Monday, April 4, 2011

Munajat Air, Menitah Banjir

Munajat Air, Menitah Banjir



Hujan awalnya dirasakan indah oleh warga Dusun Sungai Bungo, artinya munajat mereka terkabut yakni turunnya hujan. Anak-anak bermain menyambut datangnya hujan. Namun selama sehari penuh hujan itu tidak berhenti, menjadi tanya warga, akankah hujan ini akan menjadi ancaman bukan berkah lagi.
Hari kedua, anak-anak makin gembira memyambut datangnya hujan. Air mulai masuk ke rumah penduduk Dusun Sungai Bungo Rambah Kabupaten Rokan Hulu. Sebagian anak-anak memanfaatkan air setinggi lutut orang dewasa itu untuk bermain sampan yang terbuat dari batang pohon pisang.
‘’Memang namanya juga anak-anak, dilarang tetap saja bermain. Padahal cuaca dingin sekali, ngapa pula mereka itu terus bermain air,’’ jelas Iwan, warga Dusun Bungo Desa Sialang Jaya Kecamatan Rambah, Rohan Hulu ini, Selasa (3/2).
Hari ketiga, anak-anak sebagian tidak lagi bermain. Mungkin karena cuaca semakin dingin, hanya sebagian anak-anak yang degil saja yang bermain, yang lainnya tidak bernyali lagi bermain air dingin dengan cuaca yang menusuk kulit.
Hujan itu seperti ‘tombak’ yang turun dari langit menghujam ke bumi. Awalnya rintik-tintik hujan indah terdengar, namun setelah beberapa hari, air mulai menggenangi perumahan warga, suara turunnya hujan bagaikan peluru senjata otomatis yang menerjang rumah.
Keindahan suasana hujan berubah menjadi suasana suram. Sejumlah jalan digenangi air, sehingga sulit dilalui kenderaan. Bahkan terpaksa kenderaan dinaikan ke sampan, agar bisa melewati banjir tersebut.
Sungguh sedih nasib yang dialami Dusun Sungai Bungo ini selama tiga bulan terisolir akibat banjir yang menggenani sebagian perumahan warga dan badan jalan.
‘’Kami terpaksa bergantian belanja keluar dusun, sebab kondisi jalan benar-benar memprihatinkan,’’ ucapnya Oje yang mengeluhkan kondisi jalan di kampungnya yang rusak akibat banjir.
Melawan Air, Menuai Longsor
Sejumlah sungai di Kabupaten Rokan Hulu, semuanya bermuara pada sejumlah bukit di perbatasan dengan kabupaten di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Misalnya Sungai Rokan di Rokan IV Koto, bermuara ke pegunungan yang terjal di bukit barisan di perbatasan dengan Rao dan Mapattunggal, di Sumatera Barat.
Untuk wilayah yang terjal seperti perbukitan Rokan IV Koto, jika saat hujan, air akan langsung mengalir ke sungai dan sungai langsung banjir. Ini salah satu ciri, daerah perbukitan, dimana saat hujan, maka air di sungai akan melaup seketika, apa lagi saat ini perkebunan karet kalah trendi dibandingkan kebun kelapa sawit. Maka bukit-bukit yang terjan di Rokan IV Kota tidak lagi mampu menahan air, disebabkan sebagian dibiarkan gundul dan sebagian lagi ditanami kelapa sawit.
Jalan lintas Rokan IV Koto adalah satu-satunya jalan yang bisa digunakan untuk ke Kota Ujungbatu. Misalnya saat ini  longsor di Pendakian Gasing Desa Banjar Datar Kecamatan Rokan IV Koto, menyebabkan tujuh desa terisolir. Sebab, akses jalan satu-satunya ke Ibu Kota Kecamatan Rokan IV Koto tertimbun.
Ketujuh desa yang terisolir tersebut adalah Desa Banjar Datar, Desa Tandikek, Desa Sungai Kijang, Desa Tibawan, Desa Lubuk Ingu, Desa Kubang Buayo, dan Desa Kesik Putih. Ada ribuan penduduk yang tinggal di tujuh desa itu. Satu-satunya akses jalan darat yang menghubungkan desa-desa itu dengan Ibu Kota Kecamatan hanya Jalan Lintas Provinsi itu (Lintas Riau-Sumbar). Di Desa Cipang Kiri Hulu, jembatan Sungai Talaok juga hanyut dibawa arus air. Jembatan yang terbuat dari kayu tersebut digusur arus air sehingga akses jalan dari Dusun Pintu Kuari ke Desa Cipang Kiri Hulu terputus.
‘’Kalau musim hujan, janganlah lewat jalan ini, awak tak bisa balek nanti,’’ ujar Nexon, warga Rokan IV Koto pada Riau Pos.
Jika selama ini hutan masih mampu menahan ‘sementara’ derasnya air yang akan mengalir ke sungai, sekarang tidak lagi. Pemandangan yang ada sepanjang jalan dari Ujungbatu ke Rokan IV Koto adalah bukit yang gundul, sekali-kali ditemukan kebun karet namun perkebunan sawit lebih dominan. Maka wajar saja jika di saat musim hujan, banyak perbukitan yang lonsor dan banyak pula jalan yang tergenang air.
Jangankan di musim hujan, di saat cuaca terang, jika anda menggunakan sepeda motor ke Rokan IV Koto, sejumlah tanjakan terjal akan dilalui dan tidak jarang ditemukan sejumlah pedagang yang membawa barang keperluan sehari-hari terpaksa memperbaiki sepeda motornya karena rusak dan tidak mampu mendaki.
Ditambah lagi kebijakan melawan hukum air, yakni menggunduli perbukitan itu atau menanami bukti itu dengan perkebunan sawit (tanaman yang tidak mampu menahan lajunya air), maka sempurnalah ‘kekejaman alam’ itu. Yakni banjir dan longsor di sejumlah ruas Jalan Rokan IV Koto.
Pantauan Riau Pos, jalan menuju Rokan IV Koto akan terus mengalami longsor, karena bukit sekitar jalan banyak yang gundul dan sebagian ditanami kelapa sawit.
Jalan-jalan itu melalui sejumlah bukit yang ‘menjulang’, tentunya ini rawan longsor. Yang bisa dilakukan adalah jangan dilakukan kebijakan ‘melawan air’ yakni menggunduli bukit, dan menanami bukit sepanjang dengan tanaman sawit, tetapi adalah kebijakan ‘ramah air’ menanami bukit-bukit di sisi jalan dengan tanaman yang mampu menyerap air, dan dapat ‘manahan sementara’ air hujan yang turun.
Pengamat lingkungan Prof Dr Adnan Kasri menilai bahwa tata lingkungan di Riau ini belum berpihak pada alur air, diketahui bahwa setiap daerah memiliki alur air yang bermuara ke sungai, jika kebijakan itu dilawan, maka siap-siaplah menuai banjir dan longsor.
Misalnya dalam hal pembangunan jalan, seperti di Rokan IV Koto ini seharusnya mempertimbangkan ancaman lonsor, dan banjir, kalau berlawanan dengan hukum air itu, maka siap-siaplah menuai longsor dan banjir.
Biarkan air itu mengalir ke arahnya, jangan dilawan, kalau dilawan, maka sia-sia pembangunan itu. Bukit digunduli, tentu ini namanya melawan air, sebab air tidak ada yang menahannya, lagi, dia langsur meluncur dan menyebabkan longsor dan banjir.
Air yang meluncur tanpa hambatan itu yang menyebabkan air sungai pun mendadak meluap menjadi air bah, maka jangan heran jika daerah rendah yang dilalui sejumlah sungai di Rokan Hulu. Misalnya dampak dari tingginya intensitas curah hujan hujan di kawasan Rokan Hulu, sebanyak 1.536 rumah warga direndam air bah di sejumlah daerah kecamatan.
Berdasarkan keterangan Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Rohul H Juni Safry SSos MT, Ahad (30/1) bahwa korban banjir tercatat di beberapa kecamatan. Seperti Kecamatan Bonaidarussalam, Rambahsamo, Rambah Hilir, Rambah, dan Kuntodarussalam.
Jumlah 1.536 rumah adalah rumah yang parah terendam banjir, namun sebenarnya jumlah rumah yang terendam banjir lebih dari itu. Hal ini diakui Kadisos Rohul, bahwa laporan sejumlah camat ke dinsos jumlah rumah terendam lebih dari 1.536 rumah.
‘’Data ini kita dapatkan dari camat masing-masing, dari ribuan rumah yang terendam air, hanya 1.536 rumah yang parah direndam air bah,’’ ungkap H Juni Safry.
Kita tidak dapat membayangkan jika hujan melanda daerah ini lebih dari sebulan, sebab hujan sepekan saja menyebabkan ribuan rumah terendam.
Geografis Rokan Hulu sebagai daerah hilir sejumlah sungai, maka sangat wajar sebagai daerah yang pertama kali mengalami banjir. Untuk selanjutnya, biasanya Rokan Hilir yang mengalami banjir, sebab hulu Sungai Rokan ada di Rohul.
Tetapi seharusnya Rohul bisa belajar dari Bogor, dimana Bogor sebagai hilirnya air Sungai Ciliwung di Jakarta, tetapi tidak pernah mengalami banjir separah Rohul. Artinya warga dan Pemkab Bogor berhasil membangun tata kota yang ramah air, bukan ‘melawan air’.
Bukan hanya pemerintah yang melakukan kebijakan ‘ramah air’, tetapi warga pun tetap memperhatikan keseimbangan alam dengan cara mempertahankan pohon-pohon di sekitar rumah dan perkebunan mereka, bahkan sejumlah hotel terpaksa dibongkar, karena dianggap memicu banjir air bah.
Sementara kondisi konstras di Rohul, warga malah menggunduli bukit dan hutan, bahkan sebagian besar menanami tanaman sawit yang tidak mampu menahan air bah. Maka jangan heran, jika di musim hujan wajar saja mengalami banjir.
Sebagai hulu Sungai Rokan, seharusnya Pemkab Rohul dan Rohil saling kordinasi, seperti yang dilakukan Jakarta dan Bogor dalam menjaga keganasan Sungai Ciliwung.
Bayangkan saja, panjang aliran utama Sungai Ciliwung ini adalah hampir 120 Km dengan daerah pengaruhnya (daerah aliran sungai) seluas 387 Km persegi. Wilayah yang dilintasi Ci Liwung adalah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Jakarta. Dari 13 sungai yang mengalir di Jakarta, Ci Liwung memiliki dampak yang paling luas ketika musim hujan karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak perkampungan, perumahan padat.
Jika Bogor dan Jakarta mampu menjaga Ciliwung, mengapa Rohul dan Rohil tidak bisa?
‘Pertemuan’ Membawa Bencana
Gunung Sahilan adalah tempat bertemunya empat sungai. Yakni Sungai Sitingkai, Sungai Lipai, Sungai Subayang dan Sungai Singingi yang seluruhnya bermuara ke Sungai Kamparkiri. Daerah ini sangat subur, makanya sejak lama telah berdiri kerajaan Gunung Sahilan dan sampai kini istananya masih berdiri, walau mulau lapuk tidak terurus.
Tapi istana itu tidak pernah disentuh banjir, walau lokasinya tidak jauh dari Sungai Kamparkiri (tempat bertemunya empat sungai).
Sejak dulu, daerah ini dikenal sebagai daerah yang damai, aman dari banjir, dan makmur. Hal ini dibuktikan keberadaan Kerajaan Gunung Sahilan yang termashur itu.
Tapi sekarang semua sudah berubah. Wilayah yang aman ini berubah menjadi lokasi langganan banjir. Sejatinya pertemuan empat sungai ini membawa berkah, tetapi sekarang membawa derita.
Sungai tidak seramah dulu lagi. Di musim kemarau, sungai mengering, seperti tidak berbentuk sungai, dan di musim hujan seperti pada Jumat (28/2) sampai Senin (31/1) lalu, ribuan warga merana akibat meluapnya Sungai Kamparkiri.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kampar bahwa banjir telah merendam empat desa. Sejumlah fasilitas umum, ratusan hektare kebun sawit dan karet, dan 1.005 jiwa yang menghuni ratusan rumah terendam.
Empat desa yang yang terkena banjir, yaitu Desa Gunung Sahilan, Desa Sahilan Darussaalam, Kebun Durian dan Desa Subarak.
Di Desa Gunung Sahilan, jumlah rumah yang terendam banjir terdiri dari 80 Kepala Keluarga (KK) dan 239 jiwa, dua unit musala, 17 sumur air bersih, 97 hektare sawit dan 74 hektare karet.
Di Desa Sahilan Darussalam, rumah yang terendam sebanyak 111 unit yang terdiri dari 112 KK dan 335 jiwa, kantor desa, dua unit musala, 16 sumur air bersih, 70 hektare sawit dan 85 hektare karet.
Kemudian, di Desa Kebun Durian, yang terendam banjir sebanyak 72 unit rumah, 73 KK dan 221 jiwa, satu unit musala, satu unit Taman Kanak-kanak (TK), lima unit sumur air bersih, 81 hektare sawit dan 126 hektare karet. Di Desa Subarak, 65 unit rumah 70 KK dengan 201 jiwa, 40 hektare sawit dan 128 hektare karet. ‘’Wilayah ini setiap tahun jadi langganan banjir,’’ ujar Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kampar Ir Fauzi Nurta MT, belum lama ini.
Pertemuan empat sungai itu tidak lagi menjadi pertemuan yang membawa berkah, tetapi pertemuan yang membawa bencana.
Padahal hujan yang hanya satu pekan, tetapi banjir menggenani ratusan rumah dan menyebabkan ribuan warga merana. Tapi yang mengherankan mengapa istana Gunung Sahilan itu tidak pernah tersentuh banjir. Seharusnya warga setempat bisa belajar dari struktur bangunan istana itu?
Seharusnya warga belajar dari struktur bangunan tua itu yang ramah lingkungan. Bangunan ini disebut ramah lingkungan sebab, tidak disemen semuanya, ada ruangan di bawah yang menyerap air. Sementara warga sekitar, membangun rumah dengan struktur betol dan menyemen seluruhnya, maka jangan heran kalau di musim hujan, rumah panggung lebih aman daripada rumah semen.
Namun tidak semua rumah di wilayah ini disemen, masih ada ditemukan rumah panggung, maka bersyukurlah mereka yang memiliki rumah panggung ini. Sebab aman dari banjir.
Kearifan masa lalu seharusnya perlu mendapat perhatian bagi generasi sekarang ini. ‘’Rumah kami ini dah tua, tapi syukurlah aman dari banjir,’’ ujar Mak Andak pada Riau Pos, Selasa (2/2) lalu.
Struktur bangunan rumah Mak Andak memang modern, tetapi bangunan panggung ini aman dari banjir. Jika tidak musim banjir, kolong rumahnya digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan tempat bermain anak-anak. Kalau musim banjir, rumah pun aman dari banjir.
Mak Andak bangga dengan rumahnya, yang memang dianggapnya sebagai bentuk rumah ideal. Walau sebagian kalangan menilai bentuk rumah panggung ini dianggap kuno. Umumnya warga merasa bangga jika rumah mereka dibangun dengan meruntuhkan rumah panggung dan merendahkan bangunan, kemudian disemen dengan bentuk permanen. Bahkan pemerintah pun menggalakkan program semenisasi, bahkan bedah rumah pun dilakukan dalam bentuk semenisasi.
Menurut Mardianto Manan MT, pengamat tata perkotaan, bahw bangunan rumah panggung itu yang seharusnya dicontohkan pemerintah, bukan semenisasi. Struktur rumah panggung, dia aman dari banjir, dan tidak menutupi seluruh bagian rumah, sehingga di saat musim banjir, tanah di bawah bangunan tetap menyerap air.
‘’Yang kita alami sekarang ini, kita bangga kalau rumah disemen seluruhnya. Akhirnya jika semua melakukan seperti itu, air hujan akan mengalir ke sungai seluruhnya, sebab tidak ada lagi tanah resapan,’’ paparnya.
Topografis Gunung Sahilan selain memang rawan banjir, juga sepanjang sisi kanan dan kiri sungai habis ‘dijarah’ perkebunan sawit. Pengusaha dan warga tidak lagi memperdulikan aturan jarak tanam, bahwa lima ratus meter dari sungai tidak boleh ditanami sawit. Bahkan di bibir sungai pun ditanami sawit, tentunya air yang turun dari pegununungan di Singingihilir dan Kamparkiri di saat musim hujan langsung saja meluncurk ke sungai, sementara sungai tidak mampu menahan air, maka jadilah banjir.
Tanaman sawit yang tidak mampu menahan air menyebabkan sedimentasi sungai —proses pengendapan material yang dibawa air sungai kecil— ini menyebabkan struktur sungai semakin dangkal. Maka jangan heran di saat musim hujan, wilayah Gunung Sahilan menjadi langganan banjir.
Kebijakan dan prilaku pemerintah dan warga memang sudah bertentangan dengan hukum air, maka siapa yang melawan air, akan menuai banjir.
Bertuah jadi ‘Berkuah’
Pekanbaru yang dulunya hanya kota kecil pinggir Sungai Siak, kini berkembang menjadi kota metropolitas. Namun keberadaan ini kota ini tidak terlepas dari ‘peradaban sungai’ yang mengepitnya, yakni Sungai Siak dan Kampar (Teratak Buluh).
Anehnya kota ini kalau hujan sedikit saja, langsung air menggenang, yang sering diplesetkan dengan kata ‘barkuah’. Padahal dua sungai siap menampung air di kota ini, tapi karena tidak memiliki master plan, sehingga air tetap saja menggenangi sejumlah ruas jalan kota ini.
Seharusnya, air hujan yang tumpah di kota bertuah ini, langsung meluncur ke Sungai Siak atau Sungai Kampar. Namun kenyataannya, air itu tetap saja menggenang di tengah kota.
Topografis Kota Pekanbaru yang memiliki dua sungai di sini kanan kirinya, merupakan anugerah dari Allah yang seharusnya disyukuri, tapi pembangunan drainasi itu selalu saja melawan hukum air. Misalnya persimpangan jalan Soebrantas-HM Amin airnya dialirkan ke Sungai Siak, tetapi malah dialirkan ke anak sungai di Sungai Kampar, maka kebijakan melawan alur air ini pun setiap hujan menuai banjir.
‘’Pembangunan drainase kita bertentangan dengan ‘hukum air’ itu sendiri, misalnya bentuk drainasenya kecil dipaksakan untuk menampung air yang melimpah, malah di atas drainase itu dibangunan pulak ruko atau kedai yang terbuat dari papan. Ditambah lagi air dialirkan ke arah yang salah. Maka sempurnalah kesalahan pembangunan drainase kota ini,’’ ujar Dosen Teknik Sipil UIR dan juga pengamat tata kota H Ardiansyah MT, Selasa (2/2).
Apa yang disampaikan pangamat tata perkotaan ini memang benar, sepanjang jalan kota ini banyak ditemukan pedagang yang berjualan, makanya drainase ditutupi papan, dan tidak sedikit bangunan semi permanen yang berdiri di atasnya.
Demikian juga pembangunan perumahan yang semakin ‘menggila’, menyebabkan sejumlah wilayah resan air diubah menjadi perumahan. Seluruh rawa habis ditimbun menjadi ruko atau bangunan megah lainnya seperti rumah sakit dan perkantoran.
Masih ingat di Jalan Kapling tepatnya di Rumah Sakit PMC, dulunya wilayah ini lembah, sekarang sudah berdiri bangunan megah dan sejumlah ruko berderet, maka air pun tidak lagi bisa meresap, langsung saja meluncur ke sungai, maka siap-siaplah warga di sekita sungai itu akan menuai banjir di musim hujan. Tapi herannya pemerintah memberi izin Amdal, IMB dan izin lainnya, saat pembangunan sejumlah wilayah resapan air itu. Bahkan saat ini pembangunan perumahan terus berlanjut.
Masih banyak wilayah resapan air lainnya yang seharusnya dibiarkan apa adanya, atau bisa dikelola menjadi kolam pancing, tetapi sekarang sudah berubah menjadi bangunan yang ditutupi semen.
Usaha pemerintah membuat Perda sumur resapan yakni Perda No 10/2006 hanya isapan jempol belaka. Perda tinggal Perda, secara ekonomis tentu warga lebih memilik membuat sumur bor daripada membangun sumur, selain tidak praktis, rumah RSS sudah terlalu sempit, kalau dibangun lagi sumur, maka tinggalkan rumah itu untuk sumur dan ruang tamu. Lalu tidur dimana?
Saat ini sedang diusulkan master plan penanganan banjir di Kota Pekanbaru, yakni kerja sama antara Pemprov dan Pemko, namun agaknya masih sulit diwujudkan. Ego antar-pemimpin akibat gesekan politik selama pemilukada agaknya berpengaruh terhadap pembangunan kota ini. Bahkan saat wartawan menanyakan master plan penanganan banjir, Dinas PU Pekanbaru tidak mengetahui.
‘’Saya malahan belum menerima laporan mengenai masterplan dari Provinsi Riau. Itu hasil dari hearing DPRD Riau bersama Pemprov, dan saya sangat setuju dengan itu,” ucap Kepala Dinas PU Kota Pekanbaru, Dedi Gusriadi, Jumat (4/2).
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Pemprov sejak awal tidak mengajak Pemko? Sebab Pemko yang memahami detail masalah banjir di kota ini.
Agaknya semua kebijakan kita masih bermuara pada propyek oriented, padahal banjir sekejap lalu saja kata Kepala Dinas Sosial Riau Zaini Ismail telah menyebabkan korban 22 ribu jiwa. Lalu bagaimana jika hujan mengguyur sejumlah daerah Riau selama sebulan? Hukum Archimedeslah jawabannya, banjir akan meluas disebabkan tidak ada lagi resapan air, sementara tekanan air yang datang melimpah tidak tertahan. Padahal dalam doa kita sering ‘bermunajat’ agar hujan yang turun di negeri menjadi berkah, namun dalam kenyataannya air hujan itu ‘menitah’ banjir.***

No comments:

Post a Comment