Hamong Santono [1]
Pendahuluan
Perdebatan mengenai privatisasi dan komersialisasi air masih terus berlangsung sampai saat ini. Privatisasi dan komersialisasi air diawali dengan munculnya Dublin Principles yang menekankan pentingnya perubahan cara pandang terhadap air dari barang public menjadi barang ekonomi.
Pendahuluan
Perdebatan mengenai privatisasi dan komersialisasi air masih terus berlangsung sampai saat ini. Privatisasi dan komersialisasi air diawali dengan munculnya Dublin Principles yang menekankan pentingnya perubahan cara pandang terhadap air dari barang public menjadi barang ekonomi.
Secara
konseptual ada perbedaan definisi antara privatisasi dan
komersialisasi. Privatisasi mencakup transfer operasi sampai dengan
transfer kepemilikan dari pemerintah kepada perusahaan swasta. Sayangnya
definisi privatisasi di Indonesia dipersempit berdasarkan UU No.19 2003
tentang BUMN, dimana privatisasi hanyalah didefinisikan sebagai
penjualan saham. Sedangkan komersialisasi merupakan proses perubahan
pengelolaan barang atau jasa yang semula mengikuti aturan sosial menjadi
mengikuti aturan pasar. Pengelolaan air berbasis komunitas baik untuk
irigasi maupun air bersih merupakan salah satu contoh model pengelolaan
yang mengikuti non market social rules, sedangkan air minum dalam
kemasan dan PDAM merupakan model pengelolaan yang mengikuti aturan
pasar. Dengan demikian komersialisasi tidak harus terjadi melalui
privatisasi atau dengan kata lain komersialisasi tidak harus datang dari
private sektor.
Lebih
lanjut dalam konteks privatisasi air terdapat dua aspek yang terkait,
service management dan resources management. Service management mengacu
pada the provision of infrastructure seperti jaringan pipa distribusi,
fasilitas pengolahan air, sumber pasokan air (supply sources) dan
sebagainya, sedangkan resources management mengacu pada pengalokasian
air antara sektor pertanian, industri, rumah tangga, isu-isu polusi dan
sebagainya. [2]
Sejarah dan Konteks Reformasi Irigasi di Indonesia
Pada tahun 1999, perubahan besar terjadi di sektor sumberdaya air di Indonesia, dengan munculnya kebijakan untuk melakukan reformasi sektor sumberdaya air di Indonesia yang didukung oleh Bank Dunia melalui WATSAL. Seperti sudah diungkapkan di atas, ada dua aspek terkait yaitu manajemen sumberdaya air dan manajemen layanan. Kedua aspek tersebut menjadi bagian dari reformasi sumberdaya air di Indonesia. Salah satu bagian dari dua aspek tersebut adalah reformasi di sektor irigasi.
Sejarah dan Konteks Reformasi Irigasi di Indonesia
Pada tahun 1999, perubahan besar terjadi di sektor sumberdaya air di Indonesia, dengan munculnya kebijakan untuk melakukan reformasi sektor sumberdaya air di Indonesia yang didukung oleh Bank Dunia melalui WATSAL. Seperti sudah diungkapkan di atas, ada dua aspek terkait yaitu manajemen sumberdaya air dan manajemen layanan. Kedua aspek tersebut menjadi bagian dari reformasi sumberdaya air di Indonesia. Salah satu bagian dari dua aspek tersebut adalah reformasi di sektor irigasi.
Jika
dilihat lebih dalam, reformasi sektor irigasi sudah dilakukan sudah
dilakukan sejak tahun 1987. Dengan alasan keterbatasan dana, pemerintah
pada tahun 1987 melakukan reformasi kebijakan di sektor irigasi yang
dikenal dengan Irrigation Operation and Maintenance Policy (IOMP).
Kebijakan tersebut merupakan hasil dari dialog kebijakan (policy
dialogue) antara pemerintah Indonesia dan Bank Dunia serta ADB yang
tidak lain adalah prakondisi untuk memperoleh dana pinjaman baru di
sektor irigasi. Reformasi kebijakan sektor irigasi yang dibiayai oleh
Bank Dunia melalui The First Irrigation Subsector Project (ISS I), ISSP
II, dan Java Irrigation and Water Resources Management Project (JIWMP),
pada intinya memperkenalkan kebijakan baru di sektor irigasi yaitu
turnover management, irrigation service fee dan efficient operational
dan pemeliharaan . Sebagai bagian dari reformasi pengelolaan irigasi,
petani dalam hal ini P3A diharapkan dapat berperan aktif untuk ikut
dalam pengelolaan irigasi. P3A merupakan sebuah organisasi pengelola
irigasi yang dibentuk oleh pemerintah (top-down approach) sebagai
penggganti organisasi pengelola irigasi tradisional seperti Ulu-Ulu,
Raksa Bumi, Tudung Sipulung dan sebagainya.
Dalam
perjalanannya IOMP dianggap gagal, salah satu persoalannya adalah
masalah kelemahan manajemen, yang disebabkan fokus pembangunan irigasi
lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat teknis dan fisik bangunan
irigasi, sedangkan faktor-faktor sosial dan institusional yang bersifat
spesifik lokal luput dari perhatian. Kondisi tersebut membawa implikasi
pada marginalisasi kemampuan petani dalam mengelola irigasi dan
menjadikan P3A sebagai perpanjangan tangan birokrasi pada waktu itu.
Pada
tahun 1999 Presiden mengeluarkan Inpres No.9 tahun 1999 tentang
Pembaruan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI) yang berisi isntruksi
kepada Menteri Pekerjaan Umum untuk (1) melakukan koordinasi
mempersiapkan kerangka peraturan dan perundangan dan langkah-langkah
yang perlu dilakukan untuk memperbaharui kebijakan pengelolaan irigasi,
(2) Pembaruan Kebijakan Pengelolaan Irigasi yang dimaksud meliputi (a)
pengaturan kembali fungsi dan tugas lembaga pengelola irigasi, (b)
pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air (P3A), (c) Penyerahan
Pengelolaan Irigasi kepada P3A, (d) Pengaturan Pembiayaan Pengelolaan
Irigasi, (e) Keberlanjutan Pengelolaan Sistem Irigasi.
Berdasarkan
komponen-komponen tersebut kemudian pemerintah menerbitkan PP No.77
tahun 2001 tentang Irigasi. Terbitnya PP tentang irigasi ini kemudian
menjadi polemik ketika pada tahun 2003 pemerintah (Departemen
Kimpraswil) mengumumkan “moratorium” pemberlakuan PP ini, dengan alasan
pada waktu itu masih ada pembahasan soal RUU Sumberdaya Air, pemindahan
kewenangan pengelolaan irigasi akan membebani petani terutama petani
miskin . Hal ini menimbulkan “kekecewaan” bagi kelompok pendukung PKPI ,
dengan alasan bahwa pengumuman “moratorium” tersebut tidak dilakukan
secara tertulis akan tetapi hanya perintah lisan yang disampaikan dalam
rapat kerja Kimpraswil atau rapat-rapat internal lainnya dan tidak
pernah dalam bentuk bahan tertulis dan menunjukkan bahwa pemerintah
ragu-ragu dalam upaya memberdayakan petani. Dan dengan berlakunya UU
No.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, kebijakan irigasi di Indonesia
kembali seperti semula, dimana tanggung jawab pengelolaan dan
pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder berada di tangan
pemerintah, sedangkan jaringan tersier menjadi tanggung jawab petani.
Dinamika Kebijakan Irigasi dan Implikasinya
Sejak Indonesia tidak mampu lagi mencapai swasembada pangan, berbagai perubahan kebijakan terus dilakukan pemerintah dalam pengelolaan irigasi. Alasan utama yang muncul perubahan kebijakan tersebut adalah keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah. Namun jika dikaji lebih dalam, perubahan tersebut juga tidak terlepas perubahan model kebijakan irigasi pada tingkatan internasional. Dominasi pemerintah dalam pembangunan irigasi pada masa revolusi hijau dipandang sebagai penyebab utama kegagalan pembangunan irigasi termasuk di Indonesia. Salah satu dari kegagalan tersebut adalah ekspansi besar-besaran daerah irigasi tidak diimbangi dengan ketersediaan dana untuk melakukan operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi. Dengan demikian pemindahan tanggung jawab operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi dari pemerintah kepada petani (P3A) dipandang sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan sektor irigasi. Konsep inilah yang sebenarnya diadopsi oleh pemerintah Indonesia di sektor irigasi atau yang lebih dikenal sebagai Irrigation Management Transfer (IMT), yang menempatkan P3A sebagai aktor utama dalam operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Sejak Indonesia tidak mampu lagi mencapai swasembada pangan, berbagai perubahan kebijakan terus dilakukan pemerintah dalam pengelolaan irigasi. Alasan utama yang muncul perubahan kebijakan tersebut adalah keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah. Namun jika dikaji lebih dalam, perubahan tersebut juga tidak terlepas perubahan model kebijakan irigasi pada tingkatan internasional. Dominasi pemerintah dalam pembangunan irigasi pada masa revolusi hijau dipandang sebagai penyebab utama kegagalan pembangunan irigasi termasuk di Indonesia. Salah satu dari kegagalan tersebut adalah ekspansi besar-besaran daerah irigasi tidak diimbangi dengan ketersediaan dana untuk melakukan operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi. Dengan demikian pemindahan tanggung jawab operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi dari pemerintah kepada petani (P3A) dipandang sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan sektor irigasi. Konsep inilah yang sebenarnya diadopsi oleh pemerintah Indonesia di sektor irigasi atau yang lebih dikenal sebagai Irrigation Management Transfer (IMT), yang menempatkan P3A sebagai aktor utama dalam operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Salah
satu prasyarat yang dibutuhkan untuk menjalankan IMT ini adalah hak
guna air (water use rights). Bank Dunia sendiri mendefinisikan hak-hak
irigasi dalam tiga kategori yaitu management kontrol, fasilitas fisik
dan air. Khusus hak atas air (water rights) irigasi adalah seberapa
banyak air yang dapat diberikan kepada petani untuk menjamin kecukupan
air bagi lahan petani anggota P3A lainnya. Pada intinya IMT mendorong
adanya transfer otoritas pengambilan keputusan dalam pengelolaan
irigasi kepada P3A.
Beberapa
studi terhadap IMT menunjukkan dampak yang positif baik terhadap petani
maupun keberlajutan system irigasi. Hal ini meliputi perbaikan
distribusi air yang adil kepada petani dan meningkatnya partisipasi
petani dalam proses pengambilan keputusan. Namun studi lain juga
menunjukkan bahwa IMT berdampak negatif, antara lain rendahnya skala
ekonomi P3A untuk menyediakan layanan sesuai dengan sistem yang ada,
petani juga diminta untuk membayar jasa air lebih mahal tanpa adanya
perbaikan dan efisiensi layanan. Dan yang terpenting sebenarnya adalah
bahwa IMT memperkenalkan P3A sebagai sebagai langkah awal untuk merubah
sistem pertanian subsisten menjadi tanaman yang bersifat komersial.
Dengan tanaman komersial dan ketersediaan pasar petani kecil akan mampu
membayar iuran kepada P3A untuk operasional dan pemeliharaan serta
perbaikan jaringan irigasi. Dan pada akhirnya pemerintah dapat
menghilangkan subsidi maupun pengeluaran yang terkait dengan pembangunan
irigasi.
Hal
lain yang juga perlu dicermati adalah ketidakjelasan status jaringan
irigasi di Indonesia. Jika jaringan irigasi dipandang sebagai barang
publik (public goods), seharusnya petani tidak dibebankan untuk membayar
biaya jasa layanan air irigasi. Tetapi jika jaringan irigasi dipandang
sebagai common property goods , maka petani harus membayar jasa layanan
air tersebut. Persoalannya dengan kebijakan irigasi sekarang adalah ada
dua penyedia layanan jaringan irigasi yaitu pemerintah dan P3A dan
keduanya berhak untuk menarik jasa layanan air tersebut kepada petani,
yang tentu saja membawa implikasi pada semakin beratnya beban petani.
No comments:
Post a Comment