Sunday, January 24, 2010

Kerugian dari Kerusakan Mangrove Capai Rp 42,585 Triliun/Kebijakan Tak Jelas, Mangrove Jadi Korban

Kerugian dari Kerusakan Mangrove Capai Rp 42,585 Triliun
Kamis, 28 Agustus 2008

KUBU RAYA, KAMIS - Sekretaris Program Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP) Mangrove Indonesia Ahmad Faisal Siregar menyayangkan adanya izin usaha tambak yang diterbitkan di areal hutan lindung mangrove. Ia mengungkapkan, kerusakan hutan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya yang terpantau melalui citra satelit tahun 2007 mencapai 1.700 hektar.
Kerusakan hutan lindung mangrove karena pembukaan usaha tambak itu mulai marak dalam kurun waktu 2002-2003. "Total nilai ekonomi yang disediakan hutan lindung mangrove di sana, termasuk nilai vegetasi dan kemampuannya menyerap karbon, diperkirakan mencapai Rp 50 juta per hektar," katanya.
Dengan perhitungan tersebut, maka kerugian negara akibat kerusakan 1.700 hektar hutan lindung mangrove itu mencapai Rp 85 miliar. Kerugian itu belum memperhitungkan kerusakan struktur tanah dan biaya yang harus dikeluarkan untuk merehabilitasi hutan lindung mangrove yang rusak.
Faisal memberikan gambaran, untuk merehabilitasi hutan mangrove di Jakarta yang digunakan untuk areal tambak dengan luas 1x4 meter sedalam 1,5 meter, dibutuhkan biaya Rp 10 juta. Dengan perhitungan tambak yang dibuka di areal hutan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya sekitar 1.700 hektar, maka untuk merehabilitasinya dibutuhkan biaya sekitar Rp 42,5 triliun.


Kebijakan Tak Jelas, Mangrove Jadi Korban

Rabu, 3 September 2008
PONTIANAK, RABU - Ketidakjelasan kebijakan dan ketiadaan koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, dituding menjadi penyebab munculnya persoalan tumpang tindih areal tambak di atas hutan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Pasalnya, Dinas Perikanan Kelautan dan Perikanan menjalankan Program Teknologi Peningkatan Produksi Perikanan (Protekan) dari Departemen Kelautan dan Perikanan, mendorong pembangunan tambak udang di kawasan yang ternyata merupakan hutan lindung mangrove.
Darwin Muhammad, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kalbar yang merupakan salah satu pemilik tambak udang di Desa Dabung, Rabu (3/9) menyatakan, ia membuka 20-30 hektar tambak di sana karena ditawari DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) untuk berpartisipasi menyukseskan Protekan tahun 1998-1999. Jika pembukaan tambak saat itu melanggar area hutan lindung mangrove, seharusnya Dinas Kehutanan melarang sebelum usaha tambak di sana makin marak.
"Saya membeli tanah garapan di sana, mengurus perijinannya, serta membayar pajak dari hasil tambak itu. Kalau kemudian ada penetapan kawasan hutan lindung di sana, apakah berarti pemilik tambak di sana bersalah?" katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, sekitar 300 hektar dari 34.884 hektar hutan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, telah dikonversi menjadi tambak tanpa ada proses pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan RI. Ironinya, DKP mengeluarkan ijin atas pembukaan usaha tambak tersebut.
Rentang waktu pembukaan tambak di sana dimulai tahun 1998-1999, di mana Surat Keputusan Menhut No 259/kpts-II/2000, yang menetapkan kawasan tersebut m asuk dalam kawasan hutan lindung, belum diterbitkan.
Selaku pemilik tambak, Darwin berharap ada solusi dari pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten atas persoalan tersebut. Perlu ditata, mana yang tetap dipertahankan untuk hutan lindung dan mana yang boleh digunakan untuk usaha tambak. Instansi kehutanan maupun perikanan perlu berkoordinasi menyelesaikan persoalan ini, j angan sampai orang takut berinvestasi karena tidak ada kepastian jaminan hukum atas usaha tambak tersebut, katanya.
Secara terpisah, Kepala DKP Kalbar Budi Haryanto mengungkapkan, Pemerintah Provinsi Kalbar akan mengambil jalan tengah atas persoalan itu dengan mengusulkan perubahan status sebagian kawasan hutan lindung mangrove di Kubu Raya menjadi kawasan produksi yang bisa dimanfaatkan untuk usaha pertambakan.

No comments:

Post a Comment