Saturday, September 19, 2009

Tempe dan Peyek Menu Wajib, Orang Jawa Sulit Bersatu

Tempe dan Peyek Menu Wajib, Orang Jawa Sulit Bersatu
Medan 17 September 2009
SAHUR: Supratikno (kanan) sahur bersama istri dan anaknya di rumahnya Jalan Menteng Indah Raya, Rabu (16/9).
Di penghujung Ramadan tim Sumut Pos sahur di rumah Ketua DPD Paguyuban Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) Medan, Supratikno SE.
Herdiansyah, Medan
Rabu (16/9) pukul 03.10 WIB, suasana jalanan Kota Medan masih lengang. Tim Sumut meluncur menuju kediaman Supratikno SE di Jalan Menteng Indah Raya Blok AI/2, Komplek Menteng Indah, Medan Amplas.
Tak sulit menemukan kediaman pengusaha jasa angkutan itu. Saat mobil yang ditumpangi tim Sumut Pos memasuki gerbang komplek perumahan, petugas sekuriti langsung menyapa. “Dari Sumut Pos ya? Ayo saya antarkan,” kata petugas sekuriti itu.
Tak sampai satu menit, tim Sumut Pos tiba di kediaman Wakil Ketua Pemenangan Pemilu DPD PDIP Sumut itu. karena memang jaraknya berdekatan dengan pos sekuriti. Pintu rumah berwarna putih itu langsung terbuka. Supratikno langsung menyambut tim sahur Sumut Pos. Dia langsung membukakan pintu pagar dan mempersilakan tim Sumut Pos masuk ke rumah.
”Kita ngobrol aja dulu. Sahur masih lama. Saya dan keluarga memang selalu sahur di akhir waktu, mengambil sunnah rasul. Rasulullah SAW memang menganjurkan makan sahur di akhir waktu, makanya paling cepat kami sahur sekira pukul 04.30 WIB,” katanya.
Menunggu menu sahur selesai disiapkan isterinya, Mufida Noor SH, Supratikno yang kini sedang menyelesaikan program S-2 Magister Manajemen di USU itu mengajak tim Sumut Pos ngobrol di teras samping, dekat kolam ikan. Pembicaraan pun mengalir. Banyak hal yang menjadi topik perbincangan. Mulai soal Pilkada Medan 2010 hingga keresahannya terhadap etnis Jawa yang mulai kehilangan identitas.
“Nggak, saya nggak maju, walau banyak kawan-kawan yang minta saya maju. Tapi lihat nantilah. Soal baliho saya yang ada di beberapa tempat di Kota Medan, itu bukan untuk kepentingan Pilkada, tapi untuk menunjukkan kepada publik tentang eksistensi organisasi Pujakesuma,” katanya.
Kenapa tak berminat meramaikan Pilkada Medan 2010, bukankah dominasi etnis Jawa di Medan paling besar? “Ya, paling besar, saat ini saya pikir jumlah etnis Jawa di Medan sudah mencapai 38 persen dari total penduduk. Tapi itu bukan berarti gampang meraih dukungan dari etnis Jawa. Inilah sulitnya, kita paling besar, tapi belum bisa mewarnai. Ini karena kita sulit untuk bersatu,” keluhnya.
Supratikno mengaku sedang menggagas pertemuan dengan sejumlah tokoh Jawa di Medan. Berbagai persoalan akan dibicarakan, terutama tentang nasib etnis terbesar ini dan segala persoalannya. Diharapkan dari pertemuan itu akan diperoleh titik masalahnya.
“Rencananya saat lebaran nanti sekalian acara halal bi halal akan dilakukan pertemuan itu,” katanya.
Masih persoalan Pilkada, Supratikno sangat kecewa dengan pernyataan beberapa pihak tertentu yang menyatakan, calon pemimpin Kota Medan mendatang harus putra daerah. Apalagi kriteria putra daerah yang dimaksudkan itu mengarah kepada etnis tertentu.
“Saya dan banyak tokoh lain di Medan lahir dan besar di Medan, apakah kami bukan putra daerah, apalagi orangtua kami juga lahir di Medan. Lalu bagaimana dengan etnis Tionghoa yang sejak abad ke-17 telah berada di Medan, apakah mereka bukan putra daerah?” katanya.
Di antara seabrek bakal calon Wali Kota Medan yang muncul, siapa sebenarnya yang paling layak diberi kesempatan? “Semua layak diberi kesempatan, terutama yang berani bertindak tegas, karena hanya orang yang tegas yang bisa memimpin kota ini. Saya tak mau menyebut nama, tapi sepertinya dari kalangan akademisi layak diberi prioritas. Pasalnya, sebelumnya Wali Kota Medan ada yang berlatarbelakang birokrat, militer, dan pengusaha, saya pikir kali ini layak juga dari kalangan akademisi,” tukasnya.
Tanpa ada dimoderatori, tema pembicaraan kemudian berpindah kepada persoalan kota ini. Sebagai warga Medan, dia mengaku sangat resah dengan persoalan banjir, lalulintas, sampah dan buruknya penataan kota. “Makanya saya bilang, ke depan wali kota harus orang yang berani bertindak tegas menegakkan peraturan,” katanya.
Kembali kepada jabatannya sebagai Ketua DPD Pujakesuma, Supratikno bercita-cita membangun pendopo atau semacam balai budaya yang bisa dijadikan generasi muda Jawa mengenali budaya leluhurnya. “Sebelum saya mengakhiri jabatan ini saya ingin bangunan pendopo itu sudah berdiri, dananya sudah ada, kita minta kepedulian beberapa tokoh, cuma lokasinya sedang kita cari, kalau bisa di tengah kota,” bilangnya.
Keberadaan pendopo tersebut, paling tidak menjadi jawaban dari keresahannya atas krisis identitas etnis Jawa yang sedang terjadi. “Pendopo itu bukan hanya menjadi tempat berkumpul, tapi menjadi tempat mengenal dan belajar seni dan kebudayaan Jawa.
Saat ini sangat banyak orang Jawa yang tak lagi mengenal kuda kepang, tari gambyong, ludruk, bahkan banyak orang Jawa yang tak lagi bisa berbahasa Jawa. Saya sangat prihatin dengan kondisi ini,” sebutnya.
Pembicaraan terhenti, saat tanda sahur akan dimulai disampaikan dari dapur. Supratikno kemudian mempersilakan tim Sumut Pos untuk menuju ruang makan. Anak semata wayangnya, Noviandri Rizky Pratama, juga ikut bergabung di meja makan. “Ini anak kami satu-satunya, saat ini kelas III SD di Shafiyatul Amaliyah. Puasanya udah penuh, belum ada yang bolong,” katanya.
Makan sahur pun dimulai, Noviandri yang terlihat masih bertarung melawan kantuk, makan sahur dengan disuapi ibunya. “Biasa aja, nggak ada menu istimewa. Paling tempe goreng dan peyek yang wajib ada di meja makan, maklum orang Jawa,” kata Supratikno.
Selain kedua menu tersebut, sambal udang dan oseng-oseng teri dan sop daging juga tersedia. “Kami tidak pernah menyisakan makanan, menu yang dimasak hari itu, harus habis,” katanya lagi.
Tak lama usai makan sahur, tanda imsak pun berbunyi. Tim Sumut Pos kemudian pamit hendak menunaikan salat subuh di masjid terdekat. Supratikno mengantar sampai ke depan rumahnya yang dipenuhi berbagai pohon buah-buahan. Di antara semua pohon buah di halaman rumahnya, kami sangat tertarik dengan tampilan dua pohon durian montong yang hanya setinggi dua meter lebih. “Pohon durian sekecil ini sudah berbuah. Satu juring hanya ada satu camplung. Wah rasanya enak banget,” katanya. (*)

No comments:

Post a Comment