Tuesday, December 14, 2010

Berdalih Masyarakat, Buka Lahan Gambut 225 Hektar

14 Desember 2010
Pembukaan lahan yang dikonversikan—dirubah fungsi—menjadi perkebunan kelapa sawit semakin meluas, diwilayah Aceh Tamiang. Dari 21.150 hektar di tiga kecamatan—Manyak Payed, Seruway dan Bandar Khalifah—terparah di desa Lubuk Damar, hingga kini belum ada tindak lanjut dan penyelesaian dari pemerintah. Meski Dirjen kehutanan, Bapedal Aceh, BPDAS Aceh, Dishutbun Provinsi dan Aceh Tamiang sudah turun meninjau.

Kini lahan gambut menjadi incaran konversi, di desa Bandar Khalifah; setelah Lubuk Damar di porak-porandakan. Sedikitnya 66 hektar sudah mulai digarap oleh kelompok tani Seulanga Indah dengan membuat bedeng-bedeng—bendungan—setinggi 1.2 meter, agar air sungai tidak masuk saat pasang tiba.

Dari hasil assessment—pengumpulan data lapangan—Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), dua hari lalu lahan gambut seluas 66 hektar yang digarap kelompok tani Seulanga Indah, terindikasi ikut dibiayai Kecik Atlas, pemilik bekho yang sedang menggarap lahan tersebut.

“Pak ini murni punya masyarakat, tidak dibiyai dari manapun.” Kata Idris, ketua kelompok tani Seulanga Indah. Lebih jauh dijelaskan; masing-masing anggota mengeluarkan biaya sebesar Rp3 juta rupiah untuk biaya pengerjaan Landclearing—pembersihan—lahan itu.

Namun, beberapa warga yang berseberangan; Muhammad Affan (45) mengatakan, kalau lahan yang sedang di Landclearing tersebut sebagian dibiayai oleh Kecik Atlas, cakupan pembukaan lahan gambut yang sedang dikerjakan itu bukan 66 hektar, tetapi 225 hektar.

“Yang baru dikerjakan benar 66 hektar, tetapi mereka akan membuka lahan gambut tersebut hingga 225 hektar, dibelakang mereka Kecik Atlas, Bekho yang mereka gunakan saja milik Kecik Atlas, jadi sangat logis dan beralasan kan?...” tegas Muhammad.

Garap Kawasan Hutan
Direktur Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) Sayed Zainal MSH; menyayangkan tindakan yang menjual dan mengatasnamakan masyarakat sekitar untuk menguasai lahan Gambut seluas 225 hektar dalam bentuk konversi ke Perkebunan Kelapa Sawit.

“Kalau ini terus terjadi, untuk apa di buat Garis Sepadan Pantai (GSP), notabenenya mereka sudah menggarap diluar prosedur yang ditentukan, kita sudah lihat, kalau lahan yang digarap masuk kedalam kawasan hutan dan GSP.” Tegas Sayed.

Ditambahkan; Hutan Mangrove di desa Lubuk Damar sudah mencapai stadium 3, kerusakannya, jangan terus membiarkan kelompok tertentu yang mengatasnamakan masyarakat menggarap lahan dikawasan hutan mangrove yang berada di desa Bandar Khalifah.

“Saya mengecam tindakan pembiaran dari institusi di Pemkab Aceh Tamiang (Atam), terhadap pembabatan hutan dalam bentuk alih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Saya berpikir ada konsfirasi dan benang merah dalam sindikat korupsi gaya baru di Atam.” Tegasnya.

Anehnya; meski pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh dan Aceh Tamiang sudah turun, tidak hanya di Bandar Khalifah tapi juga di Desa Lubuk Damar, hingga kini belum ada kejelasan dan tindak lanjut dari masalah ini.

“Jika dalam waktu dua bulan berjalan, tidak ada bentuk kebijakan dan tindak lanjut yang dilakukan oleh institusi terkait, kami akan melakukan somasi hingga gugatan class action—gugatan perwakilan. Sebab hingga kini, belum ada tindakan tegas dari pemkab Atam dalam menyelesaikan kasus perambahan dan alih fungsi.” Katanya.

No comments:

Post a Comment