Friday, December 4, 2009

Karut-Marut di Belantara Riau














Rabu, 2 Desember 2009
Laporan wartawan Kompas Syahnan Rangkuti
Kewenangan absolut

KOMPAS.com — Penolakan daerah (Riau) terhadap kebijakan pusat dalam bidang kehutanan sebenarnya bukan semata-mata karena persoalan hukum pembalakan liar yang masih diperdebatkan. Disengaja atau tidak, Zulkifli jelas mengkritik kewenangan pusat terhadap pengelolaan hutan di daerah yang terlalu besar. Pusat nyaris dapat menentukan seluruh kebijakan dan wewenang dalam pengelolaan hutan yang terdapat di daerah.

Dari 59 wewenang yang ada dalam pengelolaan kehutanan, daerah hanya memiliki satu kewenangan final, yakni memberikan izin industri dengan kapasitas lebih kecil dari 6.000 meter kubik kayu per tahun. Lebih dari kapasitas itu, izin sudah berpindah ke tangan Menhut.

Sebanyak 58 wewenang lainnya, daerah dapat dikatakan sebagai komponen pelengkap penderita.

Daerah, misalnya, dibagikan porsi memberi rekomendasi atas izin yang akan dikeluarkan Menhut. Terakhir, satu-satunya wewenang daerah yakni izin dinas kehutanan untuk memberikan RKT dapat diambil alih Menhut lagi. Kewenangan Menhut begitu absolut, sementara daerah diwajibkan untuk mengawasi kerusakan hutan.

Kewenangan Menhut dalam mengatur hutan Indonesia jelas tidak sesuai dengan semangat era otonomi daerah yang sudah berjalan sewindu ini. Otonomi di bidang kehutanan ternyata sudah hilang dan berganti dengan pola orde baru yang sentralistis.

Definisi

Kritik tajam terhadap pemanfaatan hutan alam yang diatur oleh Menhut juga disampaikan oleh pakar lingkungan dan pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Sofyan P Warsito. Dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Islam Riau bersama Pekanbaru Pos yang bertajuk Problematika Hukum dan Pelaksanaan Kebijakan Usaha Kehutanan di Indonesia, Sofyan mengungkapkan, filosofi, kebijakan, dan pelaksanaan pembangunan kehutanan di Indonesia banyak yang saling bertentangan dan tidak sejalan.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, misalnya, hutan produksi didefinisikan memiliki fungsi utama memproduksi hasil hutan, terutama kayu. Definisi itu adalah sebuah kesalahan besar alam pengelolaan kehutanan di Tanah Air. Dengan begitu, fungsi hutan sebagai komponen keseimbangan lingkungan atau komponen ekosistem menempati posisi sekunder.

Padahal, fungsi hutan yang utama, baik hutan produksi, hutan konservasi, maupun hutan lindung adalah sebagai komponen ekosistem. Pengabaian terhadap fungsi hutan sebagai komponen ekosistem atau penyangga kehidupan adalah yang menjadi penyebab kerusakan fungsi hutan selama ini.

Apabila komponen ekosistem diintegrasikan dalam UU Kehutanan, maka definisi hutan produksi semestinya adalah hutan dan kawasan hutan yang selain berfungsi sebagai komponen ekosistem, apabila dikelola dengan baik, maka juga mampu menghasilkan hutan kayu dengan lestari. "Dengan demikian, hutan produksi secara filosofis mendapat dua mandat sekaligus, yakni berperan melindungi keseimbangan dan mampu menghasilkan produksi kayu secara lestari," kata Sofyan.

Ia mengusulkan, dengan fungsi utama komponen ekosistem, di setiap pulau di negara ini harus ditetapkan kawasan hutan tetap berdasarkan perlindungan kawasan tangkapan air. Kawasan hutan tetap atau hutan negara ini tidak boleh berubah meskipun terjadi perubahan rencana tata ruang wilayah.

Di lapangan, perbedaan pandangan antara Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan Riau kembali membuat benang kusut pengelolaan hutan Riau. Muncul pertanyaan, mungkinkah aparat kehutanan di daerah bersedia mengawasi hutan Riau dengan sungguh-sungguh apabila seluruh kewenangan sudah diambil alih oleh Menhut dari Jakarta. Pusat memiliki wewenang mengatur pengelolaan hutan di mana saja, sementara daerah disuruh mengawasi dengan menggunakan dana yang harus diambil dari APBD setempat.

Tidak heran bila kondisi hutan Riau saat ini mulai bergerak kembali ke titik semula sebelum aksi heroik Sutjiptadi. Kepolisian Daerah Riau yang dipimpin oleh Brigjen Adjie Rustam Ramdja pun seakan kesulitan menempatkan posisi baru polisi di tengah kondisi baru pembalakan liar. Belum ada pengawasan terpadu dan terencana dari instansi kepolisian untuk mengawasi kerusakan hutan. Bahkan, antara polisi dan dinas kehutanan bekerja tumpang tindih dan seakan berebut mangsa dalam melihat kayu tangkapan di lapangan.

Itulah potret kondisi kehutanan Riau (Indonesia) saat ini.


(Selesai)

No comments:

Post a Comment