Saturday, October 17, 2009

Terkait Pembunuh Harimau Sumatera, Hukumannya Terlalu Ringan




Pekan baru : Msi— Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Trisnu Danisworo menyayangkan putusan hukuman Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tembilahan dalam kasus pembunuhan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang dinilai terlalu ringan.

"Hukuman yang diberikan kepada para pelaku pembunuh harimau dikhawatirkan tidak memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan serupa di Provinsi Riau," kata Trisnu Danisworo di Pekanbaru, Sabtu (17/10).

Dia mengatakan, itu terkait putusan majelis hakim sidang kasus perburuan liar—yang mengakibatkan terbunuhnya tiga ekor harimau—di Pengadilan Negeri (PN) Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir pada 8 Oktober 2009.

Dua tervonis, M Ajad bin Abdullah dan Mistar bin Ajad, hanya dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 2 juta.

Danisworo mengatakan, BBKSDA Riau selaku penyidik dalam kasus ini akan melakukan upaya banding lewat jaksa penuntut umum yang menangani kasus itu.

"Kami berharap, upaya banding ini nantinya dapat memberikan putusan hukuman yang memadai sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku sehingga menimbulkan efek jera dan mengurangi laju perburuan dan perdagangan ilegal harimau," katanya.

Hal senada juga disampaikan Kasubdit Penyidikan dan Perlindungan Hutan Wilayah I Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Lusman Pasaribu.

Hukuman yang minimal ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum belum sepenuhnya memberikan dukungan secara optimal terhadap upaya perlindungan satwa dilindungi.

Ia khawatir hal tersebut dapat menjadi preseden buruk. "Kami berharap di masa yang akan datang, aparat penegak hukum dapat memberikan dukungan yang lebih besar terhadap upaya perlindungan satwa dilindungi, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing," ujar Lusman Pasaribu.

Dalam putusannya, Ketua Mejelis Hakim PN Tembilahan Wasdi Permana menyatakan, kedua tersangka terbukti melakukan tindakan pidana dengan sengaja menangkap dan melukai harimau, dan sengaja memperniagakan dan menyimpan tengkorak dan kulit harimau sumatera.

Majelis hakim menjerat kedua tersangka dengan Pasal 40 ayat 2, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Meski terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman, hukuman tersebut jauh lebih ringan dari rencana tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum, yaitu tiga tahun penjara dan denda Rp 3 juta kepada kedua tersangka.

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, angka kematian harimau di Riau minimal lima ekor per tahun, baik karena konflik maupun perburuan. Sementara itu, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir tercatat hanya ada dua kasus perburuan harimau yang diproses hukum.

Sementara itu, Koordinator Konservasi Satwa Langka WWF-Indonesia, Chairul Saleh, mengatakan bahwa putusan ringan tersebut dinilai belum dapat menjadi pembelajaran untuk penanganan yang lebih baik terhadap kasus kejahatan satwa liar di Provinsi Riau.

Menurut dia, putusan yang memadai terhadap pelaku diharapkan dapat memudahkan upaya penegakan hukum kasus perburuan dan kasus perdagangan ilegal harimau lainnya, termasuk dalam memutus rantai perdagangan.

"Dengan hukuman yang memadai, penegakan hukum diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan menyentuh pihak-pihak lain yang terlibat dalam perdagangan ilegal harimau, misalnya penampung, pembeli, dan eksportir," katanya.(int)

No comments:

Post a Comment