman sedang tumbuh, pihak PTPN II merusak dan membuldozer tanaman warga. Kini warga yang terusir hidup dalam kesengsaraan, kebanyakan dari mereka hidup dengan menumpang pada sanak saudara dan anak-anak mereka tanpa adanya perhatian pemerintah.

Mirisnya lagi, secarik kertas (peta) yang menerangkan keberadaan Kampung Semangat tak menggugah hati pemerintah. Bahkan, Abdul Rahman (pensiunan PTPN IX) yang saat itu menjabat sebagai staf Agraria mengakui keberadaan Perkampungan Semangat.

Saat itu, Abdul Rahman yang membuat peta PTPN mengakui, dulunya di sana ada perkampungan dan itu tidak dimasukkan ke dalam HGU PTPN II (eks PTPN IX). Pembuatan peta perkebunan itu dilaksanakan pada tahun 1961. Di tahun itu pula ia mengakui, Perkampungan Semangat yang tersebar dari Pasar V hingga X memang dulunya di luar areal PTPN.

Upaya Kimin itu ditindaklanjuti dengan balasan surat, di antaranya surat dari Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik Indonesia bernomor 593/257/UMPEN yang dikeluarkan di Jakarta pada 18 Juni 2001 dan ditandatangani oleh A/N Menteri Dalam Negeri OTDA Dirjen Umum Pemerintahan, Oetarno Sindung Mawardi. Isi surat itu memohon kepada Gubernur Sumatera Utara dan Bupati Deli Serdang agar segera mendistribusikan lahan 125 hektar untuk 130 KK di Desa Manunggal kebun Helvetia, tepat di pinggiran Sungai Bedera.

Selain itu, Menteri OTDA juga meminta Gubernur dan Bupati Deli Serdang untuk segera melaporkan hasil pelaksanaannya. Sayang, Gubsu maupun Bupati tak pernah menggubris permintaan Menteri OTDA itu. Bahkan BPN Sumut juga pernah mengadakan pertemuan antara pihak-pihak terkait guna membahas tuntutan Kimin Cs.

Surat undangan itu bernomor 570.926/Pan.BP/IX/2001 tertanggal 17 September 2001 yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN PropSu, Zaufi Lubis dengan NIP:010053385, selaku ketua panitia B Plus. “Acara pertemuan itu dilaksanakan di aula II Kanwil BPN Propsu Jalan Brigjen Katamsonomor 45 Medan,”terang Kimin.

Lambannya pemerintah dalam menyikapi permasalahan ini menjadi tanda tanya besar. Ada apa sebenarnya ? Tanya warga yang terusir. Bila berpedoman pada UU No 8 Darurat Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat dalam pasal-pasalnya tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah sendiri.

Untuk memastikan keberadaan Kampung Semangat, Sekdakab Deli serdang bersama masyarakat meninjau dan melakukan penelitian ke lapangan pada tahun 2007. Hasilnya, dari Pasar V hingga Pasar X, Desa manungal, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang persis di pinggiran Sei Bedera terdapat lahan 125 hektar yang merupakan lahan masyarakat. Dengan perincian, 85.59 hektar terdapat tanaman tebu, 3 hektar terdapat tanaman jati dan 10 hektar terdapat tanaman kelapa sawit.

Di sisi sebalah utara berbatasan dengan jalan Pasar X Kebun Helvetia. Sebelah timur berbatasan dengan jalan primer kebun Helvetia PTPN II (Atau yang lebih dikenal dengan daerah Lending Bel). Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Bedera sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan jalan pasar IV kebun Helvetia.

Sebagai bukti keberadaannya, di sana masih terdapat 40 kuburan masyarakat yang berada di sebelah barat Pasar VI. Sayang, kuburan yang telah ada tahun 1952 ini kurang terawat. Begitu pula dengan kediaman Tarsak di Pasar X, kini kediaman itu tinggal pondasi yang telah tertutup semak-semak. Sangat disayangkan, pemerintah pusat maupun daerah, Menteri BUMN, PTPN II, dan BPN mengingkari kebenaran yang memang benar adanya.

Miris memang, warga yang telah jelas-jelas menempati lahan Perkampungan Semangat (diakui dengan surat Ontsla Gbfrief dan KRPT serta saksi sejarah) diusir dari perkampungan sendiri. Sedangkan orang yang tak memiliki kelengkapan apapun atas lahan PTPN II dibolehkan menempati lahan. Hajabnya, lahan PTPN II dijadikan ajang bisnis. Tak heran ruko, perumahan mewah, gudang skala besa, kafe dan lain sebagainya berdiri kokoh di lahan PTPN II. Rumah karyawan perkebunan yang berada di kiri kanan jalan Veteran, kecamatan Labuhan deli, Kabupaten deli serdang di perjual belikan dengan harga Rp 125 juta hingga Rp 150 juta.

Belakangan, penjualan rumah karyawan PTPN ini di alihkan kepada orang ketiga dan dijual dengan harga berfariasi atau istilahnya, lahan yang luas di kapling dan dijadikan warung , ruko dan berbagai tempat usaha, padahal di atas lahan tersebut masih terdapat pohon sawit yang masih menghasilkan buah.

Seperti di salah satu sudut lahan PTPN II, sebuah perumahan mewah yang dilengkap dengan lapangan Golf berdiri megah. Padahal dulunya, lahan itu merupakan perkampungan kaum tani yang memiliki KRPT. “Mereka dulu disuruh menandatangani surat dan belakangan surat itu ternyata di perjual belikan dan tanah dijadikan perumahan mewah,”heran warga. Tak hanya itu, persis di persimpangan Jalan Veteran dan Sumarsono menuju Helvetia, tampak berdiri deretan ruko berlantai III yang dijual sekitar Rp 800 juta per ruko. Sungguh nilai yang fantastis untuk sebuah lahan PTPN II.

Lahan yang dijadikan ruko itu dulunya merupakan pondok kebun (tahun 60an). Kemudian dijadikan pondok janda bagi karyawan PTPN II. “Dahulu di pondok itu tinggal janda-janda perkebunan, karena mereka tak memiliki rumah, maka oleh PTPN ditempatkan di sana,”ucap Suwanto. Belakangan, pondok janda itu dijadikan tempat tahanan oleh instansi militer. Sejak saat itu, pondok janda hilang dari percaturan sejarah lahan PTPN II. Tidak diketahui secara pasti mengapa lokasi tahanan militer itu bisa disulap menjadi deretan ruko yang memiliki nilai jual tinggi. Dan masih banyak lagi lahan PTPN II kebun Helvetia Desa Manunggal yang telah beralih fungsi.

Para pemilik lahan di areal HGU PTPN II yang membeli tapak hanya berdasarkan surat keterangan garap yang dikeluarkan Kepala Desa setempat dan ada juga oknum tertentu yang menjual lahan berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan aparat Desa setempat. Bahkan, oknum-oknum tertentu mengatasnamakan kamu tani dan menjual lahan kepada orang lain yang bukan petani.

Padahal di tahun 1984, sudah ada peraturan yang melarang camat dan lurah mengeluarkan surat tanah. Anehnya meski sudah ada larangan, tetap saja oknum-oknum camat dan lurah mengeluarkan surat tanah. Peraturan tersebut dianggap angin lalu oleh mafia tanah dan aksi penjualan tetap berlangsung. Sekali lagi, Drs H Amru Tambunan, Bupati Deli Serdang mengeluarkan surat bernomor 593/1795 tertanggal 18 Mei 2004, perihal larangan penerbitan surat keterangan tanah yang ditujukan kepada 13 Camat, yang berada di bawah naungannya.

Salah satunya termasuk Camat Labuhan Deli Dalam surat tersebut, Amru mengatakan, Camat dan Kepala Desa setempat tidak dibenarkan untuk mengeluarkan surat keterangan dan diminta untuk melakukan pengawasan dan mempertanggung jawabkannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Dan untuk surat keterangan yang terlanjur dikeluarkan akan ditarik atau dibatalkan karena tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Seperti penuturan salah satu pembeli lapak di pinggir jalan. “Lahan selebar 5×15 ini aku beli dari seseorang dengan harga Rp 17 juta, dan kami hanya memiliki surat garapan dari lurah setempat,”ucap Roy, salah satu pemilik usaha yang mendirikan tempat usahanya di atas lahan PTPN II. (Dian)

1 comment:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    ReplyDelete