Monday, December 13, 2010

Aroma Ada, Pintu Suap Sulit Pengalaman Beperkara di Mahkamah Konstitusi

Aroma Ada, Pintu Suap Sulit

Pengalaman Beperkara di Mahkamah Konstitusi

KETUA Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud M.D. tak jadi mundur. Itu terjadi setelah tuduhan adanya jual beli putusan di lingkungan para hakim MK tidak terbukti. Kita harus bersyukur atas keputusan putra Madura itu dan diumumkannya secara terbuka hasil investigasi oleh tim menyusul gonjang-ganjing tuduhan praktik suap di lembaga negara tersebut. Keberanian dan ketegasan Mahfud untuk mengizinkan tim investigasi melakukan penyelidikan internal MK menjadi preseden baik bagi lembaga yang dipimpinnya maupun lembaga peradilan lain di Indonesia pada masa depan.

Gonjang-ganjing isu suap yang menyerempet lembaga negara itu bermula dari tulisan Refly Harun, seorang pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, dalam sebuah koran nasional. Dalam tulisannya, Refly mengungkapkan bahwa dirinya pernah mendengar seseorang dari Papua yang menyediakan uang bermiliar-miliar untuk beperkara di MK. Dia juga mengaku melihat dengan kepala sendiri tumpukan uang Rp 1 miliar yang akan digunakan menyuap majelis hakim MK dalam perkara pilkada.

Tulisan Refly itulah yang kemudian membuat Ketua MK Mahfud M.D. gerah. Dia lantas meminta Refly mem bentuk

tim investigasi guna mem buktikan tuduhannya. Hasil investigasi sudah diumumkan. Memang ada panitera pengganti yang diduga menerima suap.

Namun, tuduhan tersebut bisa dipatahkan karena pihak yang diduga melakukan suap kalah dalam beperkara di MK. Yang mengejutkan justru terungkapnya upaya penyuapan oleh klien Refly yang sedang beperkara. Seorang bupati dari Sumatera terungkap akan menyuap salah seorang hakim MK saat beperkara dalam sengketa pilkada. Perkara itulah yang kini justru menjadi senjata makan tuan bagi Refly dan bupati tersebut.

Hakim MK yang dituduh kini melaporkan Refly dan kliennya ke KPK karena diduga telah berupaya menyuap.

Aroma Suap

Berdasar pengalaman saya beperkara di MK, aroma adanya suap itu memang berseliweran. Tapi, tidak berasal dari dalam lingkungan MK, melainkan dari berbagai pihak yang mengaku punya hubungan khusus ke lembaga pengadilan konstitusi tersebut. Mereka umumnya mengaku mempunyai hubungan istimewa dengan para hakim serta orang dalam di MK. Mereka itu –mungkin saja calo seperti pada umum nya– menawarkan jasa untuk membantu pihak yang beperkara. Tentu dengan imbalan dana yang nilainya bisa mencengangkan.

Bagi orang yang beperkara, tawaran-tawaran seperti itu bisa saja menggiurkan. Apalagi perkara yang menyangkut kekuasaan seperti kepala daerah. Karena itu, tidak mustahil banyak orang yang tergoda untuk menyuap guna dimenangkan perkaranya. Apalagi kalau tim kuasa hukumnya tidak memiliki idealisme maupun pengetahuan yang cukup untuk beperkara di lembaga peradilan konstitusi.

Mereka justru bisa menjadi ’’provokator’’ agar kliennya menyuap.

Sebagaimana diketahui, saya berurusan dengan MK dalam kaitan pilkada Kota Surabaya. Saat itu, saya terpaksa mengajukan gugatan karena, selain amanah konstitusi, menangkap adanya indikasi penyimpangan dalam pelaksanaan pilkada Surabaya. Pengalaman di MK tersebut juga merupakan pengalaman pertama saya beperkara.

Pintu Masuk

Saya beruntung punya kuasa hukum yang idealis dan punya pengalaman panjang beperkara di MK. Sejak awal, mereka selalu mengingatkan bahwa yang bisa memenangkan perkara di MK adalah fakta-fakta yang terungkap dalam sidang. Karena itu, kekuatan saksi menjadi sangat menentukan.

Ten tu saja juga kekuatan argumentasi para pihak dalam sidang. Mereka juga selalu mengingatkan bahwa logika dan proses pengambilan putusan di MK berbeda dari pengadilan umum yang mengandalkan kekuatan bukti-bukti.

Biasanya, dalam kasus pilkada, MK selalu konsen pada kedaulatan rakyat. Mereka akan melihat ada tidaknya kedaulatan rakyat yang dilanggar. Jika bukti dan fakta dalam sidang berhasil mengungkap adanya pelanggaran atas kedaulatan rakyat, hampir pasti si pelanggar dikalahkan.

Selain itu, kecil kemungkinan sistem serta prosedur sidang di lembaga peradilan konstitusi tersebut bisa memberikan celah bagi penyuap. Mengapa? Sebab, proses sidang dan cara pengambilan putusannya sangat terbuka. Setiap sidang selalu direkam yang bisa diakses publik. Semua ruang sidang terhubung dengan media di masing-masing ruangan hakim yang berjumlah sembilan orang.

Jadi, meski tidak mengikuti sidang-sidang, para hakim anggota setiap saat bisa me nyaksikannya lewat media TV internal di ruangan masing-masing.

Transkrip sidang juga terbuka untuk umum. Publik bisa mengakses seluruh transkrip hasil sidang lewat website MK. Semua mendekati realtime. Semua pihak bisa membaca dan mengutipnya setiap saat. Saat tidak bias mengikuti langsung jalannya sidang yang biasanya berlangsung maraton, saya cukup melihat transkrip di laman milik MK. Rasanya, saya belum menemukan transparansi siding lembaga peradilan di luar MK.

Proses pengambilan putusan di MK juga makin memperkecil pintu masuk untuk melakukan suap. Setiap perkara diputus melalui sidang pleno para hakim yang dipimpin Ketua MK Mahfud M.D. Itu berarti setiap perkara diputus sembilan orang. Meski tidak ikut semua dalam sidang pemeriksaan saksi-saksi, para hakim bisa memantau setiap jalannya sidang lewat ruangan masing-masing.

Saya tidak bisa membayangkan untuk bisa mengatur sembilan hakim dalam pengambilan putusan di MK. Saya juga tidak menemukan pintu masuk untuk memengaruhi secara personal putusan majelis hakim. Berdasar pengalaman saya saat beperkara dalam sengketa pilkada, amat sulit untuk bisa bertemu majelis hakim di luar sidang.

Padahal, di antara mereka, saya sangat mengenalnya dengan baik. Bahkan, ada yang masih tergolong saudara. Mahfud M.D. yang saya kenal sejak kuliah di Jogja tak berhasil saya temui.

Karena itu, beperkara di MK sebetulnya bisa sangat murah. Variabel biaya yang besar adalah mendatangkan saksi yang biasanya harus cepat dan melibatkan banyak orang. Juga, pengumpulan buktibukti di lapangan yang memper kuat dugaan adanya pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang kita gugat. Saya beruntung juga tidak perlu menge luarkan banyak dana –selain memang tidak punya dana berlebih– untuk kuasa hukum. Sebab, sebagian besar di antara mereka bersedia menjadi kuasa hukum karena pertemanan dan idealisme mereka. (*)

No comments:

Post a Comment