Sunday, January 24, 2010

Melihat Sentra Barang Bekas di Kualatungkal . Semakin Sepi setelah Terbit Peraturan Menteri

Ditulis oleh Chandra Purnomo, Kualatungkal
Rabu, 20 Januari 2010
Tak banyak lagi yang bisa diharapkan pedagang di pasar pakaian bekas atau PJ Kualatungkal, Tanjab Barat. Sejak dikeluarkan peraturan menteri perdagangan tentang ketentuan membatasi produk impor, pedagang menjerit. Tak banyak keuntungan yang bisa diraup.
Daerah di pantai timur itu strategis bagi lalu lintas keluar-masuk kapal dari Singapura dan Malaysia. Kota bahari tersebut sempat terkenal pada 1997. Waktu itu, Departemen Perhubungan secara resmi menunjuk Pelabuhan Kualatungkal sebagai pelabuhan terbuka.

Ternyata seiring waktu, kota yang terkenal dengan pasar barang seken atau lebih dikenal pasar PJ itu tenggelam setelah Menteri Perdagangan menerbitkan Permendag Nomor 44/M-DAG/Per/12/2008 dan diperbahurui lagi dengan Permendag No 56/M-DAG/Per/12/2008 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.

Penerbitan peraturan menteri perdagangan secara tidak langsung mematikan perekonomian di Kualatungkal. Impor produk tertentu, di antaranya makanan dan minuman, alas kaki, pakaian jadi, mainan anak-anak, dan elektronika hanya diperbolehkan masuk melalui lima pelabuhan laut tertentu dan seluruh pelabuhan udara internasional. Pelabuhan Kuala Tungkal tidak seperti dulu lagi.

Pada 1997 hingga terbit permendag itu, pedagang barang bekas masih bisa tersenyum. Pasar Parit 1 dan Jalan Pelabuhan merupakan sentra penjualan barang bekas dari Singapura dan Malaysia. Mulai pakaian bekas hingga barang elektronika dapat dijumpai di lokasi itu. Pembeli berdatangan dari luar kota hingga luar provinsi.

Dahulu harga PJ (sebutan barang bekas) masih terjangkau dan menjadi bisnis menjanjikan. Sekarang harga PJ menyamai harga jual barang baru. Di samping itu, PJ tidak bisa masuk sebebas tahun 90-an, tersandung kebijakan Departemen Perdagangan.

Said, salah satu pedagang pakaian bekas di Jalan Pelabuhan, mengatakan bahwa bisnis pakaian bekas tidak begitu menggiurkan bila dibandingkan sepuluh tahun lalu. Saat ini dia belanja barang PJ dari Tembilahan dengan harga beli dua kali lebih besar dari sebelumnya. Seperti jaket kulit, satu bal bisa dihargai Rp 14 juta. “Kalau dulu harga satu bal hanya Rp 6 juta-Rp 7 juta, kita masih bisa dapat untung,” kata Said kemarin (19/1).

Pembeli juga tidak begitu banyak seperti dulu. Selain harga jual yang tinggi, model-model pakaian tidak begitu menarik pembeli. “Mau tidak mau kita harus naikkan harga jual, karena modal saja sudah besar. Kita tidak ambil dari kapal lagi, tapi mesan dari Tembilahan, Kepri. Sistem pembayaran melalui rekening. Kita transfer dulu, baru barang dikirim,” ujar lelaki yang sudah 15 tahun berjualan pakaian bekas itu.

Pakaian bekas yang dijual pada 1997 ke atas tidak hanya buatan Singapura dan Malaysia. Produk Jepang dan Korea banyak dijual dengan kualitas menyamai pakaian jadi. “Tentu harganya masih terjangkau pembeli. Kita pun beli barang bisa dibayar di belakang. Satu hari buka bal, bisa habis laku terjual. Kalau sekarang, putaran duitnya bisa sampai tiga bulan,” keluhnya.(bersambung)

No comments:

Post a Comment