Tuesday, December 14, 2010

Puluhan Ribu Ha Hutan Lindung Jadi Kebun Sawit: Direktur PT. RML Jadi Tersangka

09 Agustus 2010

Sejak tahun 1997, puluhan ribu hektar hutan lindung yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Kab. Aceh Tamiang dirusak. Bahkan kini dikelola dan dijadikan perkebunan oleh sejumlah perusahaan ternama.

Setelah melakukan survey dan menurunkan tim ahli ke lapangan, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) yang dibentuk Gubernur Aceh berdasarkan Peraturan Gubernur No: 52 tahun 2006 sebagai amanat UU 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, akhirnya melaporkan sejumlah perusahaan ke Polres Aceh Tamiang.

Demikian dikatakan Manager Operasional BPKEL Wilayah Aceh, Badrul Irfan, SH, melalui pers-relisnya diterima Waspada, Minggu (8/8). Menurutnya, sejak tahun 1997-1998 hutan lindung di ujung timur Provinsi Aceh, dirambah dan dibabat habis untuk dijadikan areal perkebunan.

Badrul merinci, setelah pihaknya mengumpulkan bukti dan saksi, akhirnya ke 35 perusahaan dipolisikan. Setelah berunding, 13 perusahaan/individu telah mengembalikan lahannya seluas ±1.780 ha kepada pemerintah dengan tanaman kelapa sawit.

Kata Badrul, di sekitar lahan yang telah diserahkan itu, diperkirakan terdapat ±5.000 ha lainnya berupa bekas hutan yang telah menjadi semak belukar. Pasalnya, di lokasi pernah terjadi aksi illegal logging yang umumnya akan ditanami kelapa sawit. “Bila lahan yang telah rusak ini dihitung maka dapat dikatakan total lahan yang telah diselamatkan hampir 7.000 ha,” tulisnya.

Selain itu, lima perusahaan/individu lainnya sedang dalam proses menyerahkan lahannya kepada pemerintah melalui BPKEL, yakni PT. Tenggulon Raya, PT. Darmasawita Nusantara, PT. Nilam Wangi, dengan luas ± 567 ha lahan kelapa sawit dan diperkirakan 500 ha lahan lain di sekitarnya yang telah rusak. “Bila berjalan lancar, diperkirakan dengan penyerahan ini ±8.000 ha lahan telah diselamatkan baik berupa kelapa sawit maupun hutan yang telah terdegradasi menjadi non hutan,” katanya.

Dia mengungkapkan, satu perusahaan menolak menyerahkan lahannya dengan luas ±67 ha, sehingga setelah cukup bukti ditetapkan sebagai tersangka. Sementara 12 perusahaan/individu telah diberi peringatan atau pemberitahuan untuk meninggalkan lahan garapannya yang berada dalam kawasan hutan.

“Empat perusahaan/idividu masih dalam pengumpulan data, dan jika nantinya menolak menyerahkan lahannya ke pemerintah, maka akan diserahkan ke polisi, karena telah melanggar undang-undang,” tulis Badrul lagi seraya mengatakan, bagi pelaku yang menolak menyerahkan lahan-lahan yang berada dalam kawasan hutan negara, BPKEL melaporkan secara resmi ke Polres Aceh Tamiang.

Berkaitan hal tersebut, sambung Badrul, Polres Aceh Tamiang telah menetapkan K sebagai tersangka dengan tuntutan tindak pidana pelanggaran terhadap UU 41 tahun 1999. Tersangka K yang diduga atas nama pribadi membuka lahan lain seluas ±67 ha yang masuk hutan lindung dalam KEL, terletak di Umbul, Desa Rongoh, Kec. Tamiang Hulu, Kab. Aceh Tamiang.

Badrul mengaku, berdekatan dengan lahan kawasan hutan yang diduduki tersebut, terdapat HGU PT. RML (Rongoh Mas Lestari) (pemegang HGU seluas 317,5 ha). K adalah pelaku yang merupakan Direktur PT. RML, namun menurut keterangan di lapangan, lahan kelapa sawit tersebut dikelola atas nama pribadi tersangka.

Untuk melengkapi bukti status lahan tersangka K terhadap kawasan perkebunan yang dikuasai tersangka, telah dilakukan pengecekan status lahan dengan mendatangkan ahli dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan, Sumatera Utara, yang merupakan Unit Pelaksana teknis (UPT) Kementerian Kehutanan.

Hasil pemeriksaan sementara, kata Badrul, kebun tersangka berada dalam kawasan hutan lindung. Pemeriksaan tersebut juga disaksikan unsur Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Aceh Tamiang, Polres Aceh Tamiang, pekerja di kebun tersangka serta masyarakat.

“Kasus tersangka K di Polres Aceh Tamiang, berdasarkan No: LP/92/V/2010/reskrim tanggal, 17 Mei 2010. Sementara surat penetapan tersangka berdasarkan surat No. Pol: Sp. Gil/ 857/ VII/ 2010/Res, tanggal 28 Juli 2010,” tulis Badrul seraya menerangkan, tersangka diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, Pasal 78 Ayat 2.

No comments:

Post a Comment