Saturday, October 10, 2009

Kasus Pelurusan, Penimbunan, Dan Penembokan Bantaran Sungai Deli,TIGA MASALAH POKOK KEHUTANAN,Menjadikan Banjir sebagai Teman

Kasus Pelurusan, Penimbunan, Dan Penembokan Bantaran Sungai Deli

Secara Geografis Kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Sungai Mati terletak di Kecamatan Medan Maimun. Sebelah barat bersebelahan dengan Bandara Polonia (Kelurahan Suka Damai), dan sebelah timur besebelahan dengan Kelurahan Sitirejo serta Pasar Merah Darat. Kumuh, Padat, dan tanpa sanitasi yang baik adalah gambaran tersendiri dari pemukiman masyarakat Kelurahan Sungai Mati dan Kampung Baru. Dengan luas daerah yang hanya mencapai 1,50 km kedua kelurahan tersebut didiami oleh 27293 jiwa.
Miskin dan tanpa pendidikan yang memadai merupakan gambaran lain dari kehidupan masyarakat Sungai Mati dan Kampung Baru. Dari segi pendidikan mayoritas masyarakat Sungai Mati dan Kampung Baru hanya tamat Sekolah Menengah Pertama, dan wajar saja jika mayoritas dari mereka bekerja disektor informal; Pengemudi Becak, Buruh Bangunan, Pedagang Kaki Lima, Kerajinan Rumah Tangga, Sopir Bajai, Tukang Kayu dan lain sebagainya.
Kekumuhan serta situasi perekonomian dan pendidikan masyarakat yang rendah kemudian letak geografis yang strategis; dipusat kota dan besebelahan dengan Bandara Polonia yang sebentar lagi (2010) akan dijadikan Central Business Districk. Menurut amatan walhi sumut menjadikan areal Kampung Baru dan Sungai Mati memiliki nilai tersendiri bagi Pemerintah Kota Medan dan juga pengusaha sector perumahan dan Department Store. Untuk daerah perluasan Central Business Districk misalnya tidak ada wilayah yang paling memungkinkan kecuali Sungai Mati dan Kampung Baru, sebab selain wilayahnya berdekatan, geografi tanah yang landai dan padat pemukiman serta rawan bajir menyebab harga tanah di Sungai Mati dan Kampung Baru masih sangat rendah jika dibandingkan dengan harga di lokasi lain ; Monginsidi, Suka Damai, Pasar Merah Darat, dan lain-lain.
Berhitung besarnya keuntungan libido bisinis PT Eka Kesuma Wijaya dan Kastil Kencana naik sampai kekepala. Demi libido bisnis yang haus penyaluran tersebut PT Eka Kesuma Wijaya dan PT Kastil Kencana membeli dan melakukan penimbunan di Kampung Baru dan Sungai Mati, bahkan PT Kastil Kencana telah mengantongi Izin dari Dinas Pengairan Sumatera Utara Untuk melakukan pelurusan Sungai Deli guna menunjang proyek yang tengah mereka kerjakan. Walaupun Pemerintah Kota Medan mengakui dahwa proyek PT Kastil Kencana dan PT Eka Kesuma Wijayah tersebut belum mengantongi Amdal dan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), penimbunan dan penembokan terus dilakukan oleh Kastil Kencana dan Eka Wijaya Kesuma. Implikasinya adalah penderitaan masyarakat Sungai Mati dan Kampung Baru. Meningkatnya frekuensi banjir dan hilangnya fasilitas umum adalah indicator dari penderitaan itu. Yang lebih memperhatinkan dari semua penderitaan tersebut adalah keterlibatnya aparat Pemerintahan Kota Medan (Lurah dan Kepala Lingkungan) dan aparat keamanan (Polisi) dalam melakukan intimidasi terhadap masyarakat. Penjara dan jalur hijau selalu dijadikan tameng untuk mendesak masyarakat menjual murah tanah yang mereka miliki kepada deplover, dan wajar saja jika kemudian sebagian kecil masyarakat terutama masyarakat Sungai Mati telah meningalkan pemukiman mereka dengan mendapatkan ganti rugi yang tidak memadai.
Dengan penderitaan yang dialami masyarakat sebenarnya tidak tinggal diam, mereka telah melaporkan kasus ini kepada pihak yang terkait : Pemerintah Kota Medan, DPRD Kota Medan, DPRD Provensi, dan pemerintah Provensi Sumatera Utara. Namun seperti mencari air di padang pasir, tidak satupun instansi terkait yang mau dan secara serius menyahuti persoalan yang dialami masyarakat. Hampir semua instansi yang terkait tidak mau mengambil tanggung jawab atas persoalan tersebut meskipun mereka juga mengakui bahwa proyek penimbunan, penembokan, dan pelurusan Sungai Deli cacat secara hukum (tidak Memiliki AMDAL, dan IMB).
Aparat Kepolisian ambil bagian dalam sejumlah kekerasan dan intimadasi dalam rangka mengamankan proyek developer. Mereka secara langsung maupun tidak langsung melakukan penangkapan dan penahaan terhadap masyarakat. Hak-hak social, politik, ekonomi masyarakat seakan-akan ternafikan. Proyek terus dijalankan, dan tuntutan masyarakat dianggap angin lalu. Padahal kementerian lingkungan hidup telah membuat pernyataan, pelarang pelurusan sungai dan penimbunan jalur hijau. Bukannya mengindahkan pernyataan kementerian lingkungan hidup, malah aparat Pemko Medan setingkat Lurah dan Kepling (Kepala Lingkungan), justru memberikan dukungan yang kuat pada developer, dengan alasan jalur hijau, aparat negara tersebut mendesak dan mengintimidasi masyarakat untuk segera menjual tanah dan pindah kelokasi yang lain.
Sejauh ini baik depelover maupun pemerintah Kota Medan tidak ada yang mengaku akan bertanggung jawab atas kerugian yang dialami masyarakat sebagai dampak dari kehadiran proyek, padahal proyek penimbunan dan penembokan dan pelurusan sungai telah dimulai sejak tahun 2000. Aparat pemerintah sekan-akan membiarkan tindakan depelover yang terus merugikan, dan membuat kerusakan di pemukiman masyarakat. Padahal Operasi proyek tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum, dan sepenuhnya layak dihukum sebab mereka (depelover) sampai laporan ini dibuat belum mengantongi AMDAL baik fisik maupun social, serta izin mendirikan bangunan (IMB).
Kesan lempar tangung jawab muncul kepermukaan, menatap persoalan penimbunan DAS Sungai Deli dan Pemindahan Sungai Bebatuan di Kampung Baru yang dilakukan oleh PT Eka Wijaya Kesuma yang menyebakan aliran sungai terganggu dan menghantam pemukiman masyarakat Misalnya; Pemko Medan berkeras soal sungai adalah tanggung jawab Provinsi, sedangkan Dinas Pengairan Provinsi Sumatera Utara justru menyalahkan Pemko Medan yang tidak melakukan pengawasan terhadap penimbunan. Selang seminggu tim Pemko turun dan meninjau lapangan, dari hasil peninjauan didapat kesimpulan bahwa penimbun tidak mengantongi izin. Hasil temuan ini memunculkan pernyataan yang baru bahwa aparat kecamatan lamban mengawasi persoalan yang ada, dan jika saja mereka bertindak secara pro aktif maka penimbunan tersebut tidak akan terjadi. Begitu juga soal pelurusan Walikota dan Kepala dinas Pengairan Medan mengatakan bahwa Pemko Medan tidak pernah mengeluarkan izin dan tidak akan pernah mengeluarkan izin penimbunan DAS dan pelurusan Sungai Deli. Sementara itu Gindo Hasibuan (wakil Kepala Dinas Pengairan) mengatakan bahwa Pemko Medan telah mengelurkan izin pelurusan kepada PT Kastil Kencana melalui rekomendasi Walikota Medan Abdilah Ak. MBA pada tahun 2000 dan mendapatkan persetujuan dari ketua DPRD Medan Tom Adlin Hajar.
Untuk persoalan ganti rugi juga demikian, Director Oprasional PT Kastil Kencana Bernad Situmorang mengatakan bahwa mereka telah memberikan ganti rugi yang memadai pada masyarakat khususnya masyarakat Sungai Mati (Gang Nasional, Perwira, dan Satria). Padahal mereka hanya memberikan ganti rugi pada tuan tanah, sedangkan masyarakat yang penyewa tanah dan pemilik bangunan tidak diperhatikan secara layak. Ambiguitas sikap pemerintah kota ini meyebabkan developer merasa diatas angin, bukan hanya penimbunan, penembokan, serta pelurusan sungai yang mereka lakukan. Pencaplokan tanah dan fasilitas umum, intimidasi terhadap warga, juga mereka lakukan untuk mempercepat penyelesain proyek.
Tabel I
Jumlah Rumah Dan Fasilitas Umum Yang
Terendam Banjir Sebagai Dampak Kehadiran
Proyek di Kelurahan Sungai Mati dan Kampung baru
No Nama Lokasi Kelurahan/Kecamatan Rumah Fasilatas Umum
(Masjid/Sekolah)
1 Gang Pelita Kampung Baru/Medan Maimun 100 2
2 Gang Kenangan Kampung Baru/Medan Maimun 100 -
3 Gang Alfajar Sei Mati/Medan Maimun 400 1
4 Gang Merdeka Sei Mati/Medan Maimun 100 1
5 Gang Bidan Sei Mati/Medan Maimun 200 -
6 Gang Satria Sei Mati/Medan Maimun 100 1
7 Gang Perwira Sei Mati/Medan Maimun 100 -
Jumlah 1200 4
Selain bajir, dan rusaknya prabot rumah tangga, aktivitas ekonomi masyarakat Kampung Baru dan Sungai Mati juga mengalami masalah, sebagai akibat penembokan dan penimbunan bantaran Sungai Deli. Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa lebih dari 60% masyarakat sungai mati bekerja disektor informal dan atau industri rumah tangga; kerajinan keset kaki, kerajinan peralatan rumah tangga (sendok, garpu, tempat nasi Dll), serta sablon.
Ibu Dani (Warga Sungai Mati) menuturkan bahwa semenjak meningkatnya frekuesi banjir akibatan penimbunan dan penembokan Bataran Sungai Deli omset mereka mengalami penurunan hal ini selain disebabkan oleh rusaknya peralatan juga disebabkan oleh berkurangnya kuantitas bekerja.
Tergangunya aktivitas ekonomi ini membawa imbas pada persoalan yang lain yaitu tergangunya kemampuan orang tua untuk memberikan pendidikan dan kesehatan yang baik bagi anak-anak. Sehingga tidak jarang ditemukan anak-anak yang putus sekolah dan memiliki kesehatan yang rendah.
Rekomendasi Untuk Pemerintah
1. Menuntut pemerintah untuk segera menghentikan kegiatan pelurusan dan penimbunan Bantaran Sungai Deli, serta Pengalihan Sungai Batuan.
2. Menuntut pemerintah untuk segera mengusut dan mengadili pelaku Pelurusan, Penimbunan Bantaran Sungai Deli yang telah merugikan masyarakat.
3. Menuntut Polda untuk mengusut dan mengadili keterlibatan aparat kepolisian terhadap aktivitas pelurusan, penimbunan dan pengalihan Sungai Batuan
Pemerintah Propinsi Sumut mengungkapkan, sebanyak 400.000 hektar hutan
diusulkan menjadi kawasan budidaya dalam revisi Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 44/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan
Sumatera Utara.
Kepala Dinas Kehutanan Sumut JB Siringo-ringo mengemukakan kawasan
hutan itu diambil dari dari 1,1 juta hektar yang diajukan
kabupaten/kota untuk masuk dalam revisi tersebut. Kawasan ini
dimaksudkan sebagai kawasan yang bisa dikelola/diproduksi termasuk di
dalamnya pemukiman.
“Usulan ini dari daerah, kita harapkan tidak ada konflik baru setelah
direvisi. Karena itu kita minta pertanggungjawaban daerah mengenai
data kawasan hutan dan kita panggil lagi untuk mendiskusikannya
sebagai keputusan final,” lanjutnya dalam diskusi “Percepatan Revisi
Tataruang dan Penyelamatan Biodiversity,” di Medan, Kamis (27/11).
Bila tak ada aral melintang maka akhir November ini keputusan tersebut
bisa diajukan ke pusat. Kawasan konservasi untuk melestarikan alam dan
satwa tidak bisa diganggu gugat.
Setelah ada ketetapan maka akan jelas mengenai peruntukan lahan
tersebut. Dan apabila masih ada perusahaan yang beroperasi padahal
kawasan itu sudah ditetapkan sebagai hutan lindung atau konservasi,
lantas operasinya akan dihentikan. “Kita akan tindak tegas,
berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk aparat,” katanya.
Pihaknya pun berharap ada kesamaan visi menyikapi permasalahan ini.
Termasuk mengenai otonomi daerah (otda) yang terkadang menyebabkan
terjadinya perbedaan.
Riswan dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengatakan revisi SK
Menteri Kehutanan tersebut memang mutlak dibutuhkan. Yayasan Ekonomi
Leuser (YEL) menilai rencana tata ruang wilayah propinsi (RTRWP) dalam
SK tersebut belum mencerminkan keterpihakan pada upaya perlindungan
dan pelestarian alam dan habitat terutama di daerah Kawasan Hutan
Batang Toru (KBHT).
Menurutnya, penataan tata ruang di tiga kabupaten Tapanuli Tengah,
Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara yang masuk dalam KBHT masih
berpedoman pada penatagunaan kawasan yang tertuang dalam SK tersebut.
Kondisi ini dikarenakan RTWP sangat tidak akomodatif dan cenderung
sepihak. “Sehingga pada prakteknya banyak perambahan hutan oleh
perusahaan ataupun masyarakat di kawasan lindung atau konservasi. Hal
itu tentunya mengganggu ekosistem hutan termasuk satwa langka yang ada
didalamnya,” bebernya.
Bila melihat penunjukan kawasan hutan dari SK no 44/2005 maka terlihat
kawasan yang semula sebagai hutan lindung (hijau tua) dan hutan
produksi terbatas (HPT) berubah menjadi hutan produksi dan hutan
produksi tetap. “Sementara itu di sekitar kawasan ini terdapat
pemukiman tua dimana masyarakat hidup ini menjadikan konflik baru
pemakaian lahan,” paparnya.
Total luas lahan Sumut berdasarkan SK tersebut mencapai 3.742.120
hektar. Anehnya jumlah itu berbeda dengan Perda No 7 tahun 2003
tentang RTWP Sumut yang menjadi dasar keluarnya SK tersebut. Dalam
Perda total kawasan hutan Sumut mencapai 3.679.338 hektar. (mb)
Banjir Landa Medan, 1611 Bangunan Terendam
KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT
Banjir di pusat Kota Medan menyebabkan kepadatan lalu lintas terjadi di Jalan Stasiun Kereta Api, Jumat (10/10) pagi. Banjir ini terjadi setelah hujan lebat mengguyur Medan sekitar dua jam. Hujan yang belakangan sering turun membuat kondisi tanah di kawasan ini jenuh. Kondisi ini diperparah dengan kondisi drainase yang buruk
Minggu, 4 Januari 2009 | 17:33 WIB
MEDAN, MINGGU – Banjir di wilayah Medan dan sekitarnya menggenangi 1.611 bangunan termasuk rumah warga, sekolah, dan tempat ibadah. Genangan air terpusat di daerah aliran Sungai Deli. Musibah ini terjadi karena badan sungai tidak mampu menampung luapan air yang melimpah. Sehari sebelumnya hujan terus mengguyur di sebagian wilayah Sumatera Utara.
“Air mulai naik pukul 11.00. Trus meluap sampai se leher saya pukul 01.00. Biasanya pagi sudah surut, tetapi sampai sekarang belum surut,” tutur Eli (41) warga Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimon, Medan, Minggu (4/1) saat ditemui. Eli terpaksa merelakan hampir seluruh barang di rumahnya terendam air. Dia bersama suami dan dua anaknya menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Kelurahan Sei Mati merupakan salah satu daerah terparah terkena banjir di Medan.
Selain di jalan-jalan, warga juga mengungsi ke kantor lurah, dan rumah warga yang lebih tinggi. Humas Pemerintah Kota Medan Rusdi Siregar menuturkan banjir menggenangi bangunan di Kelurahan Aur (370 bangunan), Jati (7), Sei Mati (569), Hamdan (325), dan Kampung Baru. Seluruh wilayah ini secara administratif berada di Kecamatan Medan Maimon.
Menanggapi lambatnya air surut, Rusdi mengatakan hal ini terjadi karena kebetulan air laut di utara Medan sedang pasang. Sungai Deli yang berasal dari Kabupaten Karo bermuara di utara Medan. Sungai ini melintasi Kabupaten Karo, Deli Serdang dan Medan.
Banjir di Kota Medan, tertutama setelah hujan bukan hal baru. Namun banjir kali ini terbesar dalam lima tahun terakhir dari sisi besarnya debit air yang melimpah. Data dari Balai Besar Wilayah Sungai II Sumut menyebutkan debet air Sungai Deli sempat mencapai angka 150 meter kubik per detik. Adapun pada hari biasa rata-rata sekitar 30 meter kubik per detik.
Adanya kanal banjir yang baru dibangun dengan dana ratusan miliar rupiah tidak mampu membebaskan Medan dari banjir.
“Mereka yang terkena banjir kebanyakan ada di daerah resapan air di pinggir sungai. Solusi yang paling baik adalah memindahkan mereka. Kami menawarkan rumah susun, tetapi tawaran ini tak ada yang menanggapi,” tuturnya.
Pemkot Medan, tutur Rusdi, untuk sementara membuka posko kesehatan di titik terdekat dengan pemukiman warga. Adapun bantuan dalam bentuk makanan mulai berdatangan dari partai politik. Sejauh ini belum ada laporan korban jiwa karena banjir.Andy Riza Hidayat

TIGA MASALAH POKOK KEHUTANAN
Pembalakan diatas hutan alam tersisa yang terus berlangsung menimbulkan konsekuensi yang cukup serius. Dalam kurun waktu 2000 hingga 2006 terjadi 390 kali bencana banjir dan longsor yang menimbulkan korban jiwa lebih dari 2.303 dan lebih dari 188 ribu rumah rusak berat dan setengah juta hektar lahan tidak dapat digunakan lagi. Total kerugian secara langsung mencapai 36,943 trilyun rupiah.
TIGA MASALAH POKOK KEHUTANAN
1. TIDAK ADA PENGAKUAN HAK RAKYAT
Sejak dulu, dalam buku sejarah manapun di Nusantara, interaksi antara masyarakat dan sumberdaya alam hutan selalu ada. Manusia Indonesia diawal peradabannya memiliki hubungan yang sangat spesifik dengan hutan, baik sebagai pemburu maupun sebagai pengumpul/peramu yang semua bahannya hanya dapat diperoleh dari hutan alam.
Dalam catatan terjauh yang kita miliki, pada abad ke empat, kerajaan pertama di Indonesia, Mulawarman, suku-suku di Kalimantan tinggal dan membentuk hubungan equilibirium dengan hutan alam disekitarnya. Banyaknya ramuan obat-obatan dan makanan yang sebagian besar bahannya berasal dari hutan pada dasarnya merupakan indikasi kuat korelasi tersebut.
Pada tahun 2000, CIFOR memprediksikan bahwa sekitar 48,8 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal didalam dan sekitar hutan. Sebagian besar penduduk tersebut melakukan praktik usahatani gabungan subsistensi dan komersial antara padi gogo dan tanaman tahunan. Berbagai produk hutan juga dikumpulkan untuk dijual dan dikonsumsi di rumah, termasuk rotan, madu, damar, daun-daunan dan buah-buahan yang dapat dimakan, termasuk satwa liar, dan ikan.
Perkiraan menyebutkan sekitar 7 juta penduduk di Sumatera dan Kalimantan bergantung pada kebun karet yang menyebar di lahan seluas kurang lebih 2,5 juta hektar. Di Sumatera saja, kira-kira 4 juta hektar lahan dikelola oleh masyarakat lokal dalam bentuk berbagai jenis wanatani (yaitu kebun berbagai spesies buah digabung dengan pertumbuhan hutan alami) tanpa bantuan dari luar.
Walaupun tidak memiliki sertifikat tanah secara tertulis, masyarakat asli memahami bentuk tradisional pengelolaan sebagai hak adat yang diwariskan, yang diakui secara spesifik dalam pasal 18, Undang-undang Dasar Negara Indonesia.
Pemerintah, walaupun memberikan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat beserta sistem penguasaan lahannya (diatur dalam Undang-Undang No 5/60 tentang pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Kehutanan No 5/67 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Kehutanan No 41/99) namun secara tegas pula dinyatakan bahwa kesempatan untuk menuntut hak pemanfaatan hasil hutan maupun hak ulayat atas tanah tidak diperkenankan melebihi kepentingan nasional.
Ini memang bisa dipahami. Tentunya tidak mungkin mengedepankan kepentingan satu golongan diatas kepentingan negara. Demikian logika yang sebenarnya. Namun logika ini menjadi absurd ketika paradigma pembangunan kehutanan menitikberatkan pada laju investasi dalam dan luar negeri. Pemerintah mengundang investor darimanapun asalnya untuk menanamkan investasinya pada lahan hutan alam Indonesia. Apapun logika yang dipakai tentu tidak akan menemukan keberadaan masyarakat yang tinggal dan hidup sederhana di dan sekitar hutan memiliki sumber finansial yang cukup besar yang dapat digunakan untuk melakukan pengolahan hutan. Masyarakat secara terbiasa hidup dan membangun equilibirium dengan hutan sekitarnya. Mengambil apa yang menjadi kebutuhannya. Tidak ada niatan untuk melakukan kapitalisasi keuntungan dari hutan alam yang menyokong kehidupannya.
Meskipun pemerintah berharap adanya trickledown effect dari setiap aktivitas usaha yang ditanamkan oleh investor di wilayahnya. Namun lagi hal ini malah tidak pernah terjadi. Dalam jangka pendek sebagian masyarakat memang merasakan (terlepas adanya kelompok masyarakat yang kehilangan tanah dan kehilangan ekonomi pendukungnya). Puluhan orang kemudian bisa melakukan kegiatan ekonomi ditempat tersebut. Diantaranya menyalurkan bahan makanan atau kebutuhan lain, dan mendapatkan kesempatan kerja – meski dengan alasan pendidikan, masyarakat hanya menjadi buruh. Keuntungan ekonomi didapatkan. Dalam jangka pendek, manakala proses eksploitasi tengah berlangsung, desa memperlihatkan denyut kehidupannya. Dalam jangka panjang, ketika konsesi berakhir maka hutan telah kehilangan kesuburan tanahnya, masyarakat kehilangan akses terhadap komoditi hutan yang ada sebelum konsesi muncul dan seringkali diakhiri dengan konflik-konflik horizontal, dan dibanyak tempat hama baru bermunculan ditambah ancaman terhadap bencana banjir dan longsor.
Hingga kini, pemerintah tidak pernah melakukan koreksi sama sekali terhadap latar belakang berpikirnya. Klaim oleh pemerintah sudah ditegaskan dalam peraturan perundangan tersebut dimana hutan adat adalah hutan negara yang kebetulan berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Artinya lagi, kalau ada masyarakat yang telah menguasai dan mengelola hutan jauh sebelum negara ini lahir dan kemudian berkeinginan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan maka terlebih dahulu harus memohon izin kepada ‘pemilik’ barunya -negara – pemerintah.
Salahnya lagi, dalam melakukan penetapan status selama ini pemerintah bersikap seperti jaman Belanda, tanpa tanpa melalui proses yang seharusnya (due process) atau tanpa pemberian kompensasi yang berarti. Ratusan juta hektar hutan kemudian diklaim sebagai hutan negara, yang membuat negara (baca: pemerintah) berhak untuk memindahkan hak guna atas lahan kepada pihak-pihak dianggap akan memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada pemerintah. Meskipun, proses penetapan hutan negara mensyaratkan dilakukannya penatabatasan terhadap kawasan untuk menghindari kemungkinan adanya overlap dengan kawasan masyarakat. Meskipun hingga kini baru kurang dari 20% seluruh hutan alam yang dilakukan penatabatasan.
Dengan metode pengambilalih paksaan sumberdaya alam hutan dari masyarakat seperti ini, pada akhirnya aktivitas ekstraksi menciptakan sebuah dimensi konflik yang beragam. Ekstraksi hutan, yang pada mulanya ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat sekaligus memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada akhirnya menunjukkan kegagalannya karena tidak mampu mencapai tujuan awal, menyejahterakan masyarakat. Pada dasarnya, pembangunan disektor kehutanan di Indonesia baru bisa dikatakan berhasil apabila mampu mempertahankan keberadaan dan daya dukung ekologinya. Pembangunan tersebut dikatakan gagal terlebih bila keberadaannya tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu kelompok sasaran utamanya. Dan jangan salahkan bila kemudian, masyarakat yang cemburu kemudian beramai-ramai mengambil potongan kue yang tersisa.
2. KORUPSI
Penegakan hukum disektor kehutanan di Indonesia tidak berjalan dengan semestinya. Meski semua yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan sudah tersedia: institusi penegak hukum, aparat dan materi perundang-undangannya. Penyebab utamanya adalah kolusi dan korupsi, termasuk aparat penegak hukumnya. Korupsi telah menyebar disegala level birokrasi dan institusi pengadilan/kepolisian. Memang, sejak era Soeharto, korupsi telah merasuki sistem birokrasi negara ini dan menjadi kekuaatan penentu dibalik semua aktivitas illegal dan keputusan-keputusan politik. Saat ini, korupsi menjadi penyebab utama tidak berjalannya hukum disektor kehutanan.
Desentralisasi kekuasaan yang pada mulanya diharapkan bisa menghilangkan bibit separatisme dan menurunkan kecemburuan pusat – daerah malah kemudian menjadi wadah bagi berkembangnya korupsi. Perang terhadap korupsi walaupun sangat dibutuhkan namun tidak semudah yang dibayangkan. Korupsi telah menguntungkan banyak pihak dan ada begitu banyak aktor-aktor kunci yang terlibat didalamnya.
Korupsi memang menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan menambah keyakinan masyarakat bahwa pemerintah telah gagal dalam menyelenggarakan pemerintahan. Menteri Kehutanan pada tahun 2000 menyatakan:
”Menyebarnya korupsi telah mendorong banyak pihak yang memiliki koneksi untuk melakukan praktek-praktek illegal disektor kehutanan tanpa takut sedikitpun. Orang-orang yang terlibat disini termasuk perusahaan, pemerintah sipil, aparat penegak hukum dan anggota DPR”
Korupsi di daerah menemukan bentuknya ketika desentralisasi memberikan bupati otoritas penuh terhadap pengelolaan sumberdaya alamnya. Bentuknya bermacam-macam. Terdapat hubungan mutualisme antara pemerintah lokal dan perusahaan. Pemerintah menjadikan perusahaan sebagai ATM untuk kebutuhan yang tidak dapat dicover APBD termasuk kebutuhan pribadi. Perusahaan memenuhi kebutuhan pemerintah dan menerima imbalan dalam bentuk kemudahan perizinan dan pengamanan.
Hubungan perusahaan disektor hutan dengan sektor lainnya (seringkali yang memiliki kaitan dengan media massa di daerah) jauh lebih rumit. Perusahaan tersebut memberikan kontrak pengangkutan kayu kepada pengusaha yang bergerak di bidang media massa. Sebagai gantinya, media massa akan menjadi media efektif bagi kampanye ”Sustainable Development”nya perusahaan. Termasuk berbagai aktivitas sosial perusahaan bersangkutan. Partai dimana Menteri Kehutanan era SBY-JK berasal malah menempatkan seseorang yang menduduki posisi kunci dari salah satu perusahaan Pulp n Paper terbesar di Riau, sebagai bendahara. Ada keuntungan dari kedudukan tersebut? Yang jelas perusahaan bersangkutan terikat dengan beban hutang yang besar sehingga membuat kreditor takut kehilangan uangnya apabila perusahaan ini dinyatakan bangkrut. Satu-satunya cara untuk dapat membuatnya mampu melakukan pembayaran kredit adalah akses terhadap hutan agar mesin usahanya selalu mempunyai bahan baku untuk menghasilkan dollar. Mungkin bisa diraba sampai sejauh mana mutualisme tersebut berlaku.
Seluruh model korupsi dan kolusi di tingkat nasional di zaman Soeharto dapat ditemui dalam skala yang lebih kecil namun lebih luas di masing-masing daerah yang memiliki sumberdaya hutan. Bukan rahasia umum apabila bupati memberikan sejumlah konsesi hutan untuk menjamin kesetiaan pendukungnya, untuk mendanai aktivitas partainya dan sebagai reward kepada teman-teman politiknya atas bantuan yang diterima sehingga bisa menduduki jabatan puncak. Korupsi telah membuat perusahaan mampu memenuhi kebutuhannya. Apapun. Mereka juga bisa menyewa kepolisian dan militer untuk menekan konflik yang terjadi dengan masyarakat. Aparatur negara yang seharusnya berdiri di tengah dalam melerai konflik sekarang saling bahu membahu dengan perusahaan untuk menyelamatkan perusahaan. Meskipun itu berarti melanggar hak asasi manusia.
Keterlibatan militer dan kepolisian dalam bisnis kayu sudah berlangsung lama. Skema ini adalah skema yang dimainkan Soeharto untuk menjamin kesetiaan mereka. Sejak era Soeharto pula militer/kepolisian dengan pihak swasta saling mempengaruhi untuk melakukan ekstraksi rimba.Militer/kepolisian mendapatkan untung dengan kehadiran pengusaha dalam bentuk dana segar untuk membeli sejumlah peralatan ekstraksi yang kala itu memang sangat mahal harganya. Pengusaha mendapatkan keuntungan dengan kehadiran militer karena mampu menekan pemerintah daerah untuk mempermudah segala urusan sekaligus menjamin akses mereka terhadap hutan. Termasuk sebagai tukang pukul bila terjadi konflik dengan masyarakat.
Sejak lama memang kepolisian dan militer pada level prajurit menghadapi masalah terkait dengan rendahnya salary yang mereka terima dan tingkat kesejahteraan yang jauh dibawah standard. Dan jumlahnya mencapai ratusan ribu. Tentunya mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan manakala perusahaan menawarkan apa yang tidak mereka terima dari negara, meskipun itu berarti menjadi tukang pukul perusahaan. Dan ketika dirasa modal sudah mencukupi, mereka akan mencari masyarakat sipil untuk melakukan pembalakan dihutan alam. Tidak perduli dimana saja. Tidak ada yang berani melarang. Sosok militer/kepolisian pada era Soeharto ditakuti bukan karena masyarakat patuh terhadap peraturan atau pemerintahan namun karena masyarakat tidak ingin berurusan dengan institusi yang lebih mengedepankan otot daripada otak.
KARAKTERISTIK PRAKTIK KORUPSI BISNIS
PADA PEMEGANG IUPHHK PADA HUTAN ALAM :
1. tidak melakukan penataan batas dan penataan kawasan lindung,
2. tidak menganggap penting persetujuan masyarakat setempat dalam pelaksanaan tatabatas
3. tidak menjalankan kewajibannya melakukan kegiatan perlindungan terhadap areal kawasan kawasan lindung diareal konsesinya.
4. kapitalisasi yang dilakukan tidak ditanamkan kembali pada pengelolaan hutan
5. tidak melakukan audit keuangan oleh akuntan publik atau laporan keuangan tidak cukup untuk menilai alokasi dana untuk pengelolaan hutan alam lestari
6. melakukan kapitalisasi dan reinvestasi tetapi tidak terkaitd engan penambahan potensi modal dalam bentuk tegakan hutan
7. menunggak Dana Reboisasi dan Provisi Sumberdaya Hutan
8. tidak menyediakan dana untuk kegiatan pengelolaan hutan dengan lancar dan proporsional
9. tidak melakukan investasi untuk kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dan pengelolaan kawasan lindung.
10. tidak membuat rencana kerja baik jangka panjang maupun lima tahunan pada twaktu yang telah ditentukan
11. berbagai korupsi bisnis yang terkait dengan pengukuran pertumbuhan, riap dan Petak Ukur Pemanenan
12. tidak terdapat kesesuaian antara rencana pengaturan hasil dengan realisasinya.
13. komitment peningkatan peran serta masyarakat dan pengadaan kesempatan kerja yang hanya sebatas rencana dan komitmen tertulis
14. implementasi mekainsme peran serta masyarakat yang diterapkan secara sepihak oleh unit managemen
15. kesempatan kerja dan pelatihan hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan tenaga kerja/buruh kerja kasar dan operasional lapangan.
KARAKTERISTIK PRAKTIK KORUPSI BISNIS
PADA PEMEGANG IUPHHK PADA HUTAN TANAMAN
1. tidak melakukan dan menyelesaikan penataan batas kawasan,
2. kuantitas dan kualitas pal batas yang dipasang tidak cukup untuk pembatasan hak
3. mengabaikan kemungkinan telah adanya lahan masyarakat setempat atau masyarakat adat didalam kawasan konservasi.
4. penataan areal kerja hanya dilakukan sepihak diatas kertas
5. tidak mengikutsertakan masyarakat setempat dan mengabaikan potensi konflik dengan lahan masyarakat dalam penataan areal kerja lapangan
6. tidak menyelesaikan penataan areal kerja hingga ketahap pengukuhan
7. tidak melakukan penandaan batas areal tidak efektif dan hanya melakukan penandaan batas areal efektif (blok rencana kerja tahunan).
Korupsi pada akhirnya telah melemahkan aparat penegak hukum itu sendiri. Kasus-kasus yang mendudukan pemerintah lokal dan perusahaan besar sebagai tersangka seringkali lenyap begitu saja dan ini seringkali terjadi. Kejaksaaan, kepolisian dan hakim yang terlibat menggunakan situasi ini untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Keterlibatan langsung militer/kepolisian dan dukungan tidak langsung dari pemerintah dan aparat penegak keadilan lainnya terhadap situasi ini berhasil membuat perusahaan memiliki pengaruh yang sangat besar untuk mempengaruhi politik lokal dan yuridiksinya. Seorang pejabat senior kehutanan pada tahun 2001 mengaku bahwa tidak sampai sepuluh persen kejahatan kehutanan yang sampai di pengadilan. Diputuskan atau tidak itu harus mengacu pada angka yang lain.
Dalam kondisi demikian seperti ini, menjadi sulit rasanya berharap bahwa peraturan perundangan akan mampu memperbaiki sektor kehutanan. Alih-alih memperbaiki, sektor kehutanan tetap menarik banyak pihak untuk dieksploitir, dari mulai militer, polisi, pejabat pemerintah, anggota DPR dan bahkan aparat penegak keadilan.
3. GAP ANTARA SUPPLY DEMAND
Indonesia, sejak awal memang didesign untuk memenuhi kebutuhan raw material dan komoditi jadi bagi negara-negara utara. Surat perintah Sebelas maret bukan saja memberikan kekuasaan penuh kepada Soeharto namun juga sekaligus titik balik masuknya asing dalam perekonomian Indonesia. Negara-negara utara tiba-tiba saja mengatur apa-apa yang harus dilakukan oleh Indonesia. Memasuki abad 21, Indonesia tidak hanya diharuskan memenui kebutuhan negara utara namun juga termasuk didalamnya China, Jepang dan India. Jutaan hektar hutan dibabat dan diganti dengan tanaman eksotis lalu diekstraksi dan menghasilkan CPO, kertas, plywood dan kayu gergajian untuk memenuhi kebutuhan negara-negara tersebut. Situasi ini muncul selain yang telah disebutkan diatas juga karena paradigma pertumbuhan ekonomi indonesia didasarkan pada usaha ekonomi berbasis lahan dan devisa dari hasil ekstraksi sumberdaya alam terus menerus dijadikan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi.
Pasca desentralisasi, permasalahan bertambah rumit. Kebijakan IPK seratus hektar malah kemudian digunakan oleh Pemerintah Daerah bukan saja untuk memenuhi kas daerah namun juga sekaligus memenuhi pundit-pundi partai dan sebagai “tanda mata” bagi para pendukungnya. Keluarnya PP no 32/2002 bukan saja tidak dipatuhi namun juga dibaca sebagai salah satu cara untuk melucuti kekuasaan daerah. Segera saja sentiment daerah dikedepankan. Melucuti perizinan yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan cara memberikan perizinan yang jauh lebih besar dari yang disyaratkan dan bahkan diatas kawasan yang telah dibebani hak.
Pasca desentralisasi juga ditandai dengan beban hutang industri kehutanan yang harus ditanggung rakyat Indonesia. Beban yang kemudian memicu percepatan ekstraksi atas hutan alam indonesia dan proses konversi dari kayu ke uang, diantaranya memudahkan proses peningkatan kapasitas produksi, perluasan konsesi, dan bahkan menjadi bintang iklan industri kehutanan itu sendiri.
Belum selesai, pasca desentralisasi juga memunculkan masalah baru dalam hal kordinasi antara pusat dengan daerah. Ada begitu banyak informasi dan perubahan dalam industri hulu dan hilir yang alpa dikomunikasikan ke pusat sehingga membuat berbagai departemen yang terkait dengan sektor industri kehutanan mengeluarkan angka yang sangat jauh dari realitasnya. Jangankan Departemen, bahkan dinas propinsi memiliki kesulitan untuk mengetahui Rencana Pemenuhan Bahan Baku yang ada di tingkat kabupaten.
Sementara itu, terkait industri mikro berbahan baku kayu juga tidak terkordinir dengan baik antara Departemen Perindustrian dengan Dinas di daerah. Ada begitu banyak laporan perkembangan industri yang tidak sampai ke Jakarta dan ada begitu banyak distorsi informasi berkaitan dengan keberadaan industri mikro tersebut. Belum lagi kordinasi antara Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian, dimana yang terakhir ini juga memiliki kewenangan untuk meningkatkan kapasitas produksi industri meskipun itu berkaitan dengan sektor kehutanan.
Dengan kesimpangsiuran kordinasi seperti ini, industri kehutanan di daerah terus menggeliat. Sebagian masuk ke kas daerah namun bagian terbesarnya masuk ke pundit-pundi partai pemenang pemilu.
Sejurus dengan itu, kerusakan hutan alam Indonesia terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 1950 sampai dengan 1985 angka kerusakan mencapai 32,9 juta hektar atau setara dengan 942 ribu hektar setiap tahun. Penguasaan 70 persen pasar plywood dunia pada tahun delapan puluhan juga memicu kehilangan hutan seluas 45,6 juta juta hektar atau dengan rata-rata deforestasi 5,7 juta hektar hutan pertahun (1985 – 1993). Ini adalah angka tertinggi deforestasi di Indonesia. Seperti fenomena gunung es, angka ini bisa jadi lebih tinggi dari yang sebenarnya terlihat. Sampai dengan tahun 2004 lahan kritis di hutan mencapai 59,17 juta hektar dan lahan kritis diluar kawasan hutan mencapai 41,47 juta


hektar. Sebagian besar dari lahan yang rusak tersebut tersebar di 282 Daerah Aliran Sungai (DAS)




Sumut terutama Medan, rupanya akan terus menerus akrab dengan banjir. Soalnya, selain sistem drainase kita yang memang buruk, persoalan penanganan aliran sungai pun dinilai tak becus. Jadi, mau tak mau kita harus siap banjir itu datang kapan pun.

Masih teringat jelas, awal tahun 2009, sedikitnya 6 daerah di Sumut (Medan, Binjai, Langkat, Deliserdang, Serdangbedagai, Tebingtinggi dan Tanjungbalai) diterjang banjir. Di Kota Medan dilaporkan, sejumlah sungai meluap hingga mengakibatkan ribuan rumah terendam banjir. Tak tanggung-tanggung, ketinggian airnya pun mencapai 1 meter hingga 1,5 meter. Bahkan warga yang sedang menggelar hajatan nikah pun harus memilih melaksanakannya secara darurat. Memprihatinkan memang.

Kepala Dinas Pengairan Pemprovsu, Afas Fadillah, didampingi Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera 2 Sumut, Ir Yani Sulastri Siregar dalam pemaparannya kepada wartawan pekan lalu mengakui hingga kini pihaknya tak tahu siapa yang menimbun bantaran sungai-sungai di Kota Medan yang seharusnya menjadi tempat penyaluran air sungai. "Kami tidak tahu siapa yang menimbun bantaran sungai. Akibatnya air sungai sulit mengalir dan akhirnya naik merambah ke atas," akunya.

Pihaknya sempat merasa aneh. Misalnya Kota Medan yang sejak lama jadi daerah rawan banjir, bantaran sungai (tumpuan/aliran sungai) yang harusnya menjadi saluran air sungai mengalir justru ditimbun. Afas menambahkan, seharusnya ada 15 meter jarak terlarang untuk dihuni penduduk dan pendirian bangunan. Sayangnya aturan itu tak diindahkan masyarakat.

Di sisi lain, Yani Sulastri mengatakan, meskipun sudah ada pembuatan kanal (bangunan penahan banjir) di Medan, belum tentu Medan akan lepas dari banjir. Begitu juga dengan daerah-daerah lain di Sumut. Soalnya, menurut dia, akibat curah hujan di atas normal serta pembuangan sampah ke sungai menyebabkan saluran air macet.

Di Medan, ulas Sulastri, untuk menghindari banjir kanal air Sungai Deli harus dialihkan ke Sungai percut.

Pembangunan Irigasi di 4 Titik

Tahun 2009 ini Dinas Pengairan Sumut akan melaporkan ke pemerintah pusat titik-titik daerah di Sumut yang dianggap rawan banjir. Sekaligus mengusulkan proyek penangan banjir di 4 daerah yakni, Medan, Deliserdang, Sungai Ular, dan Kabupaten Asahan dengan membuat pengairan (irigasi).

Selain itu pihaknya juga meminta rekomendasi pembanguan bendungan multi serbaguna untuk menahan banjir, jika banjir sampai melewati kanal (penahan banjir).

50% Hutan Rusak

Persoalan banjir tak sepenuhnya dipicu karena kerusakan irigasi dan penimbunan bantaran sungai. Rupanya, faktor kerusakan hutan pun mendominasi persoalan ini.

Jaya Arjuna, seorang pengamat lingkungan asal Universitas Sumatera Utara (USU) menilai, terjadinya banjir di beberapa daerah di Sumut akibat kerusakan hutan yang mencapai angka hingga 50%. Hutan itu terutama di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Langkat, sehingga proses penyerapan air lamban.

"Bahkan Satuan Wilayah Sungai (SWS) di Belawan, Babura, Deli dan Percut sudah rusak dengan kondisi hutannya tinggal 8%, sedangkan humus untuk penyerapan air semuanya sudah habis," ulas Jaya.

Upaya antisipasi banjir, kata Jaya hanya sebagai bentuk koordinasi tanpa pernah program aksi merealisasikan kebijakan itu.

Kawasan Melangkobidang

Dia sempat menyentil program kawasan Medan-Binjai-Deliserdang dan Karo (Mebidang-ro) di Sumut yang dinilai kurang tepat sasaran. Menurutnya, daerah itu ditambah Langkat hingga Melangkobidang, jadi program pengelolaan tata ruang untuk pembangunan yang harus dilakukan secara terpadu.

Sebagai kawasan strategis nasional, kelima daerah ini harus koordinasi dan berperan dalam pembangunan yang seimbang, termasuk pertumbuhan ekonomi, pendayagunaan alam dan daya lingkungan hidupnya. Karena itu diperlukan kerja sama dan koordinasi pemerintah daerah setempat dengan lembaga terkait dan swasta, sehinga pembangunan itu dirancang degan benar.
Menjadikan Banjir sebagai Teman
Kota Medan secara geologis terletak di dataran rendah dan datar (flat) yang sangat rawan akan banjir serta dilalui beberapa sungai besar,
seperti sungai Deli, sungai Babura, sungai Denai dan beberapa sungai kecil lainnya, kalau melihat geografi ini bahwa kota Medan memang mempunyai potensi sangat rawan banjir.
Sejarah mencatat kehadiran banjir dikota ini sudah hadir pada abad ke lima belas awal lahirnya kota Medan dan banjir telah dirasakan penduduk kota Medan pada abad sesudahnya, ini dapat dilihat dari bangunan tempo doeloe yang mempunyai pondasi tinggi untuk menghindari banjir, seperti Mesjid Raya Sultan Al-Ma’sum, Istana Maimon, bangunan Kapiten Tjong A Fie yang ada di kawasan Kesawan dan bangunan rumah-rumah kampung lainnya.
Medan dengan penduduk lebih kurang 2,5 juta jiwa, mempunyai luas wilayah lebih kurang 26.510 hektar, terletak pada posisi berada pada 20 29' 30" sampai dengan 20 47' 30" Lintang Utara dan 98035' 30" sampai dengan 980 41' 30" Bujur Timur mempunyai ketinggian 2,5 meter sampai dengan 50 meter di atas permukaan laut atau dengan kemiringan tanah 0 – 4 persen, dilihat dari kondisi tersebut, bila hujan mengguyur daerah hulu kota aliran air permukaan (surface run off) membanjiri daerah hilir, akibatnya banyak daerah yang berdekatan dengan daerah aliran sungai (DAS), bantaran sungai (flood plain), daerah rawa yang dialih fungsikan menjadi daerah hunian harus merasakan derasnya serangan air, tak terkecuali di daerah selatan kota Medan.
Saluran Drainase Perkotaan
Satu team dari Belanda dan Pemerintah kota Medan sepakat membuat master plan untuk pembangunan drainase mencegah banjir yang seringkali terjadi dikota Medan dalam beberapa tahun belakangan ini (23/03/04). Kalimat ini telah berlalu 5 tahun lalu, harapan setiap orang Medan dalam menggapai impiannya, Medan terbebas dari banjir. Namun pada kenyataannya masyarakat harus berpacu berhadapan dengan banjir setiap hujan deras.
Saluran drainase merupakan prasarana yang melekat dengan lingkungan permukiman, pembangunan sistem drainase perkotaan harus memperhatikan fungsi drainase sebagai prasarana kota yang dilandaskan pada konsep yang berwawasan lingkungan. Konsep ini antara lain berkaitan dengan usaha konservasi sumber daya air, yang pada prinsipnya adalah mengendalikan air hujan supaya lebih banyak meresap ke dalam tanah dan tidak banyak terbuang sebagai aliran permukaan, antara lain dengan membuat bangunan resapan buatan, kolam retensi dan penataan landscap.
Tata ruang wilayah menjadi sebab potensi banjir yang terjadi di kota Medan ini. Selain itu, hal paling mendasar yang menjadikan Medan sebagai kota langganan banjir ialah karena tidak adanya kemauan Pemko Medan untuk memperbaiki kinerja dalam mengatasi masalah banjir. "Saya melihat persoalan ini memang biasa terjadi di sebuah kota besar, apalagi Medan menjadi kota besar nomor tiga se-Indonesia. Jadi, wajar jika orientasi pemerintah kotanya tidak memfokuskan kepada masalah banjir," ujar koordinator wilayah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Syahrul Sagala (16/07). Alasan pertama, kata Syahrul, jika pemerintah kota belajar dari pengalaman-pengalaman selama sepuluh tahun ini mengenai musibah banjir di kota Medan, seharusnya mereka sudah mencoba memperbaiki kinerjanya untuk menyusun rencana tata bangunan tinggi di kota Medan. Kedua, sebut Syahrul, persoalan rencana pengelolaan kawasan sungai juga penting untuk dimasukkan dalam rencana kerja pemerintahan kota Medan selanjutnya. Mengingat kota Medan ialah kota yang dilewati oleh Sungai Deli
Banjir di wilayah Medan dan sekitarnya telah menggenangi 1.611 bangunan termasuk rumah warga, sekolah, dan tempat ibadah. Humas Pemerintah Kota Medan Rusdi Siregar menuturkan banjir menggenangi bangunan di Kelurahan Aur (370 bangunan), Jati (7), Sei Mati (569), Hamdan (325), dan Kampung Baru. Seluruh wilayah ini secara administratif berada di Kecamatan Medan Maimon. (04/01/09)
Penyebab Banjir
Ada beberapa kemungkinan penyebab banjir yang terjadi di kota Medan, yaitu :
Pertama, adanya perubahan cuaca mengakibatkan hujan lokal, air dari hulu sungai, air pasang laut dan air tanah.
Kedua, perlunya penataan ruang kota Medan yang masih semeraut, perencanaan kota kurang komprehensif dan tidak paripurna karena tidak melibatkan semua aspek, stakeholder, dan pakar dari bidang terkait.
Ketiga, drainase perkotaan yang tidak menyambung satu sama lain dan hanya mengikuti badan jalan, sehingga air tidak mengalir ke sungai-sungai atau parit-parit pembuangan, tetapi akan menggenangi areal sekitarnya.
Keempat, terjadinya perusakan lingkungan, yaitu kerusakan hutan sebagai kawasan lindung akibat penebangan di daerah hulu sungai dan daerah pegunungan sebagai penyangga air.
Kelima, berubahnya fungsi yang semula merupakan siklus bagian dari siklus hidrologi, dimana sebagai tempat penampung air dan menyalurkan air dari hulu ke laut, sekarang menjadi hunian liar dan legal, bagaimana rusaknya fungsi sungai-sungai di Medan dari fungsi sarana penjaga siklus hidrologis suatu daerah. Akhirnya sungai menjadi semakin sempit dan daya tampung terhadap air dari daerah hulu menjadi sangat terbatas, akibatnya sungai tidak lagi mampu menampung air hujan di daerah sekitarnya dan air hujan dari daerah hulu sungai.
Keenam, kultur masyarakat terhadap lingkungan juga masih rendah dan menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.
Ketujuh, tergusurnya daerah-daerah resapan air hujan (tangkapan air hujan ) yang ada di wilayah kota Medan dan sekitarnya yang dijadikan tempat permukiman.
Kedelapan, konversi lahan di daerah pegunungan yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah tangkapan air hujan dan daerah terbuka (greent belt) berubah menjadi lahan yang kedap air (impervious) yaitu untuk sarana villa, hotel, rumah pribadi, real estate, sarana hiburan dan lain sebagainya, yang semestinya aliran air permukaan seharusnya terserap tanah menjadi membesar dan berubah menjadi banjir. Akhirnya beban ini akan semakin memberatkan sungai, yang daya tampungnya sudah sangat terbatas.
Kesembilan, faktor sosial, ekonomi dan budaya, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap sanitasi lingkungan.
Berteman dengan Banjir
Banjir memang menjengkelkan, menjadi aral dalam beraktifitas, bukan saja negara berkembang bahkan negara majupun tak terlepas dari amuk banjir. Banjir tidak dapat dielakkan, namun dieleminir kehadirannya. Banjir diajak berteman, memberikan jalan keluar dalam menyalurkan aspirasinya yang terlalu ambisius dalam wadah yang sesuai.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam berteman dengan banjir:
Pertama, mengembalikan fungsi sungai, rawa serta daerah tangkapan air hujan kefungsi semula. Pembenahan ini memang tidak bisa dilakukan sekaligus mengingat ongkos ekonomi dan sosialnya sangat tinggi. Namun grand design harus sudah disiapkan oleh jajaran pemerintah kota dan instansi terkait untuk mengatasi persoalan. Untuk itu perlu dibangun kesadaran dan kepedulian segenap jajaran masyarakat.
Kedua, menata parit-parit saling menyambung dan berujung kesungai atau parit pembuangan, disamping disiapkan peta parit di pinggir jalan dan riol di dalam tanah. Saat ini kota Medan tidak mempunyai peta parit atau drainase, disamping itu membuat saluran pembuangan air sesuai dengan jumlah hujan maksimum yang mungkin terjadi.
Ketiga, menghidupkan hutan kota yang nantinya akan menghidupkan kembali daerah-daerah jalur hijau. Namun sebaik apapun program kerja yang dibuat jika sinkronisasi kerja antara masyarakat dan Pemerintah tidak berjalan, kehadiran banjir ditengah-tengah sulit dihindari.
Banjir tahunan di Medan akibat meluapnya debit air Sungai Deli tetap akan sulit teratasi, meski proyek banjir kanal atau Medan Flood Way sudah dioperasikan bulan Desember lalu. Daerah bantaran Sungai Deli terutama di sepanjang Kelurahan Sei Mati hingga Kelurahan Kampung Aur Kecamatan Medan Maimon akan tetap mengalami banjir tahunan. Menurut Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera II, Yani Sulastri Siregar, banjir di bantaran Sungai Deli tak bakal teratasi selama penduduk masih tetap bermukim di sana. Yani mengungkapkan, banjir baru bisa teratasi jika penduduk yang tinggal di bantaran Sungai Deli dipindah.
"Selama masih ada pemukiman penduduk di bantaran, kami sulit mengatasinya," kata Yani di Medan, menurut Yani, pemerintah daerah tidak mampu membebaskan bantaran Sungai Deli dari permukiman penduduk, sehingga program pengendalian banjir di Sungai Deli tak berjalan. ***

No comments:

Post a Comment