Tuesday, December 14, 2010

PENAMBANGAN TIMAH Pemberian Izin Harus Dievaluasi

May 24, 2010


Kolam raksasa bekas lokasi penambangan timah di Kabupaten Bangka Tengah belum juga direklamasi. Pemandangan ini terlihat oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat melakukan pemantauan udara ke Bangka Belitung, Selasa (18/5/2010). Kegiatan penambangan timah telah merambah kawasan hutan lindung pantai dan semakin sulit dikendalikan.
Maraknya penambangan timah telah mengakibatkan kerusakan lingkungan di kawasan Bangka-Belitung. Kondisi ini terjadi karena terlalu banyak izin usaha pertambangan diberikan pada para pengusaha lokal sehingga pemerintah daerah sulit mengendalikannya.
Pemerintah daerah seharusnya menghentikan pemberian izin baru pertambangan kepada pengusaha lokal.
– Priyo Pribadi Soemarno
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia, Priyo Pribadi Soemarno menjelaskan hal itu di sela-sela seminar bertema “Perkembangan Pertambangan Indonesia 2010″, Senin (24/5/2010), di Jakarta. “Pemerintah daerah seharusnya menghentikan pemberian izin baru pertambangan kepada pengusaha lokal,” katanya.
Ada pun pelaksanaan kegiatan penambangan timah yang dilakukan pemegang kuasa pertambangan harus dievaluasi kembali oleh pemda setempat. Jika tidak bisa diperbaiki, maka kegiatan tambang itu harus ditutup atau izin usaha dicabut pemda setempat.
Dalam kasus kerusakan lingkungan akibat penambangan timah di Babel, hal ini terjadi karena jumlah perusahaan tambang yang beroperasi terlalu banyak dan melebihi kemampuan lingkungan. “Karena luas lahan tidak bisa mengabsorpsi kerusakan yang dilakukan kegiatan tambang, keseimbangan lingkungan tidak terjadi,” ujarnya.
Kerusakan lingkungan dipicu keberadaan ratusan tambang non konvensional yaitu penambangan rakyat skala kecil dengan cara penambangan sederhana dan modal kecil, serta mengantongi kuasa pertambangan dari pemda. “Pemberian izin tambang di luar kemampuan pemda mengendalikan dampak lingkungan,” ujarnya.
Tambang rakyat itu beroperasi di areal PT Timah dan PT Kobatin dan memasok bahan baku timah ke dua perusahaan itu. Rata-rata luas lahan pertambangan non konvensional itu 50 sampai 100 hektar. Keberadaan penambangan rakyat itu di bawah pembinaan dua perusahaan tambang pemegang izin tambang dari pemerintah pusat itu.
Pertambangan rakyat itu umumnya tidak mengantongi izin analisis dampak lingkungan karena luasnya di bawah 300 hektar. Sebagian besar pertambangan rakyat itu juga tidak melaksanakan kegiatan reklamasi pascatambang. Hal ini diperparah oleh keberadaan pertambangan ilegal.
“Kalau hanya PT Timah dan Kobatin sendiri yang beroperasi tanpa ada pertambangan rakyat skala kecil, sebenarnya dampak kerusakan lingkungan dapat diminimalkan. Sebab dua perusahaan itu mempunyai fasilitas dan modal, serta sistem praktik pertambangan yang baik,” kata dia menegaskan.
Namun sebagai penerima bahan baku dari tambang rakyat, perusahaan timah skala besar seharusnya ikut membina pertambangan skala kecil itu agar bisa melaksanakan cara menambang yang baik dan mereklamasi lahan bekas tambang. “Pemda dan asosiasi tambang rakyat daerah harus menertibkannya,” kata dia.

No comments:

Post a Comment