Sunday, August 5, 2012

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri terus mengumbar perang urat syaraf dalam sepekan ini. Pasca drama penggeledahan oleh KPK di markas Korps Lalu Lintas (Korlantas), Senin (30/7/2012), kedua instansi penegak hukum itu saling hujat. Mereka kembali mempertontonkan drama 'cicak vs buaya' babak kedua di depan publik.
Dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (3/7/2012), Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Pol Sutarman, menganggap KPK tidak beretika, karena menggeledah Korlantas tanpa izin. Sutarman menuding KPK menabrak kesepahaman (MoU) yang dibuat antara KPK, Polri, dan Kejaksaan.

Sutarman juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau berbagi barang bukti kasus dugaan korupsi dana pengadaan driving simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) yang disita dari Gedung Korps Lalu Lintas. Jika tidak, ia mengancam akan mengambil paksa barang bukti itu dari KPK. "Tidak masalah mau disimpan di mana, tetapi kalau tidak diizinkan, kami akan lakukan penyitaan," kata Sutarman.
Menurut dia, masalah penggunaan barang bukti ini perlu didiskusikan antara Polri dan KPK. Ini karena kedua pihak sama-sama mengusut kasus yang melibatkan mantan Kepala Korlantas Irjen Pol. Djoko Susilo ini. "Kalau dihalang-halangi, kami juga bisa menerapkan Pasal 21, karena kami juga melakukan penyelidikan," ujar mantan Kapolda Metro Jaya ini.
Terkait barang bukti, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menegaskan bahwa barang bukti kasus itu sepenuhnya menjadi kewenangan lembaganya. Namun, kata Bambang, penegak hukum lain bisa turut menggunakan barang bukti yang berada di bawah penguasaan KPK itu, asalkan membuat permohonan dulu kepada KPK.
Sebagaimana diketahui, kasus simulator SIM ini sama-sama ditangani KPK dan Polri. Tiga tersangka, Brigjen Didik Purnomo, dua pengusaha, BS dan SB, sama-sama dijadikan tersangka oleh kedua institusi sehingga timbul polemik lembaga mana yang paling berhak menanganinya.
Ketua KPK Abraham Samad meminta Polri menyerahkan kasus ini ke lembaganya. Polri hanya diminta untuk membantu proses penyidikan saja. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Polri. Korps Bhayangkara tetap ngotot mengusut kasus ini.
Sutarman menegaskan bahwa bahwa pihaknya lebih dulu mengusut kasus tersebut dibanding KPK. "Polri juga berhak melakukan penanganan kasus itu," tegasnya.
Menurut Sutarman, penyelidikan Polri sesuai Sprinlid/55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012. Atas dasar itu, penyidik Polri telah melakukan interogasi dan pengambilan keterangan dari 33 saksi yang dinilai tahu tentang pengadaan simulator SIM roda 2 dan roda 4. "Kalau dilihat dari Sprinlid itu, maka otomatis Polri melakukan penyelidikan lebih dahulu. Itu kalau dilihat siapa yang lebih dahulu," terangnya.
Pihak kepolisian juga sudah mengirim surat ke KPK, terkait pengakuan Sukotjo Bambang bahwa dirinya sudah menyampaikan data dan informasi ke KPK. "Bareskrim mengirim surat ke KPK dengan nomor surat B/3115/VII/2012/Tipidkor perihal dukungan penyelidikan yang isinya meminta data dan informasi yang dimiliki KPK tentang pengumpulan bahan keterangan," tutur Sutarman.
Yurisprudensi yang mendasari Polri untuk tetap menangani kasus tersebut adalah nota kesepahaman (MoU) yang telah disepakati tiga lembaga penegak hukum yakni Polri, Kejagung dan KPK. Hal itu, kata Sutarman, sudah dilakukan sejak lama dan dipraktikkan dalam sejumlah kasus. "Joint investigation penanganan seperti ini sudah dilakukan, yaitu pada saat penegakan hukum menangani kasus APBD," ujarnya.
Kapolri dan Pimpinan KPK memang telah berkordinasi dan bersepakat untuk meminta waktu menangani kasus korupsi simulator SIM. Namun, menurut Sutarman, belum ada kesepakatan bahwa Polri mempersilakan KPK yang menangani kasus tersebut.
"Sebelum ketentuan beracara ada, ada MoU yang ditandatangani KPK, Polri, Kejaksaan, MoU ini tidak diindahkan dengan baik, selama acara belum ada, dan MoU ditabrak, Bareskrim akan tetap melakukan penyidikan kasus ini," tambahnya.
Nah, terkait tudingan bawa KPK melabrak kesepahaman dengan Polri, juru bicara KPK, Johan Budi SP, menegaskan bahwa KPK tidak menabrak  apapun dalam penggeledahan tersebut. "Semangat MoU ini tentu dijaga oleh KPK," kata Johan di kantornya, Jakarta, Jumat 3 Agustus 2012.
Menurut Johan, KPK telah meminta izin kepada pimpinan Polri sebelum melakukan penggeledahan Korlantas. "Jadi, sebelum proses itu, sekali lagi saya sampaikan, sudah ada pertemuan antara pimpinan KPK dengan pimpinan Polri," katanya.
Johan mengatakan, tudingan Sutarman ini hanya bentuk dari kesalahpahaman. Sebab, persepsi setiap orang terhadap pertemuan pimpinan KPK dengan pimpinan Polri bisa berbeda-beda. Karena itu, kata Johan, kesalahpahaman itu harus segera diluruskan. Untuk meredam polemik itu, pimpinan KPK berniat akan kembali menemui Kapolri, Jenderal Timur Pradopo.
Menurut Johan, pertemuan itu untuk membahas kesimpangsiuran penanganan kasus yang melibatkan Gubernur Akademi kepolisian (Akpol) Irjen Pol Djoko Susilo ini. Selain itu, juga untuk membahas pernyataan-pernyataan yang tidak perlu ditanggapi. "Nanti akan ada proses duduk bersama, sehingga lebih jelas bagaimana peran masing-masing, antara KPK dengan Polri," ujar dia.
KPK juga berharap agar media tidak membuat suasana  semakin keruh. "Kalau ada hal-hal yang mengeruhkan suasana, tentu yang senang adalah para koruptor," katanya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai adanya upaya Polri melokalisir kasus korupsi pengadaan korlantas SIM agar tidak meluas ke jajaran pejabat Polri. ”Karena ada upaya membajak penanganan kasus dan penghalang-halangan pengambilan barang bukti. Dengan pembajakan itu maka penanganan dan pemeriksaan tersangka menjadi sulit,“ kata peneliti ICW Donal Fariz di Jakarta, Jumat (3/8/2012).
Donal menilai, Polri tidak akan independen dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan petinggi lembaga penegak hukum itu. ”Ada beberapa kasus yang menguap dan tidak sampai ke aktor intelektual. Misalnya kasus rekening gendut, ICW sudah melakukan gugatan dan dimenangkan, tapi Polri tidak mau membuka nama pemilik rekening gendut. Ini adalah upaya melindungi koprs,“ katanya.
Sementara itu, pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksmana menganggap tidak ada satupun alasan logis yang sesuai UU terkait penanganan kasus korupsi simulator oleh Polri. “Polri menunjukkan arogansinya terhadap hukum yang harusnya ditegakkan dan dibelanya sendiri sebagai institusi hukum,” ujar Ganjar.
Dalam kasus korupsi simulator Korlantas Polri ini, kedua lembaga penegak hukum yakni KPK dan Polri harus duduk bersama. Upaya demoralisasi satu lembaga ke lembaga lainnya harusnya dihindari. Bagaimanapun, kelembagaan KPK dan Polri tak boleh lemah ataupun dilemahkan.
Perdebatan di publik antara Polri dan KPK jika terus dibiarkan akan memberi dampak dalam upaya pengungkapan kasus korupsi di Korlantas. Substansi masalah akan kabur tertutup perdebatan yang tak produktif.
Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PPP Ahmad Yani menyebut, seharusnya Kapolri Timur Pradopo memanfaatkan momentum kasus Korlantas ini untuk bersih-bersih institusi polri. Begitu pula dengan KPK, kata Yani, agar tetap bekerja sesuai on the track.
"Jangan membangun opini dan mengharap dukungan publik. Jangan sampai kasus cicak vs buaya terulang," kata Yani.

No comments:

Post a Comment