Wednesday, December 15, 2010

Menelusuri Tradisi Perang Suku di Pedalaman Mimika Papua

Menelusuri Tradisi Perang Suku di Pedalaman Mimika Papua

Dipicu Dendam Antarkeluarga atau Kasus Perselingkuhan
Perang antarsuku seakan masih menjadi tradisi di beberapa daerah
pedalaman Papua. Termasuk perang di Kelurahan Kwamki Lama, Distrik Mimika Baru,
Kabupaten Mimika, antara suku Dani dan suku Damal . Apa
pemicunya?
Laporan S AMBING dan KISS RG KOIBUR, Timika

DI wilayah Kabupaten Mimika ada tujuh suku. Mereka adalah Amungme,
Kamoro, Dani, Damal, Nduga, Mee, dan Moni. Biasanya, kelompok-kelompok ini
dipisahkan oleh letak geografis. Namun, bisa jadi, sebuah desa atau distrik
ditinggali lebih dari satu suku.

Suku Kamoro, misalnya, tinggal di dataran rendah hingga bagian pantai
Mimika. Suku Amungme banyak mendiami daerah pegunungan. Kedua suku tersebut
banyak disebut orang sebagai suku asli Mimika. Lima suku lain datang dari
wilayah kabupaten sekitar Mimika.

Suku Dani berasal dari bagian barat Kabupaten Jayawijaya (Wamena). Suku
Damal berasal dari Mulia, pertengahan antara Kabupaten Jayawijaya dengan
Kabupaten Paniai.

Kepala Suku Dani, sekaligus anggota DPRD Mimika, Philipus Wakerwa kepada
JPNN mengungkapkan, pribadi keras dan tegas yang menjadi ciri khas warga
pribumi tidak terlepas dari pengaruh topografi alam dan pola hidup di daerah
pedalaman.

Akibatnya, saat berhadapan dengan perkembangan daerah yang cukup
signifikan, mereka mengalami keterkejutan budaya (cultural shock). Karena itu,
kuat kesan bahwa warga pedalaman Papua resistan dengan perubahan. Bahkan,
sering mereka menyikapinya dengan emosional.

''Ada dua persoalan yang bisa memicu warga angkat panah. Balas dendam
karena anggota keluarganya disakiti atau kasus perselingkuhan. Biasanya,
perselingkuhan bisa di dalam kerabat atau dengan suku lain," kata Philipus.

Philipus mengatakan, sebagian besar warga pedalaman belum melek hukum.
''Hampir semua warga Dani di sini (Mimika, red) berasal dari daerah pedalaman,
khususnya lembah Baliem (Kabupaten Jayawijaya). Jadi, ketika berhadapan dengan
keharusan mengikuti hukum positif, sangat sulit," ujarnya.

Mereka lebih taat kepada hukum adat daripada hukum nasional. ''Yang lebih
mendominasi pikiran mereka adalah aturan adat. Ini juga terbentuk karena hidup
di pedalaman penuh tantangan. Bukan hanya alam yang keras, tuntutan mencari
nafkah mengharuskan mereka berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun naik turun
gunung dan lembah. Jangan heran apabila watak masyarakat pribumi keras dan
tegas,'' sambung Philipus.

Dia kemudian mencontohkan, kebiasaan yang sekarang ini masih terpelihara
pada suku Dani yang berkaitan dengan pernikahan. Biasanya, seorang pria yang
ingin berkenalan dengan wanita harus membangun komunikasi dengan keluarga dekat
wanita tersebut.

Jika tawaran itu diterima, perempuan bersangkutan melakukan apa yang
disebut warga Dani bingga lakue atau bingga lakarak. Pada tahap ini, perempuan
datang ke rumah laki-laki untuk memasak, lalu pergi. Tugas itu berlangsung
lebih dari satu bulan. Apabila pihak perempuan merasa sudah waktunya
mengetahui sikap orang tua pria, dilakukan upacara koeame wagarak atau
perempuan datang untuk mendengar jawaban dari orang tua pria.

Jika perempuan tersebut rajin dan cocok untuk jadi istri anak
laki-lakinya, selanjutnya pihak orang tua menyampaikan persetujuan.

Tahap ketiga jalinan itu adalah koejiqui atau koejikopopiwogi. Pada tahap
ini, orang tua perempuan mengantar anaknya kepada orang tua laki-laki.
Biasanya, dilakukan acara potong babi dan diselenggarakan pesta adat. Sebelum
diantar, orang tua perempuan merias sendiri anaknya, seperti mengenakan noken,
kulit bia, dan berbagai perlengkapan adat lain.

Setelah mengantar anaknya, orang tua perempuan pulang. Selanjutnya, orang
tua laki-laki mendatangi orang tua perempuan untuk mendata semua jenis
pengeluaran berkaitan dengan acara koejikopopiwogi, terutama biaya untuk
periasan anak menantunya. Acara ini dalam bahasa setempat disebut koewupugi.
Setelah semua pengeluaran direkap, baru dilakukan pembayaran oleh pihak
keluarga pria kepada keluarga perempuan.

Juga dijelaskan oleh Philipus, seorang suku Dani -juga lima suku lain:
Amungme, Moni, Damal, Nudga, Mee- yang meninggal dalam perang harus dibakar.
Pembakaran mayat tersebut merupakan persembahan kepada arwah nenek moyang.

Sebab, kata Philipus, sebelum perang adat, kepala suku dan kepala perang
harus melakukan upacara memanggil arwah. Menurut kepercayaan warga Dani, sudah
ditentukan arwah nenek moyang yang menjaga mereka selama perang.

Setelah membakar, kubu bersangkutan harus menyampaikan pada kubu lawan
tentang nama dan identitas mayat yang dibakar. Menurut Philipus, ini bertujuan
agar kubu lawan senang dan kubu yang menderita tidak mendapat gangguan dari
arwah.

Menurut data yang dihimpun Radar Timika dari sejumlah sumber, baik suku
Dani maupun suku Damal memiliki sejumlah marga. Pada suku Dani, terdapat marga
Wakerwa, Waker, Kogoya, Tabuni, Wenda, dan Magai. Pada suku Damal, marganya
adalah Mom, Murib, Waker, Kum, Kiwak, Kibak, Jolemol, dan Magai.

Tokoh lain masyarakat suku Dani, NW (minta namanya diinisialkan), dan
salah seorang tokoh pemuda suku Damal Edwin Mom yang ditemui JPNN Senin lalu
menjelaskan, secara umum kehidupan suku Dani dan Damal termasuk yang
terbelakang di Papua.

Lambatnya kedua suku itu menerima kemajuan bisa dilihat dari sektor
pendidikan dan sektor kehidupan sosial. Namun, yang paling utama penerimaan
Injil (sebagai kabar baik) yang belum merata diterima masyarakat kedua suku.

NW yang ditemui JPNN di Jalan Sosial, Jalur V Kwamki Lama, mengatakan,
suku Dani dan Damal memang sering berperang. Menurut dia, bentrokan itu
merupakan akibat iman kepercayaan secara umum masyarakat kedua suku belum kuat
(teguh). ''Kabar dari Injil belum seluruhnya diterima masyarakat. Meski ada
yang menerima, tapi hanya seberapa? Alasan itu menjadi dasar kuat sering
terjadi perang walaupun masalah awalnya kecil."

NW kemudian menuturkan penyebab perang dan akibat yang biasanya
ditanggung. Pertama, bila anak gadis orang lain diambil tanpa sepengetahuan
orang tua atau keluarga dekat anak gadis itu. Pada era 1990-an, soal seperti
itu diselesaikan dengan membayar lima ekor babi. Tapi, kemudian, denda bisa
dibayar dengan uang.

Kedua, bila istri berselingkuh dengan pria lain (meksipun si lelaki
bagian keluarga). Penyelesaiannya didenda lima ekor babi. ''Setelah itu bisa
akur kembali. Tapi, bila pihak laki-laki bersikeras, maka setelah dibuat denda
adat, sang istri dicerai."

Ketiga, pencurian terhadap barang berharga seperti kulit kerang yang
sering dipakai sebagai maskawin pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Penyelesaiannya dibuat acara potong dua ekor babi, lalu barang berharga yang
dicuri itu dikembalikan.

Keempat, pencurian terhadap hewan piaraan, seperti babi, burung, atau
tanaman di kebun (ladang). Penyelesaiannya, diselenggarakan rapat, lalu
dilakukan pembayaran denda tiga ekor babi sebagai ganti rugi.

Kelima, bila ada dua orang berbeda marga makan bersama, setelah saling
berpisah kemudian salah satunya sakit. Ini bisa menimbulkan rasa curiga kepada
orang yang sebelumnya makan bersama si sakit.

Keenam, bila ada sepuluh orang bekerja di ladang, kemudian salah satu di
antaranya terluka. Kecurigaan korban dilukai oleh sembilan orang lain bisa
muncul bila tidak ada penjelasan kepada keluarganya.

Ketujuh, misalnya ada tiga anak kecil bermain bersama, kemudian salah
satunya tiba-tiba sakit. Dua anak lainnya akan dimintai penjelasan. Bila tidak
ada penjelasan yang baik dari kedua anak tersebut, orang tua akan
menyelesaikannya.

Dalam kehidupan sehari-hari suku Dani, kata NW, rasa curiga masih tinggi.
Seorang laki-laki yang kedapatan berjalan dengan seorang gadis tanpa ikatan
resmi, misalnya, bisa menyulut perang.

Menyikapi perbedaan suku dan budaya warganya, Bupati Kabupaten Mimika
Klemen Tinal menegaskan bahwa semua suku di wilayahnya, asli maupun pendatang,
mendapat perlakuan sama dalam memperoleh kehidupan yang layak.

Ditemui JPNN di Kwamki Lama saat bertemu dengan warga kubu tengah, Rabu
(2/8), bupati menyatakan, meskipun ada suku asli seperti Kamoro dan Amungme
ditambah Suku Dani, Damal, Mee, Nduga, dan Moni, serta suku-suku lain dari
Papua maupun luar, perlakuan yang diberikan sama.

''Baik itu pembinaan serta pelayanan akan dilakukan sama, tidak ada
perbedaan," ujarnya.

Penerapan hukum positif pun diinginkan bupati dalam menangani berbagai
persoalan di tengah masyarakat. ''Hukum positif yang akan mengikat semua.
Dengan hukum (positif) ini, semua akan hidup berdampingan satu dengan yang
lain. Dan di Mimika ini tidak ada masalah suku,'' ujarnya

No comments:

Post a Comment