Tuesday, December 14, 2010

“Nundang Binieak”, Gong Turun ke Sawah Serentak di Lebong

“Nundang Binieak”, Gong Turun ke Sawah Serentak di Lebong


KOMPAS/ACHMAD ZULKANI / Kompas Images
Areal perladangan baru akhir-akhir ini terus bermunculan di daerah tangkapan air Danau Tes, Kabupaten Lebong. Aktivitas ini mengkhawatir- kan karena bakal mengancam Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes yang memanfaatkan air Danau Tes ini untuk memutar tiga turbinnya.

Senin, 24 Maret 2008 | 02:56 WIB

Achmad Zulkani

Ujang Syafarudin (69) membakar kemenyan seukuran jempol jari orang dewasa. Asap wangi kemenyan memenuhi ruangan besar di sebuah rumah tua di Muara Aman, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Apa yang dilakukan merupakan prosesi ritual budaya yang dalam bahasa Rejang disebut Nundang Binieak yang turun-temurun dilakukan sejak berabad silam. Nundang Binieak dalam bahasa sehari-hari bisa diartikan sebagai mengundang bibit.

Mulut tetua adat Muara Aman itu tampak komat-kamit membaca doa dan mantra. Doa untuk para leluhur dan semua warga Rejang, intinya agar Yang Mahakuasa memberikan keselamatan dan melindungi tanaman padi yang bakal ditebar.

Persis di depan Syafarudin tergeletak seonggok benih padi berbalut kain putih. Benih sekitar 2,5 kaleng atau setara 10 kilogram ini sebelumnya dibasahi air dan dicampur tujuh macam ramuan ”obat” tradisional, antara lain jeruk nipis, daun cekrau, daun kumpei, satu kilogram rebung bambu gading (bambu kuning), kunyit busuk, 20 buah pinang dan kendur. Semua dipotong kecil-kecil dan diramu menjadi satu dengan benih padi tersebut. Benih ini terdiri atas inti berasal dari tujuh tangkai padi hasil panen tahun sebelumnya yang disimpan khusus, dicampur dengan benih padi bantuan pemerintah.

Beberapa saat kemudian, Syafarudin membuka kain putih penutup onggokan benih padi itu. Ia mengambil air kelapa muda hijau dengan setangkai daun sidingin (juga ramuan obat tradisional). Air kelapa muda itu dipercikkan ke tumpukan benih padi sampai kelihatan basah.

Prosesi ritual budaya itu lantas ditutup dengan doa selamat dan makan bersama oleh semua yang hadir. Hidangannya berupa nasi puncung dengan dua ayam matang utuh yang ditaruh di atas talam. Ayam itu juga bukan sembarangan, tetapi harus ayam putih dan biring, yakni seekor ayam warna kuning keemasan baik kaki maupun bulunya. Ayam harus utuh, tidak dipotong-potong layaknya hidangan biasa.

Seusai makan bersama, warga yang hadir dibekali sejumput benih yang sudah diramu untuk dicampur dengan benih yang disiapkan di rumah masing-masing. Sebaliknya, warga yang tidak datang akan diberi, sampai semua petani kebagian.

”Nundang Binieak adalah ritual adat budaya turun-temurun sejak berabad-abad silam di Lebong,” kata Syafarudin.

Muara Aman, sebuah kota kecil tua berhawa sejuk di lembah hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, sekitar 165 kilometer dari Bengkulu. Kota yang kini menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Lebong itu dihuni mayoritas etnis Rejang, etnis yang memiliki bahasa dan tulisan sendiri. Nilai-nilai adat dan budaya tradisional Rejang sampai sekarang masih dijunjung tinggi masyarakat setempat.

Cegah hama

Kenapa Nundang Binieak harus dilakukan? Menurut Syafarudin, di era modern sekarang tradisi yang sangat diyakini dan dipatuhi etnis Rejang di Muara Aman itu mungkin ditanggapi beragam oleh orang luar. Tetapi, bagi warga Rejang di Muara Aman, ritual ini diyakini bisa ”memagar” tanaman padi agar tak diganggu hama penyakit.

”Semua ramuan yang diaduk dengan benih padi ada artinya. Rebung bambu kuning misalnya, selama ini mampu mencegah tanaman padi di sawah dari serangan hama tikus. Kendur dan kunyit busuk diyakini dapat mengusir hama kutu seperti walang sangit. Jadi, ramuan itu bukan asal saja, tetapi diambil dari tumbuhan yang dipakai sebagai obat tradisional oleh masyarakat Rejang,” tutur Syafarudin.

Bagaimana kalau ritual Nundang Binieak ditinggalkan? Sembari menghela napas dalam-dalam, Syafarudin menyatakan, orang di luar etnis Rejang mungkin akan berkomentar beragam. ”Ini hanya sekadar tradisi, ritual adat dan budaya Rejang warisan nenek moyang sejak berabad-abad. Prosesi ritual ini lazimnya selalu menjelang turun ke sawah. Jika ada warga atau petani di Lebong tidak percaya ritual ini, silakan saja. Tidak ada pemaksaan, tergantung keyakinan masing-masing,” katanya.

Dua petani di Lebong, Amirul Mukmin (48) dan Khadijah (60), melukiskan, musim tanam tahun lalu ada petani yang tidak hirau dengan Nundang Binieak. Mereka turun ke sawah dan menanam padi tanpa menunggu prosesi ritual ini. ”Nyatanya, waktu itu sebagian besar tanaman padi di Lebong gagal panen. Hama tikus dan walang sangit mengganas. Apakah meluasnya hama saat itu ada hubungan atau tidak dengan ditinggalkannya tradisi ini, ya terserah orang mengartikan,” kata mereka.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bengkulu mencatat, musim tanam tahun 2007 tingkat keberhasilan panen di Lebong memang sangat rendah. Dari sekitar 3.600 hektar areal sawah yang ditanami warga, lebih dari 50 persen gagal panen karena diserang hama tikus.

Syafarudin menambahkan, sekarang tradisi ini sebetulnya sangat relevan. Dalam konteks kekinian, Nundang Binieak sama dengan gong atau ketok palu agar petani turun serentak ke sawah. Biasanya, warga tidak peduli kalau hanya diimbau pejabat pertanian. Tetapi, jika aba-aba turun ke sawah datang dari tetua adat, semua akan patuh.

Selain itu, kalau semua areal sawah digarap, tanam serentak, biasanya tikus tidak mengganas. Memang masih ada gangguan hama, tetapi tidak seganas kalau tanam tidak serentak. ”Logikanya sangat sederhana. Kalau semua areal sawah di hamparan luas digarap, pasti tikus kesulitan bersarang. Hama ini akan lari ke hutan. Jadi, dalam konteks kini sepertinya sangat cocok,” ujar Syafarudin dan Amirul Mukmin.

Kearifan lokal masyarakat Rejang ini sejatinya tidak bertentangan dengan program pemerintah. Pesan-pesan moral dari leluhur yang diwujudkan dengan tradisi seperti Nundang Binieak di Rejang barangkali tidak ada salahnya dilestarikan. Buktinya, setelah ritual itu, ribuan petani Lebong kini ramai-ramai turun serentak ke sawah….

Lebong, cam yo rupo Nu uyo, beginilah rupamu kini

March 20, 2008
Oh….Lebong, cam yo rupo Nu uyo


Kantor baru Bupati yang belum ditempati di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072227]


Gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang belum ditempati di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072242]


Kantor baru Bupati yang belum ditempati di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072264]


Tempat wisata air putih di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007.[TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072208]


Anak-anak mandi di sungai, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072251]


Kayu-kayu ilegal loging hasil penangkapan pemerintah daerah di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072228]


Anak-anak dengan perahu mencari ikan di lokasi wisata Danau Tes, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072209]


Warga memencing ikan di tempat wisata Danau Tes, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072211]


Tempat wisata Danau Tes di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072210]


Persiapan peresmian kantor baru Polres Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072240]


Petani melakukan panen padi perdana di sawah mereka, di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072230]


Petani melakukan panen padi perdana di sawah mereka, di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072229]


Anak-anak dengan perahu mencari ikan di lokasi wisata Danau Tes, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072224]


Anak-anak dengan perahu mencari ikan di lokasi wisata Danau Tes, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072224]


Anak-anak dengan perahu mencari ikan di lokasi wisata Danau Tes, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072223]


Warga mengumpulkan batu granit yang merupakan salah satu sember daya alam yang dimiliki Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072222]


Gelundung, alat untuk memproses batu emas, di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072206]


Ojek gandeng, salah satu alat transportasi di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072246]


Tempat wisata air putih yang mempunyai sumber air panas di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072214


Tempat wisata air putih yang mempunyai sumber air panas di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072215]


Tempat wisata Danau Tes di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007.[TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072216]


Tempat wisata air putih yang mempunyai sumber air panas di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072213]


Lubang kaca mata tempat menambang emas di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. {TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072207]


Gelundung, alat untuk memproses batu emas, di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072205]


Beberapa jenis batu yang mengandung emas yang diambil dari Lubang Kaca Mata di Kabupaten Lebong, Bengkulu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072204]


Petani/ manula melakukan panen padi perdana di sawah mereka, di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072236]


Petani/ manula melakukan panen padi perdana di sawah mereka, di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072235


Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072218]


Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072217]


Ojek gandeng, salah satu alat transportasi di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu, 22 Juli 2007. [TEMPO/ Novi Kartika; NK2007072244]


Pemukiman perambah hutan di Hutan Lebong Kandis II, Bengkulu Utara, Bengkulu, 13 Juli 2006. [TEMPO/ Sapto Pradityo; SP2006061322]


Pemukiman perambah hutan di Hutan Lebong Kandis II, Bengkulu Utara, Bengkulu, 13 Juli 2006. [TEMPO/ Sapto Pradityo; SP2006061321]


Petugas Pusat Latihan Gajah Seblat naik gajah saat berpatroli di kawasan Hutan Lebong Kandis II, Bengkulu Utara, Bengkulu, 13 Juli 2006. [TEMPO/ Sapto Pradityo; SP2006061323]


Perambah hutan di Hutan Lebong Kandis II, Bengkulu Utara, Bengkulu, 13 Juli 2006. [TEMPO/ Sapto Pradityo; SP2006061317]


Petugas Pusat Latihan Gajah Seblat naik gajah saat berpatroli di kawasan Hutan Lebong Kandis II, Bengkulu Utara, Bengkulu, 13 Juli 2006. [TEMPO/ Sapto Pradityo; SP2006061328]


Petugas Pusat Latihan Gajah Seblat naik gajah saat berpatroli di kawasan Hutan Lebong Kandis II, Bengkulu Utara, Bengkulu, 13 Juli 2006. [TEMPO/ Sapto Pradityo; SP2006061327]


Batu emas di stand Kabupaten Lebong, Propinsi Bengkulu, yang dipamerkan dalam pameran “Kabupaten Expo 2006 ” di Semanggi Expo, Jakarta, Kamis, 1 Juni 2006. [TEMPO/ Ken Arini Y; Digital Image; KR06060115; 20060601]


Miniatur gelundungan emas tradisional di stand Kabupaten Lebong, Propinsi Bengkulu, yang dipamerkan dalam pameran “Kabupaten Expo 2006 ” di Semanggi Expo, Jakarta, Kamis, 1 Juni 2006. [TEMPO/ Ken Arini Y; Digital Image; KR06060114; 20060601]


Pabrik pengolahan emas PT Lusang Mining di Lebong Tandai, Bengkulu. [TEMPO/ Marlis Lubis; 05D/302/1991; 20050114]

Pendulang emas tradisional di sekitar areal pertambangan emas PT Lusang Mining, Lebong Tandai, Bengkulu. [TEMPO/ Marlis Lubis; 07D/466/1992; 20041214].

No comments:

Post a Comment