Monday, December 13, 2010

LATAR BELAKANG MEDIA AMERIKA


Menguak Wajah Media Amerika

Di antara selaksa buku yang mengisi rak-rak toko sepanjang Jakarta, saya menemukan dua buku dengan topik jurnalisme mengundang mata. Satu buku, "The New York Times, Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak", ditulis Ignatius Haryanto, wartawan Indonesia yang pernah bekerja di tiga majalah kredibel.Buku lainnya, "Dosa-dosa Media Amerika, Mengungkap Fakta Tersembunyi Kejahatan Media Barat" buah karya Jerry D Gray, bekas anggota US Air Force (Angkatan Udara Amerika Serikat) yang pernah membantu Metro TV mengembangkan stasiun berita milik Surya Paloh tersebut. Yang mengikat keduanya, Haryanto dan Gray sama-sama membedah media Amerika Serikat (AS) kendati dengan optik yang kontras.Haryanto mengambil kasus kecemerlangan The New York Times (selanjutnya disebut NYT) mengarungi masa dua abad lebih bersama AS. Satu kibasan waktu ketika NYT jatuh ke tangan Adolp Ochs dan diteruskan anak cucunya hingga kini. NYT telah menggarami jurnalisme sejak 1896.

Koran ini berkembang sebagai media prestisius di negeri Paman Sam, memenangi 90 penghargaan Pulitzer antara tahun 1918 dan 2004, hidup berdampingan dengan 20 presiden AS, serta menukilkan kode etik internal yang hampir paripurna.Integritas persDi mata Haryanto, NYT tak lain dan tak bukan adalah nama sebuah integritas. Wartawan NYT sangat memegang apa itu integritas, kemampuan, dan reputasi. Untuk menjaga itu semua, wartawan NYT dalam menuliskan berita selalu memelihara standar tertinggi guna memastikan bahwa mereka tidak mengurangi kesetiaan dan kepercayaan pembaca (publik).Standar NYT itu termaktub dalam Guidelines of Integrity. Inilah kode etik NYT yang membahas kaidah NYT ihwal pengutipan narasumber, reportase yang dilakukan oleh wartawan lain di luar NYT, pemeriksaan kembali fakta, soal koreksi (berita), hal tentang penolakan atas berita yang ditulis, tentang sumber yang tak mau disebutkan namanya, teknik untuk menyamarkan sumber atau lokasi berita, tentang penyamaran, dan etik dalam penggunaan foto atau imaji lainnya (halaman 15).

Dalam penulisan sumber anonim, misalnya, NYT hanya menggunakannya jika tak punya pilihan lain kecuali mengumumkan berita tersebut karena beritanya memang layak dan narasumbernya terpercaya. Koran ini peduli sekali terhadap integritas karena sejak awal Ochs sudah menanamkannya pada wartawan koran ini. Pendiri NYT itu mendeklarasikan kalimat "to give the news impartially, without fear of favor" (menuliskan berita tanpa pandang bulu, tanpa takut atau pemihakan) untuk koran palingprestisius di AS itu. Bagi wartawan NYT, kalimat itu sudah bak 10 Perintah Allah kepada Musa di Gunung Sinai (halaman 43).Satu hal fenomenal dilakukan surat kabar ini kala membongkar Pentagon Papers kepada khalayak AS. Ini adalah dokumen Departemen Pertahanan yang menjadi cetak biru AS soal Vietnam. Wartawan NYT, Neil Sheehan, memperoleh dokumen rahasia itu pada April 1971 dari salah seorang penulis Pentagon Papers, Daniel Ellberg.

Orang ini belakangan menolak intervensi AS karena mendukung pemerintahan korup di Vietnam. Apalagi ia menyaksikan ribuan tentara AS mati di medan perang dan puluhan ribu jiwa warga Vietnam menjadi korban. Ellberg membocorkan dokumen itu karena baginya publik AS perlu tahu atas kebohongan pemerintahan Lyndon Johnson. NYT pun memublikasikan dokumen tersebut secara berkala tanpa takut agar publik AS tahu fakta yang sebenarnya berkaitan dengan campur tangan negeri itu di Vietnam.Sedemikian pun, NYT bukan tanpa cela. Haryanto mencontohkan kredibilitas NYT mencapai titik nadir ketika wartawan mudanya, Jayson Blair, menurunkan berita palsu pada April 2003.

Blair menulis kisah Jessica D Lynch, perempuan tentara AS yang tertawan tentara Irak saat AS menyerbu negeri itu pada awal 2003. Tapi, laporan Blair itu bukan karyanya, melainkan hasil menjiplak dari laporan sebuah surat kabar di Texas.Sebelumnya, Blair juga menulis berita bohong soal profil Roger Groot, profesor hukum dari Universitas Washington dan Universitas Lee di Virginia. Ia melaporkan Groot sebagai profesor botak, padahal ciri fisik Groot tidak demikian. Usut punya usut, deskripsi fisik Groot itu hanya rekaan Blair karena dia tak pernah bertatap muka dengan Groot.Yang perlu diacungi jempol, NYT tidak lempar batu sembunyi tangan. Surat kabar ini meminta maaf secara terbuka kepada publik AS atas praktik plagiat dan berita bohong Blair itu. Untuk mencegah pengulangan praktik semacam ini, NYT lalu membentuk Public Editor, satu lembaga yang ditabalkan untuk menampung keluhan publik berkaitan dengan pemberitaan koran tersebut (halaman 3-7).

Bangkai persApabila Haryanto membatasi diri pada NYT, tidak demikian dengan Gray. Pria kelahiran Weisbaden, Jerman, yang menyunting perempuan Indonesia ini menguliti media AS lewat serangkaian kasus lebih mutakhir. Times, Business Week, Knox News, Washington Post, CNN, Fox News, hingga BBC menjadi sasaran kritik Gray. Gray mengafirmasi ukiran-ukiran tangan jurnalis di AS seperti tampak dalam berita CBS ihwal Pentagon Papers, hingga pemberitaan tentang skandal Watergate yang menyadarkan dunia betapa gemuruhnya kebebasan pers di negeri itu. Namun, apresiasi itu kini berujung getir kala ia menyaksikan Persatuan Wartawan Gedung Putih (White House Press Corps) telah berubah menjadi "Bangkai Pers Gedung Putih" (The White House Corpse). Mengapa?Menurut Gray, kini sulit mencari jurnalis independen yang memegang kebenaran dan keadilan di AS. Sebaliknya, saat ini publik AS tak bisa memiliki sumber informasi lain kecuali media korporat.

Akibatnya, publik AS lebih mengandalkan informasi dari pers internasional (lewat internet) ketimbang pers domestik untuk sekadar mengetahui kabar tentang negeri mereka sendiri. Klaim ini sayangnya tidak disertai data sehingga apa yang dilontarkan Gray lebih mengeksploitasi subyektivitas ketimbang fakta yang sebenarnya.Tidak berhenti di situ, Gray menyebut jurnalis yang bertugas di Gedung Putih telah tumpul. Dia mencontohkan, dalam tiga tahun pertama pemerintahan George Walker Bush, pernah satu kali presiden asal Partai Republik ini mengadakan konferensi pers. Sayangnya, kata Gray, acara dengan topik riwayat militer Bush itu diisi sekelompok pengecut bertopeng jurnalis.Gray menilai konferensi pers di Gedung Putih hanya tontonan, tak ada sisi pendidikannya. Para jurnalis di sana membuang percuma untuk melontarkan pertanyaan kritis seperti "Mengapa Anda banyak berlibur pada Agustus 2001, padahal Anda tahu negara ini akan diserang? (sebelum 9/11)", "Mengapa Anda mengatur agar anggota keluarga Bin Laden dan keluarga Saudi lainnya meninggalkan AS setelah 11 September sebelum FBI mengajukan pertanyaan kepada mereka?", "Mengapa Anda bohong dan menakut-nakuti rakyat Amerika dan dunia tentang bahaya yang diciptakan Irak (senjata pemusnah massal)", "Mengapa Anda mengklaim kekejaman di Abu Ghraib dan penjara lain di Irak dan Afganistan adalah perbuatan segelintir orang tanpa komando" (halaman 43-57).Jurnalis yang tumpul tadi kian parah seiring dukungan korporasi media terhadap kebijakan pemerintahan Bush. Berlakulah "diktum Malcolm X" pada media AS: media memiliki kekuatan menjadikan orang yang bersalah sebagai yang tak berdosa, dan sebaliknya! Klaim adanya senjata pemusnah massal di Irak tak terbukti.

Demikian pula tudingan pemerintahan Bush bahwa Muhammad Atta (tertuduh pemimpin serangan 11 September) bertemu intelijen Irak di Praha dibantah Presiden Ceko. Namun, tanpa ampun, AS tetap menginvasi Irak pada 2003.Tidak terpukauBush dan sekutunya menikmati dukungan media domestik, nyaris tanpa oposisi. Tak satu pun media korporat menginvestigasi kebohongan dan tipu muslihat yang dijadikan sandaran (Bush) melancarkan perang (kepada Irak). Media korporat tak melaporkan berita sebagaimana galibnya pers memberitakan (halaman 98).Ini juga yang menjadi alasan mengapa CNN, Fox News, ABC, CNBC, BBC, atau media utama Barat lainnya tak melaporkan ihwal tindakan militer AS yang membakar dua jenazah milisi Taliban, seorang bocah laki-laki usia sebelas tahun ditahan di Abu Ghraib, militer AS melecehkan kitab suci Al Quran di Guantanamo, tentara AS menari-nari di sekitar jenazah warga sipil Irak, dan sebagainya.Media korporat hanya melaporkan berita-berita yang mengharumkan nama Pemerintah AS, sementara kebenaran yang akan mengotori citra itu disingkirkan.

Gray mengelompokkan praktik demikian sebagai manipulasi pikiran. Bagi Gray, khotbah alumnus NYT, Bill Kovach, bahwa tugas utama seorang jurnalis adalah mengungkap kebenaran hanyalah isapan jempol belaka dalam praktik jurnalistik di AS.Apa yang diurai Gray pada satu sisi telah menelanjangi media AS. Namun, data-data yang dijadikan rujukan baru sebatas "fakta permukaan" yang tidak dalam dan tuntas. Dia teperdaya untuk membuat kesimpulan-kesimpulan sensasional. Akan sangat menarik jika Gray melakukan riset lebih mendalam.

Misalnya, apa konteks tentara AS menari-nari di sekitar jenazah warga sipil Irak: apakah untuk menghina atau tindakan itu tak berhubungan sama sekali dengan keberadaan jenazah warga sipil tersebut? Paling tidak, Gray bukan hanya kritis terhadap pemerintah dan media AS, tetapi juga harus kritis terhadapdata-data hasil risetnya.Di atas segalanya, dua buku yang ditulis Haryanto dan Gray ini menyadarkan kita bahwa melihat media AS tak harus selalu dengan terpukau. Ada pelajaran yang bisa dipetik, tapi ada juga cela yang tak perlu ditiru. Setialah selalu pada jurnalisme an sich.

No comments:

Post a Comment