Sunday, August 5, 2012


Puluhan ribu barel minyak mentah dijarah. Sebagian besar terjadi di wilayah Sumatera. Dalam waktu enam bulan terakhir, negara dirugikan sekitar Rp 100 milyar akibat penjarahan minyak mentah. Minyak jarahan mengalir ke berbagai lokasi, dari kilang tradisional, Sumatera, Bangka, Jawa, hingga Singapura. --- Dengan tekun dan cermat, Dedy menampung "minyak olahan" dari drum yang dialirkan dengan pipa kecil ke dalam ember. Sesekali, pria 35 tahun itu memeriksa tungku agar apinya tetap stabil: tidak terlalu besar, tidak pula terlalu kecil.
Sambil menunggu ember penuh, ia membakar rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Dedy seakan tak peduli dengan timbunan minyak yang mudah tersulut api rokoknya. "Kilang minyak sebelah pernah terbakar karena pipa dari penampung minyak bocor," tutur Dedy ketika GATRA menemuinya di kilang minyak tradisional di kawasan perkebunan kepala sawit. "Ini kebun orang lain. Saya menyewa," katanya.
Pemilik kebun sawit tak pernah memanen karena hasilnya sudah jauh menipis. Semua batang pohon di sekitar "kilang minyak mini" milik Dedy pun tampak menghitam terpapar asap pembakaran. Ia termasuk pemain baru dalam bisnis penyulingan minyak mentah menjadi minyak jadi. Dedy mengaku baru tiga bulan belakangan ini membuka usaha kilang minyak itu.
Pemilik maupun pekerjanya biasa menyebut kilang tradisional itu dengan nama tungku. Lokasi kilang minyak tradisional ini berada di tiga desa, yakni Simpang Bayat, Pangkalan Bayat, dan Bayat Ilir, di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dari jambi berjarak sekitar 70 kilometer. Adapun dari Palembang berjarak sekitar 200 kilometer ke arah Jambi.
Dari jalan lintas Sumatera arah Jambi, lokasi kilang bisa dijumpai dengan belok kiri, masuk ke sebuah jalan aspal. Di jalan masuk selebar tiga kilometer itu, kilang pertama ditemui pada jarak sekitar satu kilometer. Sepanjang delapan kilometer ke dalam bisa ditemui kilang tradisional sebanyak 300-an.
Asap tebal warna hitam menjadi pemandangan yang biasa ditemui ketika kilang-kilang minyak Bayat sedang berproduksi. Bagi masyarakat sekitar, masuk ke jalan menuju lokasi kilang itu sudah biasa dan aman-aman saja. Beda halnya bagi pendatang. Di pintu masuk jalan, sejumlah informan memantau siapa pun yang masuk ke jalan itu. Para informan itu segera memberi kabar kepada orang-orang di dalam tentang kedatangan tamu baru.
Keberadaan kilang mini terletak di kiri dan kanan jalan. Sebagian besar berada tak jauh dari pinggir jalan, sebagian yang lain agak masuk ke dalam. Mayoritas kilang ada di kebun sawit dan kebun karet. Sebagian lainnya ada di tanah bekas kebun yang tanahnya telah diratakan. Sebagian kilang diberi atap, sebagian lagi beratap langit.
Di setiap lokasi kilang berdiri dua tungku hingga 20 tungku. Adapun biaya konstruksi kilang mini ini sekitar Rp 2 juta per tungku. Ukuran tungku 2 x 1 meter sedalam 1 meter. Di dalamnya berisi dua drum berkapasitas 200 liter dengan posisi berbaring, sebagai penampung minyak tanah yang akan dibuat menjadi minyak jadi.
Untuk "memasak" minyak mentah ini, bahan bakar yang digunakan adalah minyak mentah. Dari tungku tersambung dua pipa kecil untuk mengalirkan hasil penyulingan minyak, yang di atasnya diberi bak kayu berisi air berukuran 3 x 1 meter. "Gunanya sebagai pendingin," kata Dedy.
Dari ujung dua pipa itulah minyak jadi ditampung dengan ember. Hasil olahan pertama berupa bensin. Olahan kedua berupa minyak tanah dan yang terakhir menjadi solar.
***
Setiap hari, Dedy setidaknya mengolah empat drum minyak mentah di dua tungku miliknya. Harga minyak mentah per drum Rp 470.000. Satu drum berisi sekitar 200 liter. Pengilangan empat drum minyak mentah menghasilkan tiga drum minyak jadi. Dedy biasa menjual bensin seharga Rp 800.000 per drum atau Rp 4.000 per liter. Minyak tanah dibanderol Rp 850.000 per drum atau Rp 4.250 per liter dan solar Rp 600.000 per drum atau Rp 3.000 per liter.
Ada dua model pembelian minyak jadi yang biasa dilakukan, yaitu bayar di muka dan bayar di belakang. Bayar di muka maksudnya: pembeli menitipkan sejumlah uang senilai minyak jadi yang akan dibeli. Adapun bayar di belakang: pembayaran dilakukan ketika minyak jadi sudah di tangan. Agar tak ada monopoli, sesama pemilik kilang, menurut Dedy, sepakat: satu orang tak boleh memiliki lebih dari lima tungku.
Dedy sendiri memiliki dua tungku. Ia membuka tungku setelah dua tahun bekerja sebagai buruh di kilang orang lain. Lalu, dari mana sumber minyak mentah untuk kilang mini itu? "Dari sumur tua peninggalan Belanda yang berada di ujung Desa Pangkalan Bayat," tutur Dedy.
Ada sekitar 20 sumur tua yang lokasinya sekitar 27 kilometer dari kilang minyaknya. "Jika kami butuh, tinggal pesan dan langsung diantar ke tempat," ujarnya. Mobil pengantarnya bermacam-macam, dari mobil tangki, truk bak kayu, mobil pikap, hingga mobil minibus. Untuk truk bak kayu, minyak ditempatkan dalam sebuah tangki berbentuk kotak yang ditempatkan di dalam bak atau dalam drum.
Adapun untuk minibus, minyak ditampung dalam tekmond (tangki plastik). Dedy menyebut empat nama pemasok minyak mentah, yaitu Herman, Made, Mindo, dan Samson. GATRA tak berhasil menemui Herman. Menurut informasi dari tetangganya, ia lebih sering tinggal di Palembang. Tangan kanannya yang bernama Yanto juga sedang tak berada di tempat. "Entah ke mana Bos tadi pergi. Yang jelas, dia bawa mobil Fortuner bernomor polisi 9," kata penjaga rumahnya dengan nada ketus.
Made dan Mindo pun tak ada di rumahnya. "Dia berangkat ke luar kota," kata seorang tetangganya. Samson yang menjabat sebagai Kepala Desa Pangkalan Bayat meyakinkan bahwa minyak mentah yang dipasok ke kilang tradisional itu berasal dari sumur tua di desanya.
"Semuanya memang dipasok dari sumur tua, artinya legal. Kenapa Bapak tanya-tanya, mau bisnis ini, ya?" katanya dengan nada curiga. Selanjutnya ia tak tertarik untuk berbincang lebih mendalam.
****
Kepala Humas Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Dicky Meiriando, mengatakan bahwa status eksploitasi sumur tua di Bayung Lencir dan wilayah Muba lainnya itu ilegal. Begitu pula kilang tradisional di sana ilegal. "Tapi ini masalah yang tidak sederhana," kata Dicky Meiriando.
Eksploitasi sumur tua dan operasional kilang tradisional dijalankan masyarakat. "Ini ada kaitannya dengan soal ekonomi, yaitu penghasilan masyarakat, sehingga kami mesti hati-hati," katanya.
Pemkab Muba, menurut Dicky, sebenarnya telah membentuk BUMD minyak, yaitu Petro Muba. Perusahaan daerah ini didesain untuk menjadi bapak angkat bagi KUD yang mengelola sumur tua. Namun, hingga saat ini, belum ada KUD yang terbentuk di wilayah Bayat sebagai pihak yang bertugas menimba minyak dari sumur tua.
Karena itulah, pihaknya akan mengajak masyarakat Bayung Lencir untuk membentuk KUD yang akan mewakili mereka sebagai penambang di sumur tua. "Sehingga ini menjadi legal," katanya.
Persoalan pencurian minyak Sumatera ini juga telah masuk ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Pemerintah sudah melakukan banyak upaya untuk mengatasi pencurian minyak di sana, dari laporan ke pihak kepolisian, mengirim orang ke sana, dan lainnya, tetapi hasilnya belum seperti yang kami inginkan," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Evita Legowo.
Biasanya, setelah ditangkap, malingnya bebas dan kembali jadi maling," ujarnya. Karena itu, Wakil Direktur Pengamanan Objek Vital Polda Sumatera Selatan, AKBP Mochamad Rosidi, mengajak berbagai pihak terkait untuk menyelesaikan masalah pencurian minyak ini, baik dari sumur tua maupun pipa, serta keberadaan kilang tradisional secara komprehensif.
Penyelesaiannya, kata Rosidi, harus melibatkan Pemkab Muba, Camat Bayung Lencir, aparat Desa Bayat, Dinas Perhubungan Kabupaten Muba, Dinas Pertambangan (Energi dan Sumber Daya Mineral) Kabupaten Muba, polisi, BP Migas, pemilik dan pengelola pipa, serta pemilik minyak yang lewat di jalur pipa. "Ini perlu dilakukan sehingga penyelesaiannya tidak parsial," katanya. "Kalau polisi saja yang menertibkan, bisa terjadi dampak sosial yang luas," ia menegaskan.

No comments:

Post a Comment