Friday, December 31, 2010

Penegakan Hukum Pelanggar Lingkungan Hidup Nyaris Tak Terdengar

EVALUASI
KINERJA KLH

Penegakan Hukum Pelanggar Lingkungan Hidup
Nyaris Tak Terdengar


Kamis, 30 Desember 2010
Cukup banyak pemerintah daerah (pemda) yang aktif menyosialisasikan Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, di tengah banyaknya harapan terhadap pemberlakuan UU tersebut, ternyata hasilnya tak berbuah manis. Sebab, meski sudah satu tahun diundangkan, bisa dikatakan publik selalu dirugikan dan dikalahkan dalam kasus apa pun yang bersentuhan dengan penegakan hukum lingkungan.
Tentu, hal tersebut tidak mudah dilupakan dan akan menjadi kenangan pahit bagi masyarakat yang tinggal di daerah. Betapa pun, persoalan lingkungan hidup selalu dinomorsekiankan. Belum dilupakan bahwa percepatan pembangunan selalu dijadikan jargon dan dibenarkan oleh pemerintah untuk kemudian merusak lingkungan.
Program transmigrasi, kendati tujuannya baik, tetap saja implikasinya merusak lingkungan karena dilakukan dengan merambah hutan. Tak disadari, dengan membuka hutan, maka terjadi perusakan yang dampaknya bisa dirasakan saat ini: bumi makin panas dan banjir setiap kali musim penghujan datang. Tapi anehnya, semua pihak (termasuk pemerintah) dengan lantang berteriak saat bencana demi bencana datang melanda negeri.
Saat bencana banjir bandang Wasior, teriakan publik berubah menjadi "paduan suara". Semuanya bersepakat bahwa kerusakan dan perusakan lingkungan harus dihentikan.
Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang selama ini dipasung menjadi berkekuatan secara hukum dan memiliki otoritas yang lebih luas. Artinya, jika selama ini KLH selalu menyerahkan kasus perusakan lingkungan hidup kepada pihak yang lebih berwenang, ke depan KLH bisa lebih leluasa untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berhubungan dengan otoritasnya.
"Sebelum disahkan revisi UU tersebut, KLH mandul. KLH hanya menginventarisasi kasus tanpa bisa menindaklanjuti," kata pakar hukum lingkungan hidup Universitas Parahiyangan Bandung, Asep Warlan.
Pengamat lingkungan hidup Universitas Indonesia (UI) Setyo S Moersidik menambahkan, Kementerian LH perlu membuat langkah fundamental penegakan lingkungan hidup untuk mengubah persepsi lingkungan menjadi berwawasan lingkungan. "Mengubah persepsi pembangunan menjadi berwawasan lingkungan, misalnya dengan gebrakan menangkap penjahat lingkungan," kata Ketua Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana UI itu. Dengan gebrakan penegakan lingkungan tersebut, diharapkan pembangunan yang selama ini berorientasi ekonomi dapat menjadi pembangunan yang berkelanjutan.
Menurutnya, KLH ke depan perlu menyelesaikan beberapa masalah utama untuk menjawab permasalahan lingkungan ke depan. Di antaranya perlu kebijakan strategis guna menjawab keinginan para pihak bidang lingkungan hidup. Kebijakan strategis yang dimaksud misalnya dalam hal pemberian izin oleh pemerintah daerah terhadap hal strategis dan berdampak penting pada lingkungan. Contohnya, izin pemanfaatan hutan dan pertambangan.
Esensi pokoknya adalah bagaimana struktur dan kelembagaan KLH ke depan mampu menjawab peran dan fungsi KLH dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Lemahnya Otoritas

Anggota DPR Tjatur Sapto Edi mengakui, lemahnya otoritas yang dimiliki oleh pemangku lingkungan hidup karena aturan yang belum mendukungnya. Dia melihat masih kurangnya penindakan dan penegakan lingkungan hidup oleh KLH selama lima tahun terakhir ini. "Lima tahun terakhir saya belum melihat atau mendengar adanya penjahat lingkungan yang dituduh atau dihukum beberapa tahun," katanya.
Terlepas dari peran KLH, penetapan UU No 32 telah bergaung di daerah. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kalimantan Tengah (Kalteng), misalnya, mulai melakukan sosialisasi aturan baru tersebut secara informal. "Kami sudah mulai melakukan sosialisasi ke seluruh kabupaten tentang perundang-undangan lingkungan hidup secara informal," kata Esau A Tambang, Kepala Sub-Bidang Akses Informasi dan Mitra Lingkungan, BLH Provisi Kalimantan Tengah, baru-baru ini.
KLH juga nyaris tidak berbuat apa-apa ketika Taman Nasional di Kabupaten Kepulauan Seribu terancam rusak parah karena setiap hari ribuan ton sampah mengotorinya melalui 13 sungai yang mengalir dari hulu melewati DKI.
Limbah dari industri juga membuat warna air laut menjadi hitam. Dalam perjalanan dari Pelabuhan Muara Angke menuju Pulau Pari, Kepulauan Seribu, bau sampah dan limbah sangat menyengat hidung. Makin ke tengah air terlihat cokelat, terus hijau, dan baru menemukan air yang jernih kebiruan ketika hampir mendekati Pulau Pari.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pakar kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), pencemaran di kedua kawasan perairan itu didominasi polusi dan degradasi ekosistem. Polusi itu antara lain berupa silikat yang mencapai 52.156 ton, fosfat 6.741 ton, dan nitrogen 21.260 ton. Tingginya tingkat pencemaran juga mengakibatkan pengurangan kawasan bakau dan terumbu karang di kedua perairan itu.
Untuk wilayah perairan dengan jarak kurang dari 15 kilometer dari pantai, misalnya, terumbu karangnya hanya tersisa kurang dari lima persen. Sedangkan untuk jarak 15-20 kilometer dari pantai, tinggal 5-10 persen dan pada jarak 20 kilometer, tinggal 20-30 persen.
Berdasarkan data Pemprov DKI, setiap harinya terdapat tambahan rutin 27.966 meter kubik atau setara dengan 6.000 ton sampah.
Berbagai jenis sampah ini berasal dari cakupan wilayah yang mencapai 650 kilometer persegi dengan tingkat kepadatan 11.244 jiwa per kilometer persegi, dengan rata-rata satu orang menghasilkan 2,97 liter sampah per hari. Dengan kata lain, bencana akibat pencemaran Teluk Jakarta tinggal menunggu waktu apabila semua pihak tak mau peduli.

No comments:

Post a Comment