Tuesday, December 14, 2010

Hentikan Ekspansi Sawit di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang!

aceh tamiang:

Hutan pesisir Aceh (termasuk vegetasi mangrove dan pepohonan pantai), merupakan ekosistem pesisir yang mengalami kerusakan paling parah akibat tsunami. Menurut BRR NAD-Nias (2006), total area vegetasi pesisir yang rusak mencapai 105.260 ha. Pesisir Pantai Barat Aceh (termasuk Aceh Besar dan Banda Aceh) adalah kawasan yang mengalami kerusakan hebat dikarenakan berhadapan langsung dengan sejumlah pusat gempa pada 26 Desember 2004 lalu.

Namun berbicara laju dan tingkat kerusakan, kerusakan ekosistem pesisir di Pantai Timur juga sama parah! Formasi mangrove di sepanjang pesisir timur Aceh membentang dari Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang juga telah ataupun terus menyusut raib dan sebagian besar tegakan yang tersisa kini dalam kondisi rusak parah, adapun sebagian kecilnya yang masih dalam kondisi baik terfragmentasi dan rentan. Hal ini berlaku karena tegakannya dibalak untuk dijadikan kayu bakar, bahan baku arang dan bahan bangunan serta lahannya masif (secara besar-besaran) dikonversi menjadi tambak intensif, kebun sawit dan pemukiman. Kondisi terkini hutan mangrove Aceh Tamiang adalah fakta tak terbantahkan sekaligus menjadi representasi hitamnya potret ‘pembangunan pesis ir Aceh’.

Kawasan Hutan Mangrove yang sudah 'botak' di Lubuk Damar, Aceh Tamiang. Tampak beberapa bibit sawit siap tegak disiapkan di badan jalan yang juga sengaja dibuat untuk memuluskan kegiatan ekspansi sawit (Foto Direkam: Mei 2009/Dok.: LeBAM-KuALA)
Kawasan Hutan Mangrove yang sudah ‘botak’ di Lubuk Damar, Aceh Tamiang. Tampak beberapa bibit sawit siap tegak disiapkan di badan jalan yang juga sengaja dibuat untuk memuluskan kegiatan ekspansi sawit (Foto Direkam: Mei 2009/Dok.: LeBAM-KuALA)

Di Aceh Tamiang, hutan mangrove luasnya mencapai ± 21,6 ribu ha. Saat ini, kondisi mangrove berstatus lindung seluas ± 5,7 ribu ha semakin terjamah dan hampir separuhnya telah dan segera berganti dengan tegakan sawit. Sementara itu, ± 15,9 ribu areal mangrove yang dilabel sebagai hutan produksi dipastikan kerusakannya lebih ‘gila’ (dahsyat) lagi. Walhasil diperkirakan, tidak lebih dari seperlima sisa tegakan mangrove yang masih pantas dibanggakan sebagai hutan khas pesisir di wilayah itu akan segera lenyap dalam kurun waktu 7-10 tahun mendatang bila kegiatan perambahan, pembalakan dan pengalihfungsian lahan termasuk ekspansi (perluasan) sawit terus saja dibiarkan dan tidak segera ‘ditertibkan’ (dihentikan dan ditindak).

Secara langsung dan tegas melalui Aksi Damai di Banda Aceh pada tanggal 22 Januari 2010, KuALA beserta sejumlah lembaga-lembaga anggotanya telah menyampaikan sikap dan desakan kepada legislatif (DPRA) Aceh untuk segera mengambil langkah-langkah konkrit dalam penyelesaian krisis pesisir Aceh Tamiang termasuk meminta kepada Pemerintah Aceh untuk segera “mengeluarkan sawit” dari kawasan hutan mangrove yang berada di kabupaten tersebut. Pimpinan DPRA, Amir Helmi, yang menerima perwakilan KuALA saat itu berjanji bahwa DPRA melalui komisi terkait akan melakukan tinjauan langsung ke lapangan pasca Dewan Aceh memfinalkan APBA Tahun 2010.

Aktivis KuALA sedang berunjukrasa di depan Gedung DPRA mendesak penanganan krisis pesisir Aceh, khususnya kasus perusakan Hutan Mangrove Aceh Tamiang (Foto: MaymoenDoank)

Aktivis KuALA sedang berunjukrasa di depan Gedung DPRA mendesak penanganan krisis pesisir Aceh, khususnya kasus perusakan Hutan Mangrove Aceh Tamiang (Foto: MaymoenDoank)

Namun, mengingat pembahasan Anggaran Aceh yang tak kunjung selesai hingga saat ini, M. Arifsyah Nasution (Arifsyah), Koordinator KuALA menyatakan: “Kita tetap menilai Dewan masih komit, namun kita juga tidak menaruh target apakah hingga saat ini mereka masih akan atau sudah turun ke lapangan, karena yang mendasar yang ingin kita lihat adalah wujud konkritnya. Kalau sampai dengan akhir Maret 2010 ini kita nilai Dewan Aceh belum memainkan fungsi vitalnya, segenap komponen Jaringan KuALA beserta mitra-mitra strategisnya dengan senang hati akan ‘meramaikan’ kantor Dewan kembali”, ungkapnya serius.

KuALA mendesak penghentian ekspansi sawit di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang, karena jelas-jelas bertentangan dengan semangat, prinsip dan nilai: keadilan lingkungan, keadilan sosial dan keadilan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam, yang secara substantif dituangkan KuALA pada sejumlah landasan fikir dan pandang sebagai berikut:

  1. Secara ekologis, ekspansi sawit sepenuhnya akan merubah rona lingkungan (ekosistem) pesisir Aceh Tamiang karena modusnya alur-alur sungai ditutup, lahan-lahan yang awalnya basah terpetak-petakkan dan akhirnya mengering, tegakan mangrove khas hutan pesisir berubah menjadi vegetasi sawit dan yang terdahsyat adalah musnahnya keanekargaman hayati.
  2. Secara sosial, ekspansi sawit sepenuhnya di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang akan meningkatkan dan memperuncing konflik atas hak penguasaan lahan; mengingat jual-beli dan lepas-ikat lahan di kawasan hutan mangrove selama ini sebagian besar terjadi dan didorong atas motif pengembangan sawit yang mendapat dukungan dari oknum penguasa dan pemodal, sehingga dalam konteks ini secara sah dan menyakinkan masyarakat akar-rumput sengaja diperalat untuk kemudian dikorbankan.
  3. Secara ekonomi, ekspansi sawit sepenuhnya akan menggusur secara paksa matapencaharian masyarakat tradisional pesisir Aceh Tamiang yang sangat bergantung dengan kelestarian hutan mangrove, juga dalam konteks ini pengembagan matapencaharian berbasis ekosistem khas pesisir hanya akan berada di dalam berkas, bukan pada realitas.
  4. Secara yuridis, ekspansi sawit di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang sepenuhnya adalah nyata tindakan pelanggaran lingkungan berat. Lebih dari itu, pembiaran perluasan sawit di kawasan hutan lindung tidak hanya mengangkangi hukum dan hak adat, tetapi juga bertentangan dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku, baik dalam delik perlindungan lingkungan maupun penataan ruang.
  5. Secara politis, ekpansi sawit di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang sepenuhnya mengukuhkan keberpihakan pemerintah Aceh terhadap kepentingan kapitalis rakus yang menghalalkan segala cara untuk menyedot keuntungan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang sekalipun harus merusak lingkungan. Ini adalah penyerobotan alias sobotase hak-hak masyarakat pesisir akar-rumput Aceh Tamiang dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam pesisir secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.

Pun saat ini LeBAM, satu lembaga anggota KuALA di Aceh Tamiang beserta seluruh mitra akar rumputnya di lapangan –dengan dukungan advokasi di level regional, nasional maupun internasional oleh Jaringan KuALA– terus mengumpulkan dan memutakhirkan informasi aktual dan data faktual atas berbagai pelanggaran lingkungan yang terus dan semakin marak terjadi di pesisir Aceh Tamiang. Oknum-oknum penguasa dan pemodal (terutama oknum dari jajaran abdi dan alat negara serta para pengusaha dan perusahaannya) yang terlibat atas ‘merajalelanya sawit’ dan asbab lainnya yang berakibat pada semakin parahnya kerusakan hutan mangrove Aceh Tamiang, akan menjadi target ekspos dan prioritas perkara.

Disamping itu, KuALA berpandangan bahwa ‘paradigma pembangunan ekonomi hijau Aceh’ yang dikemas Irwandi Yusuf (selaku Gubernur Aceh) dalam ‘Aceh Green’, haruslah pendekatan dan penerapannya sejalan, membumi dan sinergi dengan kepentingan pemulihan dan agenda penyelamatan lingkungan hidup di Aceh. “KuALA mendukung ‘Aceh Green’ tanpa mengurangi sedikitpun pandangan dan catatan kritis kita terhadap substansi tekstualnya maupun terhadap realitas lapangan yang secara kasat mata berlaku mengiringi implementasinya. Dalam kasus ini, penanganan serius dan konkrit krisis mangrove Aceh Tamiang tentu menjadi salah satu bentuk keseriusan bersama Pemerintah dan masyarakat terkait upaya perwujudan Visi ‘Green’-nya Aceh”, terang Arifsyah.

1 comment: