Wednesday, August 8, 2012

Informasi penting terkait eksploitasi sumur minyak berusia udzur didapat dari Kepala Desa Simpang Bayat, Kamari. Saat ini, sumur tua di kawasan Bayat sudah tak banyak menghasilkan minyak. Adapun di masa lalu, sumur tua peninggalan Belanda itu tak banyak dilirik orang.

"Dulu minyaknya biasa dipakai untuk membakar lahan yang akan dijadikan kebun," katanya. "Itu pun jumlahnya sedikit saja," ia menambahkan.
Sumur tua itu mulai ramai ditambang pada 2007. Ini terjadi setelah muncul Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumur-sumur Minyak Tua dalam Wilayah Kabupaten Musi Banyuasin. Perda itu ditandatangani Alex Noerdin, Bupati Muba ketika itu. Isinya menyebutkan bahwa sumur tua yang berada dalam wilayah kerja kontraktor dapat dieksploitasi minyak dan gas (migas)-nya.
Kontraktor yang dimaksud adalah badan usaha selain Pertamina yang diberi kewenangan melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja. Adapun sumur tua yang dimaksud berkedalaman maksimum 650 meter. Kontraktor wajib bekerja sama dengan badan usaha milik daerah (BUMD), dan BUMD wajib bekerja sama dengan koperasi unit desa (KUD) dalam memanfaatkan potensi cadangan minyak di sumur tua.
Pemkab Muba kemudian mendirikan Petro Muba untuk menjalin kongsi dengan kontraktor. Adapun hasil minyak harus diserahkan kepada kontraktor. BUMD maupun KUD yang melakukan penambangan diberi fee, yaitu biaya penambangan. Namun, "Yang terjadi di lapangan tak sesuai dengan perda itu," kata Kamari. Tak ada satu pun KUD dibentuk sebagai wadah para penambang minyak mentah di Bayat. "Penambangan dilakukan perorangan dan ini tetap ilegal jadinya," katanya.
Produksi minyak di Bayat makin ilegal menyusul dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua. Isinya menyebutkan bahwa KUD dan BUMD yang memproduksi minyak di sumur tua harus mendapat izin dari Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM. Izin itu bisa keluar setelah sebelumnya mendapat lampu hijau dari pemerintah kabupaten/kota, KKS, dan BP Migas.
BUMD atau KUD yang memproduksi minyak akan mendapat imbalan jasa dari KKS. Adapun minyak yang dihasilkan wajib disetor ke KKS dan dibukukan sebagai produksi KKS. Sejak penambangan sumur tua di wilayah Bayat marak pada 2007, menurut Kamari, usaha kilang tradisional berdiri.
Awalnya hanya ada lima tungku. "Perlahan-lahan makin bertambah, sampai banyak seperti sekarang ini," katanya. "Saya sendiri tak setuju adanya penambangan minyak ilegal dari sumur tua itu maupun adanya tungku ilegal itu," Kamari menambahkan.
Suatu hari tahun 2007, Kamari pernah ditawari duit agar memberikan surat jalan untuk minyak Bayat yang akan dibawa ke Dumai. "Datang ke rumah sini orangnya, tapi saya tolak karena itu kan ilegal," tuturnya. "Saya tak mau terlibat masalah gara-gara surat jalan itu," ia menegaskan. Minyak dari sumur tua di sekitar Bayat, kata Kamari, makin menipis sejak 2009. "Satu sumur paling hanya bisa ditimba tiga drum," katanya.
Pasokan minyak dari sumur yang makin tipis itu pula yang membuat Tono, seorang pengolah sumur tua dan pemilik kilang mini, memilih pensiun dari pekerjaannya itu. "Usaha tungku memang hasilnya lumayan, tapi berisiko. Ini bahaya sebenarnya dan ilegal," kata Tono. "Apalagi, minyak dari sumur sudah sedikit sekali," ia melanjutkan.
Tono pun banting setir menjadi pedagang sambil berkebun. Tono menghitung, ada 20-an sumur tua di Bayat. Kalau setiap sumur sekarang ini bisa menghasilkan 3-5 drum, maka produksi maksimalnya hanya 100 drum per hari.
Bila di wilayah Bayat ada 300-an tungku dengan kebutuhan minimal dua drum per hari, maka diperlukan pasokan minimal 600 drum minyak mentah atau sekitar 750 barel per hari. Lalu, dari mana kekurangan pasokan itu ditutupi

No comments:

Post a Comment