Friday, December 24, 2010

Menjaga Hutan dengan Kearifan Lokal

KEPUTUSAN ADAT : Penetapan Lubuk Larangan dilakukan melalui keputusan adat dan dengan acara religius. Tujuannya, agar ikan yang berada di Lubuk Larangan cepat memijah dan besar serta tidak diambil oleh warga.

JAMBI - Sejak kawasan hutan desa menjadi areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH), warga desa tidak bisa lagi mengambil hasil hutan non kayu rotan, damar, manau, dan getah jernang untuk menambah penghasilan dari perkebunan karet. Pada musim kemarau air sungai kotor akibat operasi alat berat perusahaan HPH di hulu sungai.

Pada musim hujan air sungai keruh, terjadi longsor, dan banjir.

Setiap tahun masyarakat desa ini mengalami wabah penyakit muntaber. “Pekerja perusahaan HPH yang membabat kayu di hutan dulunya sering meracuni sungai sehingga ikan sepanjang aliran Sungai Batang Pelepat mati,” kata Wahyu Widodo.

Wahyu ingin mengajak warganya di sekitar kawasan hutan untuk mempertahankan kawasannya agar tidak dibabat oleh perusahaan HPH. Tentunya dengan harapan ajakan ini akan disambut baik oleh warga yang telah merasakan kesulitan untuk mendapatkan ikan dan sungai. Warga di sana telah sepakat untuk menetapkan sepotong sungai menjadi Lubuk Larangan, itulah cara mengelola kawasan hutan dengan kearifan adat.

“Kini, di beberapa dusun di Desa Batu Kerbau memiliki Lubuk Larangan di Sungai Pelepat, rata dengan lebar 110 meter dan panjang 450 meter, dengan jenis ikan asli yang ada,” tutur Wahyu. “Biasanya lubuk larangan ini dibuka sekali setahun, bisa dilelang atau dijual bebas. Hasilnya digunakan untuk kepentingan masyarakat, semisal perbaikan masjid, jalan, dan sebagainya.”

Penetapan Lubuk Larangan biasanya dilakukan melalui keputusan adat dan dengan acara religius. Tujuannya, agar ikan yang berada di Lubuk Larangan cepat memijah dan besar serta tidak diambil oleh warga.

“Alhamdulillah, kesepakatan itu dipatuhi masyarakat. Tidak pernah ada warga yang menangkap ikan di Lubuk Larangan,” ucap Wahyu.

Di Lubuk Larangan Dusun Belukar Panjang, ikan yang telah berusia satu tahun, rata-rata dengan berat satu kilogram per ekor, dengan mudah dapat dilihat sedang berenang mencari makan sampai ke pinggir sungai.

Menurut Wahyu, sejak lima tahun lalu Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi telah memfasilitasi masyarakat Batu Kerbau dan mengadvokasi perjuangan mereka terhadap kawasan hutan dan sungai. “Mereka memperkenalkan pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat dan membantu pengelolaan sumber daya hutan,” ujar Wahyu kepada koran ini.

Ia mengatakan semuanya telah melalui proses panjang dan melelahkan, akhirnya Bupati Bungo menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 1249 Tahun 2002 Tanggal 14 Juli 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau yang terdiri dari lima lokasi. Kelimanya adalah Hutan Lindung Batu Kerbau 776 hektar, Hutan Lindung Belukar Panjang 361 hektar, Hutan Adat Batu Kerbau 386 hektar, Hutan Adat Belukar Panjang 472 hektar, dan Hutan Adat Tebat 360 hektar.

“Perjuangan panjang yang melelahkan itu membuahkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk kategori penyelamat lingkungan tahun 2004. Piagam penghargaan Kalpataru itu diserahkan Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta, Senin 7 Juni 2004, kepada Kepala Desa,”sebut Wahyu.

“Tidaklah mudah mempertahankan kawasan hutan dari penjarahan, dari kegiatan illegal logging,” ujar Wahyu mengakhiri.

1 comment:

  1. hi

    do you supplying dragon`s blood . please contact me if you are supplying it .my requiring amount is 500-1000kg per month . thanks .

    Best Regards
    Sean
    seangao61@gmail.com

    ReplyDelete