Friday, December 24, 2010

Aturan Ekspor Kayu Dilonggarkan



Truk yang mengangkut berton-ton kayu di sepanjang jalur dari Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, ke Kabupaten Lahat dengan mudah ditemui.

JAKARTA, - Investor hutan tanaman industri dan rakyat bakal memiliki pasar yang lebih luas untuk produknya. Pemerintah saat ini tengah menyusun surat keputusan bersama Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, dan Departemen Perindustrian yang melonggarkan aturan ekspor kayu gergajian.

Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Dephut Hadi Daryanto mengungkapkan hal ini akhir pekan lalu di Jakarta. Aturan ini akan member peluang lebih besar ekpor kayu gergajian be rbentuk bantalan rel kereta api (surface four sides/ S4S).

Aturan ini memprioritaskan kayu dari HTI dan HTR. Namun kayu produksi hutan alam pun bisa juga diekspor apabila kebutuhan bahan baku industri domestik terpenuhi.

Menurut Hadi, pemerintah masih membuat rantai tingkatan nilai berdasarkan tahapan produksi kayu seperti Malaysia untuk kayu bulat, kayu gergajian, dan kayu lapis. Setelah bahan baku kayu untuk seluruh tahapan produksi tersebut terpenuhi, akan dibuat sistem bisnis.

"Saat ini kita ingin mengubah dari comparative menjadi competitive advantage (keunggulan komparatif menjadi kompetitif)," ujar Hadi. Salah satu pasar yang disasar adalah Timur Tengah.

Sebenarnya, pemerintah sudah lama mengatur ekspor kayu gergajian S4S berpenampang 4.000 milimeter persegi dan khusus kayu merbau 10.000 mm persegi . Namun, pasar ternyata kini membutuhkan kayu berpenampang lebih besar, yakni rata-rata 12.000 mm persegi.

Ketua Umum Indonesian Asosiasi Kayu Gergajian dan Kayu Olahan (ISWA) Soewarni mengatakan, dunia usaha sangat menantikan aturan ini. Pelonggaran kran ekspor kayu gergajian diharapkan dapat mendongkrak ekspor ke pasar yang kini tengah lesu.

"Sebenarnya aturan ini sudah lama diminta dengan tujuan mengoptimalkan pasar internasional kala krisis finansial yang lalu. Tetapi ini khusus untuk kayu gergajian, jika untuk kayu bulat kami menentang keras dan tidak setuju," ujar Soewarni.

Menurut Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna, ekspor kayu selalu memiliki dua sisi, yakni produsen kayu dan industri dalam negeri. Namun persoalan terpenting saat ini adalah upaya pemerintah membangun infrastruktur dan menghapus ekonomi biaya tinggi yang membuat inefesiensi biaya produksi kayu sehingga daya saing industri domestik rendah di pasar internasional.

Untuk kayu bulat, selama ini produsen dalam negeri tidak memiliki patokan harga internasional karena ada larangan ekspor. Industri dalam negeri pun kemudian membeli kayu bulat sesuai kemampuan mereka. "Kondisi ini membuat harga kayu dalam negeri semu. Apabila pemerintah mengizinkan ekspor, produsen tentu senang tetapi industri akan kewalahan," ujar Nana.

No comments:

Post a Comment